d u a p u l u h
Rumah Bia.
"Sumpah, Dion. Gue lagi pengen sendiri!"
Memang sudah sering Dion mendengar Bia menggeram seperti itu, namun, baru kali ini ia melihat Bia yang benar-benar menggeram frustasi. Sorot matanya menunjukkan bahwa Bia tidak sedang main-main, atau sekadar menggertak seperti biasanya. Bagai cahaya, Dion meredup perlahan, kemudian menghilang.
Bia menatap pantulan dirinya di cermin, usai kejadian bully di sekolah dan tindakan Andra, Bia tak bisa tenang. Bia tak masalah dengan persoalan bully yang sering dialaminya, justru yang menjadi beban pikirannya saat ini adalah: Andra. Cowok itu benar-benar mendiamkan Bia, kalaupun bicara, pasti ujungnya menyinggung Dion.
Bia yang selalu diikuti Dion lah, Bia yang selalu mengobrol dengan Dion, bepergian dengan Dion, Andra selalu menyinggung itu! Memang, apa salahnya kalau Bia banyak berinteraksi dengan Dion? Mungkin Dion juga bosan, makanya sering mendatangi Bia disamping permintaannya-menjodohkan Aisyah dan Andy.
Bayangan di cermin menunjukkan Bia yang menjambak rambutnya sendiri. Sejurus kemudian, ia melempar dirinya ke kasur yang tepat melintang di belakangnya. "Lo kenapa sih, Ndra …," Bia bermonolog lirih.
Mungkin saja, Andra sedang mengalami persoalan pelik sehingga melampiaskan kekesalannya pada Bia. Tapi, Andra bukan tipe manusia yang demikian itu. Justru, setiap ia terkena masalah, Bia adalah orang pertama yang mengetahuinya. Dan, Andra termasuk orang yang menutupi dunia dari persoalan yang dihadapinya. Seperti ketika orang tuanya bertengkar hebat, bahkan nyaris bercerai, Andra tetap bertingkah laku seperti biasanya di hadapan orang-orang. Selalu tersenyum ramah, dan bertutur kata baik.
Ataukah Andra … cemburu? Bukan, bukan cemburu seperti seorang kekasih, melainkan … seperti sahabat. Biasanya Bia melakukan segala halnya dengan Andra, kini dengan kehadiran Dion, gadis itu harus membagi waktunya. Berkali-kali juga Andra membawa nama Dion dalam ungkapan kesalnya pada Bia, kan?
Tapi, apa pun alasannya, perlukah Andra bertindak sampai sebegininya? Mendiamkan Bia berhari-hari, dan tak menjelaskan alasan yang sebenarnya kenapa ia melakukan hal tersebut.
Kedua kalinya, Bia mengacak-acak rambutnya. Sedetik kemudian, sebuah ide terlintas di kepalanya.
Gadis itu mengobrak-abrik tasnya untuk mencari ponsel, setelah mendapatkan benda pipih tersebut, ia menekan ikon panggilan suara kepada kontak Esmeranda.
"Halo, Ran, sayang, gue mau curhat dong!"
"Sayang, sayang! Curhat, curhat! Lo kata gue Mamah Dedeh?!"
Bia terkekeh menjawabnya, setelah itu, mengalirlah dari mulutnya soal dirinya dengan Andra yang tengah berperang dingin.
°°°
Rapat menjelang kegiatan Laporan Pertanggungjawaban (LPJ).
"Lemes amat, Ndra?"
Andra yang baru saja menginjakkan kaki di ruang kelas—yang disulap menjadi ruang rapat—hanya tersenyum kala disambut dengan basa-basi demikian. Cowok itu meletakkan tasnya, dan duduk di bangku depan bersama jajaran pengurus ekstrakulikuler PMR.
Disampingnya, ada Ismi yang menyunggingkan senyum hangat. Gadis berambut sepinggang itu menjabat sebagai sekretaris, sehingga intensitas pertemuannya dengan Andra—sang wakil ketua cukup sering dan membuatnya sangat akrab.
Sayang, Andra hanya menyambut Ismi dengan senyum hambar.
Cowok itu sibuk mengobrak-abrik isi tasnya, mencari flashdisk yang berisikan soft file LPJ. Wajahnya yang datar berbanding terbalik dengan tangannya yang rusuh, semua bagian tangannya masuk ke dalam tas dan menciptakan bunyi gaduh.
"Ndra," panggil Ismi, membuat cowok itu mendelik menatapnya. "Ada masalah?"
Yang ditanya mengembuskan napas panjang seraya memposisikan dirinya untuk duduk rapi. "Soft file LPJ ketinggalan. Tapi yang jelas, gue udah kerjain semuanya, tinggal nunggu laporan dari bendahara aja." Suara dingin Andra mengudara kala seisi ruangan sedang hening, entah ucapan tersebut ditujukan kepada siapa. Sebab tubuhnya diposisikan menghadap papan tulis, dan matanya hanya menyorot lurus ke depan.
"Santai aja, Ndra. Gue ada back-up file nya, kok," sahut Aden, sang ketua. "Kalau gitu … kita mulai rapat, ya?"
Semua orang yang berada di ruangan tersebut kompak menyepakati sang ketua organisasi untuk memulai rapat.
Waktu terus bergulir, Andra dan yang lainnya fokus membahas rincian kinerja anggota ekstrakulikuler PMR dan kegiatan yang telah dilaksanakan sebelumnya. Meski demikian, kawan-kawan Andra menyadari betul ada yang berbeda dari cowok jangkung tersebut. Tak ada senyum ramah dan nada bicara yang bersahabat darinya, ia mendadak menjadi cowok dingin yang berwajah datar, tanpa ekspresi.
Andra akui dirinya sedang merasa berbeda, ia seperti kehilangan jati diri. Pikirannya bercabang, menciptakan masalah-masalah yang mengganggu dirinya. Padahal, dirinya yakin mampu mengatasi masalah yang akan dihadapinya di kelas dua belasini.
Masalah organisasi, buktinya Andra berhasil menyelesaikannya dan tinggal menunggu laporan dari bendahara.
Masalah akademik, Andra tidak dituntut orang tuanya dalam melanjutkan pendidikan setelah SMA. Ia juga bukan orang yang ambisius dalam mengejar perguruan tinggi favorit.
Namun, ada satu masalah yang ia sendiri tak yakin mampu mengatasinya atau tidak. Masalah, yang sebenarnya bukan persoalan rumit untuk dipermasalahkan. Ya, tentang perasaannya terhadap Bia.
Astaga, bukankah ia sudah jelas mencemburui Dion karena sering menghabiskan waktu dengan Bia? Sehingga gadis itu sedikit jauh darinya. Tapi, kenapa Andra terus menyangkal? Seandainya ia mengungkapkan langsung perihal kecemburuannya kepada Bia, persoalan ini takkan menjadi masalah.
"Ya karena, apa-apa yang menyangkut perasaan gak akan gampang dibicarakan." Mendadak seisi ruangan riuh bersorak dan bertepuk tangan kala ucapan tersebut mengudara, Andra yang sejak tadi bergelut dengan pikirannya seperti dibangunkan dari mimpi.
Kenapa, teman-temannya membahas soal perasaan?
"Pada ngomongin apa?" tanya Andra polos.
"Ya elah, Ndra! Dari tadi kita ngomongin lo, lo gak ngeh?"
Andra menggeleng. Semua rekannya mendadak mengembuskan napas, ada juga yang memutar bola matanya jengah.
"Ini udah selesai 'kan, rapatnya?" tanya Andra lagi. Ia celingukan, melihat seisi ruangan yang sudah sepi.
"Kan rapat udah ditutup lima belas menit lalu, lo ngapain coba bengong liatin hape?" sahut Aden.
"Lo mikirin Ismi?"
Tentu, Andra terperanjat ditodong pertanyaan demikian. "Lah, kenapa jadi Ismi?"
"Udah deh, Ndra. Ngaku aja, lo sama Ismi lagi ada masalah, 'kan? Makanya kalian diem-dieman," jawab Brian, yang barusan bertanya.
"Lah, apa-apaan. Orang gue biasa aja sama dia. Iya, gue ada masalah, tapi bukan sama Ismi."
"Lo sama Ismi putus?"
"HAH?!"
"Kalian … pacaran, kan?"
Andra membolakan matanya, menatap Aden yang menghujam pertanyaan aneh kepadanya. Ekspresi terkejut tak bisa ia hindari, ingin mengutuk pertanyaan Aden, namun Andra tak mau menambah persoalan yang bisa saja menimbulkan konflik.
"Astaga, kalian dapet gosip gitu dari mana? Gue sama Ismi pure cuma temen, gak ada rasa apa-apa, apalagi status pacaran, gilaaaaaa!" Andra menggeram gemas, membuat Aden dan Brian yang masih bertahan di ruangan bersamanya melongo tak percaya.
Dari pagi ke pagi gue mikirin Bia, napa dituduh jadian sama orang lain, apes amat gue. Andra membatin.
"Serius, Andra. Lo gak ada hubungan istimewa sama Ismi?" tanya Brian lagi, seperti tengah meyakinkan Andra yang jelas mengekspresikan kefrustasiannya.
"Den, Yan, gue berani digorok sekarang juga kalo gue bohong," ucap Andra serius.
Aden dan Brian yang semula mencondongkan tubuhnya untuk menatap Andra, lantas menjauhkan posisi tubuhnya. Wajahnya masih menyuratkan keterkejutan, seolah-olah baru melihat kucing bertelur.
"Kalian dapet gosip dari mana, sih? Bisa-bisanya percaya gosip daripada nanya ke gue sendiri," ujar Andra lagi. Sungguh, ia ingin meluruskan sekaligus menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak menjalin hubungan romansa dengan Ismi.
"Ya anak cewek pada bilang kalian taken. Ismi juga malu-malu tiap gue ledekin 'cie Ismi sama Andra'," sahut Aden.
"Bener tuh. Awalnya gue gak percaya, soalnya gue liat lo tiap hari balik bareng si Salshabilla terus. Tapi gue ngikut anak-anak aja," timpal Brian.
Masih dengan raut tak percaya, Andra menggelengkan kepalanya. Kedua kalinya ia menegaskan, bahwa remaja lelaki itu tidak menjalin asmara dengan Ismi.
Saat Andra beranjak hendak pergi, pintu ruangan terbuka lebar. Sosok yang baru dibicarakan berdiri di ambang pintu, dengan baju yang basah dan wajah memelas.
"Keran di wc mendadak bocor, airnya nyemprot sembarangan kena baju. Ada yang bisa anter gue balik?" kata gadis berambut sepinggang itu.
"Sorry, Mi. Gue baliknya nebeng sama Aden, sepeda gue ada di rumah dia. Gue cabut duluan!" Brian pergi meninggalkan kelas usai bibirnya mengucapkan pamit, sedang Aden, cowok berkulit putih itu mengikuti yang dilakukan Brian—pamit meninggalkan Andra dan Ismi.
Tak tega melihat gadis di hadapannya basah setengah kuyup, akhirnya Andra memutuskan untuk mengantar Ismi pulang. Meski dalam hatinya cowok itu masih kesal sebab mendengar gosip mengenai dirinya dan Ismi.
Lima belas menit perjalanan, akhirnya Andra menepikan motornya di depan pagar hitam rumah Ismi. Gadis itu menggunakan helm milik Bia, yang kini dilepasnya dan diberikan pada Andra.
"Makasih, ya, Ndra. Lo … selalu baik sama gue," ujarnya.
Usai memasukkan helm pada tempatnya, Andra menyunggingkan senyum menjawab ucapan Ismi. "Santai aja."
"Andra," panggil Ismi lagi. "Pacaran, yuk?"
Bagai disambar petir, Andra terkejut bukan main. Matanya membelalak, dan mulutnya hampir saja berteriak kaget. Namun, demi menjaga kehormatannya sebagai lelaki, cowok itu tetap stay cool.
"Emangnya … lo mau jadi pacar gue?"
Ismi mengangguk antusias, membuat Andra semakin berada di posisi yang sulit. Ismi gadis yang baik dan manis, Andra tahu itu.
"Tapi, gue gak bisa jadiin pacar gue prioritas. Gue juga gak bisa selalu ada."
"Oh, lo mau fokus belajar, ya?"
"Nggak juga. Soalnya gue gak butuh pacar, gue … lebih mentingin Bia juga, sih."
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top