Bab 25
Masalah ini ternyata semakin serius.
Pukul 4 sore esok harinya, Serryl dan Livia sudah berdiri di depan kantor personalia Rumah Sakit Jiwa Cenderawasih. Tadi salah seorang pegawai kantor rumah sakit meminta agar mereka menunggu sebentar, mungkin lama, karena orang yang ingin ditemui adalah staff bagian Humas rumah sakit, sedang mengadakan rapat khusus dengan karyawan bagian kantor lainnya di rumah sakit itu.
Mereka sudah membawa surat pengantar dan proposal dari sekolah agar bisa melaksanakan baksos di rumah sakit jiwa ini atas rekomendasi dari Rian, ketua OSIS mereka yang sangat menyeramkan dan rada psikopat.
Dasar sial, apa salah dan dosa Serryl harus tetap mewujudkan misi rahasia si ketos yang horor itu.
Mereka juga belum ada ide bagaimana caranya membatalkan rencana Rian. Apa dengan berpura-pura melaporkan bahwa proposalnya tak menarik bagi pihak RSJ? Rian pasti tak akan tinggal diam akan ingin cepat-cepat kembali ke sekolah mengurus segala urusan OSIS demi kelancaran, tanpa gangguan dan menyerah, sedangkan Serryl harus menahan manusia satu itu agar tak cepat balik ke sekolah sampai menemukan cara membongkar kejahatan. Pasalnya kalau Rian nekat ke sekolah, kehidupan sosial Livia akan hancur. Dari kemarin saja di medsos dan grup chat angkatan makin ramai obrolan gosip tentang Livia dan Rian. Entah siapa sumber utamanya yang memulai, yang pasti sudah dikomporin secara pribadi dari belakang oleh Rian.
Wajahnya yang luka-luka seperti tak bisa memberikan ada efek jera. Kalau itu terjadi sama Serryl, dia langsung merasa bahwa itu balasan untuk Rian yang kualat jahat sama orang. Sedangkan sekarang, Rian kelakuannya semakin parah.
Serryl mengamit tangan Livia dan menggenggamnya, temannya itu mengernyitkan dahi heran.
"Kenapa? Lo cemas?" tanya Livia terheran.
"Gue bosen. Keliling yuk, sambil liat-liat." Serryl menggoyangkan tangannya Livia.
"Emang boleh?" Mata Livia membulat dan suaranya berbisik, takut ada yang mendengar.
"Boleh dong. Kan pake kartu tanda visitor," jawab Serryl. "Lagian biar kita bisa mengamati para suster saat menghadapi pasien."
Livia tampak berpikir sejenak, "Oke. Gue juga sama sekali nggak ada ide, bosen juga. Lumayan sih jalan-jalan aja daripada diem nggak jelas."
"Tapi lo harus hati-hati jangan jalan terlalu dekat sel-sel yang di pinggir koridor itu. Kalo terjadi sesuatu dan nggak ada suster yang lewat, serem banget, 'kan?"
"Sel-sel? Apaan tuh?" Wajar saja Livia memang belum pernah diajak ke rumah sakit jiwa ini, Rian benar-benar tidak mengikutsertakan cewek itu sebagai anggota OSIS, Serryl jadi membayangkan betapa bencinya Rian pada Livia.
Dan, betapa mengerikannya Rian sangat terobsesi dengan Serryl. Ugh, nanti sore dia harus ke rumahnya pula.
"Sel-sel itu semacam ruangan dengan jeruji besi, biasanya pasien saat siang hari dilepas di sel-sel, agar bisa lebih fresh dan nggak bosan di kamar terus. Jadi, mereka bebas melakukan apa saja, ya mirip sel penjara gitu. Lo jangan deket-deket sel nanti mereka bisa menyerang lo, tapi sejauh ini gue nggak pernah menemukan yang kasar sih."
"Wah, gue jadi penasaran. Yuk, di mana? Lo tau tempatnya?" Suara Livia kayak penasaran gitu.
"Tau dong, letaknya ada di lantai dasar bagian samping rumah sakit," ajak Serryl seraya menunjuk jalan.
Dalam perjalanan Serryl tidak tahan lagi ingin kepo soal hubungan Livia sama Danny.
"Lo berubah banget deh ke Danny," kata Serryl sesaat mereka sudah memasuki lorong ruangan sel.
Cahaya di lorong ini rada redup karena letaknya di pojok dan di sekitarnya banyak ditumbuhi pohon besar yang rindang. Kalau malam pasti sangat menyeramkan. Lorong itu sepi, gelap dan kosong. Mungkin kalau malam dihuni makhluk halus yang merupakan mantan penunggu sel-nya dulu. Arghh, Serryl jadi merinding.
"Iya lah, Ser. Dia kan pacar gue sekarang, masa mau gue bentakin terus kayak dulu?" jawab Livia sambil berjalan di samping, sedari tadi dia terlihat sangat diam.
Mungkin Livia terbawa pikiran, takut menanti kejadian nanti sore. Serryl sendiri sudah tak sabar ingin memancing Rian agar Mark keluar. Serryl ingin menemui Mark.
"Gue nggak menyangka, gue harus minum kopi tanpa gula nih karena akhirnya lo punya pacar. Di antara cowok-cowok keren SMA kita lo malah sama Danny. Hebat. Musuh lo, haha," ledek Serryl padanya.
"Rasain lo! Gue tunggu lo harus minum kopi tanpa gula! Aneh juga, waktu pertama kenal sih memang ngeselin. Apalagi anak-anak klub berusaha menggoda kita terus, bahkan dijodohin. Danny senang, gue mau muntah. Tapi saat gue kesusahan, dia selalu muncul dengan sosok aslinya sebagai cowok pelindung. Beda banget sama dulunya yang alay. Makanya, gue mempertimbangkan buatserius sama dia."
"Wah, kadang gue iri sama lo. Cowok-cowok yang naksir gue dulu emang ganteng, tapi nggak ada yang setulus Danny. Lo beruntung dapetin dia. Jarang ada cowok yang melihat hanya satu cewek, eh ada dua deh. Danny dan Revan. Hehe," kata Serryl sambil terkekeh.
"Iya, pastinya. Revan bahkan nggak menggubris gue sama sekali," Livia menghela napas.
"Dan, Danny nggak terpengaruh sama kecantikan gue, haha. Impas, 'kan?"
"Konyol banget, arggghhhh!" Tawa Livia berhenti menjadi jeritan terkejut saat tiba-tiba salah satu penghuni sel, yang pastinya orang sakit jiwa menarik rambut ikat kuda Livia, rambut itu memang sasaran paling empuk.
Serryl ikutan terkejut dan berusaha menarik tangan Livia. Livia malah tambah menjerit setelah Serryl melakukannya. Ternyata itu akan semakin membuat rambut Livia tertarik.
"Sori, Liv!" seru Serryl.
"Ahhhhh, tolongin gue, Ser!!" jerit Livia ketakutan.
Serryl menghampiri sang pelaku penjambakan itu, seorang pria berseragam ala rumah sakit jiwa, putih bergaris-biru. Sedang tertawa senang menikmati permainannya dan melihat Livia tersiksa.
Tatapan Serryl bertemu dengannya, pria dalam sel jeruji itu tersenyum juga padanya. Sebenarnya orang itu bisa dikatakan ganteng banget untuk ukuran orang gila. Tubuhnya yang tinggi dan figur wajah keren dan sempurna, hidung mancung, rahang lancip, dan sepasang mata yang mendalam dan bersorot awas super tajam, membuat Serryl menebak pria itu adalah model yang stress karena pekerjaannya. Baru kali ini Serryl bertemu orang gila ganteng. Ah, tetap saja dia gila. Apalagi cengirannya seram sekali, Serryl seperti sedang berhadapan dengan boneka Annabelle (boneka yang di versi filmya). Pria gila itu masih tertawa lebar membuat sekitaran matanya berkeriput.
Buset masih muda saja sudah gila. Padahal dari wajahnya yang menyisakan kegantengannya saat remaja dulu. Andai, lebih terawat dan sehat akan membuat aura dewasanya keluar, daripada demikian, dia menampilkan senyuman mengerikan kayak orang gila jalanan malah membuat pria itu terkesan bagai pembunuh berdarah dingin. Serryl bisa menebak dia berusia 25 atau 26 tahun, pasti seharusnya sedang sukses meniti karir masa depannya misalnya menikah atau sedang menikmati masa-masa emasnya. Masih muda banget, 'kan? Sayang sekali harus hidup dibalik jeruji besi rumah sakit jiwa. Entah apa yang harus membuatnya mendekam di situ.
Serryl memukuli tangannya yang putih, orang gila itu masih memegang rambut Livia kencang. "Lepasin! Lepasin!!" teriak Serryl padanya.
Hanya dibalas dengan suara tertawa geli. Kalau bukan orang gila itu tertawanya ganteng kok.
"Hahaha, kamu suruhan Aurel ya? Kamu mirip sama cewek itu! Kalo aku nggak bisa melenyapkan Aurel, maka kamu saja yang aku lenyapkan. Di dunia ini aku membenci orang-orang jelek yang sok baik. Kalo orang-orang sok suci seperti kamu dan Aurel tiada, pasti orang yang aku sayang akan bahagia, haha. Harusnya aku bahagia kalo orang kayak Aurel nggak ada di dunia ini! Cewek itu kurang ajar dan nggak tau diuntung! Cewek murahan! Dan, kalau Aurel nggak ada, aku nggak akan begini, Chandra pasti akan sangat bahagia bersamaku, bukannya pergi meninggalkan! Chandra lelaki sialan, dia sudah nggak normal tapi sok keren, sok elit, dan sok suci! Sore ini bulan nggak akan ada, aku jadi kesepian sendirian di sini. Jadi, kita main aja yuk, biar aku nggak bosen," katanya.
Aneh sekali, 'kan? Tentu saja orang gila itu mengatakannya kepada Serryl dengan muka serius. Memangnya manusia bisa ditebak dengan sekali ketemu, Livia memang tidak cantik bange,t tapi manis. Lagian tahu dari mana kalau Livia itu sok baik?
Udah Serryl, dia cuma orang gila, jangan didengerin!
Eh? Mana omongannya kacau banget. Salah Serryl sih yang mengambil serius omongan aneh Orang Gila.
Kenapa juga bulan tidak muncul, ya jelas karena langit sore sekarang saja sudah gelap. Hujan begini! Belum bisa diprediksi apakah nanti malam tuh bulan muncul di langit atau tidak!
"Apa-apaan sih? Ngomong apa lo, gue nggak paham! Lepasin teman gue, dia bukan orang yang lo maksud! Lepasin, lepasin!" seru Serryl dengan memukuli tangan cowok gila itu.
"Argghhh!! Serryl, makin sakit nih kepala gue, arghhhhh!!" Livia merintih, "Lepasin gue Mas, tolonggh! Gue bukan cewek yang lo maksud itu, apalagi titisannya. Apalagi suruhan! Ughh!!"
Serryl mencakar tangan pasien cowok muda itu agar bisa melepaskan cengkeraman jambakan keras dari rambut Livia. Dia menampari tangan cowok itu juga tak mempan. Saat timbul niat untuk menggigit tangan orang itu, yah kejadian semakin parah. Cowok gila itu tidak gentar juga malah meraih rambut Serryl dengan tangan satunya lagi yang kosong.
"Ini hukuman buat kamu karena udah berani-beraninya mengganggu aku. Kalian rasakan sendiri ini!" seru pria gila itu.
Serryl dalam hati menjerit, hei, siapa duluan yang mengganggu dan memulai? Oh, jadi begini rasanya.
"Aduh!!" Perih dan sakit sekali. Mana cengkramannya kuat sekali, seakan dengan sekali hentakan rambut dan kulit Serryl akan copot menyisakan otak dengan cairan yang berceceran.
"Arghhh, lepasin!" Serryl masih berusaha memukuli tangannya orang itu.
Orang gila itu mengangkat kepala Serryl dengan paksa agar bisa melihat wajahnya, disambut oleh pemandangan pria itu sedang tersenyum lebar sekali, dan seram.
How creepy this guy. Ughh.
"Kalian berdua pasti titisan orang yang sudah mengirimku ke sini. Kalian suruhan Aurel, 'kan? Kalian temannya Aurel, 'kan? Kalian ini mata-mata mereka semua. Keluargaku juga semua brengsek. Kalian yang membuat aku harus mendekam di sini, aku sangat tersiksa di sini. Banyak orang jahat yang menghukumku seperti kaliaaaan!!!"
"Mas, lo salah orang. Gue aja nggak kenal sama lo," balas Serryl sewot agak terisak, dia hampir menangis.
"Diam!!!!" Pria itu memang kuat sekali, langsung menarik kencang kepala Serryl dan menghantamkannya ke arah Livia. Sehingga kening Serryl menabrak bagian belakang kepala Livia.
Serryl dan Livia memekik kesakitan. Ughh, jidat Serryl berkedut sakit sekali dan pusing campur aduk sama rasa perih di ubun-ubun kepalanya.
"Maaf, Vi. Dia sinting banget!" keluh Serryl.
"Serryl, lo nggak apa-apa?" tanya Livia cemas.
Seharusnya Serryl yang mengkhawatirkan kepala belakangnya bukan?
Terlihat Livia sudah semakin merintih menahan sakit. Tangannya sudah tak mampu membuat jambakan terlepas. Usaha kedua cewek itu sia-sia. Mereka harus mencari cara agar terlepas dari orang gila itu. Kalau semakin bergerak malah semakin kencang tarikannya.
"Hei, Arven!! Apa yang sedang kamu lakukan? Lepasin mereka! Arven!" Akhirnya ada seorang malaikat berjas putih berkilauan datang menyelamatkan mereka berdua dari orang gila yang awalnya Serryl kira ganteng. Sekarang sih Serryl ogah menganggapnya ganteng lagi. Sinting banget sampai bisa mengadu kepala mereka seperti mainan bola tali.
Ucapannya sangat sederhana, tapi pasien yang namanya Arven tadi, cih namanya bagus sekali, langsung menyentakkan kepala dua korbannya cukup keras sampai mereka terhuyung ke tengah lorong, dan ambruk jatuh saling menimpa.
Posisi Livia paling bawah karena dia mendapat dorongan yang paling kuat. Kenapa Livia selalu menjadi sasaran kebencian orang-orang stres sih? Apa karena dia memiliki aura yang menyebalkan?
Pasien yang bernama Arven tersebut lari ke pojokan sel dan mendekam di sana, ketakutan. Salah seorang dokter cowok segera mempercepat langkahnya ke arah mereka, mungkin dia adalah sosok dokter yang menangani pasien ini. Anehnya dokter itu seperti masih muda, dari wajah mereka tampak memiliki usia yang seperti tidak jauh. Dan, pasien cowok gila tadi harus ditangani ekstra oleh dokter yang tidak tua. Dokter yang tua akan terkena serangan jantung kalau dijambak oleh pasien horor itu. Uh, mengharukan.
Serryl mengelus bagian kepalanya yang nyut-nyutan, bekas posisi jambakan tadi. Rambutnya yang panjang tak diikat terlihat berdiri dan kusut. Livia mengerang kesal, Serryl menyadari posisinya sedang meniban tubuh Livia, jadi menggeser sedikit posisinya. Livia berusaha membenarkan tas dan bangun duluan dari posisi habis terjerembap tadi. Serryl menyusul bangun sambil dibantu Livia.
"Sakit jiw—a," makian Livia terhenti saat dokter muda itu mendekati mereka. Livia langsung memalingkan wajahnya. Serryl mengamati gerak-gerik aneh Livia yang berubah menjadi kikuk.
Rahang dokter tersebut mengeras, raut wajahnya cemas sekali saat mendapati kondisi mereka dari jarak dekat, khususnya rambut-rambut yang berantakan.
Arghh, agak sedikit salah fokus? Tapi saat ini Serryl tidak bisa lagi menahan untuk komentar bahwa dokternya itu ganteng sekali. Tingginya proporsional dengan berat badan, kulitnya putih bersih, rambutnya mengkilap tak berponi, rambut depannya sedikit berdiri ke atas. Dokter ini seperti jelmaan Lee Joonki yang pasti.
"Kalian baik-baik saja?" tanyanya seraya membantu mengecek keadaan khawatir ada luka pada Serryl dan Livia. Sial, ya malu banget. "Maaf, banget. Dia memang sedikit kasar, maaf."
Sedikit kasar katanya? Ini sih kasar banget, Om Dokter. Tentu bukan kata-kata itu yang meluncur melainkan, "Ya, cuman kaget aja, Dok." Serryl tersenyum salah tingkah.
Serryl merasakan Livia meliriknya dengan tatapan setajam laser yang biasanya dikeluarkan dulu saat Serryl menggombali pacar-pacarnya yang dulu (di salah satu acara kencan, Livia juga ikut menemani temannya itu, dengan alasan Serryl ogah berduaan dengan salah satu pacarnya yang rada mesum). Dan, momen saat Serryl dan Revan menggoda dirinya dengan Danny. Mungkin Livia menyadari Serryl kesemsem sama dokter ini. Makanya Livia mengeluarkan tatapan kesal bin horor.
"Hai, kamu!" sapa Dokter itu kepada Livia seperti sudah saling mengenal.
Livia menoleh ke arah dokter tersebut dan menyapanya balik. "Sore, Dokter."
Mungkin kah kalo mereka memang saling kenal? Sepertinya mereka sudah pernah bertemu sebelumnya.
"Saya selaku dokter pribadi pasien tadi meminta maaf sebesar-besarnya. Oh ya, kalian masih anak sekolahan? Sekolah umum kan, bukan jurusan keperawatan? Kok bisa berada di sini?" Pria itu mengulurkan tangannya kepada Livia lalu kepada Serryl memperkenalkan diri. "Saya Angga."
"Livia. Kami murid SMA Mardi Bakti yang ingin mengadakan baksos di sini," jawab Livia untuk menutupi kegugupannya.
"Saya Serryl," kata Serryl ceria.
Oh, sepertinya nama itu tidak asing. Livia pernah menyebutkannya, tapi di mana? Ah, sekarang mulai ingat. Perlahan Serryl melirik Livia yang menyalami dokter yang bernama Angga dengan wajah pucat pasi. Livia juga sedang melirik kepada Serryl sambil mengendikkan dagu ke arah pintu keluar lorong.
"Orang kantor masih ada rapat sampai pukul 5. Kalian masih terlihat sangat syok, mau minum dulu sebentar?" tawarnya.
Serryl langsung mengangguk setuju, Livia tidak merespons. Kenapa sih dia begitu sok jual mahal dan kikuk sama dokter ini?
Livia melirik Serryl sekali lagi, Serryl tersenyum penuh kemenangan saat mereka berdua berhasil diboyong mengikuti Dokter Angga. Oke, namanya Dokter Angga.
"Lo apa-apaan sih? Kita harus segera kumpul, ada yang perlu gue omongin," desis Livia sebal, "Anjir, ternyata dia beneran kerja di sini. Jadi ... begitu."
"Hah, jadi???"
"Gue sama Danny harus pasang muka setebal mungkin saat kepergok ngikutin dia pacaran sama ceweknya, atau istrinya? Entahlah. Intinya gue malu!!!" bisik Livia, tapi marah-marah.
"Eh, gue tau lo masih syok. Kita butuh tempat kali. Di luar juga masih hujan. Lo mau kita keluyuran di koridor lagi jadi sasaran para pasien yang haus akan mainan? Untung aja tadi cuma dijambak, gimana kalo ada yang lebih parah." Serryl tersenyum usil. "Kali ini pasang muka tebal lagi demi kelancaran penyelidikan kita. Dia adalah dokter yang dikuntit sama Rian, 'kan? Lo nggak penasaran ada hubungan apa di antara keduanya?"
"Oke. Gue juga takut dijambakin lagi. Gimana caranya memancing agar kita bisa menanyakan tentang Rian?" bisik Livia semakin pelan, "Mukanya seram. Tatapannya itu loh."
"Seram dari mana? Tatapannya bikin gue meleleh, awww!"
Livia menepuk jidatnya frustrasi karena Serryl fangirling-an si Dokter Angga.
Dokter Angga mempersilahkan mereka memasuki ruangannya yang berukuran 3x4 meter bernuansa putih, tirai-tirai berwarna cream dan dua sofa. Serryl dan Livia duduk tepat di depannya. Bak tuan rumah yang baik Dokter Angga segera pergi ke ruangan di balik dinding, pasti ada dapur juga di sana.
"Gila, sekarang kita malah di sini!" pekik Livia pelan. "Gimana kalo dia sama psikonya kaya Rian? Jangan-jangan mereka musuhan. Sama-sama psiko juga!"
Buset dah, Livia kok jadi parnoan gitu?
"Alaah, lo nggak usah panik gitu. Dia dokter jiwa, mana mungkin memiliki kelainan jiwa, serem banget pasti."
"Lo nggak pernah nonton Drakor?" Livia mendecak kesal.
"Kalo pun dia juga psikopat. Musuhnya musuh adalah teman, kali aja lo bisa komplotan sama dia. Apalagi dia psiko, haha, lo nggak perlu repot—" karena ucapan ngaco Serryl, Livia langsung meninju lengan temannya itu.
"Ngaco! Di film juga banyak kok dokter yang psiko malah ngabisin semuanya. Taunya nanti kalo lo berakhir lagi dimutilasi, gue udah kabur. Babay, selamat tinggal, Serryl!" Kini gantian Livia yang mulai ngomong sadis segala membayangkan siksaan Serryl.
"Tega banget lo," Serryl menendang kakinya di kolong. "Tolongin gue lah!"
"Bodo. Males!" Bibir Livia maju 5 senti.
Dokter Angga kembali sambil membawa dua gelas teh manis yang mengepul, kebetulan dingin sekali, sudah di luar hujan deras, ditambah AC pula.
"Obrolan kalian terdengar sampai belakang loh," goda Dokter Angga dengan senyum geli lalu dia menyuruh dua cewek itu agar minum teh-nya.
Di bawah meja kaki Serryl dan kaki Livia beradu saling menendang. Mereka juga sama-sama menahan ekspresi wajah agar tidak berubah menjadi mak lampir sewot. Terlihat sekali kedua cewek itu raut wajahnya aneh dan mencurigakan.
"Maaf, Dokter. Teman saya memang parnoan," Serryl meringis malu.
Livia tersedak teh dan batuk-batuk.
"Pelan-pelan, Sayang. Jangan buru-buru minumnya." Serryl harus membantunya mengelus punggung Livia agar temannya itu bisa tenang. Sudah ditolong tapi Livia masih memelototi temannya sebal.
"Kalian lucu banget sih. Oh iya, memang siapa yang psiko tadi?" tanya Dokter itu penasaran. Sebagai dokter jiwa mungkin dia sangat senang jika menemukan orang-orang kelianan jiwa lainnya, apalagi psikopat berdarah dingin seperti Rian.
Serryl bersemu-semu centil. Livia menegakkan punggungnya. Reaksi mereka jelas berbeda, karena Serryl lebih tertarik dibilang lucu sementara Livia kaget saat dilempar pertanyaan seperti tadi. Duh.
"Di film," jawab Livia kalem, "Pasien tadi kenapa memperlakukan kami begitu? Mereka juga menyebut-nyebut nama seseorang, Aurel? Dan, Chandra? Cinta segitiga?"
Mungkin Livia memiliki dendam kesumat pada pemuda gila tadi sehingga kepo banget menanyakan latar belakangnya, atau Livia sudah menyimpan 1000 rencana balas dendam menyiksa balik pria horor tadi, dan Livia membutuhkan infonya. Sahabatnya ternyata seram banget yah?
"Namanya Arven. Tiga tahun di bawah saya. Dia belum sampai 30 tahun kok. Dia memang rada nggak suka sama perempuan, khususnya anak sekolahan, apalagi kalian kelihatan masih muda-muda dan semangat. Dia memiliki kenangan yang buruk saat SMA yang menyebabkan dia harus mendekam tidak bebas sampai sembuh. Tapi, ternyata tidak ada kemajuan sama sekali. Dendam masa lalu. Maaf, mungkin tadi dia mengira kamu berhubungan sama Aurel yang dia benci," kata Dokter Angga. "Sering mengamuk begitu kalau liat perempuan masih muda."
Ekspresi wajah Livia berubah semakin pucat, ada apa sih kok dia begitu gelisah dan ketakutan sendiri?
"Terus sekarang Aurel dan Chandra masih suka datang untuk menjenguk dia?" Livia kepo banget.
"Kalo Aurel masih ada, cuma Arven bakalan mengamuk hebat kalo didatangi olehnya. Sementara Chandra udah nggak mungkin, karena udah lama pergi menjauh memutuskan segala hubungan sama Arven." Dokter Angga memandang wajah Livia yang tampak menerawang sesuatu.
Livia juga seperti tidak fokus karena dia tidak menyadari bahwa Dokter Angga sudah memandanginya tak berkedip.
"Omongannya lucu, masa dia bilang bulan nggak akan datang. Langit kan memang lagi gelap! Lagi hujan begini loh, masa nungguin bulan, Masih sore udah ngeramal cuaca nanti malam. Hahahaa," cetus Serryl.
"Bulan? Siapa yang nyebut kata-kata bulan itu?" Livia menjadi pucat pasi.
"Orang gila tadi, dia bilang bulan nggak ada, jadi dia sendirian," sahut Serryl.
"Bulan itu maksudnya nama orang, 'kan? Itu nama orang! Bukan bulan yang di langit!" seru Livia syok sambil menganga aneh.
"Memang ada orang yang namanya Bulan? Unik banget. Eh, tapi nama kakaknya Rian adalah Bulan, Terang Bulan." Waktu itu saat Serryl main ke rumah Rian, cowok itu bercerita tentang kakak yang bernama Terang Bulan, alias Bulan. Cowok itu juga mengajak Serryl masuk ke dalam kamar kakaknya itu.
"Nggak mungkin," gumam Livia pelan. Serryl dan Dokter Angga menatap Livia meminta penjelasan, Livia melanjutkan lagi, "Maaf Dokter, kami harus pamit. Terima kasih atas kebaikan hati dokter. Permisi."
Livia melangkah keluar dari ruangan Dokter Angga, meninggalkan Serryl yang langsung kikuk, cewek itu tersenyum kecil pada pria itu, sementara Dokter Angga memandang bingung karena keanehan para anak remaja itu.
Kemudian Serryl mengejar Livia yang sudah berjalan duluan sambil memegang handphone, tingkah Livia aneh sekali. Serryl yakin temannya itu memiliki suatu informasi yang sangat penting.
"Ada apa sih, Vi?" tanya Serryl setelah berhasil menyamai langkah dan menahan tangan Livia.
"Gawat. Lo tau dari mana nama kakak Rian itu Bulan? Emang dia jelasin Bulan itu siapa? Lo emang ketemu langsung atau ditunjukkan fotonya? Lo percaya?" semprot Livia. "Ayo, kita ambil KTP di resepsionis tamu, terus cepetan cabut."
"Lo jangan bikin gue bingung deh, waktu gue ke rumah Rian tempo hari dia menunjukkan kamar kakaknya. Di kamar kakaknya bagus banget. Pokoknya keren deh. Kakaknya pasti fashionable karena baju di lemarinya banyak dan bagus-bagus. Yang lebih keren lagi, Kakaknya itu memiliki koleksi wig dengan berbagai warna dan model. Tapi kata Rian, kakaknya lagi nggak di rumah jadi nggak bisa ketemu." Serryl bercerita panjang lebar.
"Hah? Wig rambut?" Darah Livia berdesir. "Pasti itu wig yang ada di kolong meja gue sama bangkai tikus. Ser, Bulan itu kepribadian lain Rian yang gue ceritain. Cewek sadis itu!" Livia menekan di akhir kalimatnya.
Serryl terperanjat, "Masa? Gue juga pernah melihat gambar sketch di buku Rian, katanya itu gambar wajah kakaknya. Cantik banget."
"Ternyata Rian memiliki misi sendiri agar bisa masuk ke rumah sakit jiwa ini. Bulan pasti ingin menemui Arven, gawat kalo mereka bisa bertemu. Makin parah kondisi psikis Rian!" seru Livia gemas.
"Kok lo bisa mengambil kesimpulan sendirian? Kata dokter tadi yang sering dateng si Aurel, cewek itu tapi diamukin terus. Gimana bisa Arven tertarik sama Bulan yang dalam tubuh Rian, kan Rian itu fisiknya cowok. Kenapa Arven bisa kenal sama Bulan?"
"Justru itu clue-nya. Kan katanya Arven benci sama perempuan, makanya dia bisa akrab sama Rian. Rian yang fisiknya cowok itu dengan pemikiran anehnya merasa solid sama Arven. Padahal itu bisa aja Bulan yang caper. Bulan pernah bilang dia nggak mau pergi karena lagi ketemu sama cowok ganteng. Cowok itu dong? Gila, dua-duanya."
"Aneh banget sih Bulan ini tau-tau muncul di dalam Rian. Kenapa bisa?" Serryl makin tak mengerti.
"Kepribadian yang ada di tubuh Rian merupakan kepribadian orang yang nggak ada fisiknya lagi, nggak mungkin ada duplikatnya. Bulan belum tentu kenal sama Arven dari lama. Itu hanya mereka yang tau gimana bisa jadi kenal. Bisa jadi Rian pernah dijambak juga, tapi dia malah jadi bisa berteman. Kan sama-sama serem. Gue juga nggak tau kenapa Rian bisa menciptakan mereka," jawab Livia membuat Serryl tercengang.
Mulutnya Serryl jadi kering. "Jadi, Mark sebenarnya itu dalam Rian?"
Livia mengangguk dengan tegas. Serryl tidak tahu bahwa Livia semakin cerdas memecahkan teka-teki ini, jawaban Livia saat menjelaskannya tadi membuat Serryl tercengang, kagum banget sama kemampuan Livia yang meniru-niru Sherlock Holmes.
Serryl membuka ponsel saat ada banyak getaran panjang. Pesan spam dari Rian yang isinya menanyakan keberadaan Serryl dan proposal Baksos RSJ. Ada telepon dari Rian juga yang membuat Serryl ingin membuang ponselnya saja.
"Angkat cepet!!!" seru Livia.
"Ha, halo?" Serryl sok tenang. Dia mendengar suara Rian yang meminta agar dijenguk. "Sori, proposal nggak lancar. Jam segini masih rapat, nggak bisa ke rumah lo dong."
"Gapapa kok kalo besok aja, lo ke sini kek. Gue mau ketemu sama lo, kangen Ser."
Cowok itu juga mengatakan tak apa-apa jika kunjungan ke RSJ belum membawa hasil, toh mereka hari Senin bisa kembali ke RSJ bersama. Serryl ngeri sih mending dia kabur saja daripada pergi sama Rian. Tapi ingat, dia punya misi.
Usai telepon terputus Serryl meyakinkan diri agar berani. "Jadi, sekarang kita ke rumah Rian? Danny sama Revan udah di mana?"
Livia menelepon Danny, setelah sambungan terputus dia beralih kepada Serryl lagi, "Iya, kita harus segera ke rumah Rian karena Danny dan Revan sudah berhasil menyelinap di pekarangan rumahnya. Lo udah siap masuk sendirian ke rumahnya?"
"Siap. Hujan masih deras, apa mereka baik-baik aja?" Serryl memandang langit yang gelap gulita.
"Entahlah. Gue juga mengkhawatirkan mereka. Gawatnya mereka nekat masuk padahal Tio dan Okta nggak bisa. Kok mereka nggak bilang sama perubahan ini dari tadi ya?"
"Ya udah, Liv, kamu bersatu masuk bersama mereka juga. Biar kamu aman. Biar aku masuk ke rumah Rian sendiri."
"Mungkin itu lebih baik, nanti di taksi gue coba ngomong ke Danny. Gue nggak mungkin muncul bareng elo."
Mereka berdua keluar dari rumah sakit jiwa usai menukar kembali KTP-nya, tanpa menemui pihak rumah sakit terlebih dulu, karena ada hal menarik lain yang sudah diketahui di dalam.
Jadi, selama ini saat Serryl dan Rian datang ke RSJ itu dan tuh cowok mendadak menghilang karena ingin menemui Arven. Perut Serryl menjadi sakit membayangkan hal-hal apa yang mereka lakukan bersama. Pasalnya kedua orang itu sama-sama memiliki kelainan jiwa. Hiy!!
Selain itu, secara bentuk fisik 'kan Rian adalah seorang cowok. Pasti mereka menyatukan misi mengerikan.
Mereka menyetop taksi yang tersebar di sekitar halaman rumah sakit, sebelum masuk ke taksi, tiba-tiba muncul Dokter Angga menahan mereka berdua.
"Ada apa sebenarnya? Siapa Rian?" tanya Dokter itu dingin mirip dokter-dokter psiko dalam film. Buset ternyata tadi dia menguping pembicaraan dua anak remaja itu. "Kenapa kamu mengikuti saya waktu itu?" Tatapannya tentu saja hanya terarah fokus ke Livia.
"Kami akan menceritakannya nanti, jika kami sudah mengetahui pastinya. Maaf, Pak Dokter. Kami harus pergi." Livia melesat masuk ke dalam taksi dan menarik tangan temannya, agar Serryl segera masuk juga dan duduk di sebelahnya.
Perasaan Serryl membatin, kok semakin tidak enak ya?
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top