t i g a b e l a s

"Bi, bangun." Suara lelaki dan tepukan halus di pipinya membuat Bia menggeliat, beberapa detik kemudian ia membuka matanya. Hal yang pertama kali ia lihat adalah telapak tangan seseorang yang ia pegang dan ditempatkan dihadapan matanya. Setelah agak lama memandangi garis-garis tangan tersebut, barulah ia menoleh pada sang empunya telapak tangan.

Andra. Cowok itu memandangi Bia dengan tatapan yang tidak bisa diartikan, kemudian ia berkata "Nggak mau bangun? Udah magrib, badan lo bau kecut. Mandi sono."

Bia memberengut, baru juga bangun tidur Andra sudah berbicara sinis kepadanya. Masih sambil menggenggam tangan Andra, Bia memposisikan dirinya—duduk bersandar. "Kirain gue ini tangan si Dion," ucap Bia sambil memainkan jari Andra.

Sang empunya tangan berdecak sebal, sudah tangannya dipelintir, dipencet, bahkan ditekuk-tekuk tetapi Bia malah menyebut nama Dion yang Andra sendiri masih penasaran bagaimana wujudnya.

"Cepet mandi, Bi. Mau makan nggak?" tanya Andra lagi, kali ini agak nyolot.

"Tante ada?"

Sabar Andra, bukankah Bia memang begitu? Ditanya apa, yang dijawabnya apa.

"Ada di kamarnya, lagi nungguin Papa pulang. Bi, sekali lagi gue bilangin sama lo, nggak ada dinner kalo nggak mandi," ujar Andra, seperti seorang ibu yang menasehati anaknya.

"Gue mau balik aja, ah. Ibu Nurida ntar nyariin."

"Orang nyokap lo balik malem, lagi reunian sama komite orang tua murid bekas Kak Dea SMP dulu. Kak Dea juga sama, masih meet up sama temen-temennya. Lo mau di rumah sendirian?"

"Iya, yak. Bapak Sudirman juga masih nyopirin pesawat."

Andra mendengkus, profesi Sudirman—Papi Bia adalah pilot, tapi sang putri malah menyebutnya sopir pesawat. Kalau Andra jadi Papi Bia, pasti akan menyentil mulut gadis itu.

Waktu terus berputar, senja sudah sepenuhnya ditelan malam. Bia kembali rebahan, kali ini di kamar Andra. Gadis itu sudah kelewat malas untuk pulang ke rumahnya, padahal ia punya tugas yang harus dikumpulkan besok pagi.

Bia malah sibuk mengobrol dengan Dion, sepertinya keduanya terlibat dalam percakapan seru. Sebab Bia sesekali tertawa dengan renyah, sampai mengganggu konsentrasi belajar Andra. Cowok itu tidak tahan mendengar tawa Bia, ketika Bia tertawa pasti akan menular kepadanya.

Tetapi lain dengan saat ini, sesuatu dalam benaknya bergejolak ketika melihat orang lain menjadi penyebab tawa Bia.

"Lo bisa diem nggak, sih?" tanya Andra sedikit kesal. "Tugas gue lagi banyak, nih!"

Seketika Bia terdiam, jarang-jarang Andra menyentaknya begini. Apa tugas yang menumpuk dapat membuat orang menjadi sentimen?

"Lo ngapa, Ndra?"

"Lo berisik!"

"Dih, gitu doang ngambek. Gak jelas lo, Ndra!"

"Lo yang nggak jelas!"

Percaya tidak percaya Andra meninggalkan Bia keluar kamar, bahkan cowok itu sempat membanting pintu meski masih pelan. Bia bingung, gadis itu bertanya-tanya. Sebelumnya Andra tidak pernah seperti ini.

Dion yang menyaksikan semua itu hanya manggut-manggut, ia seperti sedang menyusun strategi.

"Ong, menurut lo si Babon kenapa sih?" tanya Bia padanya. "Nggak pernah loh si Babon unyu itu ngambek kayak tadi."

"Yaudah sih, dia ngambek juga masih ada gue yang nemenin lo."

"Idih, sembuh dulu, bego!"

Dion ngakak, Bia memang selalu membuatnya tertawa dari dulu.

"Ong ih, seriusan, si Andra kenapa, ya?" tanya Bia khawatir.

"Ya mana gue tau, Salsabia." Dion menghela nafasnya, "Lo penasaran banget emang?"

"Iyalah, kalo nggak ngapain gue nanya ke lo."

"Ya kejar si Andra lah, malah rebahan!" Dion nyolot.

"Kejar?"

"Ya iya!"

"Ah males, paling dia cuma badmood."

Dion tidak menjawab, terserah Bia saja.

"Tapi Ong, Andra sebelumnya nggak pernah begini," ujar bia lagi, matanya memandang lurus langit-langit kamar Andra.

"Ya udah kejar."

"Nggak mau."

"Ya udah nggak usah."

Kemudian Bia mendudukkan dirinya, menatap nanar pintu kamar yang barusan dibanting pelan oleh Andra. "Kalo gue kejar …."

"Kalo lo kejar, lo bisa tanyain dia baik-baik sebenernya ada masalah apa si Andra sampe ngambek segitunya."

Bia menoleh pada Dion, "KENAPA NGGAK BILANG DARI TADI, GOBLOK!"

"YA ELO NGGAK MAU NGEJAR DIA, TAI!!"

Untungnya hanya Bia yang dapat mendengar teriakan Dion, sebab cowok itu berteriak sangat histeris. Bia saja langsung berlari secepat kilat mencari keberadaan Andra.

°°°

Bia sudah berkeliling rumah Andra, namun tetap tidak menemukan sosoknya. Ia memanggil-manggil nama Andra, namun yang menyahut malah Papanya Andra yang baru saja tiba di rumah. "Om, liat Andra nggak?" tanya Bia.

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Sudah tau papanya Andra baru datang malah Bia tanya soal demikian, ya pasti tidak akan tahu lah!

"Waduh, nggak, Bi. Om baru aja dateng, emang di kamarnya nggak ada?"

Bia menggeleng, bibirnya sedikit ditekuk kebawah.

"Coba kamu telepon aja, Bi. Om ke dalem dulu, ya." Papa Andra kemudian berlalu dari hadpan Bia, sedangkan gadis itu kembali mencari Andra.

Kalau Bia ingat-ingat, belakangan ini Andra memang berbeda. Ketika di rumah Bia, ia diam saja. Lalu sekarang tiba-tiba menghilang, padahal mereka tengah di rumah Andra.

Sebenarnya apa yang menyebabkan Andra begini?

Apa yang telah Bia perbuat sampai Andra sebegininya?

Apa Bia terlalu merepotkan Andra?

Argh! Bia benci disiksa karena perasaan bersalah menyelimuti kalbunya seperti sekarang ini, Bia lebih baik di-bully teman-temannya daripada dihindari oleh orang terdekatnya.

Bia sudah lima kali mengelilingi rumah Andra yang luasnya sekitar 40 meter persegi, namun Andra masih juga belum ketemu. Setiap ruangan sudah ia masuki, setiap sudut rumahnya juga telah ia periksa, hasilnya tetap nihil. Andra seperti menghilang ditelan bumi. Kalau saja Bia punya kunci ruang cctv, cewek itu pasti sudah mencari Andra kesana.

Berkeliling rumah Andra membuat Bia lelah, gadis itu melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air. Ketika segelas air tersebut ditandaskan olehnya, pintu kamar mandi terbuka menampakkan sosok Andra yang sejak beberapa menit lalu ia cari.

Tanpa berpikir panjang, Bia lantas berhambur memeluk Andra erat. Rasanya Bia merindukan Andra, seperti sudah bertahun-tahun tidak bertemu dengannya. Tentu saja Andra terkejut akan reaksi Bia, tangannya refleks menangkup tubuh Bia yang nangkring di badannya.

"Bi, lo kenapa sih? Lo pikir badan lo enteng apa?!" ujar Andra dengan nafas tersengal, lututnya agak tremor karena mendapat beban berat tiba-tiba.

"Ndra, lo jangan marah sama gue dong … kalo gue salah lo ngomong aja, jangan diemin gue," lirih Bia, kepalanya ia benamkan diantara bahu dan leher Andra. Bia ketakutan sebenarnya, ia sangat takut jika Andra marah dan tidak mau berada di sampingnya lagi.

"Lo turun dulu, gue lemes ini," sahut Andra, nafasnya kian melemah.

Bia menurut, wajahnya memberengut antara kesal, takut, sedih, dan malu. Ditatapnya Andra yang terengah, wajahnya memerah hingga ke telinga.

"Ndra …."

"Gue minta minum."

Segera Bia menyodorkan gelas berisi air kepada Andra yang kini duduk di meja makan, nafasnya sudah mulai teratur meski wajahnya memucat.

"Lo gak pa-pa, Ndra? Maafin gue, Ndra …," lirih Bia lagi, kali ini gadis itu benar-benar merasa bersalah.

"Lo kenapa sih, Bi?"

"Gue minta maaf pokoknya, lo jangan diemin gue lagi."

Andra tersenyum bengis, meski sangat tipis. "Emangnya kenapa kalo lo gue diemin?"

Sejenak Bia berpikir, alasan apa yang cocok agar Andra tidak kegeeran namun juga tidak tersinggung. "Hmm … yaa … sepi aja, biasanya juga kita berisik, Ndra," jawab bia, sedikit merengek.

"Kita? Berisik? Lo aja sama Dion sono!" Setelahnya, Andra kembali meninggalkan Bia di meja makan.

Dan Bia hanya bisa ternganga, Andra tidak pernah sebengis ini sebelumnya.

°°°

Di rumah, di kamar Bia.

Sudah pukul dua pagi, Bia belum juga terlelap di atas ranjang empuk berukuran king ini. Suhu di ruangannya sudah ia setel sesejuk mungkin, instrumen piano yang merdu terus mengalun dari ponselnya agar menciptakan suasana mengantuk. Tetap saja, Bia hanya bisa memejamkan matanya tanpa terlelap.

Ucapan Andra di rumahnya tadi terus mendengung di kepalanya, Andra tidak pernah bicara sesinis itu. Bahkan kalaupun mendiamkan Bia, pasti Andra memiliki alasan khusus dan tidak akan berkata-kata pedas seperti tadi. Nama Dion bahkan terseret dalam permasalahannya yang masih abu-abu kini, padahal jika dipikir kembali sosok Dion tidak pernah menampakkan diri pada siapapun. Kecuali Bia sendiri.

"Mungkin Andra lagi sensi, pasti sekarang ini dia lagi bingung ngurusin PMR, ulangan harian, tugas ini itu, belum lagi job joki game-nya." Suara Ran yang baru bangun tidur itu mencoba menyusun kalimat yang cocok.

Ya, di pukul dua pagi ini Salsabilla Airindiva menelepon Ran hanya untuk curhat tentang Andra.

"Lo ini gila kayaknya, Bi. Masalah ginian lo tanya ke gue, coba liat jam berapa sekarang? Ntar aja siang lo introgasi noh si Babon lo itu, biar clear masalahnya. Ganggu gue aja lo ah," ujar Ran setelah menguap.

Bia geming, mulutnya masih terkunci. Bia sudah nyaris putus asa, makanya gadis itu menelepon Ran. "Apa Andra marah gara-gara gue bantuin Dion ya, Ran?"

"Ya mana gue tau, Bi. Nih ya, meskipun gue sama Andra kembar dan sembilan bulan tinggal diperut yang sama desek-desekan, tapi gue nggak bisa baca pikiran Andraa. Apalagi sekarang gue di Malang, liat muka dia aja nggak, apalagi tahu dia kenapa."

"Tapii …."

"Udahlah Bi, yakali si Andra ngambek sama lo tanpa sebab. Lo terlalu parno. Udah ah, gue mau lanjut tidur." Sambungan telepon terputus, Bia masih terpaku dengan ponsel yang menempel di telinganya. Dalam hati ia berharap matahari segera terbit, agar ia bisa cepat-cepat bertemu Andra.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top