Chapter 18: hello, i got hit by a car but i feel totally fine!
chapter 18: hello, i got hit by a car but i feel totally fine!
Pagi ini, sebelum aku berangkat sekolah, aku mendapat pesan singkat dari Eva. Dia berkata, dia sudah bertanya kepada Kinan soal Damar, tapi ternyata cewek itu kurang tahu. Tapi, Kinan berjanji dia akan bertanya ke 'sumber'-nya tentang Damar. Eva akan memberitahuku tentang kelanjutannya secepat mungkin.
Aku sebenarnya tidak terlalu yakin bahwa Radhi adalah Damar. Entahlah, hanya saja... Radhi kelihatannya baik, dan dia juga tidak terlihat seperti orang yang nekat kabur dari SCN.
Tapi, kata-kata Eva tentang bisa saja Radhi itu Damar yang sedang berakting mengangguku. Aku ingin mengobrol lagi dengan Radhi—hanya untuk menilai cowok itu lebih jauh. Tapi sejak kami ke perpustakaan, Radhi belum menghubungiku lagi. Dan aku juga bingung bagaimana aku bisa mengobrol lama dengannya kalau dia canggung seperti itu.
Jadi, aku memutuskan untuk menunggu saja informasi selanjutnya tentang Damar dan mengumpulkan sendiri informasi tentang Radhi sebelum bertindak lebih jauh.
Sekarang, aku sedang duduk di bangku panjang di depan kelas sambil diam-diam mengencangkan tangan kananku sedikit, ketika Aga tiba-tiba muncul di depanku.
"Halo!" sapanya dengan cengiran di wajahnya.
"Hai," balasku sambil sedikit nyengir.
"Hari ini gue berenang. Mau nonton lagi?" tanya Aga sambil mengangkat tas tempatnya menyimpan perlengkapan berenang.
Aku memikirkan tawaran itu. Aku bisa menunggu pesan dari Eva sambil melihat Aga berenang. Aku juga bisa memikirkan langkah selanjutnya untuk misi pencarian Damar sambil melihatnya berenang. Dan oke, aku memang ingin melihatnya berenang lagi.
"Hmm." Aku pura-pura berpikir keras. "Ya udah, deh."
"Ah, sok-sok mikir lo. Aslinya juga enggak diminta udah pengin," goda Aga. Membuat wajahku terasa agak panas. Aku yakin sekali pasti wajahku memerah, karena Aga tertawa.
Aku punya teman seorang cyborg di SCN yang wajahnya sebagian besar diganti dengan logam. Kalau di bagian wajah, logam itu akan ditutupi kulit dan yah, memang agak lebih rumit dan wajahnya kalau disentuh jadi agak tidak rata—tapi keuntungannya adalah, kalau dia tersipu, wajahnya tidak bisa memerah. Dia tidak akan pernah mempermalukan dirinya di depan cowok seperti yang aku lakukan sekarang ini.
Sambil berjalan ke gedung olahraga, Aga menawariku permen mint rasa lemonnya. Aku mengambil satu.
"Kebiasaan gue makan permen mint rasa lemon ini muncul pas gue kecil," cerita Aga tanpa kuminta. "Gue juga enggak inget sih, awalnya gimana. Tapi kata nyokap gue, awalnya tuh gue dikasih permen mint rasa lemon sama mbak-mbak yang kerja di club house tempat gue biasa renang. Dan sejak saat itu, kalau gue mau berenang, gue selalu bela-belain makan permen mint. Gue dulu mikir, permen mint rasa lemon itu semacam jimat keberuntungan gue."
"Dulu?" tanyaku.
Aga mengangguk lalu menghela napas. "Gue pernah lagi main basket, dan seperti biasanya, gue sebelumnya makan permen mint rasa lemon dulu. Tapi pas gue main basket, gue kecelakaan. Jadi ternyata permen itu bukan jimat keberuntungan gue. Walaupun yah, gue tetap suka dan udah terbiasa makan permen mint rasa lemon sebelum olahraga."
"Kecelakaan? Lo kecelakaan apa waktu main basket?" tanyaku, penasaran.
"Gue waktu itu main basket sama temen di sekolah. Waktu itu gue masih kecil, jadi mainnya masih asal-asalan. Dan temen gue itu dorong gue ke belakang keras banget buat ngerebut bolanya. Gue jatuh, deh," cerita Aga.
"Terus tulang lo patah? Parah enggak?" tanyaku.
Aga tertawa. "Tenang aja. Kalau separah itu, gue enggak bakal ada di sini sekarang."
"Gue juga pernah kecelakaan. Lumayan parah," kataku setelah beberapa saat. Tidak terlalu yakin juga kenapa aku tiba-tiba mengatakan hal ini kepada Aga. Mungkin karena Aga sudah menceritakan sedikit tentang kehidupannya, aku merasa aku harus menceritakan sedikit tentang kehidupanku juga.
"Kecelakaan kayak gimana?" tanya Aga. Sekarang, kami sudah berada di depan gedung olahraga. Tapi baik aku maupun Aga, tampaknya tidak ingin buru-buru masuk ke dalam.
"Gue ditabrak mobil," jawabku.
Aga tampak terkejut mendengar jawabanku. "Serius lo?"
Aku mengangguk. "Iya, sempet dirawat di rumah sakit, sih. Tapi kalau separah itu, gue enggak bakal ada di sini sekarang," kataku, mengulangi ucapan Aga.
Aga tertawa. Kemudian, kami berdua masuk ke gedung olahraga.
*
Tadinya, aku berpikir untuk memikirkan rencana untuk mencari Damar sambil menonton Aga berenang. Tapi sekarang aku tahu kalau aku tidak bisa melakukan apa pun sambil menonton Aga berenang.
Saat Aga berenang, perhatianku tercurah sepenuhnya ke sosoknya. Untungnya saja Aga berenang mengenakan baju renang, kalau dia berenang dengan bertelanjang dada dan hanya menggunakan celana pendek, aku tidak yakin aku bisa melihatnya tanpa merasa gugup atau tersipu. (Itu normal, kan?! Siapa juga yang mau melihat cowok berenang tanpa baju??)
Sekitar satu jam kemudian, Aga selesai berenang. Setelah mandi, mengeringkan badan dan berganti baju, Aga menghampiriku yang sedang duduk di bangku panjang di pinggir kolam.
"Makasih ya udah nemenin gue berenang lagi," katanya.
Aku tertawa. "Santai aja kali."
"Mau gue traktir es krim enggak? Hitung-hitung sebagai tanda terima kasih gue," kata Aga.
"Enggak usah. Gue ikhlas kok nonton lo berenang," kataku. Kemudian, aku sadar itu terengar agak salah. Jadi aku buru-buru menambahkan, "Karena gue udah lama dan udah enggak bisa berenang, inget? Jadi gue seneng aja lihat orang berenang."
Aga menatapku dengan geli—tatapan yang sering dia berikan kepadaku. Membuatku sering lupa bahwa Aga sebenarnya memiliki tatapan yang tajam.
Cowok itu kemudian mengenakan lagi kacamatanya dan berkata, "Ya udah, anggap aja bukan sebagai tanda terima kasih, tapi karena gue baik aja. Mau enggak? Gue lagi pengin makan es krim, nih."
Sebenarnya aku tidak terlalu ingin makan es krim, tapi aku tidak bisa menyangkal bahwa aku ingin mengobrol lagi dengan Aga. Sehabis mengobrol dengannya tadi sebelum dia berenang, aku jadi ingin tahu lebih banyak tentang kehidupannya. (Bukannya aku peduli. Aku cuma penasaran. Itu beda, oke? Catat itu.)
Akhirnya aku menjawab, "Oke, deh."
*
Aga mengajakku ke kedai es krim yang terletak di depan Hadir. Setelah membelikanku es krim (cokelat) dan membelikan dirinya sendiri es krim (mint), kami pun menempati salah satu meja yang ada di sana.
"Lo suka banget mint, ya?" tanyaku.
Aga mengangkat bahu. "Biasa aja, sih. Cuma udah terbiasa aja," jawabnya. Ia kemudian menunjuk sarung tanganku. "Katanya lo punya penyakit kulit. Apa itu yang bikin lo enggak bisa berenang?"
Aku berusaha berpikir secepat mungkin. Akhirnya aku menajwab, "Iya. Tangan kanan gue enggak boleh kena air lama-lama." Yah, setidaknya itu tidak bohong. Tangan kananku memang tidak boleh terkena air terlalu lama—tapi bukan karena penyakit kulit (tangan kananku bahkan tidak punya kulit).
Membicarakan tentang tangan kananku membuatku kembali merasakan betapa longgarnya tangan itu sekarang (atau mungkin itu hanya ada di pikiranku saja?). Aku pun menurunkan tangan itu ke bawah meja dan mulai berusaha mengencangkan tangan itu sebisaku.
Aga mengangguk-angguk. Setelah itu, dengan santainya, dia bertanya, "Lo punya pacar, Ra?"
Aku agak terkejut dengan pertanyaanya. Tapi kemudian aku menjawab juga. "Enggak. Dan gue juga enggak pernah punya pacar," jawabku. Baru beberapa detik kemudian aku menyesali keputusanku menambahkan informasi tentang aku yang tidak pernah punya pacar, karena informasi itu sepertinya agak membuat Aga terkejut.
"Serius?" tanyanya.
"Iya," jawabku, agak gugup karena dipandang dengan tatapan geli itu (lagi). "Kenapa emang?"
Aga menggeleng sambil tersenyum geli. "Enggak apa-apa. Gue juga enggak punya pacar, walaupun gue pernah pacaran. Udah agak lama, sih. Waktu gue SMP. Dan itu juga pacaran satu arah doang."
"Pacaran satu arah?" tanyaku.
Aga mengangguk. "Gue kesel karena ceweknya ngejar-ngejar gue terus. Ya udah, gue iyain aja pas dia nembak gue entah yang keberapa kalinya."
"Terus lo putusin?" tanyaku.
Aga mengangguk.
Aku menatapnya tidak percaya. "Kejam banget lo," kataku. "Lo bilang apa waktu mutusin dia?"
"Yah, kita ke SMA yang beda. Dan gue juga SMP-nya enggak di deket sini—gue pindah rumah. Nah, jadi alasannya, gue enggak yakin bisa hubungan jarak jauh sama dia," jawab Aga sambil nyengir.
"Kejam banget lo," ulangku.
Aga mengangkat bahunya. "Bukannya gue enggak menghargai perasaan dia atau apa. Gue hargai dia sebagai teman gue, dia baik dan segalanya. Jadi menurut gue, enggak apa-apa kalau dia nganggep gue pacarnya. Gue enggak merasa keganggu karena gue enggak nganggep dia pacar gue. Satu arah."
Aku mengangguk-angguk. "Jadi, sebenarnya, bisa dibilang lo juga enggak pernah pacaran?" tanyaku.
Aga mengangguk. "Jadi kita sama."
"Terus?"
"Ya jadi kan, bisa sama-sama punya pacar buat pertama kalinya," jawab Aga sambil tersenyum geli.
Sial, wajahku pasti memerah sekarang.[]
20 Juni 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top