d u a p u l u h e n a m

Sekitar lima belas menit lalu, Bia melangkah meninggalkan ruang intensif Dion. Berada lama-lama di sana hanya membuat perang di batinnya, antara kesal dan iba. Meski demikian, air muka gadis itu tak berubah. Kesal dan kecewa tergurat jelas di setiap pahatan wajahnya yang ditutup masker.

Selama Bia di ruangannya, Dion ada di sana. Menyaksikan bagaimana Bia meluapkan kekesalannya, bagaimana Bia terang-terangan mengungkapkan apa yang ia rasa. Cowok berkaus belang itu tahu, semua ini konsekuensi yang patut ia terima. Bahkan, mestinya, Bia melakukan yang lebih dari ini.

Bia tak sadar, sebelum gadis itu beranjak dari ruang rawat Dion, sebulir air mata menetes dan membekas di pelipisnya.

Bukan sengaja ia melakukan semua ini. Dion hanya terjebak dalam kehidupan semunya. Ia tak bisa berbuat apa-apa, sedang ia tahu, waktunya untuk menikmati dunia tidak lama lagi.

Terhitung sudah 39 hari ia mengganggu Bia. Sejujurnya, Dion tak tahu harus berbuat apa. Bayang-bayang hitam yang wujudnya seperti manusia setinggi tiga meter dengan jubah yang menutupi seluruh tubuhnya terus berdiri di samping raganya. Bayang-bayang itu kadang ada, kadang tiada. Bayang-bayang itu, yang memberi Dion kesempatan untuk berkeliaran jauh dari raganya. Bayang-bayang itu sempat berbisik, 40 hari yang lalu, bahwa jatah Dion menghirup oksigen hampir berakhir. Dan, bayang-bayang itu juga memberi Dion kesempatan, untuk melakukan hal yang belum bisa Dion lakukan semasa ia … hidup normal.

Bayang-bayang hitam itu juga memberi sebuah clue, bahwa Dion hanya bisa berkomunikasi dengan gadis yang disukainya pertama kali.

Mantan kekasih Dion memang banyak. Tapi, hanya ada satu perempuan yang benar-benar berhasil membuat jantungnya berpacu sembilan kali lebih cepat. Lantas, ingatan cowok itu tidak bisa lepas pada kejadian enam tahun lalu. Kejadian Dion membacakan diary Bia menggunakan pengeras suara di sekolahnya, bagian Bia yang mengungkapkan, bahwa gadis itu menyukai Dion.

Mau tahu, alasan Dion melakukannya? Cowok itu ingin semua orang tahu, kalau dirinya disukai oleh anak perempuan bernama Salsabilla Airindiva. Sayangnya, Dion tak mengerti bagaimana cara mengungkapkan rasa sayang.

Jangankan pada Bia, pada Aisyah—ibu kandungannya pun, Dion tak tahu.

Alasan Dion nakal selama ini, sebab ia khawatir, ia benar-benar risau kalau Andy bukanlah pria yang pantas untuk sang mama. Dion lelaki, ia mengerti cara berpikir laki-laki. Tapi Dion lupa, pola pikirnya belum dewasa seperti Andy. Tentu, ia menjadi jahil agar sang mama hanya fokus mengurusnya. Agar Aisyah tak lepas perhatian darinya, agar Aisyah … tak lagi memikirkan Andy.

Saat dirinya koma, dan ruhnya terjebak di ruang intensif, Dion barulah tersadar. Kalau yang dilakukannya … salah besar. Andy lelaki yang baik, dan, Aisyah butuh orang lain selain Dion. Setiap kali melihat sang mama menitikkan air mata kala menguntai doa untuknya, hati Dion bagai diiris. Apalagi, ketika air mata itu menjadi pengiring kala Aisyah mengecupnya hangat, dan mengungkap betapa besar cinta dan kerinduannya pada Dion, remaja lelaki itu seperti dibunuh pelan-pelan.

Saat bertemu Bia … Dion ingin memeluk gadis itu sekuat-kuatnya sampai rasa rindunya raib. Namun, ia harus menerima kenyataan bahwa ia tak bisa menyentuh. Tidak sulit bagi Dion untuk menemukan Bia, cowok itu menguntit media sosial Bia. Ia membuat akun palsu, supaya bisa mem-follow akun Bia yang dimodifikasi sebagai akun pribadi. Tentu, yang dilakukannya hanya melihat unggahan Bia—yang sedikit tak bermakna—dan menekan tombol suka.

Dion juga harus menelan perih kenyataan lagi, ia tak bisa bersama dengan perempuan yang disukainya pertama kali. Selain sisa hidupnya yang tinggal secuil, Dion tahu, ada yang lebih pantas menyayangi dan disayangi Bia.

Ah, memikirkan hal itu membuat Dion gelisah sendiri. Di satu sisi, ia bahagia karena orang yang pantas itu bisa menjaga Bia. Sedang, di sisi lain, ia iri karena tak bisa menjadi orang yang tepat itu. Yap. Siapa lagi kalau bukan Andra?

Misinya sudah berhasil semua. Dion sudah bisa mengungkapkan kesetujuannya atas hubungan Aisyah dan Andy, meskipun dengan cara yang berbelit. Dan, membalas semua kejahilannya pada Bia, dengan menyadarkan gadis itu bahwa ia berharga. Setidaknya untuk satu orang. Dion bahagia, karena telah menyelesaikan misi terakhirnya.

Dan, di detik yang sama, dalam dadanya menguar rasa sakit yang jauh lebih menggigit dari yang biasa ia rasakan ketika bahagia. Benar, setiap kali bahagia ia rasakan, dadanya sakit tanpa memberi ampun.

°°°

Ban motor Bia kempis, ia menggeleng belasan paku di ban depannya. Hari semakin gelap, dan akibat dari ke-sok-tahu-an-nya, Bia terdampar di sebuah taman di perumahan yang Bia sendiri tak tahu apa namanya.

Sepulang dari rumah sakit, Bia melajukan motornya ke sembarang arah. Sebab, Bia yakin takkan tersasar di kota kelahirannya—Jakarta. Bia berniat memotong jalan, dengan melewati komplek-komplek perumahan. Dan, bukannya jalur tercepat yang ia dapat, malah musibah yang menjadi sahabat. Sudah ban kempis, jalanan becek karena bekas hujan, dan … ia sempat terjatuh dari motor sebelum terdampar di taman ini. Lihat saja, celana jeans panjang gadis itu harus bolong pada bagian lutut yang menampilkan lecet.

Apes gue apes! Bia membatin.

Ponselnya bergetar, notifikasi SMS masuk dari operator yang menawarkan bonus cashback dengan pembelian pulsa minimal seratus ribu. "Bacot!" bentak Bia pada ponselnya yang tidak berdosa.

Seperti baru disadarkan, akhirnya Bia membuka aplikasi WhatsApp, dan tanpa berpikir panjang langsung menekan tombol panggilan pada kontak bernama Andra Babonku Yang Unyu. Tiga kali bunyi tuut menyapa, akhirnya suara Andra menggantikannya. "Lo dimana? Sama siapa? Udah balik belom? Udah magrib ini!"

"Bilang halo kek, ucap salam kek, malah ngomel! Lo mau cosplay jadi ibu Nurida?"

"Hush! Itu Mami, lo!" tegur Andra. "Assalamu'alaikum, lo dimana? Sama siapa? Kapan balik?!"

"Anjing!"

"Tuh, gue udah ucap salam lo malah nge-gas!"

"BUKAN NGE-GAS ANDRA! ITU ADA ANJING LEPAS NYAMPERIN GUE!"

"LO DIMANAAAAA?!"

"GAK TAU, BABON, TOLONGIN GUEEE!"

Andra yang sebenarnya baru tiba di rumah, lantas terlonjak panik, intonasi suaranya tak bisa ia pelankan, matanya juga ikut membelalak seolah ingin menunjukkan pada dunia kalau ia sedang khawatir diatas rata-rata.

"SHARE LOC SEKARANG!" teriak Andra sebagai penutup teleponnya. Tidak, ia tidak menutup sambungan telepon, ia hanya kembali menggunakan helm dan menyelipkan ponsel di telinganya.

Suara mama-nya dari dalam rumah tak disahuti, akhirnya (nama maknya) mendatangi Andra yang heboh di teras rumah. "Mau kemana lagi, Ndra?"

"Jemput Bia, Ma. Andra berangkat, ya. Assalamu'alaikum," pamitnya.

"Tunggu, Andra, hei!"

Andra menyembulkan kepalanya dari jendela mobil, menatap ibunya dengan raut wajah panik.

"Mau pake mobil kok helm-nya gak dilepas?" ucap Aini dengan tenang, meski rautnya menampilkan kekhawatiran.

Andra lantas meraba kepalanya, tak habis pikir kenapa dirinya menggunakan helm, namun memilih untuk mengendarai mobil. Aini yang peka dengan keadaan, berjalan laun menghampiri sang putra. Mengambil helm yang baru saja dilepas Andra. Senyumnya merekah, menutupi rasa khawatir yang menyergap karena tingkah aneh putranya. "Hati-hati di jalan."

Kepanikan yang melanda Andra mereda hanya dengan mendengar tutur lembut sang mama. Cowok itu tersenyum tipis, dan menyaksikan mama-nya berlalu untuk kembali masuk ke dalam rumah.

Kedua tangannya menggenggam kemudi mobil, lalu ia menarik napas panjang, menahannya tiga detik, lalu mengembuskannya.

Ia tidak boleh panik. Sebab, dari sana akan memunculkan pikiran negatif. Nantinya, pikiran itu akan meracuni otaknya, dan memungkinkan untuk Andra melakukan hal-hal yang kurang tepat dilakukan.

Setelah dirasa tenang, cowok itu memutar kunci mobil yang menggantung di tempatnya. Deru mesin menyapa telinga Andra, perlahan ia memundurkan mobil supaya bisa keluar dari garasi. Seusai itu, ia kembali turun dari mobil untuk menutup pagar rumahnya.

Andra siap berkendara. Cowok itu menginjak pedal gas, melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.

🌻🌻🌻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top