this world is scary, isn't it?

Sudah terhitung berapa kali, seseorang itu kehilangan temannya, terlampau sering malah. Alasannya macam-macam, mulai dari salah paham sampai bertengkar hebat, terpisahkan jarak lantaran memiliki urusan masing-masing (pekerjaan, sekolah), ada pula yang masih berkomunikasi walau cuma sesekali dan lamban laun kian asing. Tentu saja aku masih memiliki teman, teman baikku, hanya saja kami tidak bisa sering bertemu. Terpisah ratusan kilometer, aku merasa terisolasi di tempat perantauan ini. Saat menatap ke dalam ponsel, aku selalu kebingungan ingin menghubungi siapa. Saat masuk ke dalam ruang kelas, aku tidak tahu ingin menyapa siapa. Aku pun sosok yang biasa saja, tidak memberikan impresi menakjuban yang dapat membuat orang-orang ingin berkawan denganku. Lagi, aku tak pandai berbicara. Aku sangat tertekan di kelas. Aku iri melihat yang lain dapat dengan mudahnya melontarkan gagasan yang ada di kepala mereka secara lugas dan jelas, sementara aku berbicara pun masih tergagap-gagap.

Rasanya aku seperti terperosok ke jurang setiap hari, di dalam ruang kelas ini, tanpa ada yang mengerti dan betul-betul sendirian. Ketakutan dan masalah yang kuhadapi bagaikan tali yang menjerat leherku erat. Sesak. Aku kehabisan napas. Sakit. Seolah akan terpotong.

Walau kutahu, seharusnya pada situasi ini, aku bisa berkembang. Aku harus melawan rasa takutku. Namun, entahlah, setiap kali ada kesempatan bagiku untuk berbicara, aku tidak pernah bisa... menjadi lebih baik, hasilnya selalu sama saja, tidak ada kemajuan maupun perubahan. Aku yakin di dalam kelas ini, ada yang diam-diam menertawakanku.

Kenapa aku sangat lemah?

Kenapa begini saja aku tidak bisa?

Apa yang berubah dariku setelah datang ke sini?

Ah, sebetulnya, banyak kok jawabannya. Aku mengatur keuangan sendiri, menyiapkan kebutuhan hidup sendiri, mengerjakan pekerjaan rumah yang sebelumnya selalu dilarang, memilah sendiri mana yang baik dan buruk. Di dalam kelas, sedikit demi sedikit aku bisa berpikir secara kritis. Aku mampu menyusun pertanyaan, mencari celah bagian mana yang cacat, tapi tetap, aku tidak berani mengangkat tanganku dan menyuarakannya. Tipikal manusia, padahal setidaknya ada poin-poin pengembangan diri yang berubah, tetapi manusia tidak pernah merasa puas. Tidak sampai... semua masalah sudah diselesaikan.

Perihal kesendirian di sini, aku masih memiliki beberapa orang yang dapat kuajak bicara, tapi kami tidak sedekat itu, bukan sebuah hubungan yang benar-benar dekat sampai saling membutuhkan satu sama lain. Mereka masih sering mengabaikanku. Kadang-kadang dapat menjadi sangat asing. Perasaan ini membunuhku perlahan. Maka dari itu, aku tetap menciptakan jarak dan tak ingin menjadi terlalu dekat atau terlalu berharap. Pada akhirnya, aku selalu berakhir sendirian. Ke mana pun aku pergi, apa pun yang kulakukan, masalah yang kuhadapi, ketakutan-ketakutan di kepala, aku selalu melakukan dan menyimpannya seorang diri.

Mereka bilang, manusia dapat dengan mudah kehilangan teman, tetapi penggantinya juga begitu mudah ditemukan. Awalnya aku percaya. Dulu sekali, sewaktu aku masih menyelami dunia maya, teman-teman yang kudapatkan dari sana dengan mudahnya hilang dan digantikan. Tidak sampai aku berada di situasi ini dan meragukan pernyataan tersebut. Di sini, mereka tak lain dan tak bukan hanya sekadar rekan kerja. Setelah semua urusan selesai, maka setelah itu juga, tak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semua orang bergerak masing-masing. Semua orang mementingkan kepentingan pribadi mereka. Kau harus bertahan dan tetap kuat dengan kedua kakimu sendiri.

Barangkali, dari luar, aku terlihat seperti memiliki banyak teman. Foto bersama, lalu tag di media sosial... hei, hal itu bukanlah tolak ukur. Saat itu, barangkali kami memang bersenang-senang bersama. Namun begitu pulang, kekosongan kembali menyelimuti. Begitu kembali ke kelas, semuanya terasa biasa saja. Urusan bermain bersama di hari kemarin sudah selesai. Tidak perlu dilanjutkan, tidak perlu dibicarakan kembali.

Barangkali, di sini, memang ada yang dapat dengan mudah berkawan dan membentuk kelompok mereka sendiri. Namun, bukan hal mengejutkan karena meskipun kelihatannya mereka akur dan sering main bareng, ternyata ada yang menaruh rasa tidak suka. Sewaktu mengerjakan tugas kelompok, ada yang blak-blakan membicarakannya. Katanya di tugas kelompok yang ini, si A tidak berpartisipasi tapi mendapat nilai paling besar. Aku cuma mendengarkan dan merespons seperlunya. Jujur saja, aku tidak tahu harus bereaksi apa. Mereka yang terlihat akrab, jika ditelaah lebih dalam, belum tentu seakrab kelihatannya. Barangkali, itu juga terjadi pada mereka yang tidak terlalu akrab. Meskipun saat berinteraksi biasa saja, salah satu pihak bisa saja... tetap tidak suka, lalu menyebarkan gosip yang tidak-tidak.

Sering terlintas di benakku, aku ingin berhenti. Aku ingin mundur. Namun bukankah itu membuatku terlihat seperti pengecut betulan? Apakah ini yang kumau? Dan lagi, aku masih teringat bagaimana perjuangan bisa masuk ke sini. Setelah ditolak di sana-sini, menunda satu tahun, tekanan keluarga, akhirnya aku mendapat ucapan selamat. Masa aku mau menyerah dan membuang semuanya begitu saja? Tentu itu tidak sebanding dengan perjuanganku dulu. Tiga tahun... aku perlu bertahan tiga tahun lagi. Tiga tahun sangat lama, loh? Apakah aku masih mampu menahan stresnya? Menyelesaikan konfliknya? Apakah setelah tiga tahun, aku berkembang atau masih seperti semula? Entahlah, masa depan penuh misteri. Menjalani kehidupan ini terasa seperti permainan melelahkan. Terkadang aku bisa menjadi sangat bersemangat, bersiap menjalani hari, bersiap dengan kejutan apa yang akan datang di hidupku. Terkadang aku menjadi sangat ketakutan, terlalu banyak suara di dalam kepala sampai rasanya mau pecah. Menangis seharian, kehilangan motivasi, tidak tahu harus bagaimana.

Satu-satunya yang membuatku bangga, aku tidak lagi memikirkan tentang kematian. Pencapaian bagus, menurutku. Meski berjalan terseok-seok, aku masih mencoba bertahan dan tetap hidup. Meski rasanya sakit sekali, aku tidak ingin... megakhiri hidupku. Namun, tetap saja jiwaku ini begitu mudah rapuh. Sewaktu bulan September, sempat terlintas di benakku... bagaimana jika aku tidak ada? Selain keluarga dan teman dekatku yang terpisahkan jarak, siapa di antara 'mereka' yang akan datang ke pemakamanku? Jika tidak dekat, buat apa mereka datang selain karena formalitas semata? Memakai pakaian serba hitam, ikut menangis sebagai tanda syok tidak percaya, mungkin akan ada yang menyesal mengapa tidak merangkulku. Setelahnya, mereka akan pulang dan membicarakan tentangku: aku yang pendiam, aku yang tidak banyak berbicara, aku yang menarik diri, aku yang suaranya tidak jelas dan kecil, aku yang terlihat sendirian terus, aku yang merantau jauh dan tidak bersama keluarga dan menjadi minoritas. Lalu mereka akan menyimpulkan, oh pantas saja depresi. 

Selama satu atau dua minggu, obrolan tentangku akan terus mengudara di setiap sudut kelas. Membicarakan orang mati, membicarakan orang depresi, membicarakan fakta-fakta yang membuatnya depresi, membicarakan penyesalan seharusnya mereka begini atau begitu. Tidak perlu waktu lama sampai akhirnya aku benar-benar terlupakan dari ingatan mereka, seperti mahasiswa yang langsung pindah jurusan setelah satu semester. Sejatinya aku cuma menumpang nama. Ah, tidak. Bukankah aku ini hantu, ya? Bukankah hampir tidak ada yang menganggap eksistensiku?

Aku tidak mengharapkan banyak hal, sebetulnya. Tidak masalah bila keseharianku diselimuti kesepian. Tidak masalah bila aku tidak punya seseorang yang dapat kubagikan cerita atau kuajak bermain. Hanya satu harapanku. Bisakah aku menjadi sedikit lebih pandai berbicara? Setidaknya dengan itu, aku bisa lebih survive melewati kelas. Setidaknya aku bisa lebih dihargai. Tidak perlu takut bila ditanya dosen atau ketika melakukan presentasi. Toh, aku senang mempelajari jurusan ini. Aku senang membaca, aku pandai menulis. Dua kemampuan itu sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas. Sedikit demi sedikit aku memutar otak di kelas, mencoba memahami dan berpikir kritis.

Terjun bebas ke kehidupan luar. Ternyata dunia semenakutkan itu, ya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top