s e b e l a s
"Itu muka abis dicakar siapa? Kucing?"
"Enggak, gak pa-pa."
"Itu leher, kenapa? Gak mungkin dicakar kucing deh, Bi."
Sial, Bia lupa dengan wajah dan tengkuknya yang memamerkan banyak goresan. Padahal, ia ingin menyembunyikan luka-lukanya dari Andra. Salah Bia juga yang memanggil cowok itu untuk menemaninya mengerjakan tugas di hari Minggu.
Andra mendekat, memperhatikan luka Bia lebih jelas. Sekarang Bia tidak tahu harus beralibi apa. Dion bilang, jika ia dan Andra hanya sebatas sahabat, maka Bia harus terbiasa mandiri, jangan mengandalkan Andra untuk mengurus permasalahannya.
Kalau Bia mengatakan lukanya didapat karena dicakar teman-temannya, bukankah akan memancing emosi Andra?
"Lo nyoba nutupin sesuatu dari gue, Bi?" tanya Andra setelah bergerak untuk duduk di hadapan Bia.
Entah mengapa Bia merasa takut, Andra memang tidak pernah marah. Bia juga yakin Andra tidak akan mungkin mengamuk pada Bia karena luka di wajah dan lehernya. Tetapi, saat ini Andra seperti memancarkan aura mencekam, seperti mengancam Bia jika sewaktu-waktu Andra akan berubah menjadi monster berekor sembilan.
"Ini, makan. Kok gigitin jempol sih?" ucap Andra sambil diselingi tawa setelah membuka bungkus makanan dan menyajikannya di hadapan Bia. Kemudian cowok itu memasukkan makanan kedalam mulutnya, sedangkan Bia masih menatapnya dengan rasa takut.
"Hei, kenapa?" tanya Andra lagi.
Bia menggeleng, batinnya berperang, antara ingin menceritakan kejadian kemarin pada Andra, juga pada perkataan Dion untuk tidak terus bergantung pada sahabatnya itu.
"Mau nutupin apa sih dari gue? Biasanya juga digigit nyamuk doang juga ngadu ke gue, itu codet-codet di muka kenapa diem aja?" Andra sudah berada di samping Bia, menyandarkan kepala gadis itu pada pundaknya dan mengusapnya dengan lembut. Tangan kanannya tetap ia gunakan untuk menyuap makanan, tak lupa menyuapi Bia yang masih enggan bicara dan hanya memeluk lutut.
Ucapan-ucapan Dion kemarin terus terngiang dalam pikiran Bia. Dion mempertanyakan soal hubungannya dengan Andra yang Dion rasa lebih dari sekadar sahabat, padahal Bia dan Andra memang sahabat, kan?
"Tapi lo nyesek gak kalo misalnya si Andra jalan sama cewek lain?" begitu pertanyaan Dion. Ah, Bia tidak tahu jawabannya. Selama ini Andra tidak pernah jalan dengan perempuan manapun selain dirinya, Ran, dan Mamanya. Membayangkannya saja ... terasa sulit bagi Bia.
"Berarti, kemungkinan lo menghambat Andra buat dapetin cewek. Si Andra itu cowok perfect, nggak mungkin kalo ada yang nolak dia. Bisa aja, kan, ada cewek yang naksir dia tapi karna Andra sering sama lo jadi mereka anggap kalo Andra bukan jomlo?" Setelah mengucapkan itu, Dion menghilang dan belum menampakkan wujudnya lagi.
Asumsi Dion bisa saja benar, Bia menghambat Andra untuk mendapatkan pacar. Padahal Andra ini salah satu jenis boyfriend materials, sayang sekali jika dirinya masih jomlo, kan?
Tapi bisa saja Andra memang tidak mau berpacaran, Andra kan salah satu siswa yang ambisius dalam pelajaran.
Kenapa Bia jadi memikirkan nasib Andra, sih? Lihat saja si Andra juga tidak mempermasalahkan statusnya!
Ah, ini semua karena ucapan Dion. Kedatangan cowok itu hanya membuat Bia pusing saja.
"Argh! Dion kampret!" Bia tiba-tiba saja berteriak sambil menjambak rambutnya.
Tentu saja Andra terkejut dengan sikap Bia yang mendadak seperti itu, cowok itu menatap Bia keheranan dengan tangan yang melayang hendak memasukkan makanan kedalam mulutnya. Andra cukup peka dengan yang Bia katakan tadi, pasti sikap Bia yang mendadak mellow ini akibat lelaki itu. "Si Dion kenapa lagi? Bukannya dia udah nggak pernah dateng lagi?"
"Nggak tau, Ndra. Dia tiba-tiba muncul lagi, kan dia nggak bisa nyentuh apapun ya, masa dia bisa dorong orang. Mana dia ngeracunin pikiran gue lagi, ah sialan!" kata Bia sambil memberengut.
Bukan persoalan Dion datang lagi yang menarik atensi Andra, namun baginya, bisa berbahaya jika Dion sudah bisa menyentuh sesuatu. Dion kan usil, mana tahu cowok itu mengusili manusia normal. "Dion dorong orang?"
"Iye. Temen-temen sekelas gue dia dorong ampe mental kena tembok."
"Lah? Emang temen-temen lo ngapain sampe didorong Dion?"
"Mereka nyakar gu-e," ucap Bia ragu-ragu. Sungguh, ia keceplosan! Sekarang, perkataan Dion kemarin terngiang ditelinganya.
Ya, Dion berkata jika Bia masih suka mengadu tentang permasalahannya pada Andra, berarti Bia menaruh rasa pada cowok itu.
Sepasang mata yang legam itu menatap dalam iris mata Bia, tatapan meneduhkan itu kini mengisyaratkan emosi yang siap meledak kapan saja.
Sungguh, Bia takut melihat Andra begini.
"Jangan-jangan lo di-bully lagi," ujar Andra sembari menyilangkan kedua tangannya didepan dada.
"But it's okay. Gue nggak apa-apa kok, gue ... cuma bercandaan aja." Bia tertawa garing.
Di sudut ruangan tiba-tiba Dion menampakkan diri, cowok itu menatap sinis pada Bia.
Andra tahu sahabatnya itu tengah berbohong, dan Andra ingin tahu sejauh mana Bia mampu membohonginya.
"Yaudah," sahut Andra.
°°°
Esok harinya Bia masuk kelas seperti biasanya, teman-temannya lantas diam. Tidak ada seorang pun yang mengeluarkan suara. Aneh, tapi Bia bersikap masa bodoh. Bagus malah, jadi ia tak perlu mendengar hujatan-hujatan yang membuatnya ingin memakan semua temannya.
Beberapa dari mereka menatap Bia ngeri, bahkan ada yang berlari begitu dirinya menyadari berada di posisi yang terlalu dekat dengan Bia.
Sepertinya Bia salah menduga, lagi-lagi Mita mendekat dan meneriakinya. Hari ini Bia gagal mendapat hari tenang.
"LO BAWA SETAN YA KESINI? BENER KAN LO PAKE PELET, BUKTINYA KEMAREN LO BISA DORONG GUE TANPA NYENTUH GUE SAMA SEKALI!!" kata Mita, sambil menunjuk wajah Bia dengan telunjuknya. Tepat didepan wajah Bia.
Bia malas menanggapi, cakaran di wajahnya belum sembuh bekas kemarin.
"Kalo orang ngomong tuh jawab, sopan santunnya dimana?" ucapan sarkas dari Bimo membuat Bia mengadahkan kepalanya. Matanya memicing menatap Bimo dengan tajam. Bia bingung, sebenarnya disini yang tidak punya sopan santun siapa, sih?
"Bacot," desis Bia, kemudian gadis itu membenamkan wajahnya pada tangannya diatas meja.
Eva menjambak rambutnya lagi, tepat di depan telinganya ia berteriak, "Heh! Lo nggak bisa ngelak kalo lo punya kerja sama dengan setan! Video kemaren yang gue kelempar jadi buktinya, dan Bimo juga punya bukti kalo lo ngobrol sama setan!"
Gadis itu tidak melawan, Bia hanya merasakan sensasi perih dikepalanya.
Tarikan pada rambut Bia semakin kencang, sementara itu Bimo sibuk menunjukkan video Bia yang berbicara dengan angin kepada temannya yang lain yang menaruh atensi pada keributan Bia dan Eva.
Rupanya, Bimo mengikuti Bia pulang setelah kejadian kemarin. Bia yang saat itu pulang sendiri, terciduk tengah berbicara dengan Dion yang tak kasat mata dan direkam oleh Bimo.
Bia tidak tahan, Mita terus menjambak dan berteriak bahwa Bia tidak waras. "Bacot! Iya gue nyembah setan! Puas lo?!" Bia memelintir tangan Mita, kemudian dilepaskannya kembali.
Teman-teman Bia malah menganggap bahwa yang dikatakan Bia bukanlah sesuatu yang bersifat sarkas. Mereka menanggapinya serius.
Kini seisi kelas hening, mereka yang tadinya tak acuh dengan keributan yang diciptakan Mita, juga turut menatap Bia tidak percaya.
Setelah itu, guru pengajar masuk ke dalam kelas.
°°°
Tiga hari kemudian.
Dion tertawa sekeras-kerasnya, tawanya malah terdengar sedikit horor di telinga Bia. Semenjak Bia mengakui jika dirinya pemuja setan, Dion ngakak bukan main. Setiap menampakkan dirinya, ia pasti tertawa dulu sampai puas, baru ia mengatakan kepada Bia apa yang harus dilakukannya mengenai perjodohan antara mama Dion dan manajernya.
Ya, akhirnya Bia mau membantu Dion. Sebab cowok itu sering mengganggu teman-teman Bia yang hendak mem-bully dirinya.
"Gimana gue nggak ngakak, Bi. Temen-temen lo nggak ada yang berani gangguin lo sekarang, malah lo dapet job wawancara dari majalah sekolah, kan? Salsabilla Airindiva, murid SMA Bima Sakti yang memuja hantu, jadi highlight majalah sekolah," ucap Dion, sedikit meracau.
Kalau saja Dion bukan makhluk setengah halus, ingin sekali Bia melempar cowok itu dengan sapu yang tengah digenggamnya kini.
"Berisik deh lo! Nggak sadar diri apa sekarang wujudnya makhluk astral?!" seketika Dion langsung diam mendengar perkataan sinis Bia.
"Nggak gue bantuin tau rasa lo, syaiton," lanjut Bia tanpa menghentikan kegiatan menyapu rumahnya.
"Kok lo judes sih sekarang, Bi? Perasaaan dulu tuh ya, lo kalem banget, kalo gue isengin tuh ketawa-ketawa aja."
Bia berdecak, "Udah nggak berlaku gue jadi cewek menye-menye kayak gitu tuh! Cepet dah lo ngomong, gue harus apa?!"
Dion yang duduk di sofa meminta Bia mengambil buku catatan, kemudian cowok itu menyebutkan informasi tentang Aisyah dan Andy yang harus Bia catat.
🌻🌻🌻
Pada akhirnya, PME jilid 3 terpaksa dihentikan. Kesibukan RL para admin dan peserta rupanya tidak memberi vibes semangat pada kami. That's little hard to i face. Karena, melalui PME, aku pede publish draft-ku.
Special thanks buat peserta PME yg tak bisa aku tag satu persatu, juga tentunya pengurus EAT yg sudah menyelenggarakan proyek ini, meskipun harus kandas sebelum waktunya. Terimakasih, mau mendukungku, supaya lebih percaya diri. I love you ceban💕
Makasih juga, buat kamu-kamu yang sudi membaca sampai sejauh ini❤️❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top