Bab 24

Seorang gadis berambut panjang sedikit melewati bahu sedang duduk menunggu seseorang. Livia diminta untuk menemui Bu Dina di ruang ekskul Mading. Kejadian tentang Rian yang mengalami kecelakaan sampai wajahnya luka-luka terkena kaca sudah tersebar ke satu sekolahan. Livia menjadi bahan omongan. Sampai rasanya dia tidak berani membuka ponsel melihat media sosial. Khususnya Grup Chat angkatan sekolah, bahkan grup kelasnya. Semua murid asyik membahas misteri kejadian Rian, Livia, dan misteri perusakan artikel mading. Tanpa peduli bahwa orang yang dibicarakan masih berada dekat di sekitar. Mereka sok paham seperti memahami betapa emosinya Livia yang sudah ketahuan belangnya oleh Rian, sampai nekat mencelakai orang itu.

Kata-katanya seperti ...,

"Pantas aja Livia mengamuk, dia panik lagi terancam kalo Rian sampe bocorin kejadian itu."

"Kasihan si Rian, dia yang bisa jadi saksi mata malah terluka."

"Begitulah dunia bekerja, yang sadis akan semakin berani. Yang jujur akan tertindas sama yang tega menganiaya, menindas, dan melukai."

"Bener, hati nggak akan kepake lagi kalo udah egois dan buta hatinya sama keinginan besar. Ambisi dan pengakuan di masyarakat itu bikin manusia kehilangan hati, otak, dan akhirat. Ketakutan ketahuan dan masa depannya rusak malah semakin memperparah hukuman, kalo dia nggak ngamuk hukumannya paling cuma dikasih sama anggota ekskul. Kalo kejadian penyerangan ribut begini, sekolah yang akan ngasih hukuman tambahan lagi."

Mereka hanya sok tahu, terbukti pemikiran mereka berdasarkan emosi saja. Simpatik? Apa-apaan, mereka hanya ingin membela yang mereka ketahui saja.

Livia memiliki bukti bahwa dia juga dilukai oleh Rian, dia duluan yang diserang oleh cowok itu. Walau tidak sekuat itu untuk meyakinkan bahwa dirinya yang sebenarnya korban kekerasan Rian. Luka-luka cakaran kuku Rian di tubuh miliknya sudah diobati betadine oleh Serryl di UKS.

Tapi siapa yang akan mempercayainya? Sekalinya ketahuan berbohong akan dicap lagi-lagi berbohong dan sok menjadi korban. Drama.

Saat jam istirahat sudah berakhir tadi, Livia diminta Danny agar izin istirahat saja karena jelas sekali Livia masih syok. Gadis itu tidak mau, dia bisa-bisa dituduh kabur melarikan diri dari kecaman banyak orang. Bisa dianggap pengecut. Selama di dalam kelas menghabiskan jam pelajaran, Livia mengabaikan tatapan, dan suara yang membahas tentang dirinya. Dia menahan agar tidak usah menggubris. Namun, dalam hati dan kepalanya ada suara bisikan-bisikan.

"Ayo, marahin dan luapkan emosimu pada mereka. Marahlah. Hajar mereka. Bentak mereka. Caci maki mereka. Pukul mereka. Habisi mereka. Buat mereka takut padamu dan tidak akan lagi meremehkanmu. Buktikan bahwa kamu tidak bersalah. Tunjukkan kemarahanmu. Jangan menahan, mereka tidak akan tutup mulut sebelum kamu menunjukkan amukanmu. Mereka tidak akan diam sebelum kamu memberikan pelajaran."

Livia menggeleng-gelengkan kepala saat terdengar suara itu, tangannya menangkup di kedua telinga.

Jangan!

Jangan!

Enggak!

"Emosi meledak tidak akan membuat masalah selesai. Marah dengan cara seperti itu hanya untuk menunjukkan bahwa kamu belum bisa mengendalikan diri. Mengenal masalahmu. Tenang. Semua bisa diselesaikan dengan cara baik, bukan dengan kekerasan. Jangan mengamuk, Livia. Saya tahu ini sulit, kamu baru bisa lega setelah mengamuk. Ini dorongan terpendammu karena terlalu sering memendam sampai kemarahan itu memuncak dan meledakkan emosimu di titik tertinggi."

Itulah kata-kata yang akan Livia ingat selalu. Sejujurnya sudah lama dia tak mengalami perasaan kacau seperti itu. Sudah lama dia tak pernah menahan kesal.

Tarik napas.

Hembuskan.

Tenang Livia.

Kamu bisa untuk tetap tenang menghadapi ini.

Sekarang kamu sudah berani melawan, tidak seperti dulu saat dicibir banyak orang kamu hanya bisa diam.

"Kamu bisa bicara, tetapi tidak dengan menggunakan emosi. Bicaralah, jujurlah, dan hadapi ini semua. Livia, kamu bisa tenang, ini akan berakhir menjadi kebaikan padamu. Amukan dan amarahmu hanya membuat masalah semakin buruk dan membesar. Tenang. Jangan meledakkan emosimu. Tenang adalah pengendalian terbaik."

Livia baru saja membuka mata dan melepaskan kedua tangannya dari telinga. Di pintu ruang ekskul mading sudah ada Bu Dina berdiri sendirian menatapnya dengan reaksi sulit dibaca. Namun, tidak menampilkan wajah marah ala ibu-ibu mertua yang nyerocos, atau ibu-ibu tetangga yang suka sinis sama tetangga lainnya yang lebih keren.

"Selamat sore, Livia. Ibu senang bisa bertemu lebih dekat denganmu sore ini." Bu Dina duduk di depan Livia sambil menatap penuh keteduhan.

Untungnya wanita itu tidak sinis, Livia tadi sudah mengira bakalan dicecar dan diajak bicara secara penuh emosi sejak awal. Untungnya Bu Dina memulai dengan amat baik.

"Sore, Bu Dina," kata Livia sambil menyalami tangan wanita itu.

"Nak Livia,"

"Maaf, saya melakukan kesalahan. Saya,"

"Sebenarnya apa yang terjadi tadi siang bersama Rian di sini?" tanya guru itu menatap sekeliling.

Livia merasa senang guru itu ingin mendengarkan cerita jelasnya terlebih dahulu. "Begini Bu, saya sedang bersama Rian di sini. Entah kenapa Rian menjadi aneh dan mengamuk. Dia menyerang saya, dia mencekik saya. Ada bekas luka di leher ini berupa bekas cakaran, dan tekanan cengkeraman yang masih memerah. Dia juga nyaris melemparkan bangku kayu pada saya. Keadaan semakin kacau saat saya berusaha melepaskan diri darinya, Rian terdorong dan terlempar sampai menabrak kaca gantung."

"Mengapa Rian bisa mengamuk seperti itu? Apa kamu membuatnya marah?"

Segera Livia menggeleng. "Dia sangat aneh siang tadi, seperti bukan dirinya. Justru dia yang duluan mengatakan bahwa saya orang munafik. Dia menyebut saya dan Serryl munafik dan bodoh. Dia mencekik leher saya, dia menyeramkan berbeda dari biasanya."

"Aneh kalo dia marah tiba-tiba tanpa alasan. Rian anak yang cerdas, bijak, dan dewasa. Jujur saya kaget sekali sama kejadian ini. Tapi menurut cerita Guru yang menemani di IGD tadi siang, Rian mengatakan bahwa kamu marah karena dia tahu kamu adalah pelaku perusakan mading itu. Rian meminta kamu untuk mengaku, tapi kamu marah menolak sarannya."

"Saya bersumpah, Bu, tidak melakukan perusakan. Kunci itu memang benar berada di saya, tapi aneh ada yang memasukkan ke tas. Sore itu saya sedang sibuk memberikan keterangan interogasi kecelakaan Tristan. Saya sedang kacau pikirannya fokus pada ketakutan saya di hadapan polisi, saya tak mungkin nyari masalah lain. Ibu bisa tanya Danny, cowok itu tahu saya setelah selesai dari interogasi penyelidikan hanya berjalan menuju ke toilet lalu pulang ke rumah. Saya masih ada riwayat catatan perjalanan pulang ke rumah saat langit masih terang. Asisten di rumah saya bisa menjadi saksi bahwa saya tiba di rumah sekitar pukul 6 sore. Tak ada waktu untuk mencari tikus dan membunuh, merusak mading itu, apalagi membuangnya ke kolong meja saya."

Bu Dina menghela napas. "Tapi bagaimana bisa kunci itu ada di kamu, benar kan soal kunci yang saat itu hilang menjadi berada di kamu?"

Livia menggigit bibirnya. "Maaf Bu, saya berbohong seolah tidak tahu tentang kunci pintu kaca mading itu. Saya bingung dan takut mengapa benda itu bisa berada di tas. Kepanikan dan ketakutan itu membuat saya ambil jalan untuk membuang kuncinya. Saya takut akan ada kesalahpahaman. Saya yakin ada yang menjebak saya, Danny melihat Rian masuk ke toilet sore itu. Dugaan saya bahwa Rian adalah pelaku sebenarnya."

"Nak Livia, dengan cerita seperti ini, sudah jelas posisi pelakunya masih condong kepada kamu. Begini, Ibu percaya kamu sore itu sibuk sekali dengan penyelidikan Tristan. Tapi fakta bahwa kunci ada di kamu, dan bangkai tikus rusak hancur itu ada di kolong mejamu."

"Bu, jika saya yang melakukannya, tentu tidak akan membuang bangkai binatang di kolong kelas. Untuk menghapus jejak. Bangkai tikus itu bukan barang bukti, melainkan itu teror untuk saya."

Manusia mana yang merasa gede rasa bahwa hidupnya diteror. Livia tak peduli akan semakin dianggap playing victim. Tak peduli dia terlihat sok dramatisir. Toh, dia memang korban dari ini semua!! Dia diteror! Bukan bermain drama dengan membuang hasil perbuatannya sendiri ke tempatnya.

"Sampai belum ada bukti yang konkret, kamu yang masih menjadi tertuduhnya, Nak Livia." Ucapan Bu Dina membuat Livia ingin menangis.

Barang bukti kejadian ini tentu saja pengakuan si Rian. Barang bukti nyata tidak ada yang bisa membantu Livia, kecuali kesaksian Danny. Tentu itu tidak bisa, bisa saja dikira cowok itu bantuin Livia ada maksud. Kesaksian palsu yang subjektif atas perasaan pribadi. Bisa dituduh bahwa Danny dibayar untuk membuat kesaksian palsu.

"Baik, saya akan menerima bagaimana pendapat Ibu. Tapi, saya mohon percaya sama saya. Saya tidak menghancurkan usaha kerja keras teman saya sendiri, bahkan saya juga ikut serta dalam membuatnya." Livia matanya sudah berkaca-kaca.

"Ibu percaya, hanya saja sekarang kita tidak bisa semudah itu percaya sama manusia."

"Bu, permisi. Selamat sore, mohon maaf mengganggu." Danny muncul di pintu. Tadi Livia meminta cowok itu menunggu di bangunan terbengkalai saja, sementara Livia menemui Bu Dina. Namun, sepertinya cowok itu tidak sabar hanya duduk-duduk untuk menunggu. Pria bertubuh tegap dan tinggi itu menyalami tangan Bu Dina dengan sopan.

"Sore, Nak Danny," kata Bu Dina heran melihat kemunculan cowok itu.

"Saya bersumpah, Bu, saya tahu Livia tidak merusak mading itu. Saya melihat sendiri dia ke toilet sebentar langsung pulang ke rumahnya. Saya juga bersaksi, melihat Rian masuk ke toilet itu saat Livia sedang berada di dalamnya."

Bu Dina menatap pemuda itu penuh penyesalan. "Maaf Nak, kesaksian kamu tak akan membuat keputusan kami berubah. Kami semua, anggota klub Mading sudah membahas dan mengambil keputusan, Nak Livia akan diskors dari Ekskul Mading, dan dicabut jabatan ketuanya. Sampai kami bisa menemukan siapa pelaku perusakan itu. Bukannya kami menuduh Livia, dengan kenyataan ini semua tertuju mengarah ke Livia. Hukuman ini sebagai bentuk pertanggungjawaban Nak Livia yang berbohong pada kami semua. Pada seluruh guru di sekolah. Ini adalah hukuman atas sikapnya, Nak Danny."

Gadis itu menatap dengan mata yang sudah berair parah. Lalu tak bisa menahan tangis lagi, Danny mendekati Livia dan menenangkan dengan memegang bahu dan mengelus kuat.

"Livia,"

"Ibu maaf, saya tidak bisa menjaga kepercayaan anggota teman-teman lain," isak Livia tertahan. "Saya memang sudah melakukan hal buruk. Tidak bertanggung jawab. Saya memang tak pantas menjadi ketua. Namun, tetaplah percaya sama saya." Akhirnya tangisannya pecah berderai air mata.

"Maaf, Nak Livia. Semoga kita bisa belajar lebih baik lagi setelah kejadian ini." Bu Dina sangat terlihat tak enak hati. "Kita masih berusaha mencari siapa yang melakukannya. Sampai saat itu tiba, Livia masih anggota ekskul Mading. Hanya saja saat ini untuk sementara Nak Livia tidak bisa melakukan kegiatan bersama kami. Dengan berat hati Ibu memutuskan itu, demi keadilan untuk anggota lainnya yang sudah bersusah payah bekerja demi membuat artikel."

Livia meneguk ludah terasa lengket, dadanya sesak. "Saya terima konsekuensi ini, Bu. Tapi saya bersumpah, tidak melakukan perusakan itu. Saya mengaku salah sudah membohongi banyak orang."

"Maaf, Nak. Kalau boleh kami tahu, lalu kuncinya kamu buang di mana, Livia?" tanya Bu Dina.

"Di kebun tidak jauh dari sekolah ini, Bu. Ke arah kiri, mungkin jaraknya 300 meter." Livia mengusap matanya yang pedih dan membengkak. Air mata sudah tak keluar lagi sehingga yang dirasa ujung-ujung matanya menjadi perih.

"Ohh, baiklah. Untuk kasus keributan tadi siang, kami akan menunggu Rian kembali ke sekolah terlebih dahulu. Kami akan mendengarkan cerita kalian berdua dalam kondisi yang sudah baik-baik saja."

**

Setelah acara sidang dadakan itu, Livia dan Danny keluar lorong ruang Ekskul. Mereka menemui Serryl dan Revan yang menunggu di Lapangan.

Danny masih menatap kasihan pada Livia. Pemuda itu berusaha menenangkan dengan menautkan jemarinya pada ruas jemari Livia. Sebenarnya Livia lumayan lega dia menerima hukuman, toh dia sudah jujur dan menerima dengan lapang dada balasan atas kesalahannya.

"Aku nggak bisa ngomong apa-apa untuk menghibur. Nggak ada kata-kata yang bisa membuatmu senang di suasana seperti ini." Danny bersuara dalam perjalanan mereka.

"Memang nggak ada kata-kata penghiburan yang bisa bikin aku bahagia saat ini. Cuma ditemani kamu begini, aku udah lebih kuat dari, hmmmm, jika seandainya kamu nggak ada di sini. Aku yakin aku udah nangis sambil teriak-teriak." Livia tertawa muram, sarkas.

"Tapi aku yakin kamu bakal senang kalo diajak makan es krim. Mau?" Tawar Danny sambil senyum memamerkan pipinya yang menaik sampai menutup ujung mata pria itu.

Livia pun menyetujui dengan mengangguk. "Makasih tadi udah berusaha masuk. Padahal aku maunya kamu muncul saat keteranganmu dibutuhkan Bu Dina secara langsung. Aku udah percaya diri bisa hadapin sendirian dulu, tapi nyatanya aku tetap nggak mampu. Aku nggak bisa membuat Bu Dina percaya."

"Livi, ini bukan kalah atau menang. Ini belum akhir. Kita masih dalam babak pertandingan," seringai Danny tipis.

Keduanya sampai ke tempat Serryl dan Revan menunggu.

"Lo oke?" Serryl memeluk Livia menyadari mata temannya itu sembab.

"Livia," Revan tak mampu berkata-kata dulu. Bingung.

"Gapapa, yang penting gue udah ngomong apa adanya." Livia nyengir kikuk. Namun, hatinya memaksa menangis lagi. Masih kecewa pada diri sendiri, dia mengkhianati kepercayaan banyak orang. "Gue jadi bisa lega sedikit, nggak bohong lagi."

"Kita akan buktiin, kamu akan kembali masuk Ekskul Mading dan tetap menjadi Ketua Ekskul yang berani, bertanggungjawab, dan keren." Danny mengacak puncak kepala Livia.

Hanya dibalas dengan ringisan tawa kecil milik Livia, cewek itu tak bisa berbicara apa-apa dulu.

"Hah, dikeluarin? Kok begitu?" Revan syok.

"Hukuman atas kebohongan," jawab Livia nyengir kikuk. "Sore itu gue ada alasan penyelidikan di Kantor Kepsek. Cuma setelah pulang sekolah nggak ada saksi yang menjamin kalo gue nggak pergi ke kaca mading. Kesaksian Danny kurang kuat, mengingat itu bernilai subjektif."

"Padahal sih walau gue bukan siapa-siapanya Livia, akan jadi saksi mata tanpa diiming-imingi hadiah. Gila aja, nggak ada bukti yang nyata. Masa nggak ada yang percaya sama gue?" Danny menggerutu.

"Iya, soalnya lo bucinnya Livia," sahut Serryl mau ngelucu, tapi sedang tidak pada tempatnya.

"Hmmm, satu sekolahan juga tau lo gimana sama Livia, Dan." Revan hanya senyum masam.

"Kalo dulu gue bakal ngamuk deh pas tau dikuntit sama cowok, serem tau," dumel Livia pada dirinya sendiri.

Danny jadi nyengir malu. "Gue tuh kayak selama ada Livia harus ngeliat terus, gue cuma mau mastiin kalo dia bakal baik-baik aja. Kalo gue nggak tau keberadaan dia, rasanya sedih dan lesu. Cuma gue jadi kayak cowok psikopat yang terobsesi dan penguntit ya. Tapi gue kan nggak berniat buruk. Ternyata bener kan, Livia dalam sasaran psikopat gila!"

"Hmmmm, ada satu alasan aku beruntung diperhatiin dari jauh sama kamu. Satu alasan yang bisa memaafkan semua kelakuan mengerikan kamu," ucap Livia rada sadis lagi.

Danny mengangguk-angguk sambil senyum. "Jadi, gimana selanjutnya kita? Memang deh, ini bakal jadi yang tersulit. Ini nggak akan selesai, kalau fokus kita hanya nyari bukti masalah perusakan mading itu. Sekalian aja dah kita harus kasih jaring ke Rian, biar dia main-main, terus kita jerat tuh jaringnya."

"Kurang ajar tuh orang! Jadi kena buruknya ke orang lain, bisa aja mengarahkan ke orang lain! Keparat!!!" seru Serryl.

"Hebat, tanamannya rusak, aku tanya ke penjaga Koperasi hasilnya Rian nggak mencetak naskah drama atau apa pun, cowok itu nggak pernah print di Koperasi. Dan, untuk urusan kendaraan, aku tanya ke tukang kantung parkir nggak ada hasil padahal udah aku sogok rokok, tapi di data mereka nggak ada nomor plat Rian yang masuk di hari kejadian malam itu. Memang benar-benar detail ya?" Danny menyebutkan hasil kerja kerasnya.

Livia menganga karena dia tak tahu bahwa di belakang Danny bekerja nyari info sendiri. Memang benar julukan Danny tuh Bucin banget sama Livia. Gadis itu menahan senyum seraya menatap Danny yang lagi mikir keras sambil menunduk memandangi sepatu dan aspal. Tangan cowok itu juga berkacak pinggang. Pose mikir yang keren. Rasanya aneh, sekarang Livia jadi banyak berhutang budi sama orang itu.

"Kalo begini akhirnya, merugikan orang lain. Kita memang harus menyelesaikan masalah ini, kita bongkar kebusukan tuh orang!!" seru Revan.

Livia tersentak. "Aneh, apa Rian memiliki saksi bahwa dia nggak melakukan itu? Maksud gue, memang ada jaminan tuh cowok nggak merusak. Ada orang yang bersama dia sepanjang waktu sore itu. Ya, 'kan?" Livia menerawang langit.

"Dia bisa mengatakan udah pulang, tau sendiri dia jago akting pulang terus menyelinap ke sekolahan lagi. Dia saking lincahnya dan licin." Serryl menarik napas lelah.

"Pasti ada celahnya. Nggak perlu nyari bukti susah itu, kita selesaikan saja yang di depan mata." Revan menjentikkan jarinya.

"Aku bakal cari ide yang keren," ucap Danny mengarah pada Livia. "Kita akan membuktikan bahwa semua yang dilimpahkan ke kamu adalah salah. Kamu adalah korban fitnah aja!"

"Makasih ya, guys." Livia senyum ringan, sangat sulit tersenyum saat ini. Namun, orang di sekitarnya mampu memberikan kekuatan. Agar dia bisa berpikir untuk percaya masalah ini akan selesai, dia akan membuktikan dirinya tidak bersalah.

Suara getaran ponsel di saku Serryl membuat konsentrasi mereka pecah. Serryl nyengir lebar sambil membuka ponselnya, senyumannya menghilang tatkala membaca sebuah pesan yang masuk ke ponselnya.

"Dari siapa?" tanya Livia kepo tidak peduli pesan itu dari keluarga atau pesan pribadi Serryl. Sepertinya Livia dan Serryl memang tipe yang 'tidak ada rahasia di antara kita'

"Rian. Dia bilang, setelah gue ke rumah sakit jiwa besok sore, gue harus ke rumahnya. Dia kayaknya meminta gue untuk menjenguknya juga. Gila. Gimana dong? Gue takut," ucap Serryl membacakan isi pesan dari Rian.

Mereka semua terdiam sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Eh, anjir. Masa dia bilang kalo gue jangan percaya sama omongan Livia," ucap Serryl membuat yang punya nama segera memajukan wajah ingin ikutan membaca pesan.

Livia bisa membaca sendiri isi pesan dari Rian.

Jangan percaya sama omongan Livia. Cewek itu bahaya, licik, dan jahat. Masa ternyata dia pelaku yang merusak mading sekolahan. Jahat banget sama kita si anak mading yg capek ngurusin bikin artikel. Mana dia sok drama buang bangkai tikus mati bau busuk di kolongnya sendiri. Terus ketakutan sendirian. Sakit banget jadi orang.

"Ini bakal semakin berat saat Rian balik ke sekolah, dia bakal lebih bisa interaksi langsung sama anak murid lain, khususnya anak Mading dan Bu Dina. Dia tuh jago mempengaruhi." Livia mulai panik. "Tadi gue harus membela diri mati-matian kalo gue bukan pelaku perusakan itu."

"Nggak ada cara lain," Revan kira kalimat ini akan dikatakan oleh Danny, yang kaya akan ide. Namun, ternyata Serryl yang mengatakannya. "Gue harus tau siapa Mark. Ini satu-satunya cara gue mengorek informasi dari dia. Kita harus minta bantuan Mark."

"Serryl! Lo udah gila!" pekik Livia terdengar marah sekali. Tak habis pikir.

"Terlalu berisiko. Kalo lo diserang bagaimana? Apalagi pertanyaan lo akan memicu kemarahan Rian." Danny memandang Serryl cemas, dia menoleh kepada Revan, "Gimana, bro?"

"Ser, aku takut kamu kenapa-kenapa," Revan menggeleng tidak setuju, "Lebih baik nggak usah datang. Bahaya."

Serryl merasa sedih karena idenya ditolak sana-sini, tapi dia belum ingin menyerah. "Kalo begitu gue tambahin deh. Sementara gue sama Livia ke rumah sakit, kalian atur rencana mengumpet di sekitar rumahnya atau gimana, mungkin perlu mengubungi polisi. Saat gue ke rumah Rian sendirian, tapi Livia mengintai dari luar. Kalo terjadi sesuatu gue bisa teriak."

"Nggak bagus! Kalo kita menghubungi polisi tapi nggak terjadi sesuatu yang 'kita harapkan' bisa bikin malu. Dikira membuat laporan palsu. Kalo kamu nggak keluar-keluar saat kita gerebek ke dalam ternyata kalian lagi asyik mengobrol kita mati kutu banget, kita nggak tau nanti gimana. Apalagi Livia udah tau semuanya, pasti Rian nggak seberani kayak waktu itu. Dia udah merasa waspada." Revan berharap opininya untuk menolak garis keras Serryl pergi ke rumah Rian bisa diterima akal.

Padahal Revan cemburu. Takut juga Rian berbuat jahat pada Serryl karena obsesinya.

"Tunggu. Menurut gue, kali ini Rian serius ingin memancing lo, Ser. Dia ingin cepat-cepat menghabisi lo, atau sekedar memancing gue yang merupakan target utama kakak angkatnya yang gila itu. Targetnya udah kita semua. Karena lo nggak mungkin datang sendirian, pasti ada gue. Di rumahnya yang jauh dari orang asing, dia akan lebih cepat menghabisi kita," ucap Livia serius. "Gue juga takut banget. Tapi memanggil polisi juga ide bagus, kalo memang nggak terjadi sesuatu yang buruk kita bisa berkilah ada selentingan gosip pesta sabu. Btw, kenapa nggak mengajak kerabat kamu, Dan? Siapa itu Tio dan Okta? Bukannya mereka kuat banget."

"Nah, kalo begitu," sahut Danny cepat, "Serryl seperti rencana lo, lo masuk sendirian ke rumah Rian-" Danny langsung melirik saat Revan ingin menyela tidak setuju, segera memberi tanda agar Revan tidak memotong ucapannya.

Ughh, Danny melanjutkan lagi merasa di atas angin karena Serryl langsung mengangguk. Namun, Livia jadi bergeming.

"Livia, kamu sama Tio dan Okta masuk terakhir nggak apa-apa? Biar aku dan Revan yang masuk duluan, soalnya aku yakin Rian bakalan marah banget kalo melihat kamu di sana. Tanpa menaruh curiga, aku sama Revan juga datang untuk menjenguk Rian trus ternyata ada Serryl." Usul Danny tetapi...

"Ide terlalu polos. Siapa yang nggak akan curiga?" Revan masih protes. "Akhir-akhir ini kita akrab banget. Ada udang di balik batu. Rian mungkin nggak peka, tapi si cewek yang psiko itu pasti tau maksud kita. Menurut gue, dia nyuruh Serryl ke rumahnya udah jelas itu rencana agar kita datang ke sana. Dia pasti tau kalo Livia udah bercerita tentang kelakuannya."

"Oke, oke. Revan, kita mengendap-ngendap rumah Rian dan bersembunyi. Kalo Serryl menjerit atau ada sesuatu yang mencurigakan, kita kan udah masuk jadi gampang nolongin." Danny mengubah sedikit idenya.

"Lalu aku?" Livia bingung.

"Kamu di luar dulu sama Tio dan Okta, oke?" Danny memandang Livia dengan raut cemas dan dibalas oleh cewek itu dengan sorot mata sendu.

Dalam hati Livia masih merasa ada keganjalan. Apakah dirinya yang memang bersalah, sedangkan Rian adalah pihak yang benar? Bagaimana jika dirinya yang ternyata biang keladi dari semua masalah itu? Mengapa dia menjadi sangat takut bahwa ternyata kebenaran adalah di sisi Rian?

Tidak!

Lo nggak melakukan hal itu, Livia, berhenti mengira itu kesalahan, kebusukan, kejahatan, dan hasil kerjaan lo!

Tapi, bagaimana jika dirinya memang melakukan itu semua, dan keadaan kenyataan itu akan memutar balik dunianya?

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top