s e m b i l a n b e l a s
Bia membatalkan dirinya yang hendak membantu Dion hari ini. Gadis itu memarahi Dion tanpa alasan yang jelas, dan, Dion mengerti kenapa sahabat masa kecilnya tiba-tiba temperamen seperti itu.
Dalam dugaannya, Dion mengira bahwa Bia sedang PMS atau ia kesal karena pertengkarannya dengan Andra yang membuat kedua remaja tersebut saling diam. Kemungkinan yang kedua, sangat Dion percayai.
Semalam Bia menginap di rumah Andra, sarapan, juga berangkat sekolah bersama Andra dengan motor Vespa-nya. Kendati, tak ada percakapan apa pun diantara keduanya. Mereka masih perang dingin, entah apa yang diperangkan. Tentu, hal tersebut sangat membuat Bia tidak nyaman. Bayangkan, satu meja makan; dan satu tumpangan motor namun sepasang sahabat itu saling diam. Menakjubkan.
Di sekolah.
Dari balkon kelasnya yang menghadap ke lapangan olahraga, Bia memandangi sahabatnya yang tengah berlari keliling lapangan untuk memenuhi perintah dari guru penjaskes. Disaat guru mata pelajarannya berhalangan hadir, memang kegiatan favoritnya adalah menyendiri di balkon kelasnya. Padahal, ia bisa kena damprat oleh guru yang melihat murid kelas 12 berkeliaran saat jam pelajaran.
Bukan Dion namanya jika tak berbuat jahil. Melihat gadis yang kerap disapa Bia tengah menyendiri—memandangi Andra, otak jahilnya bekerja dua kali lebih cepat. Tanpa berpikir panjang, ia muncul di hadapan Bia secara tiba-tiba, membuat gadis itu terperanjat dan memukulnya. Meski, yang dipukul hanyalah udara.
"Sialan!" desis Bia seraya membuang pandangannya dari Dion.
"Cie, lagi liatin Andra cie."
"Berisik!"
"Cie, lagi liatin Andra cie. Uhuy! Bisanya liat-liatan doang, cieee."
"Dion. Please. Jangan. Bikin. Gue. Kesel!"
"Ohoho!" Dion berseru. "Biasanya, kalo orang kesel atas suatu ucapan, dia merasa ter-sin-dir."
Dion geli sendiri, dia tertawa sedikit tertahan dan sesekali menepuk tangannya. Sedang Bia, hanya mampu menghujamkan tatapan tajam pada lawan bicaranya. Sesaat kemudian, pandangannya ia alihkan pada Andra yang kini melakukan pemanasan untuk permainan basket. Dion pun sama, ia turut memperhatikan Andra yang sesekali melirik Bia. Benar-benar kedua sahabat masa kecilnya itu. Munafik!
"ANDRAAA LO JANGAN CEMBURU SAMA GUE, BIA NAKSIR LO JUGA SOALNYA!" Dion meletakkan kedua telapak tangannya pada mulut, seperti manusia sungguhan yang berteriak.
Tentu, Bia naik pitam dibuatnya. Gadis itu balas mengomeli Dion, tanpa sadar kalau cowok itu tak bisa dilihat langsung. "Kampret lo! Apa-apaan! Mulut lo kurang didikan banget, heran gue, nyokap lo makan apa sih waktu ngidam?!"
Beberapa kawan sekelasnya menyembul di ambang pintu, menyaksikan Bia yang mengomel pada pilar balkon di hadapannya. Mereka menahan tawanya, terkikik antara geli juga takut. Mereka melihat Bia bicara, sendirian (lagi). Seperti tak mau melewatkan kesempatan, mereka mengangkat ponselnya, membuka kamera, dan merekam apa yang tengah Bia lakukan.
Dion menyadari apa yang dilakukan mereka, cowok itu berusaha menenangkan Bia yang terus bersungut-sungut kepadanya. "Bi, stop!" Akhirnya Dion menaikkan nada bicaranya. "Temen-temen lo."
Spontan, Bia menoleh ke kanan. Melihat kawan-kawannya sedang asyik merekam, dan segera menyudahi rekam videonya kala Bia berjalan mendekati mereka. Beberapa diantaranya lari ketakutan, sebagian lagi maju untuk berhadapan.
"Orang gila! Lo beneran pemuja setan, atau cuma halu, sih?!" Eva bersuara.
Yap. Mereka lagi. Eva, Mita, Bimo, dan dua orang lagi yang Bia sendiri lupa namanya. Dan, Bimo—lelaki pecinta gosip—masih menyalakan ponselnya untuk merekam apa yang terjadi.
"Lo gak ada hak rekam-rekam gue!" Bia emosi.
Dion mencoba menenangkan Bia, mengatakan hal-hal yang bisa membuat gadis itu menahan amarahnya. Dion tidak ingin Bia kena masalah karena bertengkar.
"Salshabilla. Gue gak peduli lo mau gila, mau jadi penyembah setan, atau lo mau jadi setan sekalipun. Sadar gak, lo tuh malu-maluin kelas! Udah ansos dari kelas sepuluh, sekarang, kita mau lulus lo malah bikin ulah. Mikir dong!" Kali ini, Mita yang memojokkan Bia. Pada setiap ucapannya, ia melangkah maju dan membuat Bia memundurkan langkahnya. Sampai punggung gadis itu menyentuh tembok balkon.
"Kalo lo gak peduli sama gue, gak perlu repot ceramahin gue. Hey, look into yours. Jangan lo kira gue gak tahu, selama hampir tiga tahun lo sekolah di sini, lebih dari empat kali lo masuk BK!"
PLAK!
°°°
Dari rumah, sebenarnya Andra sudah gatal untuk mengajak Bia bicara. Bicara saja, mengobrol, seperti yang biasa mereka lakukan. Tapi, cowok itu bingung harus bicara apa. Topik-topik obrolan yang tak pernah habis untuk dibahasnya dengan Bia, mendadak tergantikan dengan argumen-argumen penolakan dirinya atas rasa cemburu yang sebenarnya ia rasakan. Andra beradu dengan dirinya sendiri, otaknya menyangkal perasaan cemburu yang dirasakannya benar ada, namun, semua yang ia rasakan layak disebut cemburu.
Tak mengerti, ya? Sama. Andra pun tidak mengerti dengan yang ia pikirkan, dan ia rasakan.
Semalaman suntuk ia mencari perihal cemburu di internet. Dan, ia sungguh merasakan tanda-tanda kecemburuan. Tapi, dirinya bersikukuh bahwa yang ia rasakan hanyalah kesal karena Bia terlalu mengacuhkan Dion hingga mengabaikannya.
Dasar Andra. Itu kan sama saja cemburu.
Sejak cowok itu berganti baju olahraga ke kamar mandi, ia memang melihat Bia tengah menyendiri di balkon. Sampai kelas olahraga dimulai, ia tahu Bia masih disana. Memperhatikannya. Andra pun, sesekali melirik Bia.
Sampai, Andra melihat sahabatnya tengah bicara dengan pilar balkon. Andra tahu Bia sedang bicara pada Dion, ia juga ingin menegur supaya Bia jangan mengacuhkan Dion. Takut-takut ada warga sekolah yang menangkapnya tengah bicara sendiri.
Sampai Bia tak ada, kemudian muncul lagi dengan keadaan terdesak. Bia membelakangi balkon, dan di depannya ada seorang siswi yang menunjuk-nunjuk wajahnya. Andra tak bisa fokus, permainan basketnya harus berjalan kacau karena netranya terus memperhatikan Bia.
Wajah Bia terpaling keras ke kanan, Andra bisa melihat jelas bagaimana pipi kiri sahabatnya menerima tamparan keras. Kelewatan!
Berlari meninggalkan tim permainan basketnya, Andra meminta izin pada guru mata pelajaran untuk ke toilet. Alih-alih ke toilet, cowok itu malah berlari menghampiri Bia. Amarahnya tersulut, jantungnya memompa darah dua kali lebih cepat, tak mau membayangkan Bia di-bully lebih jauh lagi.
Lima meter dari tempat Bia di-bully, Andra mematung di tempatnya. Keempat orang yang menyerang Bia tiba-tiba terhempas sekitar sepuluh meter dari tempat Andra berdiri. Satu siswa yang tengah merekam kejadian tersebut, ponselnya tiba-tiba terlempar jauh ke dalam kelasnya.
Sambil terengah, murid yang terhempas tadi sedikit memekik kalau Bia kembali menyuruh setan sembahannya untuk menyerang mereka. Membuat Andra tersadar, ada Dion yang menyelamatkan Bia.
Bia bergetar, namun memaksa tubuhnya tetap berdiri. Mulutnya memanggil-manggil nama Dion supaya berhenti.
Dalam penglihatan Bia, Dion sedang mendesak Bimo yang kebingungan karena ponselnya terlempar jauh. Gadis itu terus memanggil Dion supaya tidak mencelakai Bimo, dengan suara yang bergetar.
Andra melangkah mendekat pada Bia. Berdiri di samping gadis itu, dan mengarahkan pandangan sesuai tatapan mata Bia.
"Dion. Gue tahu, itu lo. Stop, Ong. Kalo lo nyerang mereka lagi, Bia yang kena masalah. Cukup, lo ikut campur di hidup dia. Jangan nambah masalahnya juga." Suara Andra yang tenang dan dingin berhasil membuat Dion bergeming, dan menahan bogemnya di udara. Remaja lelaki berkaus belang itu menoleh pada Andra, lalu Bia yang sama menjatuhkan pandangan pada cowok berseragam olahraga SMA Bima Sakti.
Dion berdecih, bibirnya menyunggingkan senyum bengis. Kemudian cowok tak kasat mata itu pergi.
"Ndra …," panggil Bia lirih. Pemilik panggilan tersebut justru tak acuh, ia malah menatap Bimo dengan nyalang.
"Gabut banget sih kalian sampe ngurusin orang, yang bahkan gak peduli lo ada atau nggak. Kalian bully Bia cuma karena dia aneh menurut kalian. It's something … no, fuckin' freak, guys!"
Setelahnya, Andra pergi. Tanpa berucap apa pun lagi kepada sahabatnya sejak kecil. Tentu, Bia tak tinggal diam. Dengan rambut yang berantakan habis dijambak, juga bekas merah di pipinya, gadis itu mengejar Andra. Bia berhasil menyalip langkah Andra, dan berdiri di hadapannya.
"Apa lagi?" katanya dingin.
"Ndra … jangan diemin gue," cicit Bia.
Andra mendengkus, kedua tangannya ia masukkan kedalam saku celana olahraganya. "Toh lo gak sendiri sekarang, ada Dion, kan? Kalau tadi gue gak dateng juga, Dion bantu lo, kan?"
Cowok itu berlalu, meninggalkan Bia yang mematung—mencerna ucapannya.
Baiklah, kali ini Andra jujur pada dirinya. Ia kecewa, ia tak suka, kalau Dion menjadi orang pertama yang mengkhawatirkan Bia.
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top