e n a m b e l a s

"Gara-gara lo!" pekik Bia kala Dion baru menampakkan diri di hadapannya.

"Kok gue?"

"Andra diemin gue gara-gara lo! Lo tau gak sih, Andra tuh susah dibujuk! Gue udah cape, Dioooon. Tiga hari, bayangin, tiga hari si Andra cuma ngomong 'hm, iya, nggak, oh' ke gue, Ong!" Bia membanting dirinya ke atas kasur, memukul-mukul kasur dengan kesal dan frustasi. "Gue jadi males ngomong sama dia kalo begini caranya!"

Dion terdiam, cowok berkaus belang itu hanya memandang Bia yang memberengut kesal sendiri. Sesekali ia mengecek ponsel, kemudian meletakkannya kembali sambil menggeram.

"Lo gelisah dikacangin Andra? Berarti bener dong, lo naksir dia?" Dion bersuara.

Bia lantas bangkit dari posisinya, gadis itu terduduk dan melayangkan tatapan nyalang pada sosok Dion. "Pantat lo naksir! Bener-bener lo, ye! Lo minta gue buat masukin lo ke botol, ya? Biar kayak jenglot!"

Dion terkekeh-kekeh, "Naksir, naksir aja. Gak usah muna, Bi."

Lawan bicara Dion tersebut menggeram, pakaiannya sudah rapi hendak pergi untuk menjalankan misi Dion berikutnya—menjodohkan Aisyah dengan Andy. Segera Bia menyambar tas selempangnya yang menggantung di kapstok, kemudian melangkah pergi dari kamarnya sambil membanting pintu.

"Bia, mau kemana?" tanya Sudirman mengetahui putrinya bersiap untuk pergi.

"Mau …." Bia menyisir pandangannya pada sang papi, pria yang usianya hampir setengah abad itu juga berpakaian tak kalah rapi darinya. "Papi mau kemana?"

"Kamu nih, ditanya malah balik nanya. Papi mau anter Mami ke rumah Oma, Oma sakit, jadi Mami mau nginep di sana. Abis itu, Papi langsung berangkat."

"Berangkat narik pesawat?"

"Iya. Bia di rumah sama Kak Dea, jangan nakal-nakal."

"Dea mau ikut sama Mami, Pi. Males amat di rumah sama si Bia, hih!" Suara Deanita—kakak Bia mengudara. Gadis yang tiga tahun lebih tua daripada Bia itu sudah berpakaian rapi dengan ransel yang tersampir di pundaknya, kemudian duduk di sofa dengan angkuh.

Kalau tak ada Sudirman di sampingnya, Bia bersumpah untuk menarik tujuh helai rambut sang kakak karena tingkahnya.

"Bia ikut aja, yuk?" tawar Sudirman.

"Males. Disana ada Kak Dea. Mending nginep di rumah Andra. Bia berangkat, Pi," sahut Bia asal, gadis itu berpamitan pada sang papi dan mencium tangannya. Setelah itu ia bergegas meninggalkan rumahnya, memesan ojek online untuk menuju salah satu mal di kawasan bilangan Jakarta.

Setibanya di mal, Bia lupa akan tujuannya datang kemari. Awalnya ia memang pergi untuk membantu menyelesaikan misi Dion, namun gadis itu lupa, kalau beberapa waktu lalu Dion membatalkan rencana tersebut.

Berikutnya, ia menyesal telah berkata akan menginap di rumah Andra, bukankah cowok itu sedang bungkam terhadap Bia?

Kalau begitu, untuk apa sekarang ia di mal? Dan, untuk apa juga ia pulang ketika rumahnya kosong juga hubungannya dengan Andra yang sedang tak baik?

°°°

Sudah lima setengah jam Andra duduk didepan layar laptop, obat antibiotik yang masih harus dihabiskan ia lewatkan, bahkan sarapan pun ia indahkan. Nasi goreng dengan taburan ebi kesukaannya kini hanya sekadar nasi dingin yang tidak menggugah selera makan.

Di hari cuti nasional ini, lagi-lagi ia harus mendekam di kamarnya sendirian. Mengerjakan desain grafis di laptopnya, atau bermain game online. Bia yang biasa menemaninya sedang melakukan "misi" bersama Dion.

Rencana Bia kemarin yang mengirimkan maminya, juga Mama Andra untuk mengunjungi Aisyah rupanya berhasil, ibunda Dion itu menceritakan soal kegelisahannya tentang hubungan dirinya dengan Andy—sang manajer. Mereka memang sudah mengungkapkan perasaan satu sama lain, namun belum ada langkah lebih serius mengenai hubungannya. Alasannya, adalah Dion. Aisyah ingin puteranya merestui hubungan dirinya dengan Andy. Setidaknya, hal itu yang Andra ketahui dari sang Mama.

Untuk itu, yang Andra ingat hari ini Bia melakukan rencana Dion berikutnya dalam memantapkan niat hati Aisyah untuk segera melangkah ke pelaminan bersama Andy. Dan membatalkan rencana dirinya dengan Andra di hari ini—sparring karate.

Jujur, Andra merasa terganggu. Semenjak kehadiran Dion dalam hidup Bia membuat sahabatnya itu berubah. Setidaknya menurut Andra. Waktu yang biasa mereka habiskan kini selalu bercampur dengan urusan Dion. Bukannya Andra tidak ingin membantu Bia dengan urusannya bersama Dion, hanya saja Andra tidak ingin Bia terlalu larut dalam urusan Dion yang menurutnya terlalu privat.

Coba bayangkan, masa dirinya harus ikut campur atas hubungan Mama Dion dengan manajernya? Memangnya Bia ini biro jodoh? Dan juga … memang Andra ini asisten biro jodoh? Kenapa pula si Dion ini meminta bantuan yang kurang beradab? Seorang anak muda mengatur urusan kencan orang tua. Mengatur kencan temannya sendiri saja Andra ogah, apalagi orang yang hampir berusia paruh?

Andra kesal dengan Bia yang mau saja menuruti kemauan Dion, siapa tahu Dion cuma iseng, kan? Mengingat cowok itu sangat suka menjahili Bia di masa lalu. Bia, Bia, mengurus diri sendiri saja terkadang harus Andra yang turun tangan, sok-sok-an ingin membantu hubungan orang tua.

Sudah tiga hari Andra bersikap dingin pada Bia, terhitung sejak insiden menonton film Harry Potter. Andra ingin tahu seberapa jauh Bia melakukan segalanya sendiri tanpa inisiatif Andra. Meski sebetulnya Andra tidak tega melihat Bia yang merengek hanya karena Andra tidak menjawab setiap ucapannya, Andra hanya ingin Bia sadar jika dalam hidupnya bukan hanya ada Dion.

Sudah sore hari, dan Bia belum mengabari Andra sama sekali tentang kegiatannya. Kemarin-kemarin, Bia selalu bercerita soal apa yang ia lakukan dengan Dion untuk memantapkan hati Aisyah, meskipun Andra membalasnya dengan singkat dan dingin. Tetapi, hari ini tidak. Terakhir Bia bicara pada Andra ketika ia hendak pergi tadi, sekitar pukul sembilan pagi.

Biasanya ia akan mengirim pesan supaya Andra menjemputnya, mengingat gadis itu bukan orang yang hafal jalan. Kali ini ponsel Andra sepi, tidak ada notifikasi masuk dari Bia. Yang ada hanya personal chat dari entah siapa, Andra tidak mengecek ponselnya, sebab Andra sudah menyetel notifikasi khusus jika ada pesan atau telepon masuk dari Bia.

Baiklah, Andra akan menunggu beberapa menit lagi. Ia yakin sebentar lagi Bia akan meneleponnya dan memarahinya karena masih bersikap dingin.

Dua jam berlalu, namun notifikasi yang ia tunggu tak kunjung ada. Kesal, Andra mematikan laptopnya dan membanting ponselnya ke kasur. Selang beberapa detik, tubuhnya ikut terpelanting keatas kasur, dengan perasaan gemas-gemas-kesal Andra pun memejamkan matanya.

Sesuatu menggelitik telapak kakinya, lelaki itu malas untuk sekadar bangun. Ia hanya menendang-nendang agar sang pelaku penggelitik menyudahi aksinya. Berulang-ulang Andra menendang, tetap saja yang ditendang hanya angin. Penasaran, akhirnya Andra bangun dari tidur siangnya. Nihil, Andra tidak melihat siapapun di kamarnya.

Belum tuntas rasa penasaran Andra terhadap pelaku yang menggelitiki telapak kakinya, kini ia harus dihadapkan pada kursi belajarnya yang berderit sendiri. Perlahan kursi belajar itu mundur seperti ada yang menariknya ke belakang. Ini sulit dipercaya, mata Andra membelalak dan dirinya meraih vas bunga diatas nakas. Sebuah pisau lipat yang terselip disana, kini beralih dalam genggaman Andra.

Alat tulis yang berada dalam sebuah tabung tak bertutup berjatuhan, seperti ada yang sengaja menjatuhkan tabung tersebut supaya isinya bertumpahan. Andra terus mempertahankan logikanya, ia yakin ada seseorang yang sedang usil dan ingin membuat dirinya seolah-olah menghadapi makhluk tak kasat mata.

Andra bergerak dengan hati-hati, pisau lipat yang berada dalam genggamannya kini eksis menampilkan mata pisau yang tajam. Ia menghampiri meja belajarnya yang berantakan, dan diatas meja terdapat secarik kertas.

"Andra."

Cowok itu lantas menoleh kala namanya dipanggil, dilihatnya sosok Dion berdiri di dekat pintu kamarnya yang tertutup rapat. Refleks, Andra mengacungkan pisaunya ke arah Dion. Bukankah … cowok itu sedang koma?

"Gue beneran ada."

°°°

Andra terbangun. Mimpi di siang bolong tadi sukses membuat jantungnya berpacu berkali lipat lebih cepat.

Dirinya hanya terlelap sebentar, tapi kenapa sempat bermimpi? Juga, kenapa mimpi tadi terasa begitu jelas?

Remaja lelaki itu membangkitkan diri, melihat sekeliling kamarnya yang berantakan. Persis seperti yang ia mimpikan barusan.

"Mungkin gue kecapean," katanya, entah bicara pada siapa.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top