-1- MarkMin

Dyorchestra Present
~•~
Henchman

.

.

.

⚠️ Warning

Cerita ini berisikan konten dewasa untuk chapter tertentu; Kekerasan perkelahian yang sangat tidak layak untuk ditiru. Dimohon kesadaran pembaca dalam memahami cerita ini.

Action, Crime, Romance, College-AU! Restricted

Disclaimer: Karya fiksi ini murni milik saya. Beberapa nama di dalamnya digunakan untuk kepentingan entertainment, dan tokoh-tokoh yang digunakan bukan hak cipta milik saya.

______________

Chengdu, ibu kota budaya yang penuh dengan tempat bersejarah, tanah dan dataran subur Red Basin di Provinsi Sichuan. Daya tarik megapolitan sederhana yang mengutamakan budaya serta relaksasi ruang hijau menjadikan kota Chengdu berada di peringkat atas untuk ditinggali.

Dijuluki sebagai Negeri Surga, Chengdu penuh destinasi menarik untuk dieksplor. Tempat-tempat klasik nan bersejarah saksi perubahan China tak pernah lekang dimakan usia seperti; pusat kota Chengdu, Tianfu Square yang memperlihatkan pertunjukkan air mancur bersama sinkronisasi musik di sekitar patung Mao, Kuanzhaixiangzi sebagai perefleksian diri dari hingar-bingar kota lewat secangkir teh hangat dan makanan tradisional lalu ada A Thousand Plateaus Art Space serta Sichuan Opera merupakan manifestasi pembuktian kapabilitas seni kontemporer budaya di Chengdu.

Tidak hanya kaya akan kultural, penelitian dan pendidikan tersebar cukup merata di seluruh pelosok Chengdu. Seperti salah satunya yang berdiri langsung di bawah pengelolaan Kementerian Pendidikan, Universitas Sichuan. Terdapat sekitar 30 kategori disiplin ilmu yang bekerja sama dengan beberapa institusi baik di wilayah Chengdu maupun di luar negeri.

Baru sepekan lalu Universitas Sichuan selesai mengadakan masa orientasi yang wajib dijalani untuk para mahasiswa baru. Dengan jumlah 40.000 pendaftar yang masuk, kurang dari angka tersebut seluruh mahasiswa tingkat pertama siap menempati ke-30 kategori disiplin ilmu yang terdiri dari rumpun pengetahuan alam, ilmu sosial serta bahasa.

Dari sekian banyak mahasiswa yang terakumulasi sebagai penghuni baru Sichuan, tak luput juga para senior yang kemungkinan menjadi penyebab sesaknya kafetaria saat ini. Meski ruang penyajian makan untuk seluruh akademisi Universitas Sichuan disediakan hampir seluas gymnasium tetap saja terasa penuh. Siang ini mahasiswa dan mahasiswi memadati kafetaria hingga menyebabkan antrian panjang hampir mencapai pintu masuk.

Jaemin sendiri tidak begitu yakin jika seluruh mahasiswa Sichuan benar-benar berkumpul di kafetaria. Namun, melihat kepadatan serta riuhnya suasana kafe dengan obrolan, gelak tawa dan decitan ribuan sepatu yang berbaur menjadi satu menjelaskan begitu ramainya prosesi makan siang kali ini.

Walau demikian, pemuda dengan rambut coklat karamel itu tidak mengeluhkan soal keramaian serta kebisingan yang ada. Hanya saja ia berharap barisan panjang yang mengantri makan siang ini cepat usai. Sedari tadi kaki-kakinya sudah pegal menopang berat tubuhnya menunggu antrian berjalan. Belum lagi dua gadis muda yang disinyalir seangkatan dengannya bergerak lambat-obrolan di antara keduanya membuat antrian dari Jaemin hingga ke belakang tertahan.

"Kamu dengar itu? Kabarnya benar kalau anak Perdana Menteri Wang masuk Sichuan tahun ini."

"Berarti berita yang bilang Perdana Menteri kita kecelakaan saat kemarin itu sungguhan?"

Gadis dengan rambut kuncir ekor kudanya mengangguk sementara perempuan yang satunya tampak bingung menatap temannya. "Tapi ... harusnya ada gembar-gembor ramai tentang anaknya, kan? Paling tidak penjagaan ekstra di kampus kita."

"Aku juga tidak mengerti, keberadaan anak itu saja tidak ada yang tahu pasti," balasnya melas sambil mengedikkan bahu.

Perempuan yang lebih pendek menyahut, "Tidak ada yang tahu pasti?" Dia lantas mengambil beberapa hidangan untuk dimasukan ke nampan miliknya.

"Entahlah." Lagi gadis kuncir kuda mengedikkan bahu. Dia tertahan sejenak dengan jari telunjuk yang mengetuk-ketuk dagu. "Ada yang bilang dia di college of physics science, tapi kata bagian akademik, ada nama Wang di fakultas literature."

"Oh ... pantas saja, aku jadi makin penasaran seperti apa anak nomor satu di Chin-"

Trak.

Bunyi yang terdengar seperti singgungan antar kayu itu menarik perhatian kedua gadis muda. Pandangan mereka lekas teralih pada sosok pemuda di belakang. Jaemin menggemeletukkan gigi berusaha menahan sabarnya yang semakin tipis. Baru saja ia meletakkan nampannya kasar di pinggiran meja-tempat hidangan makanan disediakan hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.

"Aku pikir kalian mengantri makanan, ternyata hanya antrian untuk setumpuk gosip." Jaemin melepaskan picingan tajam mengarah pada kedua gadis tersebut. Alih-alih menyangkal balik, kedua gadis itu beringsut mundur. Sindiran Jaemin memang tidak terujar keras, tetapi penuh penekanan sinis di dalamnya.

"Orang-orang di belakang tidak menunggu obrolan kalian, kalau kalian mau tahu."

Dua gadis tersebut cukup terhenyak dengan kalimat Jaemin lantas melirik ke antrian di belakang pemuda itu. Ada wajah-wajah kesal terpampang mengamati mereka berdua. Tanpa peduli raut ketar-ketir yang ditunjukkan keduanya kemudian Jaemin melenggang pergi mendahului mereka.

Dengan tetap melayangkan tatapan sinis sembari membawa nampannya kembali.

______________

Kafetaria masih penuh hiruk-pikuk mahasiswa yang berkeliaran. Bangunannya memang luas juga terpisah dan berdiri sendiri dari gedung-gedung fakultas lain, tetapi tidak menyurutkan suasana ramai yang enggan senyap satu detik pun. Kendati ruangan ini terlampau luas, Jaemin harus menyisir dari ujung ke ujung hanya untuk mencari tempat duduk yang tersisa.

Setelah pergi dari barisan panjang dengan menyela antrian-yang sangat tidak patut ditiru, beberapa kali bahunya tersenggol mahasiswa yang masih lalu lalang. Ia menggerutu kecil dalam hati betapa kurang kerjaannya orang-orang yang sibuk berkeliaran.

Ingatkan Jaemin soal kafetaria yang masih padat.

Jaemin menghela napas lelah setelah mendudukkan pantat manisnya di salah satu kursi kosong dekat jendela. Waktu makannya berkurang tiga menit hanya untuk mendapatkan tempat di ujung kafetaria. Matanya memandang langit yang disuguhkan kaca besar, tetapi sedikit tertutupi gedung tinggi fakultas A dan B.

Ingin rasanya Jaemin menepis perasaan yang tiba-tiba menelusup di hati saat memperhatikan kedua bangunan tersebut. Seolah mengingatkan akan kesendiriannya.

Seperti kedua bangunan yang tertangkap jelas matanya saja saling berdampingan, berbeda dengan Jaemin yang terus menyendiri hingga saat ini. Bahkan meja tempatnya makan begitu hampa dengan tiga kursi kosong lainnya.

Kenapa aku harus terjebak dalam kesendirian ...?

Manik kembar Jaemin kini bergulir menatap seisi kafetaria, gelakan tawa dari segala penjuru lagi-lagi merasuk ke pendengarannya. Obrolan saling sahut-menyahut menggiring sebuah percakapan ringan antar teman. Ia memandang iri setiap meja yang penuh terisi saling bercengkerama sebelum mengalihkan pandangan, membuang apa yang telah lancang pikirannya bayangkan. Hal yang mana takkan pernah terjadi selama kehidupannya nanti.

Seharusnya Jaemin bisa menahan diri untuk tidak terlarut dalam pemikiran yang terus membayanginya bertahun-tahun. Ia sudah biasa menghadapinya selama beberapa tahun ke belakang dan kali ini pun akan kembali seperti itu.

"Huh, kenapa aku harus peduli lagi?" Jaemin menggelengkan kepala pelan dan menyengir miring. Makanannya terabaikan oleh lamunan-lamunan tak berujung. Bodohnya ia juga harus peduli pada kesendirian yang selama ini menemani.

"Memang selalu seperti ini, kan." Tawa hambar dan singkat keluar dari bibirnya.

Ya pemuda dengan surai coklat karamel itu menertawakan dirinya miris.

Suara perpaduan antara kayu dan besi terentak di hadapannya tiba-tiba.

Jaemin nyaris mengumpat begitu pundaknya tertepuk keras. Menyadarkannya dari jurang kosong yang menggelayuti beberapa menit lalu. Di belakangnya seseorang dengan bahu tegap berdiri kaku membawa nampannya dengan sorot mata kelam menambah kesan datar pada wajah yang sebenarnya rupawan.

"Ada apa?" tanya Jaemin cepat-cepat, sebelum aura dingin menusuk yang dibawa orang itu merasukinya.

"Kembalikan nampanku."

"Huh?" Jaemin sadar bagaimana ucapan balasannya terdengar bodoh. Namun, ia yakin beberapa silabel yang terucap padanya benar-benar tidak dapat dimengerti. "Maksudmu?"

Namun, bukan jawaban yang Jaemin dapat, melainkan jarak antara mereka semakin terkikis akibat langkah maju dari pemuda tersebut. Dorongan nampan terjulur di hadapannya disertai dengusan sebal. "Nampan kita tertukar," ucapnya singkat terdengar malas.

A-apa?

Ingatannya terbawa berputar mundur waktu di hadapkan pada nampan di mejanya. Jaemin setidaknya butuh berulang kali mengingat insiden beberapa saat lalu, ketika berdiri dalam antrian panjang mengambil makan siang. Sampai hal janggal soal nampannya menghantam ingatan Jaemin dengan keras. Ada beberapa makanan yang ia yakini tidak diambil tadi, tetapi Jaemin ragu. "B-bagaimana bisa tertukar ...?"

"Saat kamu menaruh nampanmu untuk memarahi dua gadis tadi," jawabnya datar pada pertanyaan yang Jaemin utarakan. "Kekanakan."

Sel dalam otak Jaemin mengirimkan beberapa memori penayangan kejadian menit yang lalu. Menyadarkan kesalahan memalukan apa yang telah membuatnya salah mengambil nampan. Gebrakan keras saat ia menaruh nampan dan pergi tanpa melihat mana yang ia ambil jelas mengindikasikan bagaimana nampannya bisa tertukar.

Namun, apa katanya ....

Kekanakan?

Jaemin harusnya tersindir. Ya memang begitu kemungkinannya. Apa orang di hadapannya ini tidak resah sewaktu kedua gadis tadi memperlambat antrian?

"Apa kamu bilang? Kekanakan?" Decitan kursi terdengar nyaring bergeser karena Jaemin yang duduk di atasnya. Ia tidak sengaja menggeser kursinya demi bisa menatap lancang pada pemuda bersurai coklat yang senada dengan miliknya. "Aku memberitahu mereka agar tidak memperlambat antrian! Harusnya kamu berterima kasih! Jika aku tidak memberitahu, mereka akan terus seperti itu dan antrian jadi semakin lama."

Pemuda itu menanggapi kalimat panjang Jaemin yang bersungut-sungut dengan sejumput seringai tipis. "Niatmu sangat baik." Dia bersuara tenang seolah tak terpancing ucapan Jaemin yang membawa seluruh perhatian kafetaria pada mereka berdua. "Sangat baik sampai-sampai membawa nampanku pergi, menyela antrian juga menakuti dua gadis, oh sungguh kamu sangat baik dan sabar."

Jaemin mendesis pelan mendengar kalimat tersebut terucap sarkas menudingnya. Hampir saja emosinya reda, kini berkobar lagi karena konfrontasi mendadak dari orang asing. Cukup soal nampan memalukan yang tertukar, harusnya orang tersebut bisa memintanya dengan baik bukan malah menyudutkannya bersamaan hal lain yang bukan persoalannya. "Apa tidak bisa kamu meminta nampanmu dengan sopan? Lagi pula kamu pikir dua gadis itu tidak menghambatmu, hah?!"

"Tidak, im not ... you are just should be more patient, aren't you?" Dia merendahkan tubuhnya sambil memfokuskan tatapan mata pada Jaemin. Memulai tautan kontak mata kepada Jaemin yang terpaksa badannya mundur.

Pemuda dengan denim abu yang dibiarkan tidak terkancing menegakkan tubuh kembali. Dia menyodorkan lebih dekat nampan yang seharusnya milik Jaemin. "Kesabaranmu sangat-sangat tipis sepertinya."

Mata Jaemin membeliak lebar, menatap nyalang pada sepasang mata elang yang tak hentinya menyoroti tajam. Perasaan Jaemin benar-benar menggebu ingin segera meneriaki orang asing-atau aneh baginya dengan makian. Masalahnya sepele! Hanya tentang nampan yang tertukar, tetapi berangsur panjang dan tak tahu bermuara kemana.

Suara decitan kursi yang terseret di atas lantai marmer memekakkan seisi kafetaria. Semakin banyak pasang mata yang mulai melirik kedua laki-laki tersebut.

"IYA! Kesabaranku memang tipis, lalu apa maumu hah?" Jaemin menghardik tiba-tiba. Kursinya tergeser beberapa senti ke samping setelah ia mendadak berdiri. Kalau dilihat-lihat seperti ada petir yang mengerubungi kepala pemuda manis itu hingga membuat yang satunya tertawa kecil meremehkan.

"Well." Usai tawa mengesalkan itu reda, dia mendekati Jaemin yang terlihat mengatur gejolak napasnya. Jelas saja bahu Jaemin naik-turun entah menahan atau mengendalikan emosi, intinya ia berusaha bersikap defensif.

"Aku hanya meminta nampanku,

... jika kau tidak lupa."

Pemuda itu melangkah maju dengan pelan meski di setiap langkahnya seperti mengirim intimidasi pada Jaemin yang memakukan kilatan sinis. Dia mendorong sedikit bahu Jaemin dan anehnya Jaemin langsung terduduk seolah dorongan yang dilakukan pada tubuhnya sangat mudah. Tanpa tenaga sama sekali.

Sekarang ini Jaemin melirik heran pemuda yang hanya beberapa senti di sampingnya. Kerutan di dahinya bertambah banyak apalagi saat dengan mudahnya Jaemin dibuat terduduk tanpa melayangkan protes.

Sebab beberapa monosilabel menggelitiknya hingga ke dasar sampai tak berkutik.

"Berhenti mempermalukan dirimu sendri ... lagi," bisik pemuda itu dengan penuh penekanan pada setiap kata tepat di daun telinga Jaemin. "Kamu jadi pusat perhatian," tambahnya lagi lebih pelan dari sebelumnya.

Pemuda bersurai kecoklatan kemudian menarik lagi badannya yang sempat condong ke arah Jaemin, bermaksud mengambil nampannya seiringan seringai kecil yang tak luput dari penglihatan Jaemin.

Sekian detik setelahnya, Jaemin menatap seisi kafetaria yang ternyata menjadikan debat mereka sebagai tontonan baru. Alih-alih membalas pemuda tersebut seperti sebelumnya, Jaemin menarik mundur kursi beserta nampannya. Ia lekas memakan dalam diam hidangannya sekalian mengabaikan pandangan-pandangan penasaran akan kelanjutan debat kecil mereka.

Salah satu memori dalam otaknya tiba-tiba mengingatkan, jangan biarkan dirimu berada dalam pusat perhatian!

Jaemin tidak mau tahu lagi bagaimana pemuda itu tertawa sumbang-yang terdengar meremehkan, meninggalkannya dengan seluruh pusat perhatian menuju kursi di seberang. Ekor matanya sempat memastikan pemuda tersebut tidak lagi mengejeknya, tetapi bukan apa yang Jaemin harapkan, lelaki itu malah bergumam tanpa suara dari seberang sana. Kata yang sayangnya membuat Jaemin tercengung.

"Hati-hati."

Well, Jaemin rasa hidup kesendiriannya mulai terusik sekarang.

______________

Beberapa bunyi langkah yang berasal dari gesekan sol sepatu dan jalanan aspal teredam lingkup lingkungan luar gedung yang tidak memantulkan suara. Hanya ada decakan kesal terdengar dari salah seorang yang merasa tertarik tanpa persetujuan menuju kafetaria. Di dalam hatinya memaki tanpa henti pada sosok yang menggenggam tangannya dengan ceria seolah mengabaikan aura jengahnya yang menguar.

"Sudah kubilang kan, aku tidak ingin makan di sana."

"Tapi jika kita tidak ke kafe, kita tidak akan mendapatkan jatah sama sekali, Renjunie."

Renjun mendengus tak peduli. Ia sengaja memperlambat langkah kaki, membuat dirinya terseret-seret. "Memangnya aku ingin makan?"

Ada bunyi decakan sebal seiring tarikan pada tubuhnya lebih kuat. Renjun hampir saja limbung jika tidak bertahan dengan memegang bahu di depannya. Jika dipikir-pikir kekuatan Haechan lumayan juga.

Tentu saja lumayan. Sudah bertahun-tahun mereka tumbuh bersama dan saling mengamati pertumbuhan satu sama lain. Renjun jelas melihat dan mengetahui perkembangan fisik Haechan lebih baik darinya sedangkan fisiknya sendiri hampir tidak mengalami perubahan signifikan sejak sekolah menengah pertama. Satu hal yang berubah dari Renjun hanyalah sikap enggannya jadi semakin kuat.

"Ck! Renjun! Aku sudah sering bilang, aku ini harus memastikanmu makan dengan baik sesuai pesan Tu-"

"HAECHAN!" sela-coret, mungkin lebih pantas sebagai hardikan yang jelas mengagetkan Haechan. Apa lagi picingan mata Renjun yang menusuk padanya. Seolah-olah matahari baru saja lenyap tergantikan awan-awan kumolonimbus yang membawa angin serta petir siap untuk mengadili mulut nakalnya.

Haechan mengutuk dirinya dalam hati. Dia hampir saja kelepasan dan Renjun takkan suka itu. Bukan hanya pemuda dengan manik kembarnya yang terlihat kemilau, tetapi dua entitas lain yang menyebabkannya selalu di sisi Renjun.

"Maaf Renjun, aku ... hampir saja ...." Kepala Haechan menunduk, menunjukkan penyesalan sedalam yang dia bisa.

Akan tetapi, Renjun merasa bersalah melihat cahaya Haechan redup seketika. Walau maksudnya menyela untuk menghentikan kata terlarang, tetapi ia tidak ingin menyudutkan Haechan.

Mengesampingkan ketidakinginannya pergi ke kafetaria, Renjun menuntun Haechan yang masih menautkan pegangan mereka. Ia tidak begitu pandai merangkai kata, terutama untuk menaikkan suasana seperti semula. Satu-satunya yang Renjun lakukan saat ini hanya menuruti keinginan Haechan tadi.

Sebagai bentuk penerimaan maaf Haechan yang lirih.

"Eh ... kita mau kemana?" gumam Haechan sedikit pelan. Apa dia masih takut dengan pembawaan Renjun yang tiba-tiba serius tadi?

Renjun menghela napas. Bahu-bahunya mengendur lesu, pertahanannya runtuh hanya untuk mengembalikan Haechan seperti biasa. "Bukannya kamu ingin kita makan? Ayo cepat jalan ... jangan banyak bertanya, jangan mengulanginya lagi, aku memaafkanmu."

Diam-diam Haechan tersenyum dari balik punggung Renjun yang kelihatan memang sempit dan kecil. Setidaknya Renjun bukan yang sekeras kepala itu. Memang pada dasarnya pemuda mungil yang memakai sweater kombinasi coklat, merah dan biru itu susah lunak, tetapi kepekaannya cukup untuk membuatnya mengerti keadaan.

"Terima kasih Jun," balas Haechan agak lebih keras. Senyum kecilnya kini berganti cengiran senang.

"Jangan memanggilku setengah nama, Chan." Renjun masih menyahut datar, tetapi detik berikutnya terdengar dengusan geli darinya.

"Kamu juga memanggilku setengah nama, Jun!" protes Haechan tidak terima. Sebenarnya ini adalah salah satu momen langka lainnya di mana Renjun tidak acuh lagi pada celotehannya.

Tawa kecil Renjun masih sedikit berlangsung walau sangat kecil dan nyaris tidak terdengar, tetapi cukup merilekskan situasi mereka.

"Kamu yang mulai duluan, Chan." Tawa renyah yang sangat rendah keluar dari mulut Renjun.

Mendengar tawa itu membuat Haechan ingin menyamakan langkah mereka. Berkebalikan saat Haechan yang memaksa Renjun, kini pemuda itu sendiri yang memimpin jalan mereka menuju kafetaria. Haechan hanya bisa memandangi pundak sempit Renjun. Sepertinya Tuhan memang belum mengizinkannya melihat tawa kecil yang jarang Renjun perlihatkan. Apa lagi Renjun sebenarnya tidak suka terlibat pertengkaran konyol anak kecil seperti saat ini.

Ya Haechan harus bersyukur terlebih dahulu soal Renjun yang akhirnya mau menuruti keinginannya. Renjun mau makan di kafetaria dan memaafkannya saja sudah cukup.

Sangat cukup sampai dia tidak menyadari bahwa Renjun telah memberhentikan langkahnya di sisa beberapa meter sebelum pintu kafetaria.

Hampir saja Haechan menabrak pemuda berbadan mungil di depan. Kalau tidak, mungkin akan ada sesi kedua kemarahan Renjun.

Dia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lantas maju menyejajarkan posisi dengan Renjun. "Kenapa berhenti Ren-"

"IYA! Kesabaranku memang tipis, lalu apa maumu hah?"

Suara itu langsung merebut perhatian Haechan untuk beralih dari Renjun yang terpaku di muka pintu. Dia langsung tersuguhi manusia yang entah berapa jumlahnya berjubel di dalam sana, mengingatkan suatu hal yang menjadi penyebab kaki Renjun tak mau melangkah lebih dari yang seharusnya.

Keramain dan keributan.

Haechan tahu dan hafal benar apa yang menjadi kesulitannya membawa Renjun ke tempat-tempat seperti kafetaria kampus. Mungkin saja beberapa keputusan pemuda di sampingnya ditarik kembali setelah melihat situasi ini.

"Aku mau kembali saja."

Tanpa menunggu konfirmasi Haechan, pemuda mungil itu melengos pergi. Meninggalkan sisa angin hampa di tempatnya berdiri tadi dan Haechan yang termenung pasrah melihat lagi punggung Renjun menjauh.

"Renjunie ...."

______________

Bunyi sepatu pantofel yang terpoles bersih hingga mengkilat memantul suara keras tiap kali mengetuk lantai porselen. Kosongnya lorong itu menjadikan suara ketukan bergema lantang mengisi sunyi yang terasa menggigit. Sebagian orang meyakini satu hal bahwa kegiatan yang tengah dilakukannya ini sangat membosankan atau menyebalkan?

Jeno tidak terlalu yakin juga, tetapi yang pasti kegiatannya menunggu saat ini jelas dibutuhkan untuk pencapaian suatu hasil. Sangat berkontradiksi dengan Jeno yang biasa melakukan segala dengan cepat, kali ini ia membutuhkan perhitungan yang cermat agar berhasil.

Cklek.

Mendengar alunan khas pintu yang terbuka membuat Jeno segera beranjak dari posisinya. Saking tergesa-gesanya, ia bahkan harus beradu dengan tubuh yang tak kalah solid dan kokoh dengan miliknya. Beberapa benda berupa lembaran berjatuhan saat tubrukan antar keduanya terjadi. Sehingga mau tak mau mereka harus turun dan memungut milik keduanya masing-masing.

"Maaf," ujar Jeno selepas menegakkan tubuhnya kembali.

"Aku juga ... maaf menabrakmu."

"Ya."

"Baiklah sampai ... nanti," balas pemuda yang memakai coat hitam panjang sedikit ambigu, dia lantas memutar balik tubuhnya. Tidak menunggu kelanjutan jawaban yang akan Jeno berikan. Mungkin canggung sedikit mengganggunya.

Namun, bagi Jeno itu adalah pertanda baik. Sangat baik.

Sudah ia bilang bukan, kegiatannya harus melalui perhitungan yang sangat cermat. Tidak perlu sampai 30 detik ia telah berhasil melakukannya.

"Tidak ... sampai nanti dan terima kasih,

Minhyung."

.

.

.

To be continued

.

.

.

HUAHAHAHAHA AKU GATAU APA YG DITULIS
Semoga aja gak aneh dan ambigu /ewww not sure/
Maapin kalo banyak kata-kata yg sulit dimengerti

Pendek ya iyuwwh
Markminnya manaaa?
Gaada momen sama sekali yaaa? Tenang-tenang baru permulaan
Wkwkkw silakan menebak-nebak saja dulu ini cerita macam apa hehe 😂

JANGAN LUPA VOTE DAN COMMENT YG BANYAK YA

1 epilog dilemme = 1 Chapter Henchman

[Revisi]

Sekian dan Terima kasih

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top