Chapter 16: hello, um, sorry, i'm awkward

chapter 16: hello, um, sorry, i'm awkward




"Gimana Zikri?" tanyaku kepada Risya begitu dia menjatuhkan dirinya di depanku.

Sekarang sedang jam istirahat pertama dan aku sedang di kantin bersama Risya. Cewek itu belum menceritakan apa yang terjadi dengan Zikri kemarin—semalam, waktu aku bertanya lewat pesan singkat, Risya berkata dia sudah terlalu capek dan akan menceritakan kepadaku besok saja.

Risya memasang cengiran lebar. "Gue rasa, gue berhasil."

"Gimana? Gimana? Menurut lo, dia beneran Damar?" tanyaku, bersemangat.

Risya mengangkat bahu. "Yah, kalau soal itu, gue belum yakin, sih. Tapi gue udah berhasil deketin Zikri," jawabnya. "Gue udah nanya-nanya ke dia, katanya dia suka main musik dan nyanyi sejak SMP, terus dia SMP-nya di luar kota. Dan olahraga yang dia suka itu voli."

Aku memikirkan informasi barusan. "Mencurigakan banget itu yang soal main musik. Damar juga kabur dua tahun lalu, yang artinya, dia kabur pas lulus SCNMP. Zikri bisa aja bohong tentang hobinya dari SMP dan bilang SMP-nya di luar kota biar enggak ada yang bisa buktiin itu salah.

"Dan soal olahraga, kemarin gue tanya ke Profesor di SCN, katanya Damar sukanya basket sama futsal. Ya, bisa aja sih, dia suka voli. Mungkin itu buat ngalihin perhatian orang yang nyari dia," kataku, lebih kepada diri sendiri.

Risya mengangguk-angguk mendengar dugaan-dugaanku. "Tulis sana di buku merah lo, sebelum lo lupa."

Aku pun mengambil buku merah dan pensil (kuputuskan untuk membawa dua benda itu ke mana-mana sekarang) dan menambahkan keterangan di halaman khusus Zikri.

"Kalau lo? Gimana sama Kak Radhi?" tanya Risya.

"Baru hari ini mulai. Dia ngajakin gue ke perpustakaan, enggak tahu juga mau ngapain. Yang jelas, itu bisa gue manfaatin buat tanya-tanya soal dia dan Dimas," jawabku.

"Setahu gue, Kak Radhi bukan orang yang suka baca," kata Risya. "Tapi yah, enggak tahu juga, sih."

"Oh ya, lo tahu enggak, dia SMP-nya di mana? Mungkin itu bakal ngebantu," kataku.

"Dia SMP-nya di Kalimantan," jawab Risya.

Aku menambahkan informasi itu di halaman Radhi sambil mengangguk-angguk.

"Oh ya, gue belum nanya," kata Risya setelah beberapa saat terdiam.

"Hm?"

"Gimana kemarin ngelihatin Aga?" goda Risya.

Aku merasa sebal karena digoda, tapi aku tidak bisa tidak tertawa—entah kenapa aku tertawa, mungkin kesenanganku karena melihat seseorang berenang (bukan hanya Aga saja, ya! Tolong dicatat di buku merahmu) masih tersisa.

"Enggak buruk-buruk banget, kok," jawabku. "Lagian, gue rasa, kalau lagi baik, Aga bisa aja nyenengin. Kayak Radhi pas kita baru pertama kali ketemu dia gitu. Asyik-asyik aja."

Risya mengangguk-angguk.

*

Kalau tadi aku berkata kepada Risya bahwa Aga agak seperti Radhi, aku akan meralat ucapan itu sekarang.

Saat pertama kali bertemu dengan Radhi, dia memang mirip Aga yang baik dan asyik. Tapi saat aku bertemu dengannya pada jam istirahat kedua di depan kelasnya, dia tampak agak diam—gugup dan malu lebih tepatnya. Dan itu sama sekali tidak cocok dengan tampangnya yang mirip Damar, dan karena Damar bertampang lumayan, artinya Radhi juga lumayan. Orang-orang dengan wajah seperti Radhi harusnya lebih percaya diri.

Oke, Zikri memang mirip Damar dan dia tidak terlalu bergaya atau berusaha untuk dilihat orang-orang, tapi setidaknya, dari pengamatanku, Dimas seperti itu—model cowok yang bergaya dan ingin dilihat orang lain.

"Lo kenapa, Rad?" tanyaku. Agak aneh memanggil kakak kelas langsung tanpa sapaan 'Kak'. Aku memang terbiasa menyebut 'Zikri' dan 'Dimas' saja—tanpa embel-embel 'Kak'. Tapi, aku kan tidak pernah berbicara langsung dengan mereka, jadi kurasa tidak apa-apa. Dengan Radhi... rasanya agak aneh, tapi biarlah. Kan dia sendiri yang meminta.

"Eh?" Radhi membetulkan letak kacamatanya. "Enggak apa-apa, kok. Ayo ke perpustakaan."

Jadi, aku pun mengikuti Radhi menuju perpustakaan. "Lo mau ngapain ke perpustakaan?" tanyaku. "Lo suka baca?"

"Enggak juga sih," jawab Radhi singkat. Setelah beberapa saat, dia melanjutkan, "Gue mau minjem buku pelajaran."

Aku mengangguk-angguk. "Kalau gitu, ngapain ngajak gue?"

Radhi menggaruk-garuk rambut cepaknya dengan canggung. "Tadinya gue cuma mau ngajak lo karena kita belum pernah ngobrol, sih. Tapi kalau lo enggak mau juga enggak apa-apa, kok."

"Enggak," jawabku. "Maksud gue, gue enggak apa-apa, kok."

Radhi menyunggingkan senyum canggung.

Aneh sekali. Saat pertama kali bertemu Radhi, dia tidak canggung. Malah, saat aku sedang malu-malunya gara-gara Risya seenaknya bilang aku mau berkenalan dengan Radhi, cowok itu dengan baiknya mengajakku berkenalan. Dia tampak sangat percaya diri.

Karena aku tahu Radhi tidak akan angkat bicara, akhirnya aku memutuskan untuk memulai percakapan.

"Lo ikut ekskul apa di sekolah?" tanyaku kepada Radhi.

"Gue ikut band," jawab Radhi.

"Lo enggak suka olahraga?" tanyaku lagi.

"Suka. Tapi, gue enggak olahraga di sekolah. Gue ikut klub futsal sama basket di luar sekolah," jawab Radhi.

Aku langsung mencerna informasi itu. Apa katanya? Futsal dan basket? Dan setelah kupikir-pikir lagi, masuk akal saja kalau Damar memutuskan untuk ikut kegiatan olahraga di luar sekolah. Dia pasti berpikir, itu akan menyulitkan orang yang mencari dia, karena orang itu pasti mencari dia di ekskul olahraga sekolah—seperti yang kulakukan.

Oh, aku ingin sekali menulis informasi baru ini di buku merahku!

Tidak lama kemudian, aku dan Radhi sampai di perpustakaan. Radhi pun langsung melangkah menuju bagian buku pelajaran kelas sebelas, sementara aku melihat-lihat isi perpustakaan.

Saat aku sampai di bagian novel, aku melihat Aga sedang tiduran di lantai perpustakaan yang dilapisi karpet. Wajahnya tertutup oleh novel yang terbuka—dia pasti tertidur.

Aku ingin iseng menendang kakinya, tapi aku mengurungkan niat tersebut. Aku dan Aga memang hari ini jadi agak lebih dekat setelah aku melihatnya berenang, tapi tetap saja... aku belum tahu banyak tentang Aga. (Bukannya aku harus tahu banyak tentang dia juga.)

"Lo nyari buku apa, Ra?" Tiba-tiba Radhi muncul di belakangku, membuatku terkejut.

Aku segera berbalik dan menjawab, "Gue enggak nyari buku apa-apa, kok. Lo udah?"

Radhi mengangguk sambil mengangkat buku pelajaran di tangan kanannya. "Gue mau ke petugas perpustakaan dulu, ya."

"Oke." Kemudian, aku mengikuti Radhi menuju meja petugas perpustakaan.

Setelah mengurus peminjaman buku, Radhi mengajakku keluar dari perpustakaan. Saat kami sudah di luar, Radhi berkata, "Ra, maaf ya. Lo pasti mikir gue freak banget. Pas pertama kali ketemu lo, gue emang enggak kayak gini, dan aslinya gue emang enggak canggung begini. Gue biasanya canggung banget kayak gini kalau udah berdua sama cewek. Sori ya."

Aku tertawa. "Oh, enggak apa-apa, kok."


"Serius, gue minta maaf," kata Radhi. "Kebiasaan buruk gue banget dari dulu begini. Makanya, gue enggak pernah punya pacar. Gue juga deket sama Risya karena dia sepupu gue. Kalau bukan, gue enggak mungkin bisa ngobrol santai sama dia.

"Awalnya gue semangat dan mau-mau aja nyoba kenalan sama lo karena gue pikir, gue udah enggak canggung lagi. Yah, siapa tahu, kan? Tahunya masih," lanjut Radhi.

Aku mengangguk. "Enggak apa-apa, kok. Oh ya, lo udah deket sama Risya sejak kapan? Dari lo SMP?" Ya ampun, semoga aku tidak terdengar mencurigakan—aku hanya ingin memastikan tentang SMP-nya.

"Enggak. Gue SMP di Kalimantan," jawab Radhi.

Oke, berarti Risya benar.

"Oh, gitu. Kenapa pindah?" tanyaku lagi.

"Bokap pindah tempat kerja," jawab Radhi singkat—terlihat agak canggung lagi.

Aku mengangguk-angguk. "Di kelas lo ada yang pindahan dari luar kota lagi enggak?" tanyaku.

Radhi menatapku dengan bingung. "Kenapa emangnya?"

"Ya enggak apa-apa, sih. Penasaran aja," jawabku sambil tertawa kecil.

Untungnya, Radhi tidak bertanya lebih jauh. Dia kemudian tampak berpikir. "Setahu gue enggak ada. Kebanyakan anak di kelas gue lulusan SMP yang di deket sini itu—apa namanya gue lupa. Banyak banget yang dari situ. Salah satunya Dimas. Lo pasti tahu dia—dia terkenal banget," jawab Radhi.

Rasanya aku ingin memekik kegirangan. Aku tidak perlu bertanya dengan detail tentang Dimas, dan Radhi langsung memberitahuku!

"Makasih, Radhi!" kataku, mungkin kelewat senang.

Radhi menatapku dengan heran. "Oke."

Setelah itu, aku dan dia berbasa-basi sebentar, sebelum akhirnya aku pamit ke kelas untuk mencoret nama Dimas dari buku merahku.

Mungkin, inisialnya yang sama itu hanya kebetulan. Kalau dia lulusan SMP di dekat sini, berarti tidak mungkin dia murid SCN.

Tersangkaku sekarang tinggal dua—Zikri dan Radhi.

Mendadak, aku tahu apa yang harus aku selidiki lagi—aku harus tahu apa Damar pernah punya pacar.[]


a.n

Hayo pernah punya pacar gak ya, hehehe. BTW maaf yaa, ngaret lagi : (( HEHE. Abis ini update-nya bakalan cepet deh, beneran. Soalnya abis cerita ini selesai (atau sebelum cerita ini selesai, enggak tahu, lihat aja nanti), rencananya aku mau post cerita baru HHEHEHE. Jangan bosen-bosen ya sama ceritaku : D

13 Juni 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top