Bab 12

"Van, lo yakin mau ngikutin perkataan Danny?" tanya sosok gadis berambut panjang itu dengan cemas.

Tentu saja Serryl yang semakin mencemaskan keadaan yang berubah menjadi seperti ini dalam beberapa hari saja.

Tadi Danny sudah menceritakan sesuatu kepada mereka, jujur saja setelah itu Revan semakin penasaran. Revan ingin dijadikan umpan memancing penjahat bertopeng yang kemarin malam hendak mencelakai Serryl agar keluar lagi. Sungguh Revan penasaran juga siapa yang berani melakukan itu. Hubungannya dengan Serryl sedikit membaik semenjak kemarin malam. Sedangkan hubungan mereka dengan Livia? Yah, sementara hubungannya dengan Livia nyaris sudah tidak bisa terselamatkan. Makin ruwet berantakan.

"Ya mau gimana lagi? Lo mau terus-terusan nebak teka-tekinya? Nebak doang nggak bakal menyelesaikan masalah, Ser," kata Revan meyakinkan pada Serryl.

Saat ini mereka sedang duduk berduaan di bawah pohon mangga pinggir lapangan menonton teman-teman gaulnya bermain basket. Mereka baru saja bertemu setelah tadi saling memisahkan diri tidak mau kelihatan habis berbicara dengan seorang Daniel Landry, tentu akan menarik perhatian si orang jahat yang pastinya sedang mengintai mereka.

"Tapi nyawa lo dijadiin taruhannya."

Revan mendesah kesal.

"Tapi, coba lo pikirin, siapa yang ngambil kalung lo dan buang ke tangga itu?" Serryl yang penasaran tak peduli omongannya akan menyakitian temannya sendiri, Livia. "Lo bilang, orang yang paling terbiasa ke meja lo, ambil kalkulator, dan buka tempat pensil adalah Livia, 'kan?"

"Hmmh, tapi gue udah memutar otak jungkir balik buat nyari motif alasan Livia fitnah gue. Dia juga udah dilepas polisi karena nggak terbukti kalo dia yang melakukan percobaan pembunuhan pada Tristan. Nggak ada yang terbukti membunuh Tristan. Udah jadi kasus kecelakaan. Udah gitu, Danny juga tau banyak hal dan kayak serius banget mau bantuin kita."

"Gue khawatir banget ini cuman jebakan Danny dan Livia buat semakin mudah memancing kita keluar nanti malam, pokoknya gue nggak setuju! Nanti lo kenapa-napa!" Protes Serryl sambil memanyunkan bibirnya. Gaya yang menurut Revan menggemaskan banget.

Revan mencolek pipinya si gadis itu pelan. "Lo nggak percaya sama sahabat lo sendiri, Ser?" Revan tidak menuduh Serryl yang memperlakukan Livia tidak adil cuma karena berbohong untuk menutupi kejadian yang sebenarnya.

Serryl benar-benar menjauhi cewek itu untuk menghukumnya. Revan saja yang tidak memiliki sahabat dekat (dalam artian dekat banget) lumayan merasa kesepian, bagaimana cewek yang ceriwis ini saat bermusuhan dengan sahabat sehidup-sematinya, Livia. Saat itu Revan memang suka banget sama Serryl, Revan mulai berani mendekatinya dengan alasan satu komplek, modusnya cuma ingin berteman. Kalau ditawarin lebih ya mau banget.

Serryl sangat setia kawan dan menyayangi Livia bak saudara kandung, jelas terlihat saat Revan modus mau berangkat-pulang bareng Serryl, targetnya itu selalu mengajak Livia juga yang ternyata tetangga dekatnya. Jadinya seperti sekarang ini pendekatannya tidak kunjung berakhir, malahan kita jadi berteman-akrab bertiga ke mana-mana.

Livia cewek yang lumayan menyenangkan karena wawasannya luas, pintar, berwajah manis dengan figur wajah yang sempurna. Kekurangannya, Livia sangat frontal alias jujur banget, meski kata-katanya kadang menyakitkan, itulah yang sebenarnya menjadi alasan Serryl tidak bisa berpaling. Karena menurut Serryl, mau di belakang ataupun di depannya, sikap Livia sama saja.

Serryl yang romantis bersahabat dengan Livia yang cuek bebek menjadi daya tarik tersendiri, jujur Revan tertarik banget sama persahabatan mereka.

Mukanya Serryl terlihat berubah jadi sendu dan murung, Revan tahu cewek itu sangat merindukan Livia.

"Gue jahat ya, Van? Gue nggak percaya sama dia. Padahal benar juga kata Danny, hubungan gue sama Tristan nggak ada artinya dibanding persahabatan gue."

Revan mendecak, "Kalian cuma salah paham dan kebawa emosi sore itu. Dia nggak jujur. Lo tau beberapa hari yang lalu mading dirusak. Dia nggak bilang apa-apa sama kita, karena takut dan sungkan mungkin. Gue sih udah nggak kesel tadinya, karena ngira dia yang jebak gue, tapi kejadian kemarin agak bikin curiga lagi."

"Gue tau kok, kalo emang begitu kayaknya kita harus membuktikannya nanti sore daripada nuduh terus tanpa bukti."

"Jadi lo udah ngizinin gue nih?" Revan tersenyum.

"Iya, lo harus jaga diri baik-baik, karena gue nggak bisa bantu apa-apa."

"Justru itu lo harus hati-hati, saat gue berhadapan sama penjahat itu, lo bakal sendirian."

"Danny pasti punya rencana yang lebih detail lagi."

"Gue heran kenapa dia niat banget membantu Livia," gumam Revan sambil mengendikkan dagu ke arah Danny yang tengah berjalan di koridor bersama pasukan bengalnya. "Padahal Livia antipati banget, ckck."

"Danny rada jual mahal juga sih bukannya langsung tembak pake cara cowok normal, malah pake cara yang membuat Livia ilfil berat. Kalo Livia sih emang jual mahal. Mahal banget," ungkap Serryl dengan bibir tersenyum sinis.

"Haha, bener juga," Revan memandangi wajah Serryl yang cantik, matanya bulat, bulu mata lentik, bibir tipis, rahangnya sangat kecil. Tatapannya berubah serius, "Lo sayang ya sama Livia?"

"Iya lah. Sayang banget. Kita udah kaya saudaraan, hehe. Tapi, gue jadi nggak nyangka aja sama dia sampe bisa tega. Atau bisa jadi ini salah duga?" Serryl memandang dengan sorot matanya yang meneduhkan jiwa Revan, serta tersenyum manis.

"Kalo sama gue sayang nggak?"

Serryl langsung mengalihkan pandangan, meski begitu tadi Revan melihat wajahnya langsung merona merah akibat pertanyaannya. Rambutnya yang sangat halus, tidak tahan Revan mengelus puncak kepalanya Serryl yang mungil.

"Gue sayang lo juga, Van. Tapi Livia udah dari lama naksir sama lo, dia berharap lebih. Makanya, dia nggak mau pacaran, nungguin lo."

Revan menggeleng tidak percaya, "Hah?? Nggak mungkin Livia beneran naksir sama gue. Serius lo? Gue nggak percaya selama bukan dia yang ngomong."

Tidak mungkin cewek cuek yang selama ini Revan kagumi karena ketangguhannya dan bakatnya ternyata suka sama dirinya. Meski katanya Revan ganteng dan terlihat berwibawa dia tidak memiliki kepintaran akademik yang mampu melebihi Livia ataupun bakat lain. Revan cuma menang dalam bersikap doang. Banyak cewek-cewek yang menyukainya dan membuat Revan terkenal sebagai "modal tampang". Disukain sama cewek macam Livia membuat dirinya langsung terbang ke langit. Tapi Livia tidak pernah modus apa pun selama ini deh.

"Iya serius. Lo nggak peka banget ya? Ckck, gue udah berpikir ini lama banget, sampe akhirnya gue memutuskan gue mau serius sama Tristan. Gue nggak mungkin sama lo, sedangkan tau banget perasaan Livia."

Rasanya seperti ditabrak kereta dan dilempar ke sana-kemari. Sakit banget. Mungkin ini cara Serryl dalam menjaga perasaan Livia dan menjaga hubungan pertemanan mereka. Mulutnya Revan pasti sudah terbuka lebar tidak mampu menyembunyikan rasa kecewa.

Daripada membahas tentang perasaan Revan mengalihkan pembicaraan. "Kita pasti bisa membuktikan."

"Lo merasa aneh nggak sih, nggak tau kenapa gue curiga kalo Danny yang di balik semua ini. Tadi lo tau sendiri kan, masa tuh cowok tau kalo gue diserangnya pake senjata tajam."

Revan mencerna dengan kening berkerut. "Tadi gue juga mikir begitu, mungkin dia melihat kejadian itu."

"Tapi kan katanya Livia langsung pulang setelah rapat dan pingsan diantar sama Danny. Kenapa jadi memusingkan sih? Aneh, 'kan? Danny kayak tau kejadian yang terjadi sama kita, tapi Livia bilang Danny nganterin pulang. Apa mereka bersekongkol dan di balik semua ini?"

"Nggak gitu deh, jawaban mereka berbeda. Livia kan pingsan, dia yang nggak bisa dipercaya. Danny meyakinkan kita kalo bukan Livia pelakunya. Kita harus percaya sama yang sadar."

"Yah, aneh," sahut Serryl. "Gue makin pengen tau. Nggak ada yang bisa dipercaya total loh, Livia pingsan buat alibi. Bisa aja kan? Sedangkan Danny yang nyusun rencana itu dengan nyuruh orang lain."

"Livia bisa aja fitnah gue soal dengan cara ngambil kalung, tapi dia mana kuat berusaha membunuh," sahut Revan. "Tenaga orang itu kuat banget." Kemudian dia berdecak kagum dengan mata menatap langit.

"Kan sasarannya gue yang lemah." Serryl mendengkus. Serryl terkesiap, matanya melebar ke arah ponselnya yang menyala. "Halo?"

"Serryl!"

"Halo Tristan?"

Revan menoleh ternyata Tristan yang menghubungi cewek itu.

"Tristan, bagaimana keadaan kamu, Sayang?"

"Kita putus aja. Gara-gara jadian sama lo, gue jadi sial begini," ujar Tristan seperti rasanya aura mukanya yang menyebalkan sudah bisa terbayang. Revan bisa mendengarkan suara keras Tristan yang penuh penekanan. Bahkan bisa dibayangkan, tatapannya sekarang terarah kepada Revan, "Lo bawa sial. Hati-hati anak lain bakal jadi korban kesialan lo yang selanjutnya!"

Mata Serryl sudah berkaca-kaca ingin segera menangis, Revan terkesiap setelah mendengar ucapannya yang sangat menyakitkan.

Revan bangkit dari duduknya dengan gusar menarik ponsel dari tangan Serryl. Tidak seharusnya itu cowok menyakiti perasaan Serryl seperti itu. "Ngomong apa lo brengsek?"

Serryl menjadi tak bisa mendengar ucapan Tristan selanjutnya.

"Jadian sama Serryl itu jadi sial!!" Tristan mendengkus kesal.

"Tristan! Lo ngomong apa sih?" isak Serryl. Dia jelas mendengar ocehan Tristan kali ini.

"Bajingan!" Revan hanya bisa membayangkan dia bisa menghempaskan tubuh Tristan.

Kalau Revan tidak bisa menahan emosi dan sadar ini di sekolah Revan sudah menonjok sesuatu, jika perlu wajahnya si Tristan sekalian, tepat di mukanya biar makin parah lukanya. Sialan.

Serryl sudah mengambil paksa kembali ponselnya, sebab Revan hanya diam mendesis saja. "Oke, kalo emang mau putus. Saat itu gue juga menerima lo karena terpaksa." Lalu cewek itu menutup panggilan secara sepihak.

Ya Tuhan, ada sedikit rasa bangga dan kecewa mendengar kalimat tersebut dari Serryl. Bangga karena Serryl bertingkah sok tegar di hadapan Tristan seperti playgirl kelas kakap, pokoknya Revan bangga dia tidak menangis menjerit-jerit diputusin cowok itu.

Rasa kecewa karena lagi-lagi Serryl mempermainkan perasaan cowok. Tapi Revan rasa kali ini dia cuma bertingkah sok playgirl biar harga dirinya tidak jatuh lantaran kisah cintanya lagi-lagi tidak mulus.

Revan mengejar Serryl yang sudah berlari meninggalkan dirinya, benarkan kata Revan tadi. Itu cewek cuma sok tegar, sekarang sudah menangis sesenggukan.

Saat menyadari Revan di belakangnya, Serryl berhenti laku menghampiri, dan memeluk tubuhnya erat sekali. Dia menangis sejadi-jadinya dalam pelukannya. Revan mengelus punggungnya dan menyisiri rambutnya yang halus.

"Ternyata benar. Gue udah tolol banget benci sama Livia untuk cowok brengsek itu. Gara-gara gue lebih mentingin dia, hubungan gue sama Livia udah berantakan. Hiksss .... Gue menyesal." Serryl terisak.

Oh, ternyata cewek itu menangis bukan karena diputusin, melainkan menyesali perbuatannya yang mencampakkan Livia demi membela cowok macam Tristan. Revan bersyukur dia pasti akan berusaha mengembalikan kepercayaan Livia padanya. Masalahnya Livia tidak semudah itu dibaik-baikin. Maka Revan akan menebus kesalahannya.

"Jadi, kita fix bantu Danny? Untuk membongkar siapa yang udah menyerang lo waktu itu, 'kan?" Revan memandang Serryl penuh harap.

"Pasti. Yuk, kita balik ke kelas."

Revan terkesiap saat menyadari dari balik kaca ruang UKS ada sepasang mata memandangi mereka dengan pandangan menusuk. Revan menegasi pandangannya sekali lagi. Namun, sepasang mata pengintip itu sudah tidak ada.

Sorot mata yang sama dengan mata sosok bertopeng itu. Revan ingat betul, manik matanya yang berkilat-kilat penuh kebencian dan amarah. Sepertinya apa yang diceritakan Danny sungguhan bahwa pelakunya ada di sekolah mereka. Mereka tidak tahu siapa dia. Dan, apa maksudnya melakukan ini semua. Revan jadi berharap semua akan berjalan sukses, dan semua akan baik-baik saja seperti sedia kala.

Saat berpapasan dengan Danny di lantai bawah, dia memiliki rencana untuk bicara lagi dengan pemuda itu. Serryl juga ikut serta.

**

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top