-2- NoRen
⏩ Please open your spotify or another official music platform and play NCT DREAM - BOOM while reading this.
.
.
.
Keramaian dan Keributan.
Haechan tahu keputusannya membawa Renjun ke tempat penuh sesak akan berakhir seperti ini, lagi. Percuma memang jika kalian mengetahui sudah belasan tahun Haechan merasakan bagaimana ditinggalkan punggung sempit Renjun setiap memaksa pemuda hampa itu mendatangi, setidaknya hanya kantin. Akan tetapi, yang Haechan pahami Renjun selalu menuruti segala amanat, apa pun itu meski harus membuat sisi bahagianya menggelap.
Amanat yang kadang membuat Haechan meringis betapa sulitnya hidup seorang permasan kerahasiaan adidaya. Berbeda konteks dengan yang tertunjuk padanya sebagai arahan. Meski Renjun tidak terlihat merasa sengsara akan hal yang dialaminya.
Mungkin bagi Renjun, mempertaruhkan kebebasan gaya hidup yang seharusnya, bukanlah apa-apa dibanding tersingkir dari singgasananya saat ini. Haechan tidak pernah mengerti betul apa yang sebenarnya diinginkan Renjun, yang merasa mematuhi segala tetek-bengek tersebut walau jauh dari dunia.
Well, yang Haechan bisa lakukan hanyalah berada di sisi Renjun saat publik benar-benar tidak boleh mengecap satu pun keberadaan pemuda manis tersebut.
Sampai titik jenuh datang dan gugur bersama ego individualis.
"Ah aku harus mengejar Renjun."
______________
.
.
.
______________
Bunyi derit pintu mengiris pendengaran saat memasuki ruangan klasik yang nyatanya sangat luas. Jauh dari perkiraan bahwa sebagian mahasiswa mungkin melupakan eksistensi kemegahan yang ditampilkan gedung opera kepunyaan fakultas seni Sichuan. Beberapa kursi audiens berwarna merah khas terlalui sampai di tengah gedung yang seperti teater.
Renjun tidak dapat menutupi kekagumannya memandangi seluruh ruangan. Memilih berjalan maju sembari menggulirkan pandangannya dalam seluk-beluk gedung. Mulutnya terbuka kecil menyerukan kata pujian tanpa suara hingga sampailah ia di pinggir panggung kayu yang mengkilat. Raut wajahnya takjub akan piano hitam yang akhirnya terlihat. Redupnya lampu utama membuatnya tak dapat melihat alat musik klasik itu dari kejauhan.
Tangga di sebelah kanan ia pilih untuk menaiki panggung, begitu langkah membawanya menapakkan kaki di sana, bunyi sepatu menggema langsung di penjuru ruangan. Tempat di ujung panggung kanan ia gunakan untuk duduk, memandang hampa deretan kursi merah yang mengarah padanya.
Renjun mendengus sesaat, kejadian beberapa menit lalu berputar di pikirannya. Ia tidak bermaksud jika lagi-lagi hal yang sama terulang pada haechan. Seperti yang sudah sudah, sensori tubuhnya bekerja langsung menghindari yang sudah tertitah kepadanya.
"Keterlaluankah?" Renjun bermonolog ketika menyadari sudah banyak sikap menyebalkannya yang Haechan tanggung sendiri.
Ia menggeleng sekali. Menurutnya hal yang lumrah, tetapi kalau saja itu bukan Haechan, Renjun memang sudah keterlaluan sepertinya.
Karena Renjun tahu, Haechan sangat-sangat memahami dirinya dibanding entitas lain yang membuat semua ini terjadi nan entah dimana.
Tidak ingin menyalahkan pada keadaan karena memang Renjun sudah paham takdir hidupnya memiliki siklus monoton bersama Haechan. Akan tetapi, Renjun tidak ingin juga menyalahkan nasibnya hingga kepribadian yang terbentuk sedemikian rupa. Di mana reputasi acuh tak acuh dan dingin telah melekat dalam diri Renjun.
Tentang stigma orang-orang yang pernah bersinggungan dengan Renjun beberapa kali, biarlah mereka menarik kesimpulan sesuka hati. Mengatakan personalitas seseorang yang tak pernah mereka tahu aslinya. Hanya kepada Haechan, secuil keramahan yang bisa Renjun berikan. Sebab tidak sekadar Renjun yang menjadi korban, Haechan pun.
"Maafkan aku ...," bisiknya lirih.
Matanya memejam. Tangkupan kedua tangan memenuhi wajah. Tanpa seorang pun melihat, punggung yang selalu berani itu bergetar. Miris dan kelam menguasai gedung opera bersamaan sebuah rasa tak terbendung saat ini.
Keheningan menyusut diikuti ketukan samar yang sepertinya datang dari luar. Bunyi yang teredam dalam ruangan memang menghalau suara di dalam. Namun, pancaran sinar di luar sana memaksa masuk begitu pintu dibuka.
Masih cukup jauh kala cahaya menemukan posisinya. Dengan waktu yang sesingkat itu, Renjun menyudahi semua layaknya tak terjadi apapun.
"Renjun!" teriak Haechan waktu menemukan posisi Renjun duduk di pinggiran kanan panggung teater.
Pemuda mungil yang satunya agak meringis, teriakan Haechan di tempat sepi ini menggema hebat. Ia tidak mau repot-repot membalas lambaian Haechan yang toh akhirnya mendekatinya juga. "Hm ya," balas Renjun seadanya.
Napas Haechan benar-benar bersahutan seperti habis lari maraton. Akan tetapi, sumringah di wajahnya tidak surut sedikit pun. Menyangsikan kalau pemuda yang kini mendekati Renjun mungkin saja tidak lelah.
Walau yang Renjun tahu pasti, Haechan kemungkinan mengelilingi beberapa area kampus demi mencarinya sambil berlari.
Haechan terkekeh, "Ayo makan, ini aku membawakanmu roti isi." Diangkatnya dua bungkus roti di hadapan wajah Renjun. Seperti biasa Haechan tak akan menyerah.
"Terserah saja," Balas Renjun dengan senyum tipis. Akan tetapi, tangannya tetap meraih salah satu roti yang Haechan acungkan. Renjun masih di posisinya duduk di atas panggung, berbeda dengan Haechan yang mulai melipat kakinya duduk di bawah panggung.
Ia tahu Haechan bukan kepikiran tidak ingin repot-repot duduk di sebelah Renjun. Namun, situasi dan posisi mereka otomatis berubah jika tidak ada siapa pun di sekitar.
Renjun belum memulai santapannya, tetapi Haechan mengagetkannya dengan tepukan yang menimpa dahinya sendiri.
"Ada apa?" Renjun berujar jengah begitu makhluk satunya mendekati dengan air muka setengah panik.
"Aku lupa!!! Minuman!" Serentetan kata yang membuat Renjun memutar bola matanya bosan. Sudah pasti Haechan memintanya tidak kemana-mana saat pemuda itu beranjak izin membeli minum. Kebiasaan yang tak pernah luput dari kehidupan mereka yang monoton. Permohonan.
Tepat selepas Haechan bergegas lari-lagi-meninggalkan gedung yang sempat dibuat berisik oleh kehadirannya, decitan besi yang kehilangan berat berbisik. Renjun mendengar jelas dari mana bunyi tersebut berasal. Jauh di kursi audiens paling belakang.
Ia menajamkan penglihatannya di belakang sana. Bagian ruangan opera yang tak tersentuh cahaya remang-remang dari lampu yang tidak dinyalakan beraturan.
Terlalu gelap untuk ia telisik, selain itu jaraknya benar-benar tidak membantu menangkap apa pun yang membuat bunyi tadi memenuhi tempat ini. Sejak awalnya Renjun kira hanya ada dirinya dan Haechan tadi.
Sebuah erangan malas masuk ke pendengarannya.
Ada seseorang yang menempati ruangan dalam diam sejak Renjun datang. "Siapa?"
Pandangan Renjun semakin menajam, melihat pergerakan siluet hitam yang perlahan menunjukkan bentuknya. Renjun sudah teatih lebih dari cukup untuk kewaspadaan terhadap keadaan sekitarnya. Namun, ia tidak menyangka ada yang tidak bisa ia rasakan kehadirannya.
"Siapa kamu?"
Masih dengan jarak yang membentang antara Renjun dan seseorang dalam gelap di sana. Ia merasakan tatapan berfokus padanya. Aura tipis yang sekilas terasa seperti intimidasi berubah sedetik kemudian.
Ketukan sepatu dan lantai kayu mulai menggema. Renjun menerawang di bawah cahaya lampu remang, siluet hitam yang kini sedikit demi sedikit terlihat mendekat. Pembawaan classy dengan postur tegap dari ujung mantel hitam yang tampak lebih dulu. Kedua tangan yang Renjun lihat juga bersembunyi di dalam saku celana, menekan dorongan untuknya semakin bergeming kaku.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Renjun bertanya lagi untuk yang kesekian kali dan hanya terbalas tampilan wajah datar. Setelah ia lihat-lihat pada akhirnya seseorang itu tunjukkan secara keseluruhan di hadapan Renjun.
Penampilan yang sering ia lihat di perkumpulan kaum jetset. Mewah dan elegan sembari membicarakan hal yang tak pernah Renjun mengerti di masa kecilnya. Akan tetapi, baru kali ini bukan rasa malas ketika melihat lagi orang berpenampilan seperti itu melainkan lilitan teror dari sorot mata yang menatapnya.
"Kenapa ka-"
"Bisa berhenti bertanya?" Dia menyela pertanyaan Renjun. Meninggalkan keheningan yang membuat Renjun ingin kabur dari sana saat ini juga.
Namun, tentu saja tidak bisa.
"Kamu menganggu ketenangan tidurku," tambahnya lagi.
Sedikit membuat Renjun hampir menganga tak percaya. Untuk ukuran tampilan seseorang yang tampak seperti borjuis, tidur? Di gedung opera? Mungkinkah?
"Tapi tempat ini bukan hotel." Gigi Renjun bergemeletuk tidak tenang. Hatinya berdegup dengan irama yang terasa was-was.
"Memang bukan, lagi pula kamu yang membuat tempat sepi ini jadi berisik." Sebuah jari telunjuk mengarah lurus pada Renjun.
Ia terhenyak mendengarkan kalimat yang seperti tuduhan tak beralasan. Pikiran Renjun mulai menyusun beberapa sangkalan demi mempertahankan diri. Namun, lagi-lagi situasi menahan semua rancangan kalimat hingga yang tersisa hanyalah,
"Apa kamu benar-benar tidur?"
Renjun ingin menampar bibir kecilnya itu. Padahal terdapat beribu sanggahan yang bisa ia lontarkan misalnya, 'seperti kamu tahu gedung opera adalah ruang publik di mana semua bebas melakukan apa pun dan tak ada batasan seseorang merasa terganggu atas kegiatan yang ada di sana'.
Harusnya seperti itu, tetapi semua kata-kata itu tergelincir hilang, menjadi Renjun yang menanyakan hal tidak penting sebenarnya.
Atau penting?
Di tengah renungan yang terus meluas, Renjun tidak menyadari laki-laki yang tadi di hadapannya kini sudah berdiri tepat beberapa senti di depan wajahnya. Dalam sekejap reflektivitas badannya yang lebih kecil memundurkan diri, kaget.
"Menurutmu wajahku terlihat seperti orang yang baru bangun tidur?" tanya sosok itu menunjukkan wajah yang ternyata rupawan jika dari dekat. Helai rambut pirang itu sedikit membelai dahi Renjun saking dekatnya.
Bukankah sudah Renjun rasa aneh? Dari penampilannya saja bahkan ia merasa skeptis untuk apa orang golongan atas melakukan hal yang tidak penting di sini. Hal yang mungkin wajar digunakan mahasiswa biasa untuk kabur kelas dan menikmati tidur.
Renjun tidak ingin menanggapi. Ia segera melenggang pergi, tidak menaruh peduli pada pertanyaan menggantung sosok tadi. Dia tidak harus berurusan dengan siapa pun orang asing yang hanya akan menyita waktu.
Beberapa langkah panjang tergesa harus berhenti mendadak, lantaran ucapan yang mengganggunya.
"Kalau aku tidak tidur dan mendengar semua rengek sendumu?"
Ia benar-benar tidak ingin memperpanjang urusan dengan siapa pun. Pertanyaan yang entah pernyataan telah menggodanya untuk segera dikonfrontasi. Terlebih lagi wajah laki-laki tersebut tampak menantangnya.
"Maka kamu harus menutup mulutmu!" tandas Renjun dalam sekali napas. Ia berbalik lagi meninggalkan orang asing setelah ucapan terketusnya.
Dalam hitungan detik, laki-laki itu menyejajarkan langkahnya dengan Renjun. Jangan salahkan Renjun yang sudah berjalan dengan langkah panjang, tetapi masih bisa tersusul juga, kakinya tidak cukup panjang digunakan melangkah maksimal.
"Baiklah, kepekaanku sangat sensitif saat tidur, kalau kamu mau aku diam, mungkin kamu harus membayar." Dia tersenyum. Matanya pun membentuk lengkungan yg sama seperti senyuman kecil itu. Berbeda saat pertama kali Renjun mendapati aura intimidasi saat munculnya kehadiran lelaki tadi. Semuanya menghilang. Namun, bukan berarti Renjun mengenyahkan apa pun itu maksud dari perkataan bahkan senyum yang dibuat-buat.
Hal yang mungkin saja menyimpan banyak arti di dalamnya.
Renjun tidak mengerti. Ia terus memperhatikan bagaimana laki-laki itu yang jadi meninggalkannya tepat dengan kerlingan sebelum pergi. Siapa pun orang yang baru saja terlibat urusan dengannya takkan bertahan lama. Karena pengawasan tak pernah luput dan dunia Renjun benar-benar tidak boleh diusik oleh siapa pun.
Hanya saja.
Renjun memacu kaki-kakinya tidak sabaran menuju satu-satunya pintu masuk gedung opera. Harapan seketika berbalik menyatakan satu keputusan yang bisa saja mengubah hidupnya.
Begitu tangannya menggapai gagang, Renjun menerima cahaya menyilaukan dari pintu yang terbuka lebih dulu.
"Ini ... hosh, minumnya!"
Renjun mengernyit tak suka. Ia mengabaikan Haechan di ambang pintu dengan dua Spr!te di tangannya. Lantas memeriksa keadaan luar yang tak tampak bekas kehadiran orang tadi.
Haechan yang merasa terabaikan Renjun ikut menengok ke luar. "Mencari apa Jun?"
"Huh? Tidak. Bukan apa-apa."
Renjun kembali dalam mode stoic-nya, tetapi batinnya meneguhkan diri akan mencari seseorang yang perlu ia waspadai.
.
.
.
To be continued
almost 7 months and i just publish this old fanfic nowadays wkwk 😂 ??
Not gonna chit chat
Leave critic and comment here
(And maybe a sound of protest)
Byeeeee
[Revisi]
Sekian dan Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top