d u a
"Bia?"
Gadis yang tengah berjalan menunduk itu terperanjat, kepalanya terangkat dan menatap makhluk di hadapannya sambil menganga.
"Lo Bia, kan? Salsabilla Airindiva?"
"Dion?"
"Iya, ini gue, Bi! Lo bisa liat gue, 'kan?"
"Lo … Dion?"
Sosok di hadapan Bia sedikit melompat kegirangan, wajah pucatnya memancarkan rasa gembira. "Akhirnya!" Dion berseru. "Iya, Bi. Ini gue, Dion, Di-ong. Cowok ganteng yang pernah lo taksir."
Tanpa berpikir panjang, Bia menjitak cowok di hadapannya. Namun Dion malah mundur selangkah, kemudian tertawa karena Bia tak berhasil menjitaknya.
"Lo gak sekolah?" tanya Dion.
Bia menggeleng, "Kita cari tempat ngobrol dulu, dah."
°°°
Di taman kota yang cukup sepi.
Entahlah apa yang Bia rasakan kini, ia masih sangat tidak percaya dengan kehadiran Dion di sisinya, tepat ketika ia berkali-kali memimpikan lelaki tersebut. Karena itu, Bia menyubit bahkan menampar pelan pipinya sendiri untuk memastikan bahwa ini hanyalah mimpi, namun kenyataannya ini memang bukan mimpi.
"Kayaknya lo banyak berubah ya, Bi," ujar Dion tiba-tiba, yang seketika membuat Bia mengangkat kepalanya.
"Berubah apaan? Power ranger kali ah, berubah segala," jawab Bia sambil menyembunyikan kegugupannya.
"Lo berubah Bi, dulu kan lo burik banget sekarang … burik aja gak pake banget."
Kurang ajar.
"Ha-ha. Lucu lu."
Dion tertawa pelan mendengar sahutan dari Bia yang jelas mengisyaratkan jika ia risi dengan candaan Dion. Memang wajar jika Dion berasumsi bahwa Bia banyak berubah, biasanya Bia selalu bersemangat. Tidak seperti yang kali ini Dion temui, Bia muram.
Yang Dion kenal, Bia merupakan gadis periang, ia selalu tersenyum meski sedang ditimpa masalah. Ketika dirinya di-bully satu sekolah saat SD pun, Bia selalu melengkungkan senyumnya meskipun tidak bisa disembunyikan juga mata sembabnya.
Menit-menit berikutnya diisi dengan keheningan, baik Bia maupun Dion keduanya tidak ada yang bersuara. Mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing, Bia yang masih marah pada teman-teman di kelasnya juga bingung dengan kehadiran Dion yang secara tiba-tiba bisa mengetahui keberadaan dirinya. Pun sama dengan Dion, lima tahun tidak bertukar kabar membuatnya diselimuti perasaan canggung, juga rasa bersalah sebab dulu sering mengusili Bia.
"Eh, Ong—"
"Bi, lo mau nolongin gue gak?"
Keduanya bicara bersamaan. Baik Bia maupun Dion kini malah berdehem supaya mencairkan kembali suasana yang beku ini.
"Kenapa, Bi?"
"Lo dulu aja, tadi mau minta tolong apa? Kayaknya penting," ujar Bia seraya merapikan poni yang menutupi matanya.
"Nggak deh, lo aja dulu. Siapa tau omongan lo jauh lebih penting."
"No, lo dulu."
"Ih seriusan Bi, lo aja duluan gak pa-pa."
Bia mendengkus dan menatap Dion dengan tajam, jurus andalannya ketika tidak ingin dibantah.
"Oke, oke, gue duluan," kata Dion sambil mengangkat kedua tangannya disamping telinga. "Mungkin ini nggak masuk akal, tapi gue butuh bantuan lo, Bi. Cuma lo yang bisa bantu gue dalam hal ini."
Wajah Dion pucat, Bia baru menyadari itu. Kali ini raut wajah Dion seperti terdesak sesuatu, jelas sekali bahwa cowok itu tidak dalam keadaan baik-baik saja.
"Mungkin kedengerannya aneh, setelah lima tahun gue nemuin lo dan tiba-tiba minta bantuan sama lo. Tapi keadaan sekarang ini maksa gue buat minta bantuan lo, Bi. Lo mau nolong gue, kan?"
Bia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, ia kurang mengerti maksud Dion. Keadaan apa yang memaksa Dion meminta bantuannya? Memangnya Bia punya kekuatan apa yang bisa menolong Dion?
"Gue nggak ngerti deh, Ong." Hanya itu yang mampu Bia katakan kepada Dion, jika Dion memang dalam keadaan darurat setidaknya ia bisa menceritakan sedikit permasalahannya kepada Bia, kan? Sehingga Bia tahu harus membantu apa kepada cowok berbaju belang itu.
"Gue nggak bisa ceritain masalahnya sekarang, tapi gue rasa cuma lo yang bisa bantu gue, Bi," ucap Dion melemah, sepertinya ia berharap besar Bia mau membantunya.
Memang Bia bersedia, tapi Bia juga tidak bodoh yang mau mengiyakan begitu saja. Ia harus tahu dulu apa yang dapat ia lakukan untuk membantu Dion, selama ini yang Bia tahu Dion adalah cowok super jahil di muka bumi. Siapa yang tahu kalau ternyata Dion menemui Bia begini hanya ingin mengerjai dirinya, bisa saja, 'kan?
Bia jadi pusing sendiri, garukan di kepalanya kini semakin kuat. Dengan nada yang sedikit nyolot, ia bertanya kepada Dion, "Ya terus gimana gue bisa bantu lo, Dion?"
Tanpa Bia sadari, beberapa pasang mata yang kini menatap ke arahnya. Menghujamkan tatapan aneh kepada Bia yang tampak duduk sendiri di bangku taman. Untungnya Bia tidak menyadari hal ini, atau mungkin Bia belum menyadarinya(?)
Dion melepaskan pandangannya dari Bia, kini ia menoleh pada langit tanpa awan dimana matahari bersinar terik. Matanya terpejam seperti merasakan sesuatu yang menyakitkan dalam dirinya.
"Gue udah pasrah, Bi. Gue sendiri juga nggak tahu harus gimana," katanya tanpa menoleh pada Bia.
Menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan, Bia memijat pelipisnya yang mulai terasa pening. Sebuah tangan menyentuh pundaknya, sontak membuat Bia sedikit terperanjat.
Andra.
"Lo kenapa cabut?" tanya cowok yang meenggunakan jaket hitam itu.
Sebuah ide terlintas dalam benak Bia.
"Nah kebetulan ada lo, Ndra. Ong, coba lo min—" Bia menoleh ke sisi kirinya, kosong.
"Ong? Dion?"
Dion sudah pergi. Ia menoleh ke sisi kanannya, bahkan Bia menoleh ke belakang hingga ia berjalan beberapa langkah seraya memanggil nama Dion. Hasilnya nihil, Dion tidak ada.
"Aneh, cepet banget perginya," keluh Bia sambil menyelipkan anak rambut ke belakang telinganya.
Andra yang melihat gelagat aneh dari sahabatnya itu menghampiri Bia, tangan kekarnya mengusap pelan pundak Bia. "Lo kenapa?"
"Tadi ada Dion, Ndra. Dia dateng kesini, kayaknya dia lagi ada masalah, deh. Dia minta tolong sama gue."
"Dion? Di-ong maksud lo?"
"Iya, Di-ong. Memangnya temen kita yang namanya Dion siapa lagi?"
"Ya terus mana? Gue nggak liat dia, tuh."
"Tadi dia duduk sebelah gue, kok"
Sebenarnya sejak lima menit yang lalu Andra sudah memperhatikan Bia. Jelas sekali gadis itu tengah duduk sendirian di taman, namun Bia tidak menyadari bahwa dirinya menjadi pusat perhatian orang yang berlalu lalang.
"Eh, Andra. Kok lo ada disini? Lo cabut sekolah, ya?!" tegur Bia ketika menyadari bahwa sekarang belum waktunya pulang sekolah.
"Lo yang kenapa bisa disini! Ada masalah apa, Bi? Kenapa lo cabut sampe kesini?"
Kali ini tangan Andra bergerak ke dahi Bia, untuk memeriksa apakah gadis itu sedang demam atau tidak. "Lo sakit, Bi? Tapi badan lo nggak panas, ah."
"Siapa bilang gue sakit, Andraa! Ih, Ndra, tadi tuh ada si Dion disini! Nyebelin amat sih tuh orang, main ngilang gitu aja." Bia bersungut-sungut.
Andra menghela nafasnya. "Kata Brian—temen sekelas lo, lo pergi gitu aja. Gue tau masalah lo, tapi gue mau nunggu lo cerita aja."
Seperti disambar petir, Bia mematung mendengar tuturan Andra. Bia tak tahu harus mengatakan apa, gadis itu hanya menundukkan kepalanya dalam-dalam. "As you know, Ndra. Yang dibilang Brian bener kok, gue kesel terus cabut sekolah. Ketemu Dion, deh, jadi gue kesini."
Andra mengusap surai gadis di hadapannya, bibirnya memaksakan senyum kala Bia menatap wajahnya. Ia tahu, Bia sedikit bermasalah dengan kawan-kawan di kelasnya. Dan ketika mendengar Bia kabur karena permasalahannya, Andra tak berpikir panjang untuk ikut bolos sekolah juga.
"Lo mau apa sekarang? Gue temenin," ujar Andra.
"Gak perlu, Ndra. Lo balik lagi aja sono ke sekolah. Gue … mau nyari si Dion dulu. Dia kayaknya butuh bantuan banget."
"Belakangan ini lo sering mimpiin Dion, 'kan? Tar gue cari kontaknya dia deh biar lo bisa ketemu. Segitu kangennya lo sama Dion."
"Ih, Andra! Tadi kan gue udah ketemu Dion!!" Bia tetap bersikukuh pada ucapannya jika ia telah menemui Dion tadi, ia juga tidak sedang stres atau sakit. Hei, Bia sehat dan bugar! Masa iya dia tiba-tiba sakit?
"Serah lo deh, kita pulang sekarang," putus Andra pada akhirnya, cowok itu menautkan jemarinya pada jemari Bia. Keduanya menjadi pusat perhatian kini, pasalnya kedua anak SMA bergandengan tangan di taman kota yang tengah sepi, apalagi sebelumnya orang-orang melihat gadis yang digandeng Andra sedang bicara sendirian.
Sementara itu di sisi lain ….
Dion yang bersembunyi dibalik pohon mangga memandang kepergian Bia dan juga Andra, cowok itu seperti menyesali sesuatu.
"Maaf udah bikin lo keliatan aneh, Bi. Karena cuma lo yang bisa liat gue sekarang ini."
🌻🌻🌻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top