Bab 30

Malam itu sepulangnya Livia ke rumah usai jalan-jalan dengan Danny, di teras rumahnya sudah ada Dokter Angga. Masih ingat, 'kan? Dokter yang mereka temui saat Livia dan Serryl ingin menemui orang kantor Rumah Sakit Jiwa Cenderawasih. Dokter muda dan ganteng itu (menurut Serryl, yah Livia juga sih mengakuinya) sangat mengejutkan kemunculannya bisa datang ke alamat rumah Livia.

Livia menduga-duga, mungkin lelaki itu juga menguntit, seperti Livia dan Danny yang pernah ngikutin pria itu pacaran. Baiklah impas karena mereka saling menguntit. Namun, ternyata dugaannya salah, sepasang pasutri itu mendapatkan alamat rumah Livia dari kepolisian. Ada hal mendesak yang harus diluruskan.

Kedatangan Dokter Angga malam itu bukan tanpa tujuan, pria itu ingin menagih janji Livia untuk menceritakan tentang Rian. Sepertinya sore itu sang dokter mencuri dengar obrolan Livia dengan Serryl semuanya. Entah bagaimana pria dewasa itu menjadi tertarik dengan masalah dua remaja cewek.

Livia dan Danny menceritakan semuanya kepada Dokter Angga tentang Rian yang terobsesi membunuh teman-temannya yang mengganggu hidupnya, dan juga gangguan kejiwaannya, kepribadian ganda. Di mana Livia sudah ditunjukkan dengan dua kepribadian lainnya yang bernama Mark dan Bulan.

Jadi, begini ceritanya.

Danny tidak langsung pulang dan menemani Livia menemui tamunya di kursi teras depan rumah, yang sudah ada Dokter Angga dan istrinya. Iya, ternyata wanita itu adalah istrinya.

Livia mengulum senyum tipis menutupi rasa salah tingkah, karena pulang terlalu sore sehingga membuatnya tamunya lama menunggu.

Di rumah hanya ada Bi Ijah, pekerja rumah tangga Livia sementara Mama dan Papa sibuk kerja dan baru tiba di rumah pukul 10 malam. Di meja teras, mereka sudah disuguhi kopi dan cookies. Bi Ijah memang mantap dalam melayani tamu.

"Maaf Dokter, saya baru pulang. Maaf saya tidak tahu kalau di rumah ada tamu." Livia menyalami tangan Dokter Angga dan wanita yang duduk di sebelahnya.

Wanita itu tersenyum kecil memamerkan deretan gigi putihnya. Lebih cantik jika dilihat dengan jarak sedekat ini.

"Malam, maaf mengganggu, Dik," ucap Dokter Angga diiringi senyuman ala dewanya.

"Aurelia." Cewek berambut pendek itu memperkenalkan diri.

Sebuah nama yang membuat bulu kuduk Livia langsung merinding, karena nama itu mirip yang disebut oleh mas-mas gila yang menjambak rambut Livia tempo hari.

"Livia," ucap Livia juga balas dengan memperkenalkan dirinya. "Ini Danny," tambah gadis itu memperkenalkan Danny yang gantian menyalami tangan mereka.

Livia dan Danny duduk di hadapan mereka, raut wajah Danny bingung, tidak seperti biasanya. Kali ini yang serius dan waspada, yang terkadang-kadang muncul hanya saat sedang mikir keras. Danny sudah seperti dalam mode kesehariannya. Makin kelihatan bloon aja deh. Padahal waktu terlibat masalah tampang cowok itu selalu keren, serius, penuh awas, dan kelihatan kayak cowok cerdas.

"Begini maksud kedatangan kami, hm maksudnya, saya ingin menanyakan apa benar mobil yang malam itu tepat berada di belakang kami adalah mobil teman kalian? Kalian tidak berbohong?" tanya Dokter Angga, ekspresinya penasaran, serius sekaligus was-was. Sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Mbak Aurelia menatap mereka berdua dengan sorot meminta, "Tolong jawab sejujurnya, Mbak."

Livia dan Danny saling berpandangan, sungguh kaget ditembak dengan pertanyaan seperti itu. Livia menjilati bibir beberapa kali yang kering. Kenapa mereka menanyakan mobil Rian? Atau jangan-jangan mereka sudah curiga dari lama dengan Rian? Atau mereka sadar diikuti Rian sejak dari restauran jadinya mereka ingin tahu siapa penguntit itu.

"Benar. Itu memang mobil teman sekolah kami," Livia menjawab sejujurnya.

Terlihat sekali raut wajah Dokter Angga dan Mbak Aurelia berubah jadi kikuk dan agak memucat. "Malam itu sungguhan kalian sedang pergi bersama-sama?" tanya Dokter Angga.

"Hmmm." Livia tidak bisa berbohong pada orang dewasa.

"Enggak juga sih," jawab Danny memotong langsung.

"Kalau begitu bolehkah saya tahu siapa namanya?" tanya Dokter Angga lagi. Kali ini Livia seperti sedang berhadapan dengan polisi negara dan Livia sebagai tertuduh kasus pembunuhan.

"Rian. Memang ada apa sih?" tanya Livia balik.

"Apa ada sesuatu yang mengganggu Mas dan Mbaknya?" Danny memicingkan mata ke arah mereka.

Livia memegang bahu Danny sambil melotot. Semoga tuh cowok menyadari kalau Livia tengah menegurnya karena dia rada tidak sopan.

"Boleh saya menanyakan tentang Rian?" tanya Dokter Angga, matanya menatap penuh harap.

"Namanya Rian? Apa di sekolah dia terlihat aneh? Bagaimana sikap dia di sekolah?" Mbak Aurelia memajukan tubuhnya dan berbisik. "Kalian pasti sangat akrab, kan, sampai pergi bersama-sama?"

Kembali membicarakan cowok itu membuat Livia jadi takut dan gelisah lagi. Maksudnya apa sih mereka nanya-nanya tentang cowok yang nyaris membunuh banyak orang, dan benci banget sama padanya?

"Cukup!" Danny tiba-tiba menginterupsi. "Maaf, Mas dan Mbak, tapi kami sudah tidak ingin membicarakan bahkan mendengar nama Rian. Mohon maaf."

Dokter Angga dan Mbak Aurelia terlihat kaget mendengarnya.

"Danny! Kamu apa-apaan sih?" tegur Livia padanya.

Cowok itu menggelengkan kepala dan memandangi kekasihnya dengan cemas. "Kamu nggak inget apa yang sudah dia perbuat sama kalian? Kamu, Serryl dan Revan nyaris dibunuh sama dia. Aku denger namanya aja tuh udah nggak sudi, Liv," kata Danny membuat sepasang manusia dewasa itu menganga terkejut.

"Maaf, Dokter dan Mbak. Beberapa waktu yang lalu kami terlibat masalah dengan Rian. Dia sedang dalam proses pengadilan, karena berencana membunuh kami. Maaf, kami masih sangat kesal jika mengingat dirinya." Livia menuturkan cerita.

"Tuhkan dia memang nggak beres. Aku yakin banget selama ini memang dia yang meneror kita. Aku semakin lama-lama jadi hapal wajahnya, Aku juga masih bingung apa motifnya. Coba kamu inget-inget pernah ketemu sama dia? Jujur. Aku memang nggak kenal sama dia. Aku juga nggak merasa pernah ketemu sama dia dalam sebuah pertemuan atau acara," ujar Dokter Angga kepada Mbak Aurelia.

"Kan polisi udah kasih tau kalo itu memang dia," jawab sang istrinya. "Aku juga udah cerita sejujurnya."

"Polisi hubungin kita menanyakan tentang hubungan kita sama anak bernama Rian itu. Aku nggak kenal jadi belum bisa memberikan informasi lebih panjang, polisi juga masih mencari info kenapa dia menguntit kita, dan memastikan kalo dia memang yang sering meneror mengirim paket."

Wanita itu menghela napas. "Sumpah aku juga nggak kenal sama dia! Dia masih anak sekolahan, Mas. Aku juga baru beberapa tahun kan kembali ke Jakarta. No idea."

"Ya, terus masa tiba-tiba dia meneror kita padahal nggak kenal? Setiap perlakuan yang kita terima pasti ada alasannya! Nggak mungkin tiba-tiba kita diperlakukan buruk begitu tanpa sebab. Coba kamu inget-inget lagi!" seru Dokter Angga.

"Kamu yang harusnya dicurigai. Kamu pernah kenal sama anak itu kali! Lagian kamu kan tau polisi juga mengatakan masih mencari alasan kenapa dia mengganggu kita, mereka masih menyelidiki banyak lain hal."

Danny membisikkan sesuatu ke telinga Livia. "Inget kan waktu mereka membuang sesuatu malam itu? Kayaknya mereka beneran menerima paket teror."

Livia menganggukkan kepala pelan. Sekarang mereka malah menyaksikan Dokter Angga berdebat dengan sang istrinya.

"Kenapa kalian mengira bahwa teman kami memang pelaku yang meneror kalian?" cetus Danny menghentikan perdebatan mereka.

"Karena dia selalu berada dekat di sekitar kami. Kami sering diikuti dan menerima paket aneh-aneh," jawab Dokter Angga membongkar masalah yang tengah mereka hadapi. "Ini cukup mengganggu karena kami sudah berada di jenjang hubungan serius, kami sudah menikah. Namun, baru beberapa bulan ini hubungan kami menjadi sedikit berantakan karena teror dari orang nggak dikenal. Kami juga kehilangan ketenangan. Dan, saling curiga satu sama lain."

"Paket aneh seperti apa?" Kok Livia yang menjadi penasaran.

"Paket teror berlumuran darah. Paket yang paling aneh, Aurelia menerima sebuah sketch berwajah mirip dengannya," ungkap pria berwajah tegas itu. "Tapi saat diamati tidak mirip, seperti wajah cewek lain. Di sudut gambarnya ada sebuah nama, yaitu Bulan. Kami nggak paham maksudnya. Istri saya jadi nuduh, kalo saya pernah selingkuh di belakangnya, dan cewek itu lagi balas dendam."

"Ya, terus apa maksudnya? Siapa Bulan itu?" Aurelia bertanya sinis.

"Mana aku tau!"

"Bulan?" Livia tergagap sambil menatap wajah mereka satu per satu. Tubuhnya langsung menegang, darahnya seakan berhenti mengalir dan lemas seketika. Seperti ada mengganjal dalam dirinya.

"Liv, kamu kenapa?" Danny memegang bahu cewek itu panik.

"Kamu kenapa, Mbak?" tanya Aurelia.

"Livia?"

Livia menarik napas sambil menggelengkan kepala, lalu tatapannya tertuju pada Danny. "Apa Bulan yang baru disebut ini sama dengan kepribadian lainnya Rian? Gimana menurutmu? Apa Bulan yang udah ganggu mereka?"

Alis sebelah Danny terangkat lalu dia terperanjat memandang Livia tidak percaya. "Hey! Hey! Livia. Jangan panik, jangan takut lagi, oke? Cewek itu kan ada pada diri Rian dan udah ditahan polisi. Kamu tenang yah?" Kedua tangan Danny terulur menyentuh wajah cewek itu, berusaha menghibur.

Kalau tidak ada Dokter Angga dan Mbak Aurelia, Livia sudah menangis ketakutan dan tidak akan bisa tidur nanti malam.

"Ada apa sih sebenarnya?" Dokter Angga menatap Livia dan Danny dengan sorot bertanya.

Livia masih diam saja, suara Danny yang menjawab mengisi obrolan itu selanjutnya.

"Hari itu kami nggak lagi berjalan sama Rian. Kami menguntit dia yang ternyata juga lagi mengikuti kalian. Dia memang mencurigakan, saat itu kami mencurigai bahwa dia mengganggu teman-teman kami. Ternyata, Rian itu memiliki kepribadian ganda yang cukup meresahkan. Berbahaya. Kepribadian satunya tidak menyukai Livia dan selalu berusaha membunuhnya. Dia dalang di balik masalah kami. Namanya Bulan, cewek tapi luar biasa jahatnya. Kata Mark, kepribadian Rian yang satunya, Bulan adalah pengendali alter dan rada nekat cenderung psikopat." Biarkan Danny yang menjawab. Livia tidak sanggup lagi.

"Kepribadian ganda?" Dokter Angga sang spesialis kejiwaan langsung memahaminya. Dia tampak memikirkan sesuatu, di sebelahnya Mbak Aurelia terdiam mencerna ucapan Danny. "Jadi, sore dan malam itu kalian memang sedang sengaja mengikuti kami ya, tepatnya mengikuti anak itu yang memang lagi menguntit kami."

"Maaf, Dokter." Livia sangat takut jika mereka bisa dilaporkan sebagai perbuatan tak menyenangkan.

"Kita jadi merasa Rian memang mencurigakan saat itu, makanya mengikutinya," jawab Danny.

Perempuan itu mengernyitkan dahinya. "Nggak mungkin!" tukas Mbak Aurelia pada akhirnya dia bersuara. "Mana ada sosok lain dalam diri manusia. Maksudnya anak cowok itu kesurupan dan dikuasai oleh arwah sosok hantu perempuan? Lalu siapa Bulan itu sebenarnya? Mas kenal nama Bulan itu, 'kan?"

"Sudah aku bilang, aku nggak kenal sama Bulan!" seru Dokter Angga mengelak.

"Tapi, itu faktanya, Mbak." Livia menandaskan.

"Jadi, sepertinya yang meneror kita bukan Rian, tetapi Bulan. Dia berada dalam kepribadian lain Rian, sisi gelap Rian. Rian pasti ada tujuan, nggak mungkin meneror kita tanpa alasan. Polisi juga lagi mengorek info motif apa yang membuat orang itu mengganggu kita. Kita dihubungi polisi karena mereka menemukan sesuatu yang menghubung pada kita, bukan?" Dokter Angga menatap Livia dan Danny, mengalihkan pandangan pada Aurelia. "Laporan teror beberapa bulan lalu akhirnya diproses serius oleh polisi."

"Anak yang aneh, memang aneh karena terlibat penyelidikan percobaan pembunuhan terencana!" Aurelia bergidik.

"Apa yang membawa Dokter Angga ikut menjadi terlibat dalam penyelidikan kasus Rian?" tanya Livia.

"Jejak record GPS di ponsel anak itu lumayan sering berada di sekitar rumah kita padahal nggak ada tujuan. Polisi mengira kami berhubungan erat sama anak itu. Yah, mereka hanya menjalankan tugas mencari detail kasus. Kami sangat terkejut rumah kami didatangi polisi yang sedang penyelidikan kasus pembunuhan berencana. Penyelidikan polisi itu yang membuat kita jadi akhirnya tau bahwa anak itu yang mengganggu kita selama ini. Tapi kenapa dia ganggu kami?"

Livia sudah tak dilibatkan lagi dalam penyelidikan kasus Rian, kemungkinan dia akan dipanggil lagi saat proses persidangan nanti. Dia baru mengetahui bahwa Rian diselidiki sampai sedetail itu, mungkin ini adalah keberuntungan yang membuat Dokter Angga bingung. Pria itu mendapatkan jawaban siapa yang menerornya. Namun, belum ada motif pasti mengapa diteror oleh seorang anak remaja. Rian seperti bisa terjerat pasal berlapis akibat segala kelakuan reseknya.

Gadis itu terbersit kemungkinan sesuatu. "Saya mau tanya tentang pasien kasar yang itu, mengapa bisa masuk dan dalam perawatan rumah sakit jiwa?" tanya Livia. "Dia pernah menyebut nama Bulan."

"Mungkin seharusnya saya merahasiakan, tapi karena kami harus saling terbuka bercerita akan saya katakan. Pria itu dimasukkan RSJ oleh pengadilan, dan didukung penuh oleh keluarganya, karena memiliki penyimpangan seksual, dia selalu berusaha memaksa menyetubuhi sesama pria. Dia akan memilih lawan yang lebih muda agar tak bisa melawannya. Dia sudah beberapa kali melakukan tindakan kriminal pencabulan dan sodomi. Setelah diselidiki polisi, pria itu lebih dominan ke gangguan kejiwaan karena stres ditinggal pacarnya. Pacarnya juga pria. Yah, persidangan menentukan dia harus mendapatkan perawatan kejiwaannya." Penuturan Dokter Angga membuat Livia mengangguk.

"Ah, saya baru ingat. Menurut cerita Mark, salah satu kepribadian Rian, yah ternyata Rian memang memiliki pertemanan dengan pasien Anda. Arven namanya, benar?" Livia membuat Dokter Angga mengangguk sambil melongo terkejut. "Akses Arven melihat orang yang berkeliling di lorong membuatnya mudah bertemu banyak orang, seperti saat saya dan Serryl diserang. Mungkin Arven bertemu Rian di lorong sel itu. Rian yang awalnya muncul di depan Arven, kata Mark, tapi Bulan yang sangat menyukai Arven. Dari cerita ini, aku merasa Arven tertarik pada bentuk fisik Rian. Namun, Bulan yang muncul mengambil alih, membuat terkesan dengan mereka yang unik. Mereka berteman karena cocok satu sama lain?"

"Oh ya, jadi menurut cerita itu mereka jadi berkenalan di sel itu?" Dokter Angga terlihat syok. Dia tak habis pikir.

"Untuk cerita pertemuan mereka saya kurang tau, tapi Mark memberikan informasi ini, Bulan dan Rian berencana akan membuat kerusuhan saat acara baksos sekolah kami di sana, agar bisa membuat Arven melarikan diri. Mungkin karena dijanjikan seperti itu, Arven menganggap Rian atau Bulan sebagai temannya. Ini hanya asumsi berkat cerita Mark. Info lebih jelasnya hanya polisi dan psikiater yang menangani Rian. Cowok itu memiliki trauma mendalam karena saat kecil pernah mengalami pelecehan seksual. Disodomi oleh pria dewasa." Livia bercerita tanpa bisa disela. Semuanya mendengarkan penuturan gadis itu dan langsung dipahami. Bahasanya memang mudah dan membuka pemikiran Dokter Angga.

"Pantesan, aku pernah melihat ada bayangan sekilas yang datang ke sel Arven. Saat aku mendekatinya, orang itu langsung kabur secepat kilat. Yah, aku kira orang itu diganggu sama Arven. Pasien itu suka usil pada orang yang lewat. Aku nggak melihat wajahnya, tapi rambutnya panjang, siapa tahu ternyata itu adalah Rian?" Pria itu mendesah mencerna menggali pikirannya sendiri.

"Masa? Rian kan cowok. Apa Arven ternyata masih punya teman atau saudara lain perempuan?" Mbak Aurel masih tidak percaya dengan mereka

"Kata Serryl, sahabatku yang pernah ke rumah Rian. Di rumah Rian ada kamar untuk Bulan sendiri, dia pengoleksi wig rambut dan maniak warna pink dan ungu. Aku juga sudah membuktikannya." Livia menambahkan info.

"Pink? Ungu? Itu memang warna yang menarik," sahut Aurelia.

"Bukan Bulan yang sesungguhnya, dia hanya kepribadian sisi lain, tidak akan abadi," kata Dokter Angga menenangkan sang istri yang terlihat panik mendadak. "Pasti dia bisa dilenyapkan. Tenang ya." Pria itu mengambil tangan lemah si perempuan dan menggenggam lembut menenangkan.

"Mas-mas yang waktu itu menjambak aku dan Serryl, apa ada hubungan sama Mbak Aurelia, kok namanya seperti disebut oleh Arven waktu itu?" Potong Livia.

Dokter Angga mengangguk. "Arven sangat terobsesi dengan Aurel-saya karena memiliki nama yang mirip dengan seseorang di masa lalunya. Aurelia istri saya terakhir kali muncul di rumah sakit lalu kapok, Arven mengamuk hebat. Sudah pernah saya katakan, bahwa Arven kurang senang dengan perempuan, khususnya Aurel yang membuat dirinya seperti itu. Ada perempuan bernama Aurel itu, teman dekat Arven sejak kecil. Kami juga biasa menahan Aurel itu agar tak bisa mengunjungi Arven. Cewek itu selalu menyesali perbuatannya dulu sampai membuat teman kecilnya seperti itu. Mereka sangat akrab sejak kecil dan saat SMP pacaran. Namun, cewek itu mengkhianati meninggalkan hubungannya untuk pria lain, sampai Arven berubah menjadi seorang penyuka lelaki. Arven selalu menyalahkan Aurel sebagai penyebab semua yang terjadi padanya."

"Jadi, Arven itu awalnya normal, lalu dikhianati pacar sekaligus teman sejak kecilnya? Saat dia trauma dengan wanita, dia malah menjadi gay. Apa dia mengalami hubungan yang buruk juga dengan pasangan gay-nya, makanya menjadi seperti itu?" Livia semakin penasaran.

Dokter Angga mengangguk. "Pasangannya tidak abusive. Justru Arven yang sering melakukan kekerasan seksual dengan pria yang lebih lemah. Pasangannya itu tahu dan lelah, lalu meninggalkannya. Yah, dia berakhir menjadi stres dan gila dijebloskan ke polisi karena laporan para korban. Namun, persidangan menetapkan agar pria itu menerima perawatan gangguan kejiwaan."

"Jadi, bisa dihubungkan, mungkin Rian meneror kalian atas perintah Arven. Mereka menjadi berteman karena ada visi misi," sahut Danny.

Livia bisa membayangkan Arven yang dirawat di RSJ pasti juga memiliki riwayat jiwa yang menyeramkan.

"Bagaimana bisa Bulan muncul dalam diri Rian?" Dokter Angga bergumam pada kalimat terakhirnya.

"Bulan adalah sisi gelap Rian yang muncul dari kecil, menjadi dominan saat anak itu tumbuh remaja." Livia memberikan info.

"Kasihan anak itu pernah mengalami kejadian traumatis," sahut Dokter Angga. "Saya akan mengikuti persidangan kasus anak itu. Ingin tahu motif asli dari dirinya, tapi Polisi masih menyelidiki masa lalu Rian saat ini."

"Jadi, Arven membuat Bulan meneror kamu di luar ya?" gumam Aurelia pada suaminya sendiri.

"Aku rasa itu benar. Mark juga pernah berkata seperti itu," Livia menggumam.

"Berkata apa?" Danny heran.

"Mereka merencanakan sesuatu untuk membuat Arven kabur. Iya, Bulan tertarik sama Arven karena tampan. Aku juga pernah mendengar Bulan bilang nggak mau mati karena sudah bertemu cowok ganteng idamannya. Mengerikan," decak Livia. "Dan, secara fisik Rian adalah cowok, itu yang membuat Arven semakin menganggap bahwa Rian menarik. Arven tetap aslinya mengincar tubuh Rian. Bisa jadi, Arven tak peduli dengan kepribadian aneh Rian, menganggap Bulan hanyalah nama samaran, nama lain, atau nama alter. Bisa jadi mengira Rian hanyalah anak remaja yang memiliki penyimpangan seksual memiliki nama lain sebagai Bulan."

"Kita harus waspada. Mereka bisa jadi sangat berbahaya. Semoga polisi dan psikiater yang menangani mampu menyelesaikan." Pesan dari Dokter Angga diangguki oleh Danny. "Untung saja sudah ditangkap sebelum mengacau di RSJ."

"Aku masih nggak percaya." Lagi-lagi Mbak Aurelia menggelengkan kepala.

"Aurel," Dokter Angga memandangi istrinya, "Nanti aku jelasin tentang DID. Udah malam sebaiknya kami pamit undur diri dulu. Terima kasih sudah menerima kehadiran kami dengan baik."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top