Still Alive
Beberapa kali aku mencoba untuk mengakhiri hidup seperti diam-diam membeli obat penenang dan hendak overdosis, mengiris lengan hingga darahnya melumuri lantai, bersiap meloncat tatkala truk besar lewat, atau bahkan berharap esok pagi tak lagi terbangun. Tetapi semua percobaan itu gagal kulakukan, rasa sakit ini tak pernah berakhir.
Kenyataannya aku masih hidup dan beraktivitas sebagaimana manusia pada umumnya. Barangkali yang menjadi pembeda ialah mereka memiliki tujuan sedang aku tidak, sebab segala mimpi dan harapku telah melebur tanpa sempat diperjuangkan. Aku muak mendengar segala larangannya. Aku, si gadis lugu yang cuma bisa menurut pada segala titahnya.
Dari sini aku menyaksikan orang lain sukses menjemput mimpi mereka, berkarir, kaya raya, mencari pasangan hidup, dan bahagia setelahnya. Kerja keras mereka patut diapresiasi, tapi mengapa mereka begitu terobsesi pada standar kesuksesan yang terlampau tinggi? Di negeri orang mati, semua pencapaian itu tak berlaku.
Jadi aku ingin hidup biasa-biasa saja, tanpa ekspektasi dan ambisi; tidak kaya, miskin, terkenal, menjadi orang berpengaruh. Aku ingin menyendiri, menikmati ketenangan dan pergi jauh-jauh dari kebisingan. Namun faktor eksternal selalu saja menjadi alasan kewarasanku terguncang.
"Percuma saya menyekolahkan kamu! Pergi kamu dari rumah ini! Ikut sama ayahmu sana!"
Usai puas membentak dan mencaci maki, aku dipukuli oleh sapu ijuk, gayung, kayu, bahkan seenaknya barang-barangku dibanting atau diacak-acak. Air mataku tidak jatuh di hadapannya, tidak juga bereaksi pada rasa sakit akibat nyeri di badan, seolah-olah segala inderaku menjadi mati rasa. Namun begitu dia pergi, barulah aku tenggelam dalam kumparan emosi negatif─marah, kesal, menangis, berteriak tanpa suara─serta reaksi sakit yang baru terasa.
Apa salahku? Kenapa aku sedemikian dibenci?
Aku selalu mendoakan agar dia cepat mati, tapi Tuhan tak mengabulkannya. Maka akulah yang mencoba menjemput kematian lebih dulu, tapi sepertinya Tuhan selalu mencegahku. Jiwa penuh dosa ini ternyata masih memiliki setitik iman.
Setelah bertahun-tahun dihadiahi siklus yang sama, aku sampai pada titik tak peduli lagi apakah ia menyayangiku atau tidak. Silakan saja jika aku dimaki dan dipukuli sampai melewati batas, kini itu sudah tak mempan lagi padaku. Tak mengapa di sini aku selalu disalahkan, toh aku pun tak kuasa melawannya.
Di masa lalu aku berkeliaran mencari tempat pulang yang sesungguhnya. Setelah mengenal lebih jauh, ternyata kami semua orang-orang sakit yang berusaha tetap waras. Kami mengetahui segala tangisan berdarah-darah di antara kami, cerita luka yang bersemayam, makian yang ingin dilontarkan keras-keras, serta berbagi kebahagiaan kecil bersama.
"Kalian tidak boleh mati karena bunuh diri," kata salah seorang. "Itu menyakitkan. Kita sudah sangat dekat dan aku takut kehilangan. Bisa jadi aku ikut-ikutan bunuh diri. Jadi tidak boleh."
Maka berjanjilah kami. Setidaknya walau perlahan mulai jarang bertegur sapa, sibuk sendiri-sendiri, dan masalah-masalah kian menumpuk, bunuh diri bukanlah jalan keluar. Kepergianmu akan menjadi luka mendalam kepada mereka yang betul-betul menganggapmu.
Aku tidak terluka sendirian, aku bukanlah manusia paling menderita di dunia. Aku harus tetap melangkah meski terseok-seok dengan segala beban di pundak.
Sebab aku masih hidup. []
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top