Tinderella
Prompt:
4. Siapa sangka monster yang Frankenstein bangkitkan mempelajari suatu hal bernama internet dan mengenal Tinder.
| 990 words |
Langit mulai memancarkan kilat, mendung yang menghias sudah sejak satu jam yang lalu, tetapi belum ada tanda-tanda sang cakrawala akan menumpahkan air mata. Bahkan diriku yang sudah mengenakan pakaian berlapis-lapis, tiupan angin musim gugur masih sanggup membuatku menggigil.
Segelas cokelat panas di hadapanku sudah hilang kepulan asapnya, tetapi masih panas ketika aku menyesapnya. Kualihkan pandanganku ke sepenjuru kafe, dari mulai barista sampai ke tiap-tiap pengunjungnya. Sampai bunyi lonceng pintu mengalihkan perhatianku. Seorang laki-laki, mengenakan pakaian yang sama tebalnya dengan milikku sedang berjalan kemari.
"Hai, Ella. Maaf membuatmu menunggu lama," kata laki-laki itu. Setelah memesan kopi, ia tersenyum menatapku. "Kau kedinginan?"
Aku memutar bola mata sambil berdecak. "Tidak, aku kepanasan di sini, bisakah kau memesankanku minuman dingin?" sarkasku.
"Oh, tentu, kau mau es kopi atau es krim?" sambungnya. "Atau kau menginginkan buah beku di ujung jalan? Apa pun untukmu, Nona."
Gelak tawa pelan menyambut kalimatnya. "Hentikan, Frank, kau menyebalkan," gerutuku di sela-sela tawa. Aku mengangkat gelasku untuk menghangatkan tenggorokan. "Bagaimana? Kau mendapatkan pekerjaan yang kauceritakan kemarin?"
Frank menggeleng, senyum tipis nan masam terulas di bibirnya. "Aku akan mencoba pekerjaan lain." Lalu dia menceritakan tentang lowongan kerja menjadi seorang editor di salah satu penerbitan yang cukup ternama di kota ini. "Bagaimana menurutmu?"
"Coba saja, kau tak tahu kalau tidak mencoba," jawabku. "Oh, ya, Frank. Apa kau tidak tertarik dengan penelitian? Temanku membutuhkan partner yang memiliki banyak waktu luang dan cekatan. Kau mau kukenalkan dengannya?"
"Eh? Boleh?"
"Kau tertarik atau tidak?" tanyaku balik. "Terjun di dunia penelitian butuh waktu, kau harus sabar, jadi kalau kau tidak tertarik, lebih baik tidak usah. Kau hanya akan menyusahkan dirimu sendiri."
Frank menyesap kopinya yang baru datang, ia terlihat sedang berpikir. "Aku sedikit tertarik, mungkin kau harus mengenalkan kami terlebih dahulu, baru aku bisa memutuskan apakah aku akan bergabung dengan temanmu atau tidak."
"Sepulang dari sini, aku akan membawamu ke tempatnya."
Kami melanjutkan obrolan dengan membahas topik lain, apa saja yang penting tak ada keheningan di antara kami. Kata orang-orang, hubungan yang dimulai dari aplikasi cari jodoh biasanya takkan berjalan dengan lancar dan cenderung bersifat sementara. Dan aku tidak percaya, maka akan kupatahkan perkataan mereka yang bahkan belum pernah mencoba aplikasi Tinder.
Tidak seperti teman kencanku sebelumnya, Frank lebih mudah nyambung denganku. Kami sudah mengenal sejak empat bulan lalu dan aku tahu kalau Frank memiliki kegemaran yang sama denganku: membaca. Yang membuat obrolan kami selalu lancar dan menyenangkan adalah, kami sama-sama suka berteori dan memikirikan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dalam buku.
Belakangan ini, Frank disibukkan mencari pekerjaan, dia mencoba melamar di semua tempat: paruh waktu maupun penuh waktu hanya untuk mendapat penolakan yang sama setiap kali mencoba. Maka, aku berniat untuk mengenalkan dia dengan Elbert, seorang teman yang sedang membutuhkan orang untuk membantunya dalam penelitiannya.
oOo
"Aku sangat gemetar," bisik Frank di sampingku. Suaranya sangat rendah dan memang sedikit bergetar. "Bagaimana kalau temanmu menganggap diriku aneh?"
"Tak apa-apa," kataku menenangkan.
Kami sedang dalam perjalanan ke rumah Elbert, aku sudah menelepon lebih dulu dan memastikan kalau dia ada di rumah. Ketika taksi yang mengangkut kami berdua berhenti di depan rumah bercat cokelat kayu, kami langsung turun setelah membayar ongkos.
Aku mengetuk pintu rumah Elbert. Pintu yang terbuat dari kayu jati itu terbuka di ketukan kedua dan menampilkan Elbert dalam balutan kaus santai. "Hai," sapanya.
"Elbert, ini Frank yang kuceritakan di telepon tadi. Frank, ini Elbert, temanku yang membutuhkan partner untuk penelitiannya." Setelah mereka berdua berkenalan secara formal dan canggung, aku melirik Elbert. "Omong-omong, kau masih butuh orang, kan?" tanyaku.
Elbert mengangguk. "Masuklah."
Pintu dibuka lebih lebar dan kami bertiga masuk bersamaan. Elbert langsung membawa kami ke ruang bawah tanah yang dijadikan tempat penelitiannya, ruangan yang luas dan jauh dari keramaian. Benar-benar cocok ketika kau ingin fokus bekerja.
Elbert menjelaskan tentang penelitiannya kepada Frank. Dari gerak-gerik Frank, ia terlihat sangat tertarik dan bersemangat untuk terjun ke penelitian. Di ruangan ini ada dua orang teman Elbert, mereka juga bergabung dalam penelitian ini.
Ketika Frank disibukkan dengan dua orang teman Elbert, si pemilik rumah menghampiriku. "Kau takkan menyesalinya, Ella? Dia kekasihmu."
"Penelitian ini lebih penting," tukasku.
Elbert menghela napas. "Kalau begitu, aku akan mulai sekarang. Aku takut dia akan berubah pikiran besok."
Aku mengangguk saja. Lalu dapat kusaksikan Elbert berderap ke arah Frank dan menyuntikkan bius. Tubuh Frank diangkat lalu dibaringkan di ranjang tunggal, diikat di masing-masing sudut supaya tidak bergerak ketika ia bangun nanti. Aku memalingkan wajah ketika Elbert dan teman-temannya melepaskan seluruh kain yang menutupi tubuh Frank.
Tubuh yang terdiri dari potongan-potongan yang dijahit. Dia adalah monster frankenstein dan aku mengetahuinya ketika Frank tidak memakai turtleneck yang memperlihatkan jahitan di lehernya, memang tidak terlalu mencolok, namun mataku sangat jeli. Sejak saat itu aku berniat melakukan penelitian dengan menjadikan Frank sebagai spesimen, Elbert juga menyetujuinya.
Aku memang menyukainya, dia memang kekasihku, tetapi rasa penasaranku lebih besar. Penelitian ini jauh lebih penting.
oOo
Malam Halloween. Elbert menghias rumahnya dengan hiasan-hiasan tema dan mengundangku untuk meramaikan malamnya, sekalian untuk membahas penelitian lebih lanjut. Aku sama sekali tidak keberatan, bahkan aku sangat antusias saat Elbert menjelaskan detail-detail perkembangan penelitian kami bersama dua orang peneliti lainnya.
Kami sedang bersantai dan mengobrol ketika pintu diketuk. Aku memilih untuk membukakannya karena pantatku lelah dipakai duduk terus menerus. Ketika pintu dibuka, aku menahan napas karena terkejut. Tiga anak berdiri di depan rumah Elbert, mereka menenteng keranjang dan mengenakan kostum. Kostum vampir, mumi, dan ... frankenstein.
"Trick or treat," seru mereka bersamaan.
Aku tersenyum tipis kemudian meraih stoples kaca di samping pintu dan mengisi masing-masing keranjang mereka dengan permen, aku lebih suka memberi mereka permen daripada mereka mengacau di pekarangan rumah Elbert.
"Terima kasih! Selamat hari Halloween!" seru mereka lagi lalu berlari menuju rumah tetangga.
Senyumku berubah getir ketika mengingat kostum yang dipakai salah satu anak tadi, kostum yang mengingatkanku pada seseorang.
Ternyata benar kata orang-orang, hubungan yang dimulai dari aplikasi cari jodoh biasanya takkan berjalan dengan lancar dan cenderung bersifat sementara. Aku tak bisa mematahkan fakta menyebalkan itu.
• FINISH •
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top