d u a p u l u h l i m a

Ditraktir makan di restoran ala Jepang dengan porsi yang cukup banyak, tidak membuat suasana hati gadis bernama Salsabilla Airindiva membaik. Mood-nya mendadak hancur, akibat obrolannya dengan Aisyah ketika berjalan menuju restoran ini.

Semua sudah selesai makan, dan kini tengah berbincang ringan tentang apa saja. Sambil menunggu gadis kecil—Nisa yang ternyata ingin menambah chicken karage-nya satu porsi lagi. Padahal, Andy sudah mengingatkan sang putri kalau makan terlalu banyak perutnya bisa bega.

Bia terlihat malu-malu karena sedikit bicara, dan senyum canggungnya tak lepas dari paras gadis berkulit kuning Langsat itu. Tentu saja, semua yang ia tunjukkan hanya topeng untuk menutupi rasa kesal dan kecewanya.

Kesal dan kecewa karena Dion.

Bukan, bukan karena gadis itu ditolak lagi cintanya oleh Fatahillah Ahmad Dion. Bia hanya kecewa, sebab yang semua Dion katanya hanya 'bualan' belaka. Justru, fakta dari wanita yang melahirkan Dion berbanding terbalik dengan yang cowok itu katakan. Sungguh, Bia kesal pada dirinya sendiri karena telah termakan ucapan Dion. Apalagi, ia sangat percaya diri ketika mengulang yang Dion katakan kepadanya.

"Tante, jadi itu calon Papa-nya Dion? Sebelum sakit Dion cerita, katanya Tante malu-malu sama si Om," ucap Bia iseng ketika mereka berjalan menuju restoran.

Masih Bia ingat bagaimana wajah Aisyah dalam menanggapi ujaran iseng Bia. Untungnya, jiwa keibuan Aisyah tidak sirna meskipun dikaruniai anak sejahil Dion. Wanita itu mematri senyum, usai matanya membelalak tak percaya dengan yang Bia katakan. "Kayaknya … Dion bohong sama Bia."

Kalimat bernada lembut tadi juga masih terngiang di gendang telinganya. Kalimat yang seketika menghancurkan rasa empati Bia, kepada Dion. Apalagi ketika Aisyah bertutur, melanjutkan jawaban yang menjadi pembuka atas klarifikasinya.

"Tante udah deket lama sama Om Andy. Mungkin … udah setahun. Dion semakin menjadi semenjak Tante minta ijin nikah lagi. Padahal, Tante tetep pilih Dion. Tapi dia nakal banget, Bia. Ini Tante jadi curhat kayaknya, gak apa-apa, ya?"

Bia hanya tersenyum canggung, gadis itu tak berani menyela.

"Di sekolah reguler, sebulan bisa dua kali pindah sekolah. Tante suruh dia buat homeschooling lagi, tapi, guru-gurunya gak ada yang bertahan. Mungkin cuma dua sampai lima pertemuan. Alasannya ya itu, Dion jahil banget. Dia pernah masukin uler beneran ke dalem tas guru privatnya. Gak tau dari mana itu anak dapet uler."

Gadis yang kerap disapa Bia itu hanya menyimak, sambil merasakan desir darahnya karena lagi-lagi … percayanya dihancurkan seseorang.

"Sampe kemaren tuh, sebelum Dion koma. Dia berantem sama Tante. Tante gak tahan sama kelakuannya yang kelewat iseng, Bi. Dion marah kali, ya, dia kabur pake motornya. Belum keluar komplek, udah nabrak tiang listrik aja. Mana gak pake helm, malem itu, Bi, kejadiannya. Jalanan lagi sepi kan enak dia ngebut." Netra Aisyah seperti menerawang, atau menahan kristal bening yang mencoba untuk meleleh. "Padahal, semua kemauan dia udah Tante turutin."

Kesenduan terpancar jelas di wajah Aisyah yang sudah dihiasi kerutan halus. Namun, wanita yang berusia 37 itu masih sanggup menyajikan senyum termanisnya. Dan, Bia masih hapal setiap gurat Aisyah ketika bercerita tentang Dion.

Acara makan di restoran ala Jepang telah selesai, Nisa akhirnya membungkus chicken karage-nya yang hanya ia makan satu potong kecil. Sedang Bia masih merasakan desir darahnya yang membuat tubuhnya sedikit menegang, otaknya mencoba mencocokkan fakta dari Aisyah, dengan apa yang dijelaskan Dion.

Mereka berempat meninggalkan restoran, dan kembali berjalan mengelilingi mall untuk mencari sesuatu yang menarik. Seperti sebelumnya, Andy dan putrinya memimpin jalan, sedangkan Bia dan Aisyah mengikuti. Sekalian menyaksikan keakraban sepasang ayah dan anak di hadapannya.

Di dalam kepala Bia seolah-olah ada gerigi mesin yang bekerja, namun terhambat karena jalurnya dihadang batu besar bernama kecewa. Ya, gadis itu terus berpikir tentang apa yang menimpa Dion, dan kembali berhadapan dengan kecewa karena remaja lelaki tersebut.

Lamat-lamat diperhatikannya sosok Aisyah, wanita itu senantiasa menyahuti Nisa yang sesekali mengajaknya bergurau, kedua perempuan beda usia itu nampak akrab. Seperti ibu dan anak sungguhan.

Bia membayangkan, bagaimana kalau Dion tak bernapas lagi? Dan tetap menurut pada kemauan sang anak untuk tidak menikah lagi. Akankah … wanita itu tidak merasa sepi?

Batu besar bernama kecewa yang mengganjal pikirannya, perlahan retak, dan meruntuh menjadi butiran pasir halus. Roda gerigi dalam kepalanya kembali bekerja, menghasilkan sebuah pemikiran yang Bia dasarkan pada rasa iba. Juga peduli. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita yang pernah Dion jelaskan, terlihat raut kesungguhan bahwa remaja lelaki itu … ingin sang ibu tidak merasa sepi.

"Tante," panggil Bia pada Aisyah yang disahuti senyum hangat. "Iya, Bia?"

"Aku … mau langsung pulang kayaknya. Mami minta jemput di supermarket deket komplek."

"Oh gitu, mau dianter?"

"Gak perlu, Tante. Bia bawa motor, kok." Bia menyeringai.

"Ya udah, hati-hati di jalan, ya. Salam buat Mami. Kapan-kapan main ke rumah, sekarang Tante udah pindah ke komplek sebrang, gak di Tangsel lagi."

Rupanya Dion dan Aisyah sudah pindah domisili lagi. Pantas saja Dion dirawat di Jakarta, tidak di Tangerang Selatan.

"Oke, Tante," balas Bia riang. "Oh iya, Tante. Waktu itu, Bia pernah teleponan sama Dion. Sebenernya Dion, hmm … seneng sama Om Andy. Cuma, dia gak berani bilang. Malu katanya pernah gak setuju."

Usai mendengar yang dikatakan Bia, raut wajah Aisyah berubah. Bak dihadapkan dengan jurang yang menyajikan pemandangan indah. Ya, wanita itu memancarkan bahagia, namun bibirnya sedikit bergetar seperti tak percaya.

Mungkin, Aisyah sedikit kesal. Sebab harus mendengarnya dari mulut orang lain, bukan Dion sendiri. Tapi, wanita itu cukup bahagia karena akhirnya kekerasan hati sang anak bisa luluh. Meskipun, tubuhnya kini masih terkulai tanpa daya.

"Bia pulang dulu Tante, daah. Makasih, ya traktirannya tadi. Om, Nisa, Bia pulang duluu!" seru Bia semangat, seraya meninggalkan ketiga orang yang menyahutinya tak kalah riang.

Bia berjalan cepat. Dadanya bergemuruh, tak percaya karena ia telah melakukan hal tadi. Darahnya berdesir membuat tubuh gadis itu sedikit gemetar, dan tenggorokannya tercekat. Akhirnya ia membelokkan diri ke supermarket, mengambil air mineral dan menenggaknya sampai tandas. Lupa, kalau ia belum membayarnya. Alhasil, gadis itu mengambil sekaleng soda, dan mengantre di kasir sambil membawa botol air mineral yang kosong.

Setelah meninggalkan mall, perasaannya masih berkecamuk. Ia memutuskan untuk mampir ke rumah sakit tempat Dion dirawat.

Motornya dilajukan dengan kecepatan yang lumayan tinggi untuk digunakan di jalan raya. Dua puluh menit berlalu, akhirnya Bia tiba di parkiran rumah sakit. Dengan tergesa, Bia berlari menuju ruang intensif Dion. Sesampainya disana, ia mendekati brankar cowok tersebut.

"Hei si anjing, lo bohongin gue lagi, ya?!" bisik Bia kesal.

Mata Dion terpejam rapat, tulang pipinya terlihat menonjol. Tubuh Dion semakin kurus, bibirnya yang tertutup alat bantu terlihat pucat pasi, seperti aliran darah tidak menjamah wajahnya.

"Jangan-jangan, lo koma gini juga nipu semua orang?" ucap Bia lagi. Sorot mata gadis itu terlihat sendu, Bia kecewa. "Lo tau, kan, kehadiran lo bikin gue keliatan gila? Lo udah buang-buang waktu gue buat hal yang bikin gue malu. Mau lo apa sih, Ong? Segitu bencinya lo sama gue?"

"Lo kalo koma, cari kerjaan yang berfaedah napa. Jangan ganggu idup orang. Atau kalo lo kesepian, ya bukan gini caranya, Dion!"

"Sialan, lo! Bisa-bisanya gue ketipu lagi! Pucek lo!"

Air muka Bia menyuratkan kekesalan, juga amarah. Di ruangan intensif yang hanya digemakan oleh dentuman elektrokardiograf ini, gadis berponi itu menatap murka pada raga Dion yang terbaring lemah. Akan tetapi, Bia tak bisa meluapkan semua kemarahannya. Jiwa empatinya justru terus membara, menguasai emosinya, tak tega melihat sahabat masa kecilnya hanya bisa bernapas, itu pun dengan bantuan alat medis. Ditambah, dentuman elektrokardiograf bagai soundtrack film yang menambah kesan sendu dan mempertahankan suasana—iba.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top