e m p a t b e l a s
"SETAN SARAAAP!" pekik Bia, jantungnya berdegup tiga kali lebih cepat dari biasanya. Gadis itu baru selesai menunaikan hajatnya di toilet sekolah.
Dion menyeringai, terlihat sedikit menyeramkan. Tangannya ia lipat di depan dada, kakinya juga disilangkan menambah kesan angkuh pada cowok itu.
"Mau apa lo? Ntar aja dah gue mau balik dulu," ujar Bia, sedikit panik.
"Lo mau tahu nggak, si Andra kenapa?"
Pertanyaan Dion membuat Bia membelalak, nadanya yang tenang kontras dengan reaksi Bia yang heboh bukan main. "LO TAHU SESUATU, ONG?!"
Dion mengangkat sebelah alisnya, posisi tubuhnya ia tegakkan dengan melepas lipatan tangannya. Kini kedua tangannya itu ia masukkan kedalam saku, tubuhnya ia condongkan pada Bia yang bernafas terburu-buru, senyuman bengisnya masih terpatri di wajah pucat Dion.
"Gue bakal kasih tau lo setelah lo bikin nyokap gue berduaan lagi sama Om Andy. Sekarang mereka lagi ngadain bakti sosial ke panti jompo, gimana caranya mereka harus berduaan disana."
Dion sudah gila, selain rohnya yang terpisah dengan tubuhnya, otaknya pun terpisah dengan sarafnya. Setidaknya itulah yang ada di pikiran Bia. Lagipula yang benar saja, masa menyuruh orang dewasa berdua-duaan di panti jompo? Catat baik-baik, panti jompo!
Anak SD saja tahu kalau berduaan itu lebih enak ditempat yang romantis dan suasana yang mendukung. Masa iya Bia harus mempersatukan Aisyah dan Andy pada kegiatan bakti sosial, di panti jompo pula, memangnya Bia sutradara sinetron yang dapat menyeting hal tersebut dengan mudah?
"Sumpah, LO GILA!" teriak Bia tepat didepan wajah Dion.
Bia berjalan gusar untuk segera meninggalkan kamar mandi sekolahnya, bel pulang sekolah sudah berbunyi sejak beberapa menit lalu.
Dion mengikuti Bia, membujuk rayu Bia supaya mau menuruti kemauannya yang absurd.
Bia tidak bisa diam saja, ia harus pulang dan segera menemui Andra. Cowok itu tidak masuk sekolah, sakit katanya. Tapi, Bia tak tahu penyakit apa yang tiba-tiba menyerang sahabatnya itu.
Di rumah Andra.
Andra berbaring di kasurnya, matanya terpejam namun ia tidak tidur. Keningnya dibalut plester kompres, diatas perutnya terdapat water bag yang berisi air panas. Alisnya saling bertaut menahan rasa sakit.
"Babon unyu, lo kenapa?" tanya Bia seraya melangkah mendekat penuh hati-hati.
Andra membuka matanya, kemudian cowok itu mencoba untuk duduk dan langsung ditahan oleh Bia.
"Lo udah balik? Sorry, ya, gue gak sempet bilang ke lo, kalo gue gak sekolah," ucap Andra dengan suara yang serak, matanya kembali terpejam.
Dipegangnya pipi Andra oleh Bia, suhu tubuhnya sangat tinggi. Andra demam.
"Lo sakit apa, Ndra?" lirih Bia.
"Gak tahu, Bi, dari kemaren buang aer mulu. Terus jadi demam, deh," jawab Andra. "Kalo semalem gue sinis sama lo, sorry banget, ya." Suara seraknya kembali terdengar.
"Cepet sembuh dong, Ndra …."
Pelan-pelan Andra membuka matanya, suara Bia sangat lirih. Pasti ekspresi wajahnya menggemaskan, kalau Andra tidak salah ingat, kemarin Bia sempat menyesali perbuatannya yang sering kekanakan. Andra ingin tahu bagaimana raut wajah bersalahnya, ini langka.
Kelopak mata Andra terbuka sedikit untuk mengintip, benar seperti dugaannya, Bia terlihat menggemaskan! Bibirnya yang menekuk kebawah seperti menahan pipinya yang tembem, bukannya iba Andra malah ingin mencubitnya kuat-kuat.
"Cepet sembuh, Ndra. Ada bogem yang belum tersalurkan, gue kira lo beneran marah sama gue, ternyata lo cuma mencret."
Pengumuman: Andra menarik semua ucapannya tentang Bia yang menggemaskan.
°°°
Dion kembali menampakkan dirinya. Kali ini dengan raut kecewa, wajahnya seolah-olah pasrah dengan apa yang terjadi. Tentu, hal tersebut membuat Bia penasaran.
"Nape lo?" tanyanya pada Dion yang kini duduk di atas lemari Bia. Kakinya menjuntai ke bawah, menciptakan kesan mengerikan kalau saja Bia tak ingat bahwa Dion adalah sahabatnya.
"Nyokap gue, Bi."
Bia terperanjat, "Kenapa nyokap lo?"
"Jatoh."
"HAH?!"
"Biasa aja kali, dikira mulut lo kagak bau apa?"
Bia menghela napasnya, Dion tak pernah berubah. Cowok itu tetap berlebihan. Bia di atas ranjangnya, dan Dion di atas lemari. Bagaimana bisa tercium bau mulutnya?!
"Mama keseleo, jadi gak ikutan bakti sosial. Tapi Mama gak apa-apa sih, cuma ya … jadi gagal deh rencana kita deketin Mama sama Om Andy."
Kali ini Bia mengembuskan kelegaannya. Bia kira, Aisyah mengalami cedera parah akibat jatuh. Rupanya hanya terkilir.
"Terus, nyokap lo dimana sekarang?"
"Di RS."
Bola lampu seperti muncul dari dalam kepala Bia, wajahnya berbinar bangga karena sebuah ide terlintas di kepalanya. Tanpa memberi tahu Dion, gadis itu beranjak segera menemui Nurida yang tengah menonton sinetron di ruang tengah rumahnya.
Pertama-tama Bia menggelayut manja di pangkuan sang mami, kemudian memanggil maminya dengan manja.
"Mamii … Mami gabut, ya?"
"Apaan sih, ganggu aje lu orang lagi nonton pelem."
"Ish Mami. Mi, tau, gak?"
"Kagak."
"Tante Aisyah, Mi, mamanya si Dion temen Bia waktu kecil, Mi, tetangge kite dulu. Die kesepian, Mi. Kasian dah Bia liatnya."
Berhasil. Nurida kini memusatkan seluruh atensinya pada sang putri.
"Emangnye si Dion belom bangun?"
"Belum, Mi. Kesian dah, galau kayaknya, Mi. Hari-hari sepiii aje, mana janda, anaknya setengah idup."
Pletak!
Nurida melayangkan sentilan pada kening Bia, membuat sang putri refleks mengusap-usap keningnya. "Anak perawan ngomongnye asal jeplak aje lu!"
"Ya maap, pan emang bener, Mi. Si Dion mati kagak, idup diem aje."
Bugh!
"Tetep aje mulut lu dijaga. Bujuk dah, gue ngidam ape sih ampe punya perawan cablak bener. Udeh sono lu," cerocos Nurida sembari bangkit dari duduknya.
"Et dah, kayak sendirinya kagak nyablak aje sama anak! Mami mau kemaneeee?!" teriak Bia dari tempatnya.
"Jengukin temen lu, emangnye lu, temen sakit malah dikatain!" sahut Nurida tak mau kalah.
Sedetik kemudian Bia bersorak kegirangan. Satu langkah dari rencananya berhasil! Kini saatnya menjalankan langkah kedua.
Dion melipat tangannya di depan dada, menampakkan raut kesal sembari menatap tajam pada gerak-gerik Bia. Tentu gadis itu menyadari Dion yang mengintainya, hingga ia menyempatkan diri untuk menjulurkan lidah—meledek Dion.
Bia menyusul Nurida ke kamarnya, dilihatnya sang mami tengah memakai bedak dengan balutan gamis tanpa hijab.
"Ngape? Mau ikut ketemu si Di-ong?" tanya Nurida.
Yang ditanya hanya memantul-mantulkan diri sambil duduk diujung kasur, memperhatikan sang mami yang tengah bersiap sambil mengulum senyum. "Mi, mau tau gak?"
"Mau tau, mau tau. Lu kalo ngomong, langsung aje, jeplak gitu."
"Ck, ah Mami. Bia nanya ini, mau tau kagak?"
"Tau apaan? Lu kayak biang gosip aje, Bi."
"Yee, si Mami," protes Bia. "Kan Mi, Bia abis baca artikel psikologi tuh, masa katanye kalo kesepian tuh bisa bikin orang kedinginan, gampang sakit, bahkan gampang mati."
"Baca-baca dari mane lu? Sembarangan!"
"Denger dulu nape, Mi. Pan ye, Tante Aisyah udah punya cowok, tapi kasian juga kagak nikah-nikah. Mending Mami bujuk, mereka kan niatnye baek tuh, sukur-sukur si Dion bangun udah punya bapak."
Giliran Nurida yang mengembuskan napas, menatap Bia dengan raut tak terdefinisikan. Dua detik kemudian, tangannya menjewer pelan sang putri. "Elu belajar gosip dari mane, sih?!"
Bia meringis, bukan kesakitan, melainkan merasa risi karena telinganya berada dalam capitan sang mami. Siapa tahu kan sedetik kemudian tangan Nurida menarik keras telinga Bia?
"Adaw, Mi. Bia bilangin Papi nih, istrinya suka jewer-jewer," ancam Bia hanya berguyon.
"Lagian elu!!"
"Elu, elu! Pan Mami kemaren cerita sama Bia, Tante Aini ngobrol banyak same Tante Aisyah, sama calonnye."
Nurida diam. Benar juga yang dikatakan Bia. Ia sendiri yang menyampaikan pada putrinya kalau kemarin, ketika mengantarkan Bia, Aisyah datang bersama seorang pria. Nurida juga mengaku, mendapatkan informasi tersebut dari Aini—Mama Andra.
"Ambilin hape Mami!" titah Nurida.
Bia bergerak, menuruti apa yang diminta Nurida. Setelah ponsel ada di genggamannya, lantas Nurida menghubungi seseorang.
"Eh, Bu Aini. Kata si Bia tadi, Bu Aisyah jatoh, saya mau kesane nih, nengokin. Sekalian nengokin si Di-ong, kasian juga itu lanang."
Kedua kalinya Bia bersorak, kali ini dalam hati. Rencananya hampir sempurna.
"Oh, si Andra sakit. Ya udah, kagak ngape, Bu, biar—" Nurida melirik Bia yang menggoyang-goyangkan tangannya.
"Andra same Bia aje, Bia temenin, Bia rawat sepenuh hati!"
Mendengar putrinya bicara demikian, Nurida berdecak. "Nah, iya, Bu. Kebetulan nih, anak wadon ribet mau nemenin Andra. Udah ye, Bu. Tar saya ke rumah sekalian nganter si Bia," ucap Nurida pada panggilan yang sedang berlangsung.
Berhasil, berhasil, berhasil, hore! batin Bia bersorak.
"Jangan bandel lu, Mami mau pergi dulu. Jagain si Andra, awas lu usil sama lanang itu!"
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top