Bab 15
Danny berhasil memancing Livia agar mau menemui dirinya di depan toilet cewek. Jujur saja dia risih banget dari tadi sudah seliweran di sana menanti sang target. Kelihatannya kayak cowok mesum yang sedang keluyuran di dekat toilet cewek.
"Mana janji lo?" Tagih Livia, dia memandang Danny dengan tidak sabar. Dia sudah buru-buru sejak tadi keluar dari ruang rapat, cuma butuh waktu 5 detik saking antusias dan penasarannnya.
"Ayo, biar lebih aman ngomongnya di dalam toilet. Mau?" Danny mengerling usil ke arahnya.
Livia hendak menampar dirinya lagi, tapi kali ini cowok itu berhasil menahan pergelangan tangan sehingga cewek itu jadinya semakin marah.
"Lo makin kurang ajar ya!" bentak Livia. "Apa sih yang udah lo rencanain sama teman-teman gue? Atau lo pelakunya penyerangan itu? Lo nyolong parfum gue, terus kenapa lo bisa nganter gue sampe ke rumah jam 8 malam? Gue keluar dari ruang OSIS itu jam 6 lewatan."
"Rahasia lo ada di gue. Emang lo nggak kepengen tau apa yang terjadi saat malam lo pingsan? Kalo nggak mau, ya udah lo pulang aja sana. Dah, Sayang!"
Cewek itu memang keras kepala bukan main, benar kan rencana tidak akan berjalan mulus jika cewek itu belum dikasih tahu kebenarannya. Mana sulit diajakin ke dekat pintu toilet. Karena rencananya Livia harus masuk ke dalam tempat itu. Harus.
"Oke kalo lo resek begini, gue juga mendingan pulang, gue bisa balik sendiri!" Livia membalikkan tubuhnya hendak pergi.
Terpaksa, Danny menarik tubuh Livia dengan cara kasar, memaksanya masuk ke toilet cewek. Tentu sangat mudah karena posisi mereka kan tepat berada di depan pintu toilet. Belum lagi, Livia yang lagi lengah lumayan ringan dan tanpa perlawanan.
Livia menjerit kencang sekali. Danny membekap mulutnya dengan tangannya lalu mendorong cewek itu agar masuk ke salah satu bilik toilet yang lapang karena airnya sudah dibuang, sehingga cukup luas untuk Livia berdiri maupun duduk. Lantainya juga sudah kering, menandakan tidak ada aktivitas di sini lagi setelah cowok itu merapihkan tempat itu.
Gadis itu ketakutan bagaimana jika terjadi sesuatu, misalnya Danny akan melecehkan dirinya di tempat sesepi ini. Soalnya Danny kan sangat terobsesi pada cewek itu. Livia sangat ketakutan mengira Danny akan memaksa menciumnya, bagaimana jika Danny mulai membuka bajunya dengan paksa sampai kancing-kancingnya rusak. Livia sudah ketakutan tak siap jika malam itu bakal habis dikerjain sama Danny dengan cara ada kamera tersembunyi, sehingga di lain waktu akan menekannya untuk menuruti permintaan cowok itu. Cowok itu ternyata sangat jahat, balas dendamnya jadi seperti ini?
Namun, itu hanya dugaan liar saja, Livia hanya disuruh masuk ke dalam bilik, pintunya ditutup oleh Danny. Sedangkan Danny tetap berada di luar.
"Maaf. Gue harus lakuin ini sama lo, gue terima setelah ini lo jadi benci sama gue, Livi." Danny mengambil balok kayu mengganjal pintu toilet yang berisi Livia. Cewek itu lagi menggedor-gedor pintu minta dibukakan.
"Danny, eh buka Danny! Gue takut di sini." Cewek itu menangis. Suatu prestasi yang membanggakan membuat dirinya menangis sesenggukan di dalam toilet.
"Maaf, Livia," kata Danny tulus.
Ceklek.
Terdengar suara yang tidak asing lagi baginya. Sial, itu suara pintu terkunci. Danny menggedor pintu utama toilet.
"Buka! Siapa di sana, heh? Buka!! Siapa si bangsat ini yang ngunciin dari luar?" gerutu Danny kesal sambil gedorin pintu secara kasar.
Namun, usaha Danny sia-sia. Sialan, ternyata keberadaannya diketahui oknum jahat itu sampai dijebak dikunciin segala dalam toilet ini!
"Kenapa gue mesti dikurung gini Danny? Gue takut di sini," isak Livia dari balik pintu bilik toilet. "Danny, apa yang terjadi di luar? Pintu toilet depan kenapa?"
"Pintu terkunci dari luar," jawab pemuda itu lesu. Siaaal, bagaimana dia bisa membantu Revan nanti?
"Nah kan, lagi-lagi gue sial gara-gara lo! Keluarin gue dari sini! Serryl sama Revan mana, mereka dalam bahaya ya di luar?" tanya Livia.
"Nggak tau, kemungkinan iya," jawab Danny merasa bersalah. Untung di luar sana ada Tio dan Okta, asistennya. "Lo tenang ya di dalam. Gue di sini duduk di depan pintu toilet. Jangan takut, Livi." Danny duduk di depan pintu toilet meluruskan kakinya. Serta langsung mengecek ponsel.
Ada banyak SMS yang masuk dari Tio dan Okta. Mereka mengatakan bahwa Serryl sudah bersamanya. Aman. Sialan, saat mau membalas, sinyal di dalam toilet jelek sekali sampai membuat ponselnya dalam mode darurat. Siaaaaal!
"Beneran? Jangan tinggalin gue ya. Gue takut di sini sendirian," pintanya dengan nada sungguh-sungguh.
Danny jadi merasa kasihan dan ingin sekali memeluknya.
"Iya. Sabar ya. Maaf, gue harus kasar banget sama lo. Gue nggak mau lagi membius lo kayak kemarin, gue nggak tega ngeliatnya. Makanya sekarang gue harus ngunciin lo di sini karena bagi gue susah untuk menahan lo. Juga sebagai pembuktian kalo lo berada di sini saat orang misterius itu beraksi."
"Kenapa gue harus ditahan? Apa kemarin gue melakukan sesuatu yang membahayakan orang lain? Serryl? Revan?" tanya cewek itu penasaran.
Danny mendesah pelan, "Awalnya gue kira begitu."
Dep.
Tiba-tiba lampu di toilet mati membuat Livia menjerit ketakutan dan menangis lagi. Danny juga kaget luar biasa. Siapa yang matiin listrik? Sumpah jadi gelap banget, panas, dan pengap. Bau pesing juga.
"Danny! Keluarin gue, takut," pinta Livia dengan suara memohon, kasihan sih.
Aduh, Danny jadi tidak tega tapi dia takut dibantai oleh Livia yang lagi emosi gara-gara dipaksa masuk ke toilet. Danny sudah pernah ditampar, bagaimana kalau nanti Livia akan mengamuk lebih seram lagi.
"Lo harus di dalam dulu sebentar, Livia. Tentang kemarin malam—"
Isakan Livia berhenti menandakan ingin mendengar penjelasan pemuda itu. "Apa?"
"Saat lo kembali masuk ke sekolah dengan alasan ingin mengambil barang yang ketinggalan, perasaan gue mulai nggak enak, gue menyusul lo sambil bawa kloroform. Iya bener. Gue membius lo. Gue takut saat itu gangguan halusinasi yang sering lo sebut-sebut, itu kumat sehingga ingin mencelakai Serryl atau Revan yang belum keluar dari sekolah. Gue punya benda itu hasil pinjam dari teman gue."
Tidak ada suara, hanya kesunyian yang menyelimutinya. Livia fokus mendengarkan.
"Gue bawa lo dengan mobil gue ke bengkel dekat sekolah, itu daerah rumah teman gue. Gue menitipkan lo di sana. Jangan khawatir ada ceweknya juga. Lantas gue teringat Serryl sama Revan belum keluar dari sekolah. Gue juga berniat jagain Serryl dari siapa pun sesuai permintaan lo waktu itu. Saat melihat dia masih betah sendirian di pekarangan belakang, muncul niat gue untuk mengusirnya dengan cara horor. Gue takutin dia. Setelah itu Serryl diserang oleh pelaku bertopeng serba hitam. Gue telepon teman gue yang sedang menjaga lo di depan, lo tau apa? Lo masih pingsan. Jadi, kesimpulan yang gue dapet bukan lo yang menyerang Serryl. Ada orang lain.
"Gue pengen langsung samperin Serryl, tapi penampilan gue udah nggak banget. Gue menyelinap naik ke bangunan yang nggak jadi itu, nangkring di pinggiran lantai atas sana layaknya hantu sungguhan. Itu cara terbaik, siapa tahu gue jadi bisa semakin mendekat tanpa bikin penjahat itu kabur. Berkat munculnya gue di atas bangunan itu, pelakunya lari terbirit-birit, gue berhasil mengecohnya. Gue pake bedak tabur dan coret-coret muka pake lipstick biar ada kesan darah, dan wig rambut panjang. Jangan heran gue dapet itu semua dari mana, itu perlengkapan anak drama."
"Gue nggak menyangka lo punya ide segila ini. Bukan gila, tapi cemerlang. Lo malah dengan cerdasnya mencari jalan keluar sementara kami pasrah banget diadu domba." Puji Livia dengan suara lesu, ada nada kagum versi gadis itu di sana. Cewek itu kan jarang memuji orang lain.
Danny tidak menyangka bercerita ide gilanya di dalam kegelapan toilet cewek seperti ini. Antara creepy dan geli. Danny kan cowok normal, cowok itu langsung menggelengkan kepala kuat-kuat saat membayangkan hal itu. Gila, ternyata dirinya memiliki pikiran liar juga. Dan, jorok tentu saja. Ya, saat ini kan Danny sedang bersama cewek tersayangnya. Ahhh, fantasinya harus bisa ditahan. Jangan salah fokus!
Jangan jorok, Danny, lo kan harus menghargai wanita!
"Emang siapa yang ngadu sama lo kalo gue membekap lo dan bercerita seolah gue mesum udah ngapa-ngapain lo?" tanya Danny.
"Rian."
Nama itu langsung membuat darah dalam tubuh Danny berdesir. Selain Revan, Danny tidak terlalu suka sama cowok itu, padahal tuh orang ketua OSIS, tapi sama sekali tidak memiliki aura keren. Tidak ramah. Tidak heboh dan supel. Tipikal orang serius. Yah, apa yang Danny harapkan pada manusia lain agar memiliki kepribadian heboh, riang, dan menyenangkan seperti dirinya. Danny merasa orang heboh banyak disenangi, tapi tidak juga sih. Buktinya Livia malas banget menanggapi kehebohan dirinya.
Rian itu rada mirip sama Livia, orangnya jarang menampilkan reaksi berlebih, seadanya saja, sulit untuk dibaca, dan kurang heboh deh. Terkadang sih terlihat bijak jika sedang berbicara di depan umum, lagi memimpin suatu acara. Danny menilai, dan sempat khawatir kalau Rian dan Livia akan saling jatuh cinta karena kepribadiannya yang mirip itu. Biasanya orang jatuh cinta karena melihat kepribadian yang sama bukan? Jadi mereka berada dalam satu frekuensi. Mana mereka berdua lumayan cocok dan akrab.
"Gue panik tadi siang bukan karena nggak percaya sama lo, bukan karena gue takut kehilangan masa depan gue. Gue takut lo ngebius gue karena gue kumat ngamuk-ngamuk menyeramkan mau bunuh lo. Gue pernah mau bunuh orangtua gue yang lagi terlelap tidur di tengah malam."
Danny menjadi merinding, bagaimana jika saat ini Livia jika dilepas akan membahayakan sekali. "Kemarin itu lo telat pulang sampe ke rumah sampe malam, lebih lama dari yang seharusnya karena gue bersihin wajah dulu di bengkel, nggak mungkin gue langsung ke rumah lo dengan muka kayak badut Mekdi. Livia, lo nggak lagi halusinasi. Tenang aja. Udah jelas yang menyerang Serryl itu orang lain."
"Tapi," sela Livia, "Emang lo udah memecahkan kasus mading rusak dan bangkai tikus itu?"
"Gue takut mau mengakuinya, lo pasti bakalan menganggap gue maniak atau seram. Gue memang layak dilabelin stalker. Sori. Pas lo ke toilet setelah kita diinterogasi itu, gue mau ngajak lo pulang bareng sekalian diskusi. Tapi ragu, mengingat lo nggak suka banget sama gue. Jadi, sambil mengumpulkan keberanian gue nungguin dari jarak jauh, dari lo masuk toilet sampe keluar. Gue memantau lo juga sampe keluar gerbang. Gue beraniin diri mengaku sekarang kalo gue melihat Rian masuk ke toilet itu. Aneh, 'kan?" Danny mengakui itu. Memalukan banget.
"Rian teman satu klub gue? Mana mungkin dia merusak hasil kerja keras kami? Lagian kunci mading ada di Nurul."
Livia syok berat. Dia semakin ngeri ketakutan, mengetahui bahwa Rian masuk toilet perempuan di mana dia sedang berada di dalam salah satu bilik itu membuatnya cemas dan menggelikan. Seketika bayangan Danny menguntitnya dari jauh tak ada apa-apanya dibanding diikutin Rian sampai masuk ke dalam toilet.
"Gue nggak bohong, sumpah! Memang buktinya nggak ada, tapi gue berani dibungkus kain kafan buat bersumpah." Danny serius meyakinkan.
"Ah, serem lo!" seru Livia merasa bahwa cowok itu memang jujur. "Mulai sekarang lo nggak usah menguntit gue lagi deh. Jujur selama ini gue mengira dikuntit setan atau pembunuh bayaran, gue sadar ada sepasang mata yang selalu mengikuti gerak-gerik gue, ternyata memang ada lo. Ckck," decak Livia.
Danny meringis menahan malu, "Maaf," ucapnya tanpa disadari dia sudah salah tingkah menggaruk tengkuknya. Untung saja Livia tidak melihat dirinya saat ini.
"Tapi, Rian memang memiliki akses di ruang mading. Sehingga bisa saja dia mencuri kunci itu dari Nurul," ucap Livia dari balik pintu toilet. "Apalagi saat kita di ruangan kepala sekolah, dia nggak ada sama kita. Dia nggak boleh masuk sama Pak Adrian."
"Benar ya mengarah ke cowok itu," sahut Danny.
"Lo kenapa ngunciin gue di sini sih?"
"Gue harus memastikan lo terkunci, biar ada bukti nyata yang nyerang Serryl atau Revan adalah orang lain."
"Kenapa lo tau rencana si pelaku itu?"
"Gue rasa, malam hari setelah rapat OSIS adalah waktu yang tepat untuk menculik kalian. Membuat kalian terjebak di sekolah," jawab Danny. "Saat di mana kalian semua berada di sini, dalam lingkungan yang sama, jadinya akan bisa saling menuduh satu sama lain."
"Mungkin. Malam ini lo beruntung gue terkunci, dan di luar ada pelakunya beneran muncul. Gimana kalo lo udah ngunciin gue tapi penjahatnya nggak keluar. Gue nggak bakal mau ngeliat atau ngomong sama lo sampe lulus sekolah." Livia berbicara dengan nada penuh rasa dendam.
"Kok cuma sampe lulus? Nggak seumur hidup? Waktu kuliah nanti gue bisa nge-chat ke lo dong. Gue bakal nyari medsos lo." Danny jadi menahan ketawa dengan hati sesak. Astaga, membayangkan bakalan pisah sama Livia sudah membuatnya patah hati.
"Gue bisa memastikan nggak bakalan berhubungan kontak bentuk apa pun sama lo lagi setelah lulus sekolah. Amit-amit. Even in my wildest dream. Idih! Semua medsos lo bakal gue blokir."
Danny tidak menjawab ucapan Livia, karena pemuda itu sedang menahan ketawa dan debaran jantungnya, dia juga sedang berusaha keras menahan senyum bahagia. Cowok sakit mana yang senang disiksa kata-kata oleh Livia? Danny sepertinya harus pergi ke RSJ. Padahal di luar sana Revan sedang berjuang mati-matian melawan sang penjahat ber-kupluk.
Ada sinyal muncul, ada pesan masuk. Dari pesan yang Danny terima dari Tio, kakak sepupunya yang membantu mereka menjalankan rencana ini. Revan masih bergulat di gedung terbengkalai yang waktu itu Danny pakai untuk menenangkan Livia. Serryl juga baik-baik saja bersama Okta. Tio juga mengatakan satpam sekolah sudah ada menjaga di pos depan saat dia mengadu kalau sepupunya, maksudnya si Danny belum pulang. Cowok itu menerima pesan SOS bahwa Danny dalam bahaya pula. Danny menyerahkan tugas ini sama mereka sementara Danny bisa menjaga Livia di sini.
"Danny!" panggil Livia panik dengan suara lirih, dia menggedor pintu toilet. "Lo masih di situ, 'kan?"
"Iya, gue masih di sini," jawabnya berusaha menahan senyum, namun gagal.
"Gue bisa tebak di luar lo lagi ketawa bahagia," umpat Livia sebal. "Apa rencana gue bakal terwujud, nggak akan ngomong sama lo lagi setelah ini."
"Sori, sori."
"Tapi siapa nanti yang bakal dengerin keluhan dan pemikiran otak gue yang penuh misteri kejadian ini? Siapa yang bisa diajakin diskusi masalah ini? Ah, tau ah. Lo ngeselin banget bikin gue kekunci di sini," kata Livia kesal.
"Kadang gue memang kepengen nyiksa lo kayak gini, abis lo nyebelin banget. Nggak pernah gue ketemu cewek yang resek banget kaya lo." Danny mendengar Livia mendengkus di sana.
"Resek kenapa? Menurut gue cewek manja, cengeng, dan genit yang lebih resek," dia membela diri. "Harusnya gue yang nyiksa lo, selama ini lo yang selalu ganggu ketenangan hidup gue."
"Lo sombong banget. Gue jadi males membahas soal perasaan gue sama lo. Lo nyebelin," kata Danny.
Livia diam seribu bahasa kemudian dia menjawab. "Perasaan apa?"
Meski waktunya tidak pas, Danny tidak tahu lagi kapan berkesempatan mengatakan hal ini secara langsung tanpa digebukin pakai buku paket pelajaran. Apalagi di luar ada maut yang mengancam nyawa mereka. Danny menarik napas, kok menjadi sesak banget ya?
"Gue suka sama lo udah lama. Gue kira dengan seiringnya waktu gue bakal ilfeel sama kelakuan lo, tapi ternyata gue makin cemburu atas kedekatan lo sama Revan bahkan Rian. Gue males banget ngomongin ini karena dari dulu lo nyebelin, gue juga ragu mau bahas ini karena tau gue nggak penting, dan nggak akan pernah penting. Lama banget ya gue memendamnya? Gue berani ngomong begini biar lo tau aja kok," kata Danny dengan jujur. Danny tidak pernah seserius ini. Ini adalah kisah cinta pertamanya.
Terdengar suara gaduh di dalam disusul suara umpatan pelan. "Argh, sial!"
"Livi, lo kenapa?" Danny hampir berdiri bersiap membuang balok kayu ganjelan pintu.
"Nggak," kekehnya pelan. "Gue kepentok pintu toilet."
Danny tidak menyahut lagi membiarkan Livia menggali pikirannya sendiri, atau perasaannya barangkali dia memiliki sedikit rasa untuknya.
"Lo nembak gue di toilet dalam keadaan mati lampu? Sama sekali nggak romantis. Nggak seperti Danny yang gue bayangkan bakal menembak cewek seperti pangeran berkuda mengajak Cinderella untuk menikah."
"Lo mau gue ajak kencan pacaran kayak di ruangan audi waktu itu?" goda Danny. "Waktu kita pertama ketemu."
"Jangan ngingetin sama hal memalukan itu!" dengus Livia.
"Maaf, gue bikin lo kesel ya? Tadi gue cuma ngungkapin perasaan, kok lo nangkepnya gue baru aja nembak sih? Gue sering resek biar lo tau kalo gue mulai beneran suka sama lo."
"Hah, masa iya sih?" jerit Livia emosi. Tidak terima. "Maksud gue, lo ngapain menyatakan perasaan gelap-gelap begini?"
"Tadi lo ngomongnya pake kata nembak, jangan bilang lo nggak bisa bedain?" Danny ketawa geli.
"Beda ya?" gumam Livia pelan. "Dan, kalo untuk sekedar tau. Gue tau kok kalo lo rada beda sama gue. Tadinya gue mengira cuman keisengan anak-anak badung untuk godain gue, gue sasaran empuk keusilan anak badung sih. Dari awal lo memang usil sama gue, jadi gue nggak anggap serius, tapi makin lama lo berbeda. Masa iseng sampe setahunan lebih? Terus lo nggak punya pacar biar nggak ganggu terus. Ya, ya, gue peka kok sebenarnya."
Danny jadi tertawa kecil. "Nanti gue tembak ulang deh yang lebih romantis. Oh, jadi lo tau kalo gue menaruh rasa lebih sama lo? Gue nggak menyangka lo memiliki sisi percaya diri juga. Kirain lo nggak peka gue pepet terus dikira cuma gangguan cowok kurang kerjaan."
"Nggak perlu," jawab Livia langsung judes lagi. "Kebaca. Cowok lain mana ada yang berani mati bercandain gue. Cuma lo yang muka badak. Lo lebay banget bikin gue berpikir, kapan lo lagi serius? Kapan lo cuma pura-pura? Gue mikirnya lo bakal iseng kayak yang dulu itu. Tapi makin lama, lo beneran berani nyari mati."
"Tapi lo tau kan kapan gue serius, dan kapan gue bercanda. Saat ini gue lagi pengen serius. Gue capek bercandain lo terus, gue norak banget ya selama ini?"
"Norak. Pake banget. Rasanya pengen gue musnahin setiap lo bertingkah. Apalagi kalo lo udah nyengir tak berdosa. Lo bikin gue emosi. Mana suka bikin gue hilang fokus sama pelajaran kalo ganggu dari balkon seberang."
"Oke, jadi ternyata lo suka memperhatikan gue juga, hehe, bahkan lo peka. Apa lo diam-diam punya perasaan sama gue ya?" Danny tak akan melepaskan momen ini, biar sekalian saja.
"Nggak tau. Mungkin udah berbeda semenjak beberapa hari ini. Dulu gue nggak pernah mau nganggap perasaan aneh kalo di dekat lo. Gue nggak mau suka sama lo, tapi kayaknya beberapa hari ini jadi beda." Livia mengakui itu, membuat Danny hampir terlonjak seperti mendapat kupon ngopi bareng Raisa. "Belum sayang," tambahnya.
"Baik lah. Apa pun itu gue terima." Lalu Danny terperanjat saat mendengar pintu toilet digedor brutal dari luar.
"Daniel! Daniel! Lo di sini?" Suara sepupunya, Tio.
Ya mana lagi ada yang memanggil nama aslinya, kecuali orang luar sekolah. Danny sih nama gaul di sekolah, tidak pake Laundry ya. Jujur aja, Danny bete setiap dipanggil begitu, jelek baget mirip tukang cuci.
Dengan badannya yang gede, gedoran pintu toilet ulah Tio di tengah kegelapan ini sangat menyeramkan.
"Tio. Lo di luar? Gimana sama yang lain?"
"Danny, ada apa?" tanya Livia panik, "Danny!"
Danny melempar ganjalan balok ke pojok toilet, Livia keluar dari toilet menubruk tubuhnya lalu menghujani tubuh bongsor cowok itu dengan tonjokannya yang tentu tidak sakit.
"Udah deh, Livi, jangan kelitikin gue! Aduh, aduh!" keluh Danny bernada geli lalu tertawa kecil.
"Gue gebukin elo tau. Dasar jahat! Gue dikurung ditoilet sama ember jelek!" kata Livia. "Gue kutuk lo jadi ember biar ngerasain sendirian nggak jelas di dalam toilet gelap gulita!" maki cewek sadis itu.
Untungnya Danny tidak dikutuk menjadi jamban. Cowok itu mau tertawa semakin keras tapi ditahan, siapa tahu akan semakin membuat Livia mengamuk. Setelah pintu berhasil dibuka dari luar hawa dingin malam langsung menerpa mereka. Di depan mereka, sudah ada Tio yang disinari cahaya terang benderang berasal dari senter hape menyorot ke arah mereka berdua.
"Gimana? Sori, ada yang kunciin dari luar sebelum gue sempet keluar," ucap Danny cemas.
Di sebelahnya sudah ada Okta, cewek itu kelihatan misuh-misuh bete sambil menggosok hidungnya. Ada juga Serryl dan Revan yang saling merapat mesra. Ooo ... ooow... Livia berlari ke arah Serryl dan memeluknya, bahkan Revan juga curi-curi kesempatan memeluk kedua cewek itu.
"Lo gapapa, Ser?" tanya Livia seperti tak ada nada atau emosi dendam.
"Livia, hiks," Serryl memeluk erat. "Maaf."
"Syukurlah, kalian nggak ada yang luka," ucap Revan memeluk kedua temannya.
"Geblek banget lo pake kekunci segala!" seru Tio. "Pintunya diganjal balok dari luar."
Biarkan mereka bernostalgia, Danny. Hiburnya dalam hati padahal panas banget hatinya itu.
"Bagus lo terkunci juga. Kalo gue di dalam sendirian doang, besok lo nggak bakal bisa cengar-cengir lagi!" pekik Livia yang masih menyimpan dendam pada Danny.
Danny tersenyum kecut. "Eh, gimana di luar tadi?"
"Dia kabur. Kami udah berhasil membekuknya. Dikira udah aman, dia nyerang kami semua dengan bubuk merica, kami jadi lengah karena hidung gatel. Dia kabur ke gerbang depan, ngilang begitu aja tanpa jejak," kata Tio. "Gue tanya anak bengkel, nggak ada yang liat sosok mencurigakan."
Rumah Tio di Jalan Damai yang tepat di depan sekolah mereka, kenalannya yang bernama Galih memiliki bengkel lumayan besar di area depan dekat sekolah itu. Kemarin setelah membuat Livia pingsan, Danny menitipkan Livia beserta mobilnya di bengkel tersebut. Sedangkan Danny menjalankan misi di dalam sekolah.
"Cepat banget kaburnya. Lincah banget, heran!" keluh cewek berambut shaggy pendek yang rada tomboy, namanya Okta, dia tetangga Tio yang menjadi teman bermain Danny. "Padahal ide tali tambang tadi udah keren. Belom puas nginjek-nginjek nendang dia pas jatuh tersungkur, kalo kagak ditahan si Tio yang muncul nyergap dari belakang, dia udah gue gebukin sampe bonyok!" Seperti biasa cewek itu ceplas-ceplos dengan aksen cablaknya.
"Nggak pernah berubah, suka banget main sikat lawan," cibir Tio.
"Ide tali tambang?" Danny bingung. Jelas dia tidak tahu rencana itu, penjahat keparat yang sudah menguncinya di toilet sekolahan mana listriknya dipadamkan segala.
"Kita bahas di pos satpam aja yuk!" Ajak Revan yang ternyata sudah lemas sekali. Terutama matanya, dan luka yang dideritanya sudah harus segera diobati.
"Tunggu bentar." Semua menoleh pada Livia yang berkata demikian, gadis itu terlihat membuka tas gembloknya, lalu mengeluarkan sebuah sapu tangan. Livia mendekati cowok itu, tanpa bicara apa-apa dia menarik tangan Revan yang terluka, dan mengikatkan kain tipis itu membalut pada luka yang masih ada noda darah basah akibat perkelahian.
Kejadian itu membuat mereka semua menjadi hening. Untungnya tak terlalu terang, berkat cahaya senter handphone Tio. Mereka memiliki raut wajah, dan perasaan dalam hati masing-masing juga kacau.
Livia deg-degan.
Serryl menjadi kaku.
Revan terenyuh.
Danny rasanya mau iri tetapi juga terharu, bahwa gadis yang dia sukai, jauh tanpa disadari oleh banyak orang ternyata memiliki perhatian, dan hati sebaik itu. Yang jarang dilihat orang kebanyakan orang. Mungkin hanya Danny yang menyadari itu. Livia memang memiliki hati yang baik dan membantu dengan perhatian pada hal kecil.
**
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top