Bab 22

"Ngapain lo di sini? Pergi sono!!!" maki Rian yang ditujukan untuk seseorang, matanya bergerak-gerak liar ke segala arah. "Pergiiiiii!"

Ada apa sih ini? Dia sedang berbicara dengan siapa?

"Pergi!!!!"

"Rian! Jangan dengerin Bulan! Lo cuma dijadiin pion-nya dia untuk menghibur dirinya sendiri." Suara Rian berubah tenang dan penuh karisma. "Lo cuma boneka kepuasan ide permainan dan imajinasinya!"

"Pion apa? Lo mau kita merasakan sakitnya kalo gue abis dipukulin, disiksa sama Kakak? Lo tega liat gue menderita. Lo dukung gue kan, 'Mark? Lo saudara yang paling gue sayang, harusnya lo yang paling dukung gue buat jadi lebih baik memiliki segalanya." Rian menunjukkan bekas sayatan-sayatan di pergelangan tangannya yang ditutupi oleh jam tangan, "Ini lo tega liat gue disayatin begini? Sakit, Mark. Gue udah nggak kuat."

Oh My God. Jadi, di sana ada luka sayatan beberapa buah? Ini apa yang sedang terjadi?

"Ini ada apa sih? Lo kenapa, Yan? Lo kerasukan?" Livia meremas bagian samping roknya sedang ketakutan. Gadis itu lemas gara-gara keadaan sekitar yang melumpuhkan kekuatan dalam dirinya. Rian berbicara pada dirinya sendiri dengan nada suara dan ekspresi yang berbeda. Siapa lawan bicaranya tadi, bernama Mark? Mark. Kenapa namanya sama dengan nama secret admirer-nya Serryl?

"Mark, elo," gumam Livia pelan. Tatapan liar Rian kini terarah pada Livia.

"Makanya dari awal ini salah lo, kenapa lo biarin dia buat menjadi pengendali kita. Dia memang paling kuat, tapi dia keji nggak segan-segan menyingkirkan orang lain yang menghalangi jalannya. Dia yang selalu mengendalikan lo dengan ide-ide liciknya. Cuma lo yang bisa membunuh dia, lo yang bisa menghilangkan dia dalam diri lo."

"Sembarangan aja, dia yang pintar dan baik. Dia hanya ingin gue dianggap lebih ada sama orang-orang. Biar gue lebih keren dan penting! Biar gue bisa mengalahkan Livia!" seru Rian asli.

"Lo nggak perlu ngalahin gue, memang kenapa lo pengen mengalahkan gue?" tanya Livia ketakutan.

"Karena gue nggak rela ranking gue di bawah lo, cewek nggak jelas, yang munafik dan sok cantik. Padahal lo nggak ada cantiknya! Serryl yang cantik aja nggak senyebelin elo!" balas Rian.

"Lo udah terpengaruh, Yan. Bulan itu, dia benci sama Livia, karena Livia begitu mendominasi di sekolah ini. Menurut cewek itu, kalo Livia udah nggak ada, lo yang akan mendapatkan semuanya. Tapi lo bakal tau akibatnya nanti. Dengerin gue, Yan. Masalah ini nggak semudah itu kan, Yan? Lo bakal masuk penjara! Lo yang bakal bertanggung jawab atas kelakuan jahatnya! Lo nggak bisa lari semakin jauh lagi, pasti akan ada bukti yang membawa lo bakalan ketahuan sama orang lain. Omongan dia itu membutakan hati lo doang! Dia cuma mau bersenang-senang tanpa berpikir akibatnya, sedangkan kejahatan yang dilakuinnya akan lo yang bertanggungjawab nantinya."

Livia membulatkan matanya mendengar suara itu. Ini apa yang sedang terjadi? Rian mengapa berbeda, entah apa yang mereka bicarakan. Livia tidak memahaminya.

Tatapan mata Rian menjadi lembut dan berbinar pada Livia. "Livia, ini gue Mark. Mark yang selama ini suka sama Serryl. Maaf, bikin kalian bingung. Gue—" Ucapan sosok yang mengaku sebagai Mark itu terputus dengan pekikan nyaring suara cewek. "Hahahaaaaaaa!"

"Apa lagi ini?" Livia melongo mendengar suara Rian sudah berubah menjadi perempuan nyaring.

"Mark, lo udah nggak berguna di sini! Lebih baik lo pergi, karena Serryl nggak suka sama lo. Udah Rian, ayo kita lenyapkan si cewek munafik ini secepatnya, biar kita bisa bahagia. Setelah dia pergi kita akan mendapatkan semuanya. Nggak ada lagi yang memandang lo sebagai nomor dua, lo bakalan jadi murid nomor satu di sekolah ini, lo bakalan memegang semuanya." Suara cempreng itu keluar dari mulut Rian, ekspresinya kali ini licik dengan seringaian yang menyeramkan. Suaranya sangat riang, tinggi, dan menyeramkan. Bagai cewek-cewek nyebelin yang suka cekikikan.

"Rian, jangan! Lo cuma dimanfaatin sama Bulan. Dia kan gila popularitas. Eh, Bulan psikopat, sebaiknya lo segera pergi dari tubuh Rian, kehadiran lo mengganggu kami. Lo stress dan gila. Setelah ini pasti semua akan lebih runyam, gue mohon sama lo. Gue kenal lo dari kecil, Yan, jangan ikutin dia yang jahat." Ini adalah Mark. Sepertinya.

Livia mengusap air mata yang bercucuran di pipi, sudah menangis ketakutan menyaksikan semuanya langsung di hadapannya. Kenapa tidak ada yang datang sekarang?

Sumpah, gue takut banget. Sulit untuk melarikan diri bagai seluruh tubuhnya kaku membeku.

"Menurut lo kenapa gue bisa muncul sebagai salah satu kepribadian Rian? Hahaha, karena kalian berdua itu pengecut. Rian sendiri yang menciptakan gue, gue juga nggak mau hidup sia-sia di tubuh seorang cowok kalo nggak ada variasi sedikit. Asal lo tau, Mark. Sepupu lo ini menciptakan gue karena dia ingin membunuh orang-orang di sekitarnya, nah kan karena dia pengecut, dia nggak mampu melakukannya," jelas si suara cempreng. "Masih banyak hal yang harus gue lakukan, makanya gue akan menjadi pengendali kalian ahahaha. Gue paling kuat di sini."

Cewek ini salah satu kepribadian Rian? Kepribadian yang ganda?

Livia memang pernah membaca buku dan menonton film tentang pengidap DID, sekarang Livia tidak tau harus bagaimana ketika berhadapan langsung dengan penderita DID. Livia sempat tidak mempercayai kelainan jiwa itu. Namun, kasus Rian barusan salah satunya, kepribadian mereka memiliki nama masing-masing, sifat, bahkan gender. Mereka adalah identitas.

Itu berarti Rian benar-benar mengidap Dissociative Identity Disorder (D.I.D) atau kepribadian ganda. Tidak salah lagi Rian pasti mengidap D.I.D dengan 3 kepribadian berbeda, salah satunya adalah seorang cewek bernama Bulan yang psikopat menginginkan Livia mati. Selain itu ada Mark yang jatuh cinta sama Serryl. Jadi, selama ini???

"Ternyata kalian pelaku di balik semua kejadian yang menimpa gue selama ini? Sejak kapan? Sejak kasus terjatuhnya Tristan?" isak Livia ketakutan, "Dan lo, Mark, lo yang menulis surat teror itu, lo mengancam Serryl karena patah hati? Lo sayang sama Serryl, tapi lo tega banget berniat seperti itu!"

"Livia—" Suara lembut itu Mark, "Sumpah, bukan gue yang menulisnya. Mereka menggunakan nama gue. Tolong, Livia. Tolong hentikan mereka, meski harus mengorbankan gue akan pergi lagi selama-lamanya tapi itu lebih baik daripada harus tersiksa melihat Serryl dan kalian diperlakukan biadab sama mereka. I beg you, Livia."

"Akibatnya kali ini lo bakalan mati selama-lamanya, Mark! Lo bakal mati lagi. Gue juga bakalan mati, gue nggak mau, gue masih senang di dunia ini. Gue baru aja ketemu sama pria ganteng idaman gue! Gue nggak akan membiarkan lo menghancurkan rencana kita. Ayo, Yan, kita bunuh cewek ini!" Suara si Bulan muncul lagi, benar-benar tak berperasaan. Mengerikan.

Tunggu, tunggu, kalau mereka mengatakan "mati lagi" itu tandanya mereka kepribadian orang yang tidak ada. INI LEBIH DARI SEKEDAR MENGERIKAN. Mark sudah meninggal dan muncul di kepribadian Rian? Kasihan sekali cowok itu. Livia pernah membaca buku tentang seseorang yang menderita DID dan kepribadian lainnya adalah orang yang sudah meninggal. Orang yang sangat dekat dengan si penderita. Mungkin mereka mengalami kisah yang sama.

Livia merasa kini dia sedang berhalusinasi. Mungkin saat ini di hadapannya cuma ada Rian seorang, Rian yang biasanya dalam sehari-hari. Livia pasti sedang berhalusinasi. Dia berharap semua yang didengarnya saat ini adalah delusinya saja. Tidak mungkin Rian mengidap DID, Livia yang mengalami masalah kejiwaan, bukan Rian.

"Gue nggak waras! Gue yang nggak ngerti ini! Gimana yang sebenarnya, gue nggak bisa bedain lagi!" seru Livia lantang sambil menjambaki rambutnya tak beraturan.

"Livia—" Mark dengan sorot matanya yang lembut penuh kasih sayang mulai mendekati, mungkin khawatir melihat keadaan Livia yang lebih mirip orang stres daripada orang stresnya sendiri, Rian maksudnya.

Tiba-tiba wajah lembut milik Mark menghilang berganti dengan bibir yang menyeringai lebar licik. Sial, ini pasti si Bulan, Livia akan berhadapan dengannya secara langsung.

"Gue akan membunuh lo untuk Rian, haha." Bulan menerjang ke arah Livia dengan tangan terulur lagi ke arah lehernya Livia. Benar saja sosok itu memang sangat jago mencekik, makanya sasarannya adalah leher.

Livia memaksa dirinya untuk nekat dan berani, berupaya keras untuk mendorong Bulan sekuat tenaga. Livia tidak tahu bahwa dorongannya bisa cukup keras hingga tubuh Rian itu terlempar ke belakang kemudian wajahnya tepat menabrak sebuah cermin yang terpasang di dinding.

Cermin itu pecah menimbulkan suara kaca pecah yang cukup kencang. Rian sudah mundur dari cermin mengerang sambil memegang wajahnya. Setelah bergerak oleng cermin yang sudah retak pecah itu terjatuh ke lantai menimbulkan suara pecahan mengerikan.

Livia masih bergeming dalam pikirannya sendiri, suara teriakan yang dikenal sebagai suara Rian melolong tajam menahan keperihan yang luar biasa, merasakan efek wajahnya yang tadi menghantam cermin hingga pecah.

"Arghhhh! Arghhh!!"

Pecahan cermin berserakan di lantai. Sayatan-sayatan di wajahnya Rian mencetak garis-garis aliran darah keluar dengan kental. Wajahnya dipenuhi tetesan darah. Sekali lagi Rian menjerit kesakitan, tangannya mengelus wajahnya lalu menjerit lagi. Bisa dipastikan ada sebuah kaca yang menusuk salah satu bagian wajahnya, sepertinya di bagian pipi. Rian jatuh terduduk sambil menangis sesenggukan lalu menjerit heboh.

Livia yang membuatnya harus merasakan sakit ini? Dia yang menyebabkan cowok itu sampai terluka parah. Perasaan bersalah langsung menyergapnya.

"Rian!!!" Livia menghambur ke arah Rian, berusaha membantunya berdiri.

Tidak usah diingat lagi cowok itu tadi hampir membunuh, tidak peduli tadi tuh cowok berniat jahat, ingin melenyapkan nyawanya. Tapi Livia masih memiliki hati nurani untuk mau membawanya keluar meminta pertolongan pada siapa pun. Lagian berkat kehebohan suara kaca pecah, kemungkinan akan ada orang yang datang untuk mengecek asal muasal suara benda pencah itu. Livia yakin kali ini dia sedang berhadapan sama Rian, toh kalau kesakitan katanya Bulan akan pergi. Jika Rian akan mencekiknya lagi, bisa jadi akan ada orang yang datang mencari sumber keributan kaca pecah tadi. Banyak pecahan kaca juga untuk melawan Rian, jika terpaksa harus memakai senjata dalam melawan.

"Rian, ayo gue anterin ke UKS!" Ajak Livia. "Luka lo harus segera—"

"Jangan sentuh gue! Nggak sudi, cih!" Rian menepis tangan Livia hingga ada sedikit noda darah di tangan cewek itu.

Livia diam terpaku, tidak tahu harus bagaimana lagi. Mendadak pintu terbuka lebar, di pintu itu muncul sosok Danny dengan peluh bercucuran di wajahnya. Pemuda itu masih mengatur napas, matanya melebar saat melihat Livia dan Rian yang wajahnya berlumuran darah. Dia pasti lari dari ruang pertemuan klubnya.

"Livia!" Danny memanggil Livia di sela-sela tarikan napasnya.

"Danny, tolong gue! Dia ... dia mau bunuh gue." Tangannya Rian menunjuk ke arah Livia yang lagi menunduk dalam-dalam. "Psikopat ini mau bunuh gue!!! Dia otak kriminal!"

Tatapan Danny beralih ke Rian yang memasang wajah polos-tak berdosa minta dipercayai. Livia takut kalau Danny akan percaya bualan Rian, akan tetapi Danny berjalan ke arah Livia, dan membimbing tubuh agar mampu berdiri.

"Livi!" panggil Danny.

Livia sudah tidak memiliki tenaga, semua tubuhnya melemas. Dia bagai tak menyangka, tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Bagai boneka yang sulit bergerak. Kepalanya terus memutar adegan tadi, yang terjadi sungguh nyata dilihat atau berkebalikan? Dia menjadi meragukan semuanya.

Danny menopang tubuh Livia yang lemah tak berdaya, sesaat kesadarannya hampir menghilang dengan tanda nyaris ambruk.

"Aku gapapa." Livia berbicara terbata.

Ruang mading dipenuhi guru-guru, Pak Dadan, guru olahraga melesat masuk dan membantu Rian agar berdiri.

Rian sudah berhenti menangis. Namun sesekali meringis kesakitan, darahnya yang mengalir di wajah semakin banyak saja.

"Dia mau bunuh saya, Pak," ucap Rian seraya menunjuk Livia. Sempat-sempatnya saja memfitnah. "Setelah saya mengetahui bahwa kunci pintu kaca mading ada di dia. Silahkan tanya saja pada dia. Dia yang merusak mading sekolah. Sungguh licik! Dia pelaku semuanya teror mading itu, tapi merasa jadi korban! Menyeramkan!"

Livia memicingkan mata menahan rasa dongkol dalam hatinya, menahan diri agar tidak menjambak rambut Rian, dan menghantamkan kepala itu ke cermin yang pecahannya masih tersisa tajam-tajam di bingkai kayu cermin.

Danny menatap Livia lalu memberi pelototan tajam kepada Rian. "Lo jangan fitnah. Mana mungkin Livia mampu melakukan apa yang seperti lo katakan itu, apa tadi dia mau membunuh lo? Dia mana tega. Pak—" Tatapan Danny beralih ke Pak Dadan yang bingung mengamati kelakuan anak muridnya yang ribut sendiri.

"Lebih baik kita segera ke rumah sakit terdekat untuk mengobati luka kamu, sekolah nggak mampu melakukannya," kata Pak Dadan.

Sebelum pergi keluar dari ruang mading dibimbing oleh Pak Dadan, Rian sempat menyeringai penuh kesan misterius ke arah Livia. Lalu cowok itu dibawa menghilang membelah kerumunan depan ruang mading.

Murid-murid kepo yang mendapati Livia dan termakan ucapan Rian langsung melihat Livia seakan berkata cewek-sakit-yang-tega-melukai-teman-satu-klubnya-sekaligus-ketua-OSIS-kesayangan-mereka.

"Jangan senyum dulu, ini belum selesai. Akan gue bongkar semuanya, liat aja nanti!" seru Livia penuh kekesalan.

Danny merangkul tubuh Livia, dan memeriksa setiap senti tubuh pacarnya. "Kamu baik-baik aja, Liv?"

"Kamu percaya sama aku, 'kan? Sumpah, aku cuma ingin melawan," kata Livia panik.

"Aku percaya sama kamu. Berani banget dia bisa melakukan aksinya di ruang mading," kata Danny.

Mereka keluar dari ruang mading dan inginnya memilih duduk di salah satu kursi dekat lapangan. Yang jauh dari tempat mengerikan tadi. Mana masih ramai sekali, malah makin ramai. Danny yang membawa Livia menjauh dari TKP, mana banyak suara-suara gunjingan dari banyak orang.

"Idih, ribut sama temen satu klub sendiri!"

"Bar-bar banget bisa ribut sama Ketua OSIS kita!"

"Emosinya pasti meledak!"

"Nggak gue sangka ternyata Livia serem banget!"

"Emang dia serem, kalian nggak tau aja!" Suara itu berasal dari Naya.

Danny mendengar omongan jelek dari gadis itu, segera pemuda itu memberikan tatapan tajam tak suka. Naya langsung salah tingkah dan terlihat tak enak hati.

"Siang hari bolong ada tragedi!"

"Mencekam banget."

"Kasihan Rian mukanya jadi luka-luka."

"Livia bakal ngapain ya tanggung jawab sama kejadian ini?"

"Biasanya orang jahat pas ketahuan busuknya begitu, seram ya ngamuknya?"

Livia dan Danny hanya bisa menahan diri agar tidak membuka mulut. Sulit rasanya membuat semua mulut itu bungkam.

"Masa Livia berantem sama Rian?"

"Eh, eh, kata Rian itu Livia yang merusak Mading pake darah."

"Pinter amat bersilat lidah dan akting sok baik. Sok polos lagi kayak nggak merasa terjadi sesuatu!"

"Selama ini cuma sok polos dan akting ya?"

"Serem banget tukang ngibul dan jago akting! Sok merasa gak terjadi apa-apa!"

"Kasian deh Rian mukanya bakal rusak."

"Dari awal udah aneh, masa tiba-tiba ada bangkai tikus berdarah-darah di kelas. Dia pasti yang sembunyiin benda itu. Sayangnya pas pagi udah bau, ketahuan anak lain pula."

Livia ingin menutup telinga namun tak bisa. Dia menggelengkan kepala saat suara bisikan itu memenuhi kepalanya, "Luapkan saja kemarahanmu. Habisi mereka!!!" Namun, dia menahan diri dengan berupaya tetap sadar. Sambil dibimbing Danny, mereka pergi menjauh dari gerombolan manusia di koridor. Mereka duduk di bawah pohon pinggir lapangan.

"Di sini kamu akan baik-baik aja, kalo ada yang mendekat bakal aku usir dan jotos. Kalo ngeliatin dari jauh, aku samperin, matanya akan aku colok." Danny berusaha menenangkan dengan melucu juga.

"Aku baik-baik aja." Livia menarik napas mengembuskannya dengan tersenggal. Dia sesaat tak bisa bernapas normal.

"Aku mulai cari kamu ke mana-mana, nggak ada di kantin, nggak ada di kelas, Serryl sama Revan juga nggak kelihatan. Aku mulai panik saat mendengar suara kaca pecah dari ruang mading. Di luar tadi rame banget pada nyariin asal suara heboh kaca pecah itu."

"Gimana bisa nggak ada yang masuk ruang mading? Aku nyaris mati—"

Danny menyentuh leher Livia yang tadinya mati rasa sekarang terasa perih lagi. Kuku-kuku Rian pasti tadi berusaha menusuk leher agar Livia lebih cepat sesak napas. Dan, kuku-kuku itu meninggalkan goresan luka perih.

"Leher kamu kenapa kok merah? Perih ya, itu lecet? Kenapa? Di dalam ada apa sebenarnya?" Danny menjadi kelabakan. "Sialan, kita kecolongan!!!"

"Di dalam ruang mading tadi aku dan Rian sempat cekcok. Debat. Tapi jadi nggak kondusif waku dia mulai nyerang fisik. Ini perih bekas cakaran saat dicekik. Rian mengamuk. Aku udah menemukan motif kenapa dia melakukan ini semua. Kita harus cari Serryl dan Revan dulu."

Danny semakin cemas. "Jadi berantem? Dasar pengecut beraninya sama cewek. Gilaaa, aku nggak habis pikir kenapa dia bisa aneh banget. Emosi boleh tapi liat lawan dulu dong! Berantem sama cewek menyenangkan begitu kalo bisa menang?" Danny mengoceh sendirian meluapkan kekesalannya. Lalu beralih lagi kepada Livia, "Apalagi dia menyerang kamu, ini jadi urusan aku."

Livia tersentuh sekali, rasa sakit di seluruh tubuhnya mendadak hilang, kini berganti rasa yang menggelitik, dan hawa panas di sekitar wajah. Livia mulai gila. Atau jatuh cinta.

"Kita harus hati-hati. Rian jadi makin jago berbohong, kayak tadi, " kata Livia pada Danny untuk mengalihkan pembicaraan. "Sumpah, kamu nggak jadi percaya sama omongan dia, 'kan? Kenapa aku juga jadi meragukan diri sendiri sekarang. Gimana kalo yang aku kira selama ini benar ternyata salah. Rian yang benar."

Danny menggeleng kuat-kuat. "Aku percaya sama kamu, kita udah mencari solusi ini bareng-bareng berapa lama? Baru beberapa hari sih, cuma aku percaya banget bukan kamu pelakunya. Kita udah buktiin sama-sama malam itu."

"Gimana kalo aku yang salah? Kamu akan tetap percaya? Atau, jadi benci sama aku?" Livia terus menatap Danny ketakutan. Matanya menjadi berbayang berlapis selaput air mata.

Danny meresapi segala ucapan dan tingkah Livia. Gadis itu tak sekuat yang terlihatnya. Livia yang galak, judes, dingin, tegas, rajin, perfeksionis, dan bertanggungjawab, kini terlihat bagai manusia yang lemah, ketakutan, tidak fokus, pesimis dan kacau. Cowok itu terlihat sibuk dengan pemikirannya.

Sesuatu kalimat yang keluar dari bibir Danny membuat Livia merasakan jantungnya berpacu lebih cepat. "Selama kamu nggak menghilangkan nyawa orang, aku akan selalu sayang sama kamu."

Seketika wajah Livia memanas. "Aku tau, aku juga nggak bisa menoleransi seorang pembunuh. Kenapa rasanya seperti dibalik, aku nggak percaya sama apa yang tadi aku liat. Rasanya sulit aku percaya. Kayak aku yang lagi berhalusinasi."

"Aku akan selalu percaya sama kamu. Aku harus menyelesaikan sampai di akhir semuanya." Ucapan Danny membuat Livia makin deg-degan.

"Ehm? Makasih."

"Wajah kamu kok merah? Terbayang ribut sama Rian lagi?" Danny mendekatkan wajahnya pada Livia agar bisa melihat lebih jelas.

Polos banget sih. Livia menahan diri untuk tidak membentak atau menjudesi cowoknya, jadi dia melempar senyuman tertulusnya untuk Danny. "Gara-gara kamu tau."

"Eh?" Danny salah tingkah lalu mengamit tangan Livia. "Livia, aku takut beneran saat ini. Please, kamu jangan bercanda!" Livia merasakan tangan besar Danny berpindah menyentuh puncak kepala Livia dan mengusapnya lembut. "Aku nggak mau kehilangan kamu. Please, kita akan baik-baik aja setelah semuanya terbongkar."

Tanpa disadari bibir Livia tersenyum. Senyumannya terhapus saat di depan ruang guru ada Nurul sedang berbicara dengan Bu Dina, sepertinya mereka membahas ocehan Rian yang berhasil mempengaruhi pikiran orang yang mendengarnya.

"Pasti omongan Rian akan membuat Bu Dina ngumpulin semua anak mading. Aku nggak punya alibi nggak melakukan hal itu, karena aku pulang sore habis diinterogasi Polisi saat kasus jatuhnya Tristan. Aku nggak bareng sama siapa-siapa sore itu. Alibiku cuma satu yaitu kesaksian kamu, yang ngeliatin aku dari jauh dari keluar kantor kepsek, mampir ke toilet, bahkan sampe aku keluar gerbang naik Ojek."

Danny mengangguk mantap. "Siap, aku akan bantu kamu. Nurul pasti akan cerita bagaimana sore itu, ya kan? Mading ditempel saat kamu di dalam ruang aula sama anak lainnya. Kemungkinannya, jika pelakunya adalah Rian, cowok itu merusak mading saat kita lagi di ruang kepala sekolah. Saat kamu ke toilet, cowok itu mulai menjebakmu menyelipkan kunci itu. Bisa aja, 'kan?"

Livia membayangkan bagaimana sore itu. "Aku yakin kunci dicuri saat Nurul masih di ruangan mading setelah menempel artikel. Karena ini cuma kunci pintu kaca mading, tentu nggak dipedulikan banget. Aku berpikir, kapan Rian melakukan itu dan bagaimana cara mengambilnya?"

"Dia aja bisa mengambil data di flashdisk-mu, apalagi benda yang familiar, dengan korbannya orang yang lumayan dia tahu pola gerak-geriknya. Mungkin Rian lebih cerdik dari yang dibayangkan."

"Karena Rian nggak cuma bekerja dengan satu otak. Ada otak lain yang memberikan ide." Ucapan Livia membuat Danny mengernyit.

"Siapa?"

"Sesuatu yang aneh. Hmmm," Livia tersentak membuka ponselnya ada sebuah pesan chat dari nomor Bu Dina, yang memintanya untuk semua anak klub Mading berkumpul sekarang. "Hhhhh, gawat." Matanya Livia membelo dengan hati mencelos sakit, saat menerima pesan pribadi dari Bu Dina agar bertemu empat mata saja sepulang sekolah nanti. Bu Dina juga melarang Livia untuk muncul saat ini, agar cewek itu menenangkan diri terlebih dahulu.

"Ada apa?" tanya Danny.

"Di grup Ekskul ada info pertemuan anak mading sekarang. Tapi khusus aku diminta ketemu sama Bu Dina sepulang sekolah. Aku nggak dilibatkan dalam pertemuan mereka. Astaga! Aku udah nggak dipercaya. Aku bingung harus mengaku tentang kunci itu atau nggak, ini akan jadi jebakan."

"Ikutin kata hatimu. Oke?" Danny menatap Livia supaya gadisnya merasa yakin. "Karena itu, yang sebenarnya."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top