l i m a

Bia membanting pintu kamarnya, kemudian bersandar pada daun pintu meratapi kekecewaannya pada Andra, orang satu-satunya yang Bia harapkan untuk memercayainya.

Memang, Bia sadar jika hal yang ia alami sangat sulit diterima akal sehat manusia. Bia tahu ada yang tidak beres dengan Dion. Pertama, Dion selalu bisa menemuinya dimanapun Bia berada seperti seorang stalker. Kedua, dari pertama kali Dion menemui Bia, ia tidak pernah mengganti bajunya. Selalu menggunakan kaos belang dengan celana jeans berwarna biru dongker. Anehnya, jika Dion tidak punya baju ganti maka seharusnya ia bau badan, ini tidak sama sekali.

Bia sudah menceritakan semua hal ini pada Andra maupun Esmeranda, namun tetap keduanya tidak memercayai Bia dan menganggap jika gadis itu hanya berhalusinasi soal Dion karena ia terlalu merindukan sosok Dion. Mengingat, Bia pernah menaruh rasa pada cowok itu.

Salahnya lagi, Bia tidak bisa menunjukkan bukti keberadaan Dion.

Seperti saat ini, Dion tengah memandangi Bia dibalik gorden kamarnya. Keduanya saling tatap, Bia dengan tatapan tajamnya dan Dion dengan tatapan memohonnya. Bia yakin, kalaupun ia menyeret Andra kesini untuk menunjukkan dimana Dion berdiri pasti cowok berkaus belang itu akan kabur tanpa jejak.

"Harusnya lo nggak gini, Ong … lo bikin gue keliatan gila. Lo mau minta tolong apa, sih? Oke, oke, gue nyerah. Gue mau nolongin lo!!" seru Bia sedikit merintih.

Perlahan kaki Dion melangkah mendekati Bia. "Maafin gue, Bi …," lirih Dion.

Bulir air mata menetes, membasahi pipi mulus Bia, menyadari hal itu Bia lantas membuka matanya. Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat tangan Dion berada di pipinya, namun tidak terasa sama sekali olehnya. Malah tangan Dion itu seperti menembus kedalam wajahnya.

Sontak Bia terperanjat dan bangkit dari duduknya, kini ia menatap Dion agak ngeri. Sementara wajah pucat Dion terus menunjukkan kesenduan.

"Lo …." Perlahan telunjuk Bia terangkat menunjuk Dion, masih dengan keadaan waspada Bia perlahan mendekati Dion.

Tangan Bia mencoba memukul lengan Dion, namun yang Bia rasakan hanyalah seperti memukul angin. Kali ini Bia menendang perut Dion, namun lagi-lagi ia hanya menendang angin. Masih penasaran, akhirnya Bia mencoba memeluk Dion, namun hasilnya nihil. Ia seperti memeluk angin. Tubuh Dion seperti menembus begitu saja, Dion seperti sorotan dari proyektor pada sebuah layar. Tampak nyata padahal semu.

Menyadari ada yang berbeda dari sahabat lamanya Bia mundur dua langkah dengan tatapan tidak percaya, kedua tangannya menutup mulutnya yang menganga. Kepala Bia terus menggeleng dengan kuat, ia tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.

"Di—Dion …," lirih Bia sambil menggapai kenop pintu yang berada dibalik punggungnya.

Tangan Dion terulur seperti menahan Bia untuk pergi, matanya memerah namun tidak ada air mata yang mengalir.

Ya, Dion menangis. Tapi ia tidak bisa menitikkan air matanya.

"Kasih gue kesempatan buat ngejelasin ini, Bi," ucap Dion dengan lemah.

Bia masih menatap Dion ketakutan, tangannya terus meraih kenop pintu yang sialnya pintu tidak terbuka.

"Bi … gue mohon."

Bia menggelengkan kepalanya, semakin lama semakin kuat. Matanya terpejam, kemudian terbuka kembali. Gadis itu berharap bahwa ini hanyalah mimpi, namun sosok Dion tetap terpampang nyata beridiri di depannya. Ini bukanlah mimpi.

"Bia, gue belum mau mati jadi please lo tolongin gue. Gue udah nyerah!" Dion berkata sedikit berteriak. Tubuhnya jatuh berlutut di lantai, Dion menangis tersedu. Namun wajahnya tetap kering, tidak ada satupun air mata atau peluh yang membasahinya.

Menelan salivanya, Bia memberanikan diri mendekati Dion. Perlahan, gadis itu menenangkan Dion yang sedang tidak baik-baik saja.

"Tiga bulan yang lalu, gue ngalamin kecelakaan hebat. Ceritanya gue main ke Puncak, sebenernya temen-temen gue ngajak nginep di villa karena udah malem banget. Tapi gue inget, Mama sendirian di rumah. Makanya gue nekat balik. Gue ngebut, apesnya jalanan waktu itu lagi licin. Motor gue jatoh ke jurang, helm gue mental gak tau kemana, kepala gue kesangkut akar pohon beringin yang bikin gue cedera otak. Sekarang gue koma, Bi. Tiga bulan ini gue koma, gue udah nggak kuat, Bi. Tapi gue nggak bisa ninggalin Mama sendirian, gue nggak akan tenang kalau gue pergi ninggalin Mama sendirian."

Penuturan dari Dion seakan menampar Bia, selama ini ia sudah berpikiran negatif mengenai kehadiran Dion. Padahal apa yang dialami cowok itu pasti sangat berat.

Kemalangan yang menimpanya bukanlah perkara yang mudah dilewati. Ini soal hidup dan mati, namun yang menjadi pertanyaan …kenapa harus Bia yang Dion datangi?

"Gue udah coba panggil Mama, gue udah panggil semua temen-temen gue tapi nggak ada yang bisa liat gue, Bi. Satu hari gue liat anak SD, di name tag namanya Salsabila. Terus gue nyamperin lo ke rumah yang dulu, ternyata lo udah pindah. Untung gue liat Andra, gue samperin dia, Sampe gue liat lo jalan sendirian, dan gue rasa saat itu momen yang pas buat gue nemuin lo."

Pertanyaan demi pertanyaan sudah terjawab mengenai permasalahan Dion, namun juga memunculkan pertanyaan lainnya. Bia masih penasaran, kenapa takdir memilih dirinya untuk membantu Dion, padahal hubungan mereka sudah lama tidak terjalin.

Bayangkan, lima tahun tidak berkontak sama sekali namun tiba-tiba roh Dion menyambangi Bia meminta bantuan yang bahkan Dion sendiri tidak tahu apa yang dapat Bia lakukan untuk membantu dirinya.

"Tapi kenapa lo minggat tiap ada orang lain yang nyamperin gue, Ong?"

"Gue gak mau lo dianggap gila, Bi."

Bia berdecak kesal, "YA JUSTRU DENGAN LO NGILANG GUE MALAH DIANGGAP GILA, KAMPRET!!!"

"BI, LO GAPAPA?!" pekik Andra dibalik pintu, diiringi bunyi kenop pintu yang sulit terbuka. Rupanya pintu dikunci.

"BERISIK LO, NDRA. URUSAN GUE BELOM KELAR NIH!" sahut Bia emosi, namun berhasil membuat Andra bungkam.

Sedangkan dibalik pintu, Andra dengan segala kekhawatirannya menguping pembicaraan Bia.

Bia menatap Dion dengan nyalang, sorot matanya mengisyaratkan cowok itu berhenti terkekeh-kekeh. Paham dengan yang diisyaratkan Bia, Dion melanjutkan kembali penjelasannya.

"Gue takut lo sadar kalau gue ini semu, Bi. Yaa … walaupun ujungnya ketahuan juga sih." Dion menyeringai mengerikan, membuat Bia ingin menendangnya.

Bia membuang napasnya dengan kasar, kemudian ia bangkit dari duduknya. Kini sambil berkacak pinggang, Bia memandangi Dion dari ujung kaki sampai ujung kepala.

"Tapi kok lo napak sih? Terus lo juga bisa duduk di kasur gue, tapi kenapa gue nggak bisa nyentuh lo ya?" tanya Bia penasaran.

"Ya karena … kita bukan mahrom, Bi."

"ANDRAAA! PANGGIL PENANGKAL SETAN SEKARANG JUGAAA!"

"BUSET BIA GUE BUKAN SETAAANN!!"

°°°

"BIAA LO BENERAN GAPAPA??!!" Gedoran pintu dari luar semakin keras, Andra benar-benar khawatir dengan keadaan Bia saat ini yang terus berteriak emosi. Tidak apa-apa jika hanya sekadar berteriak meluapkan emosi, bagaimana jika Bia membanting barang dan merusaknya? Atau yang lebih parah, Bia menyakiti dirinya sendiri?

Kemungkinan yang kedua tidak akan mungkin terjadi, sih. Sebab Bia punya kadar narsis yang cukup tinggi, namun yang Andra tahu kini gadis itu tengah mengalami masalah psikis, sehingga wajar saja jika Andra berpikiran sampai kesana.

BUGH BUGH BUGH BRAKK!!

Pintu kamar Bia berhasil didobrak Andra, kini ia sedikit tenang melihat kondisi sahabatnya yang baik-baik saja tanpa lecet sedikitpun. Bergegas Andra menghampiri Bia, rupanya cewek itu tengah menahan marah.

"Lo gapapa, Bi?" tanya Andra panik, kedua tangannya mengguncang bahu Bia.

Sementara Dion yang masih berada di kamar Bia menahan tawanya, tak lama cowok itu melambaikan tangan pada Bia dan menghilang begitu saja.

Jadi begitu sistem dia menghilang, seperti cahaya yang meredup kemudian lenyap dengan sendirinya.

Kini Bia beralih pada Andra, menatap Andra yang terlihat cemas.

Usai mengendalikan emosinya, Bia bertanya, "Lo beneran nggak tau kalau keadaan Dion sekarang lagi koma?"

Tangan Anda yang mencengkram pundak Bia perlahan mengendur, cowok itu terkejut bukan main mendengar pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya.

"Mata lo nggak usah melotot gitu, kalo keluar ntar gue repot," sinis Bia yang kemudian duduk diatas ranjangnya. Gadis itu mengusap peluhnya, ternyata marah-marah dapat menguras tenaga.

"Lo jangan asal ngomong, Bi," ucap Andra dengan tidak percaya.

"Sejahat-jahatnya mulut gue, yakali gue beneran nawaitu nyumpahin temen sendiri," sahut Bia. "Makanya gue nanya sama lo, lo tau gak si Dion lagi koma? Kalo lo tau sumpah lo jahat banget nggak ngasih tau gue, Ndra."

Kali ini, Andra duduk di sebelah Bia. Topik obrolan sekarang ini jauh lebih penting daripada kekhawatirannya tadi, toh ternyata Bia baik-baik saja.

"Bi, sejak lo bilang lo abis ketemu Dion gue langsung cari tuh orang. Jujur aja kita lost contact udah lama, tapi hasilnya nihil, Bi. Gue nggak tau alamat si Dion, sosmednya juga nggak aktif."

"Ya iya, itu orang udah koma tiga bulan."

"Heh! Lo sadar kan ngomong gitu?!" tegur Andra sedikit berteriak.

"Sekali lagi gue denger lo ngatain seolah-olah gue halu, gue tendang si otong lo, ya?"

Glek!

"Ya santai, Bi. Lagian kan lo—"

"Ngomongin si kampret Dion seolah-olah dia ada di samping gue, gitu, Ndra? Tenang aja, gue nggak halu kok. Emang si Dion aja setengah setan bikin gue keliatan sarap. Dahlah, gue mau mandi. Abis itu gue nggak mau tau lo kudu bantuin gue nyari rumah sakit tempat si Dion dirawat," ucap Bia, setelah itu ia benar-benar meninggalkan Andra yang terperangah.

🌻🌻🌻

Males bgt gaje

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top