Bab 16
Mereka berkumpul di pos satpam dan menceritakan apa yang tadi terjadi di dalam. Revan meminta izin menggunakan air keran belakang pos satpam untuk membilas matanya yang masih pedas bahkan sudah memerah. Mereka takut terjadi iritasi, jadi setelah ini Revan harus mampir pergi ke klinik dokter dulu untuk mengobati lukanya.
Dari tadi Livia mengamati dua sosok asing yang katanya membantu Revan dan Serryl tadi. Ah, sayang sekali dia malah dikurung di toilet bau dan mati lampu bersama Danny.
Ketika Livia berpelukan dengan Serryl dan Revan tadi, Danny langsung memandanginya dengan sinar laser matanya. Oppsss, tanpa membuat curiga Livia fokus memeluk Serryl yang menangis tersedu-sedu berulang kali minta maaf atas perlakuannya selama ini.
"Livia, kenalin ini Tio, dan Okta," ucap Danny sambil tersenyum kecil mengarah pada kedua orang asing itu lalu padanya.
"Gue Tio, kakak sepupu Daniel."
"Hai, Kak," balasnya dengan senyum merekah, "Gue Livia."
Livia disambut hangat oleh seorang cowok macho, berbadan kekar berotot, wajahnya mirip sekali dengan Danny. Bedanya cowok ini memiliki alis yang tebal mirip Shinchan kartun Jepang. Rambutnya dispike berdiri hingga bagian belakang juga acak-acakan mirip Astro Boy. Kaus yang dipakai tidak berlengan sehingga menampilkan otot kekarnya, sumpah Livia ngiler banget. Cowok ini keren. Luar biasa kerennya. Livia saja yang cuek soal cowok kesemsem apalagi Serryl yang pengagum cowok-cowok keren.
Mirip banget sama Danny. Selain model rambut dan alis, mungkin otot sepupu Danny juga yang membedakannya. Danny sih cuma padat lemak.
Di sisinya ada seorang cewek yang tidak kalah nyentrik dandanannya, rambutnya dipotong shaggy pendek tipis, tinggi, langsing. Wajahnya terlihat sedikit seram tidak seperti cewek kebanyakan. Namun, Livia percaya dia orang yang baik. Dia memakai kemeja gombrong hitam dan celana jeans sewarna. Kalau cewek ini mendaftar menjadi model majalah fashion pasti langsung diterima, Livia banyak melihat model di majalah hasil meminjam milik Serryl banyak yang model rambutnya shaggy pendek, bondol nyaris cepak. Dan cewek ini berwajah bersih dengan figur yang sempurna. Hidung mungil mancung, bibir tipis, dan pipi tirus dengan rahang tegas.
"Oh, Livia." Nadanya seperti sudah mengenal banget.
Livia memandanginya dengan wajah heran, dia menyalami tangannya yang kecil dan ringkih milik Okta.
"Kenalin nih gue Okta, pertemuan pertama kita emang nggak sopan. Tau-tau aje si Daniel nyodorin gue cewek yang lagi tergolek pingsan di bangku belakang mobilnya, pengen gue caci maki mengira dia udah macem-macemin anak orang. Mana beberapa hari sebelumnya dia nanyain obat bius dan minta beliin sama temennya, gue kan jadi udah mikir yang jelek. Tapi dia langsung mohon-mohon minta gue buat jagain lo, yaudah gue juga iseng. Lumayan bisa nongkrong duduk di mobil Jazz selfie sambil ngemil chiki."
"Eh, bangku depan banyak remahan kasar itu gara-gara ulah lo, remahan chiki hah? Gue jadi gatel-gatel kebingungan kenapa kotor banget. But, thanks deh," ucap Danny rada keki, tetapi akhirnya raut wajahnya berusaha untuk ikhlas saja.
Livia tersenyum pada Okta, "Terima kasih ya udah jagain gue pas lagi tepar." Namun, tak bisa mengelak fakta bahwa Danny serius dalam membantunya, mana sampai mencari obat bius pada temannya supaya bisa menjinakkan Livia kalau mengamuk.
"Halah, sok bersih aja lo, Dan. Biasanya juga tuh mobil udah kayak bak sampah. Belom lagi suka ada bau apek, kostum lo yang di bagasi nggak pernah dicuci," tambah Tio membuat Livia dan Serryl tersenyum lebar, sementara Danny memandanginya dengan muka pengen protes.
"Tau nggak sih ada baju putih dekil bolong-bolong yang baunya kayak ada bekas kemenyan itu udah asem. Itu baju bekas apaan coba? Eh, lo main drama atau jadi peran Kunti di stan rumah hantu si?" omel Okta.
Revan sudah kembali sama Serryl dari penyelamatan pertama pada matanya. Dia mengedip-ngedipkan matanya. Matanya sudah memerah. Namun, dia masih kuat untuk bergabung bersama yang lain.
"Jangan percaya sama dia," bisik Danny yang tiba-tiba sudah ada di belakangnya Livia.
Hembusan napasnya menggelitik tengkuknya Livia. Gadis itu tertegun hanya mendongak menatap Danny yang lagi sewot ribut sama temannya. Raut wajah cowok itu lucu sekali saat bicara. Beda sama biasanya yang sok keren. Kalau di kehidupan biasa, Danny sudah lumayan oke kok.
"Kalo udah dicuci nilai seninya jadi rada berkurang gitu. Jadi kita biarin aja tuh sisa-sisa pentas meski apek," bela Danny menyebut kita biar seolah-olah yang jorok bukan cuma dia.
Rasanya tidak sopan terlalu lama berada di sekolah apalagi sekolah masih gelap karena ada kabel yang sengaja diputus oleh orang tersebut. Tio dan Okta pamit pulang duluan izin ada keperluan perut. Dasar. Sementara kini mereka berempat berdiri dengan canggungnya.
"Gue seneng sekarang kita bareng lagi!!" sorak Serryl gembira lalu memeluk temannya lagi. Livia balas merangkul tubuhnya Serryl yang langsing dan ideal. "Maaf, gue nggak percaya sama lo. Gue bodoh banget nggak bisa mikir logis. Cuma emosi semata."
"Gue yang juga keras kepala kok nggak berusaha memperbaiki kesalahan dan menyelesaikan masalahnya. Gue gengsi banget buat ngomongin masalah itu duluan." Livia menjadi menyesal dan malu pada diri sendiri.
"Andai, pagi itu gue minta maaf pasti nggak bakal ada kejadian itu, sampe bikin gue salah paham. Geer banget ngira lo dendam mencelakai gue." Serryl memasang wajah malu berat tak enak hati.
"Yah, manusia memang begitu. Kita baru menyesal setelah kejadian. Gue juga merasa bersalah banget."
"Salah gue yang udah nuduh lo, tapi nggak mau minta maaf. Bahkan gue nggak mau tau keadaan lo selanjutnya. Gue kebawa emosi dan kesel. Maafin ya, Via?"
Livia mengangguk penuh yakin. Livia mendapati bayangan kalau Revan mendekati Danny yang memandangi mereka penuh haru, atau perasaannya Livia saja mengingat Danny itu lebay tak tertandingi.
"Lo pasti akan terbiasa melihat mereka nggak malu peluk-pelukan kayak gitu di depan cowok," bisik Revan pada Danny, cowok itu cuma menyeringai geli.
"Bahaya juga," balas Danny kecut.
"Apaan deh, kita udah dari dulu memang sering begini!!" seru Serryl tidak mau dikatain yang aneh-aneh.
Danny menggelengkan kepala, lalu mengamati wajah Revan. "Mata lo udah mulai iritasi. Kita ke dokter yuk sekarang!" seruan ajakan itu membuat mereka bereaksi berbeda.
"EH? Biar gue sendiri aja yang ke dokter. Kalian pulang aja. Vi, gue titip Serryl ya? Danny, sori Bro, lo nggak keberatan kan nganterin mereka balik?"
"Ya gapapa biar sekalian," jawab Danny.
"Nggak mau. Mau ikuut!" protes Serryl manja. "Masa lo sendirian? Gue anterin dan bantuin deh. Gue bisa bantuin ngurus pendaftarannya."
Livia melongo. Apa dia harus ikut mengantar Revan juga? Atau pulang? Waduh, Livia akan pulang bersama Danny dong? Cuma berdua aja? Ah!
"Ya udah ayo ikut gue, Ser." Revan tersenyum kecil.
"Kita nggak lapor polisi atas penyerangan yang terjadi pada Revan?" Serryl bertanya satu hal, mengusulkan ide tepatnya. Kayaknya dia baru kepikiran spontan.
"Re, sebenarnya apa yang terjadi? Gimana kejadian tadi? Gue mau tau, nungguin lo cerita nih." Livia sangat menunjukkan kecemasannya.
Kedua cewek itu bicara bersamaan untuk dua hal berbeda. Revan jadi memikirkan jawaban masing-masing.
"Rencananya nanti malam gue bakal cerita setelah obatin luka gue dulu. Terlalu panjang dan rumit. Gila banget tuh orang!" Revan berhenti sesaat lalu melanjutkan. "Ser, kalo lapor polisi pastinya penyelidikannya di sekolahan bakal heboh nggak sih? Nanti malah jadi ribet kalo kita diinterogasi. Ingat kita yang menyusun rencana, kita pasti kena marah pihak sekolah duluan. Kita yang memancing, 'kan? Seharusnya kita langsung pulang, bukannya di sekolah begitu buat memancing pelaku, ngasih peluang dan kesempatan."
Kata-kata Revan membuat Danny segera menyahut, dia sangat merespon cepat karena ini adalah idenya. Dengan tak enak hati Danny berbicara. "Sori, gue yang otak rencana ini malah nggak bisa jalanin. Mana nggak ada Plan B. Gue mana tau bakal dikunciin di toilet. Kalo penyelidikan polisi akan membuat kita kena marah pihak sekolah, ya salah gue yang nganter nyawa. Gapapa kita lapor polisi, gue bakal tanggung jawab."
Revan menggeleng. "Ini rencana kita. Tadi gue nanya sama satpam sekolah, malam ini bakal dibenerin listriknya. Pihak sekolah pasti akan nyari tahu penyebab putusnya aliran listrik itu, 'kan? Siapa tahu pihak sekolah bakal mendapat jejak atau pelakunya sekalian."
"Gue kira bakalan cuma dianggap korslet biasa. Satpam aja ngira kita cuma main-main bercandaan. Tadi kita malah disuruh cepet pulang sama Pak Dodo yang baru muncul jaga shift, dikira abis main polisi maling. Padahal satpam lainnya bilang kemungkinan ada maling beneran." Danny mengetuk jarinya di dagu sambil melirik pos satpam lalu ke gerbang dalam sekolahan. "Gimana menurut lo pelaku tadi?"
"Kalo satpam menyimpulkan ada maling masuk, besok sekolah bakal nyari bukti dong. Kita bisa terbantu. Re, cerita aja. Gue mau tau. Sedikit aja kasih klue." Livia memohon.
"Gue bingung. Tingginya lebih dari cewek rata-rata sekolah kita, setelah gue lihat saat cahaya lumayan terang. Bukan cewek kali. Tapi suaranya cempreng terlalu riang, tangannya kurus, ini yang kayak cewek. Anehnya, gue merasa kalo dia bukan juga cowok karena lemah saat gue serang fisik. Bisa dibilang dia punya ambisi sadis buat mengalahkan lawan. Dia nyiram gue pake pistol air cabe, mau nusuk kepala gue pake paku, dan pada akhirnya mengeluarkan pisau tajam. Dia juga berupaya mencekik gue. Dia jago melemahkan saat lengah, tapi saat kita lawan sekuat tenaga dia juga bisa kalah. Dia sepertinya senang bermain-main, melukai korban tanpa ragu, dan kalo begitu mungkin rada psikopat?" Revan berbisik bercerita hasil berhadapan dengan orang misterius itu.
"Orang itu masih mengaku sebagai gue?" tanya Livia dengan mimik wajah mendingin.
Diangguki Revan tanpa ragu.
"Siapa ya?" gumam Serryl kesal. "Yakin kita nggak akan lapor polisi?"
"Tunggu dulu aja, ini masih jadi masalah personal antar kita. Benar deh, ini rencana yang malah memojokkan kita karena mengantar nyawa. Kita mancing-mancing pelaku dengan memberikan kesempatan itu. Menurut lo siapa pelakunya?" Livia memandangi Revan sekarang.
Danny langsung merasa bersalah membuat Livia jadi menganggap dia terlibat dalam rencana itu, padahal cewek itu tak tahu menahu. Pemuda itu sedang menatap Livia penuh rasa sedih. Maaf ya, lo jadi terlibat rencana jelek gue, batinnya.
Revan hanya mengangkat bahu. "Nggak ada calon."
Tanpa bisa ditahan Livia melirik-lirik pada Danny. Tentu saja cerita tentang Danny yang melihat seseorang yang mereka kenal masuk ke toilet perempuan waktu itu membuat Livia jadi menyambungkan semuanya. Danny membalas tatapan Livia seperti sudah memahami sorot mata gadis itu. Mereka seperti sudah membayangkan satu hal yang sama.
Revan menepuk kepala Serryl, "Ya udah, yuk jalan, ayo anterin ke dokter! Oh ya, Livia, kita perlu bicara sebentar dulu deh. Empat mata. Gue nggak bisa kalo nggak ngomong langsung." Kini semua mata tertuju pada Livia apalagi Danny.
"Di sini aja. Penting banget?" Livia melirik ke arah Danny.
"Hmmh, lumayan. Gue udah tau tentang perasaan lo ke gue, tapi gue nggak bisa. Sori, gue mau ngajak Serryl pacaran. Lo nggak keberatan kalo gue jadian sama Serryl?"
Jleb.
Livia langsung kehilangan konsentrasi, kakinya lemas seketika, hatinya sakit luar biasa akibat penembakan ini. Masalahnya bukan Livia yang ditembak oleh Revan.
"Revan!" bentak Serryl menganga tidak percaya.
Danny juga melongo dengan muka polos.
"Hmmh, pacaran aja sesuka kalian," jawab Livia sok tegar padahal pengen nangis.
"Livia, jangan memaksakan diri!" Tegur Serryl. "Gue nggak mau bahagia di atas penderitaan lo, gue tau lo akan sedih nantinya."
"Gue emang suka sama Revan. Tapi gue lebih sayang sama lo, Ser. Berbahagialah kalian. Gue bakal baik-baik aja. Cuma kalo kalian lagi pengen pacaran berduaan tuh bilang sama gue, biar gue misahin diri," kata Livia tanpa senyuman.
Serryl memberi pelototan tajam. Revan terperangah. Danny menelengkan kepalanya miring ke arahnya Livia seakan menilai.
"Lo bakalan tetap sama kita, Vi, sampai kapan pun," Revan mengelus puncak kepala Livia lembut dengan tangannya yang berbalut sapu tangan dengan bercak darah.
Wajahnya Livia menjadi panas dan pastinya sudah merah diperlakukan lembut oleh Revan. Namun, itu tidak berapa lama karena tangan Revan keburu disingkirkan oleh Danny.
Revan memandang Danny heran. Muka Danny langsung berubah jadi sok ganteng.
"Kenapa lo?" tanya Revan menyipitkan matanya.
Serryl menatap Livia seperti bertanya cerita-nggak-lo-atau-gue-pelototin.
"Cewek ini udah sold out duluan sama gue," kata Danny angkuh.
Ihh, Livia mendengkus geli karena cowok itu mengatakannya seolah-olah dia adalah barang dagangan.
"Buset, lo udah curi start jadian duluan di tanggal ini sama dia? Livi, lo nggak salah jadian sama dia?" Serryl melirik Danny kikuk. Mungkin Serryl hampir melupakan jasa Danny yang sudah mengembalikan kepercayaan persahabatan mereka.
Danny memandang Serryl dengan ekspresi terluka. "Kok lo heran banget, Ser? Lo meremehkan gue bisa pacaran sama sahabat lo ini? Apa gue segitu nggak layaknya buat sama Livia?"
"Lo apain temen gue sampe dia mau sama lo? Livia, lo jangan gila! Lo jangan pacaran sama dia cuma karena dia udah bantuin lo. Percaya sama gue, lo nggak bakal bahagia kalo nggak sayang!" seru Serryl menggebu-gebu agar temannya itu sadar.
Livia sampai heran mendengar dan terjebak dalam situasi ini. Dia memandang pada Danny dan Serryl bergantian, dia melirik Revan yang juga diam saja.
"Wessshhhh!!" Danny melipat kedua tangannya di depan dada. "Coba tanya aja sama dia tentang perasaannya sendiri."
"Gue nggak--" Segera Livia meralat, "Belum pacaran sama dia kok."
"Belom. Berarti akan dong?" Revan memainkan alisnya menggoda.
"Pastinya," sahut Danny pede banget.
"Ya udah, kalian buruan pergi ke dokter. Kasihan si Revan. Gue juga udah mau pulang sama Danny." Suruh Livia. Ingin cepat-cepat berpisah.
Serryl dan Revan pergi ke parkiran, Livia mengikutinya juga di belakang, segera saja tasnya ditarik oleh Danny.
"Mobil gue di bengkel depan sekolah itu," katanya.
Livia memberi tatapan membunuh. "Bilang dongg!!"
**
Dalam perjalanan pulang Danny lebih memilih banyak diam. Tidak biasanya cowok itu bungkam. Apa cowok itu marah sama dirinya? Livia memang suka banget sama Revan, dan permintaannya tadi sangat menyakitkan baginya, hatinya masih sakit dan nyesek banget.
Livia memandangi dashboard kosong. Pikirannya melayang entah ke mana. Seperti membaca gelagat galaunya, Danny tersenyum polos seperti biasa.
"Lo pasti lagi nyesek dan sedih banget," ujarnya sok memahami.
Livia mengangguk kecil tanpa sadar.
"Nangis aja." Danny menyodorkan sekotak tisu pada cewek di sebelahnya.
Livia menoleh ke arah Danny dengan bingung. Sungguh Livia tidak mengerti jalan pikiran cowok itu. Danny seperti baru saja menyuruhnya untuk menangisi cowok yang ingin, atau bahkan sudah resmi menjadi pacar sahabatnya. Livia hampir melempar kotak tersebut ke wajah Danny, tapi keburu cowok itu berkata dengan nada tegas.
"Nangisin dia untuk yang terakhir kalinya. Setelah itu lo lupain dia. Lo berhak mendapatkan kebahagiaan lo sendiri, walau bukan sama dia."
"Dan, kenapa dia nggak suka sama gue?" tanya Livia kesal nada suaranya bergetar hebat.
"Cuma dia yang tau, Livia."
"Apa gue nggak layak dicintai sama orang lain? Kenapa nggak ada yang suka bahkan sayang sama gue?" Livia mulai menahan agar air mata tidak turun membasahi pipi.
"Kalo lo berpikir begitu, jawabannya tentu ada. Gue. Gue orang yang suka, sayang, dan berusaha mencintai lo sebesar mungkin. Yah, gue tau ucapan ini nggak akan menghibur lo. Pasti gue bukan orang yang lo harapkan itu. Gue nggak akan membuat lo senang dengan ungkapan perasaan ini, makanya lo sampe berpendapat begitu. Lo bertanya-tanya tentang kelayakan lo dicintai orang lain. Lo nggak merasa senang karena orang itu adalah gue." Kata-kata Danny telak membuat Livia menjadi membeku. "Kalo Revan yang nyatain perasaan, lo pasti senang banget dan jadi merasa sebagai cewek paling bahagia dan layak dicintai."
Livia mengerjapkan matanya membuat beberapa bulir air mata turun membasahi pipi. "Siapa bilang? Sori gue ngomong begitu, refleks aja karena memang nggak pernah ada cowok yang bilang dan menunjukkan sayang sama gue. Gue merasa nggak layak dicintai, gue nggak bisa membuat orang lain suka sama gue. Gue nggak menarik dan lovely. Gue juga baru benar-benar tau saat lo bilang secara langsung yang sebenarnya."
Danny melongo, mau menyahuti tapi Livia belum selesai bicara.
"Gue senang bisa disukain, disayang sama lo. Makasih, lo udah suka sama gue. Baru pertama kali ada orang yang bilang suka sama gue." Gadis itu dengan gugup mengalihkan pandangan.
Danny membalas ucapan panjang Livia dengan senyuman manis terlebih dahulu. "Nggak percaya, cewek secantik dan sepintar lo nggak ada yang suka. Hmmm, masa ada yang suka sama lo, terus lo cuma bilang makasih?" Danny tertawa renyah.
"Terus harusnya gimana?" Livia menoleh lagi ke Danny kemudian mendelik heran.
"Jadi, pacar gue mau nggak, Livia? Kalo mau nangisin Revan ya sekarang aja, jangan ditahan. Kalo lo nangisin dia setelah kita jadian, itu udah jadi urusan gue," kata Danny sambil memandangi Livia dengan serius.
Tiba-tiba air mata Livia sudah menetes banyak sekali tanpa ingin berhenti padahal dalam hati Livia sudah berteriak jangan menangis, kamu kuat Livia. Kamu cuma suka sama Revan.
Livia menangisi cowok lain di depan Danny. Kepalang tanggung kalau menahan air mata ini. Lagian akhir-akhir ini tuh cowok memang sudah sering melihatnya menangis bahkan ketakutan kok.
Danny tidak berkomentar apa pun, sebuah belaian lembut di kepala Livia membuat gadis itu menoleh. Dia tersenyum pada Danny. Livia sudah menghabiskan banyak tisu, mata dan hidungnya pasti sudah berubah merah. Wajahnya bengkak jelek banget.
"Oke, kita mulai pacaran. Penembakan lo yang sekarang gue terima. Bukan karena kebaikan lo membantu gue, bukan juga karena gue patah hati sama Revan. Melainkan lo bodoh banget sih baru berani ngomong serius setelah sekian lama!" serunya ganas. Duh kok Livia masih judes aja ya?
"Wah, jadi tadi gue ditolak? Baru diterima setelah nembak kedua kalinya. Hebat banget hati gue. Baru kali ini ada cewek membodoh-bodohin pacarnya, hehe," goda Danny sambil menyeringai usil. Dia mencubit pipinya Livia pelan. "Apa lo udah nunggu dari lama? Kok kesannya lo ngarep gue tembak dari lama sih?"
"Lo bodoh karena dari sekian banyak hari, bulan dan tanggal. Kenapa lo lebih bisa ngungkapin perasaan di tengah suasana mencekam nan suram dalam toilet bau dan keadaannya mati lampu pula. Nggak elite banget kalo ditanya orang. Kalo dalam keadaan begini kan, hm, lumayan bagus." Sepertinya sikap sombong dalam darahnya mulai mengalir lagi.
"Gue lebih takut ngungkapin di balkon sekolah, takut tiba-tiba lo marah terus jorokin gue dari lantai satu," guraunya sambil tertawa kecil.
Tanpa disadari Livia ikut tersenyum padanya. Bahkan Livia tertawa geli karena ucapan Danny yang lucu. Jadi, akan mencoba mulai belajar untuk menerimanya?
"Livia, nggak terlalu cepat lo menerima gue?" tanya Danny meragukan keputusan Livia. "Tadi gue cuma mau nembak tanpa berharap langsung diterima. Gue pengen pedekate dulu yang serius, dan nggak dianggap musuh lagi sama lo."
"Kalo kita nggak cocok ya nanti tinggal putus aja. Menurut gue nggak ada waktu yang pas, kalo udah ngerasa nyaman? Kita udah lumayan akrab beberapa hari kok. Udah gapapa kita pacaran aja, lo pasti udah nunggu momen ini dari lama, 'kan?"
Sial, Danny sontak melongo bukan main karena ucapan tembakan Livia yang mengerikan, dan tentu saja itu benar. Livia benar-benar cewek yang mengeluarkan apa saja di isi kepalanya tanpa sungkan.
"Bener kok gue yakin mau pacaran sama lo. Gue nggak menganggap lo adalah pelampiasan buat ngelupain Revan. Gue percaya, gue bakal lebih bahagia sama lo, Danny."
Danny rasanya mau tewas saja! Cewek cuek yang sulit ditebak, ternyata bisa membuat kejang-kejang hatinya. Biasanya dia dihina-hina, sekarang dipuji.
"Hari ini campur aduk banget." Danny menggeleng tak habis pikir.
"Hari yang aneh. Mencekam. Sedih. Nangis. Tapi juga bahagia." Gadis itu tertawa pelan. Keduanya lalu tertawa bersama-sama sampai suara hebohnya memenuhi seluruh ruangan dalam mobil.
Danny tidak bisa meluapkan bagaimana perasaannya, gadis di sebelahnya mengatakan malam itu dia merasa bahagia. Apa pun alasan sebenarnya, Danny tetap ikut senang merasakan kebahagiaan Livia. Gadis itu belum pernah berbagi rasa bahagia padanya, jadi ini kebahagiaan pertama mereka. Sesederhana itu.
Mungkin ini terlalu cepat atau gue aja yang telat baru sadar. Entahlah.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top