Bab 19

Di dalam ruangan rapat itu Livia sudah berkumpul bersama dengan Revan dan Serryl. Ketiganya celingukan menatap was-was pada pintu ruangan, menanti kedatangan orang itu. Mereka baru saja datang dan memilih tempat duduk bersama-sama. Sudah tidak tahan lagi Livia memancing obrolan.

"Gimana udah tanya ke Bu Dini?" tanya Livia berbisik.

"Iya, menurut beliau tanaman Rian rusak. Tau nggak rusaknya gimana? Masa tanamannya mengering, layu, daunnya rontok dan batangnya busuk keluar getahnya. Kenapa bisa begitu coba?" Revan balas berbisik.

"Mungkin murid lain menyiram tanamannya pake air, tapi dia nyiramnya pake bensin," celetukan Serryl membuat Revan dan Livia segera melongo.

Bukannya syok karena lawakan garing temannya, tapi bisa jadi ucapan Serryl benar. Rian kan menyeramkan.

"Berarti ini mematahkan asumsi kita dong?" tanya Livia merasa bersalah sudah menuduh Rian segala. Jika benar ternyata malam itu Rian beneran pulang buat mencari tanaman pengganti untuk praktek.

"Belum tentu, dengerin dulu. Gue korek-korek lebih lanjut, tanamannya beneran rusak tapi udah beberapa waktu lalu sebelum malam itu." Revan menatap kedua cewek di sebelahnya dengan tatapan penuh ketegangan. "Artinya, malam itu dia menggunakan alasan yang udah kejadian doang."

"Yakin? Tanaman barunya dibawa pas kapan?" tanya Serryl.

"Sehari sebelum penyerangan kamu, Ser. Intinya jadi itu cuma alibi," sahut Revan.

"Danny ngomong sesuatu sama gue, dia kan malam itu menyamar jadi hantu," ucapan Livia menarik perhatian Revan dan Serryl yang langsung melongo bareng lalu saling bertatapan. Livia juga menahan agar tidak tertawa meledak. Dia memaklumi reaksi heran dua manusia di depannya.

"Wait, ini yang gue nggak tau deh. Hantu yang ganggu gue itu ternyata si Danny? Hah, gila! Dia bilang dia ngeliat gue dan Revan lari ngos-ngosan ketakutan ke jalanan seberang sekolah cepat-cepat nyari minum ke warung. Dia ngawasin gerbang sekolahan dari warung lain sambil jagain lo dari jarak jauh yang dititipin ke bengkel temennya. Hah, jadi tu orang ada di dalam sekolahan malam itu?" seru Serryl.

"Kok dia nggak muncul buat bantuin gue, malah jadi setan sih? Kalo dia muncul kemungkinan kan, kita bisa membekuk manusia serba hitam itu," ucap Revan.

"Dia merasa nggak mau ikut campur. Tau nggak dia berpendapat apa?"

"Apa?"

"Pelaku kejahatan itu kabur karena tahu kalo hantu itu bukan sungguhan. Dia panik memilih kabur karena tahu dirinya akan kalah dikepung banyak orang. Kita berdua jadi berpikir, kalo orang itu pengecut saat berhadapan dengan banyak orang. Terbukti, dari sekian banyak kesempatan, hanya ada saat tertentu dia munculnya. Setelah pulang sekolah saat langit udah gelap, setelah pulang rapat OSIS." Livia berbicara dengan nada misterius.

"Pilihan waktu yang tepat."

Setelahnya pintu terbuka Rian masuk bersama dengan beberapa anak lain, ada Bobby, Nava, Rika, Asri, dan Laila.

Harusnya biasa saja. Tidak bisa jika berpura-pura tenang berada dalam radius dua meter dengan sosok yang sedang dicurigai berbahaya. Livia, Revan, dan Serryl sudah duduk bersama di sebuah meja panjang di ruang rapat OSIS. Mereka sudah terlihat kompak bersama-sama lagi, bahkan digodain sama anggota OSIS lainnya.

"Duh, elah udah nempel lagi aja kalian! Waktu itu pada kayak perang dunia misah-misah," ledek Rika tertawa. Sang Sekretaris OSIS itu langsung mengambil posisi sama Laila dan Asri di belakang Livia Cs.

"Iyalah, ngapain kita lama-lama ribut," jawab Livia tertawa. Matanya ditahan agar tidak melirik pada Rian. Entah mengapa sekarang dia jadi takut dan was-was, tidak nyaman kalau bertemu mata sama cowok itu

"Lo ngapain di sini anak Sekbid Olahraga? Belom waktunya lo ke sini," cetus Revan pada Bobby.

"Pengen aja kali," sahut Bobby yang duduk sama Nava si Bendahara.

"Dia paling cuma kepo sama obrolan anak OSIS, alias mau gosip," sahut Nava.

"Sembarangan!" seru Bobby melotot sambil menggeplak pelan kepala cewek itu. Mereka memang suka bercanda.

"Mata lo kenapa, jadi kayak Misaki di series Another?" tanya Bobby lalu menatap Revan ingin tahu.

"Jangan sok nggak tau, kan udah ada gosip beredar gitu loh," jawab Nava.

"Beneran ya gosipnya?" tanya Laila, Asri di sebelahnya juga penasaran.

"Benerlah, Babe. Gue disuruh kabur sama Revan pas kita berhadapan sama tuh orang misterius," ucap Serryl.

"Ih, serem banget. Lo di mana, Livia?" tanya Nava.

"Livia mah kemarin kaburnya cepet banget kali udah balik duluan, ya kan?" Laila menatap Livia.

Livia mengangguk. "Iya, gue balik duluan deh, buru-buru," sahutnya sok iya. Padahal dia dikurung sama Danny di toilet.

"Lo kemarin jalan ya sama Danny, kemarin mulai jadiannya gimana? Lo ditembaknya di mana, dan gimana?" tanya Rika antusias.

"Livi, anak kelas gue ada yang suka sama Danny dan patah hati," Bobby tertawa.

"Anak kelas gue juga banyak yang naksir sama Danny tuh!" seru Laila.

"Idih, kok bisa suka sama cowok kayak Danny?" Daripada menjawab Rika, Livia lebih fokus ke ucapan Bobby. Walau bicaranya sinis, dalam hatinya sedikit tidak nyaman. Saat tak sengaja memalingkan wajah, dia melihat Rian sedang duduk di depan sambil bermain game. Cowok itu sedang bermain sangat seru dan terlihat normal.

"Ceritain nembaknya gimana dong," ujar Rika.

"Ya, biasa aja. Cuma ngomong. Udah deh. Dia tau gue nggak ribet, jadi ya ada waktu yang pas ya udah," jawab Livia.

"Enak dan gampang amat jadiannya," sahut Rika.

"Kalo mau cowok simple, lo juga harus simple, Rika." Asri nasehatin temannya.

"Enggak, maksud gue kok bisa deketnya nggak keliatan, tapi akhirnya jadian," sahut Rika.

"Emangnya lo, pedekate lama tapi kena PHP."

Mereka semua tertawa.

"Ih, romantis ya kisah Livia. Gue mengalami kejadian mengerikan, dia malah jadian sama cowok lain," ucap Revan.

"Tapi lo dapetin Serryl. Pasti kalian iri liat Livia pacaran? Jangan latah dong, Boss," ucap Bobby sadis. "Gue juga mau sama Serryl yang cantiknya kayak bidadari."

"Enak aja latah. Kan kita udah saling menerima, ngapain lama-lama," kata Serryl. "Gue nggak akan kesemsem digombalin sama lo ya, Bob."

Sore itu baru sekitar sepuluh anak murid yang datang, anggota Inti OSIS seperti 1 Ketua, 2 Wakilnya, 2 Sekretaris, 1 Sekbid Olahraga, dan 1 Bendahara. Serryl yang merupakan Seksi Bidang Humas juga ikut serta dalam pertemuan. Gadis itu kan harus menjelaskan tentang observasi kunjungan ke tempat yang menjadi daftar program kerja mereka.

"Guys, sebelum yang lain pada ke sini. Gue mau ngomong sesuatu," kata Rian sambil mendekat dan duduk di meja terdepan. Meja yang kosong. Orang Indonesia memang sudah kebiasaan menghindari meja paling depan dalam suatu ruangan. Meja yang hanya berjarak satu meter dengan posisi Livia.

Semuanya menjadi tertarik mengarahkan pandangan padanya memasang telinga setajam mungkin. Di meja itu Rian sedang menatap teman di depannya satu per satu. Livia mengamati gerak-gerik Rian, hari ini tak ada yang aneh. Namun, mata Livia melihat tak sengaja pada pergelangan tangan Rian. Di balik ikatan tali jam tangan pemuda itu ada sebuah hansaplast warna kecoklatan. Berkat jam tangan itu posisinya sedikit tertutupi. Livia menyimpan memori itu, inginnya mau langsung ngomong ke Revan bagaimana detail pertempuran kemarin malam.

"Tau nggak, semalam sekolah kita katanya kemasukan penyelundup. Kayaknya maling yang belum sempat mengambil sesuatu. Tebak apa? Kata sekuriti depan, Revan yang mergokin. Beneran, Van?" Pemuda berkulit putih itu langsung menatap ke Revan.

Si cowok yang memakai eyepatch warna putih itu tertawa sumbang, Livia merasakan hawa Revan berubah saat dipandangi oleh Rian.

"Yah, begitulah saat gue menuju Green House ada sosok misterius muncul dengan pakaian serba hitam. Gue kejar dia lari-lari dan berakhir di bangunan lab yang nggak jadi itu. Dia kabur, Guys."

Rian manggut-manggut. "Gue khawatir jadinya, setelah pulang rapat langsung pulang deh, biar nggak ada kejadian begitu lagi."

"Yah, beruntung dong, maling itu nggak jadi ambil sesuatu." Revan memasang wajah serius.

"Iya, tapi kalo berhadapan sendirian kan berbahaya. Untung aja lo nggak terluka parah udah diserang. Banyak orang mati karena dibunuh maling." Nada suara Rian sangat perhatian dan baik.

Livia menjadi meragukan bahwa semua ini adalah kelakuan Rian, tidak ada tanda bukti nyata jika Rian adalah pelakunya. Tuh cowok terlihat tak ada luka atau memar atau pincang. Padahal kemarin habis tempur sengit dengan Revan. Apakah bukan Rian pelaku sebenarnya?

"Saat berkeliaran di sekolah jam gelap kayak udah malam, kalian hati-hati ya, Guys. Saling jagain temannya, karena bahaya banget kalo terjadi sesuatu." Mata Rian menatap teman-temannya satu per satu, menunjukkan kewibawaannya.

"Bener tuh, Nav, lo jangan jauh dari gue. Aseeek," ucap Bobby tertawa.

"Modus lo, lele dumbo!" celetuk Asri dari tempatnya.

"Bob, jagain tuh Nava. Jangan suka modus doang!" ledek Revan.

"Kita bertiga cukup deh buat saling menjaga," ucap Laila menatap pada teman-temannya.

"Gue kayaknya nggak merasa aman kalo sama Bobby, dia nggak bakal seberani Revan. Dia lebih memilih lari daripada mencegah pencurian," ucap Nava sarkas.

Semuanya tertawa pelan.

"Ihiy, siapa bilang?" Bobby tak terima.

"Lo harus berani mati kalo kepepet," ucap Revan tertawa.

Tidak tahan Livia menahan senyum, obrolan para temannya lumayan menghibur. Dia tak perlu takut saat ini, ada banyak orang di sekitarnya.

"Oh ya, katanya yayasan sekolah mau ngajuin buat pemasangan kamera CCTV baru loh di beberapa titik bangunan sekolah ini. Sekiranya dipasang di titik mana ya yang mungkin penting menurut kalian?" tanya Rian.

Pertanyaan itu kontan membuat semua mulut bicara, suara Rika, Bobby, Laila, Asri yang paling besar.

"Di lorong koridor, pasti bakalan ada heboh video penampakan setan," ucap Laila.

"Di depan Green House, masa tanaman gue ilang, gue yang jadi ribet. Sial ih," sahut Asri.

"Hmmmm, pintu kantin jangan deh. Nggak bisa bolos nanti ketahuan sama penjaga monitor." Bobby tertawa bengis.

"Ruang penyimpanan bola, katanya suka ada bola berantakan tapi nggak tau siapa pelakunya. Hiy," ucap Rika ngeri.

"Ya, namanya aja bola, bentuknya bulet bisa gelinding, kecuali bentuknya kubus tuh yang harus dicurigain! Jangan parnoan deh!" seru Bobby tertawa garing.

Livia jadi menahan tawa.

"Gue rasa yang utama di koridor antar kelas belajar sehari-hari," ucap Revan.

"Asal jangan koridor yang ada toilet. Gue nggak suka ih," jawab Serryl.

"Hmmm, koridor lantai atas nggak dipasang. Mentang-mentang nggak ada harta karun Pirates Of Carribean kata Danny." Livia terkekeh, langsung salah tingkah saat semua mata menatapnya menggoda. Sial, kenapa nyebut nama Danny sih!

"Apa di koridor lantai bawah yang mengarah ke mading kaca harus dipasang CCTV, Livia?" tanya Rian tiba-tiba, entah mengapa pertanyaan itu membuat sekujur tubuh Livia membeku.

Livia menjadi membatu, dengan jantung berdegup keras, dan darah mengalir cepat sampai terasa mengebul di puncak kepalanya. Tubuh gadis itu memanas. Karena masih ditatap Rian, Livia mengangguk.

"Oh ya, mungkin harus dipasang juga yang mengarah ke deretan ruang organisasi dan ekskul. Para sekretaris ekskul suka ketakutan harus waspada terus saat menyimpan uang harus seketat itu karena ruangan nggak boleh dikunci. Kurang nyaman, 'kan? Aturan sekolah juga kalo kehilangan uang kan di luar tanggung jawab. Hmm, biar nggak ada pencurian. Misalnya barang, uang atau bisa jadi data-data penting." Livia membalas ucapan Rian dengan penuh makna. Dia hanya inginnya bicara kosong. Namun, itulah yang memang dia pikirkan. Tapi ucapannya tanpa disadari penuh makna. Agar ruang Ekskul dan Organisasi bisa terpantau tak ada lagi kejadian aneh. Kalau cowok itu memahami ucapan satire-nya, memang harus diwaspadai.

"Data penting? Memang ada orang yang mencuri data penting? Apaan isinya?" tanya Rika heran.

"Cerita fiksi aja menarik bagi maling, padahal nggak bisa jadi duit," ucap Livia apa adanya. Kesal sih datanya diambil orang. Entah seberapa banyak file yang diambil dari flashdisk-nya.

Saat Livia menoleh sudah mendapati Revan dan Serryl menatapnya dengan tatapan menganga. Sepertinya kedua temannya itu lumayan ngeri dengan ucapan Livia yang blak-blakan. Sepertinya dua orang itu ingin menahan agar Livia tidak bicara macam-macam lagi. Berbahaya.

"Bisa jadi itu lumayan menarik untuk perlombaan. Banyak plagiator mengambil data, sama aja copy paste dari internet, 'kan? Sayangnya kalo mengutip dari internet kan sekarang mudah dicek." Rian menyahuti curhatan Livia. "Memangnya cerita karangan lo ada yang pernah hilang?"

Livia sedikit tersentak lalu berusaha biasa saja. "Iya, pernah. Awas aja kalo dia sampe bisa menang. Cerita gue kan bagus-bagus!" serunya sambil mendesis.

"Kok lo tau ceritanya dicuri? Cuma dicopast memang bisa ketahuan?" Rian masih penasaran.

"Nggak cuma dicopast, tuh orang juga resek sampe bisa-bisanya ngerjain gue," jawaban Livia membuat seantero ruangan rapat seketika menjadi hening. "Menjebak gue."

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top