penipu gombal

Penelitian menyebutkan, hanya butuh waktu sembilan puluh detik bagi seseorang jatuh cinta pada orang yang ditemuinya pertama kali. ltu gila. ltu sama dengan waktu yang dibutuhkan pramugari mengevakuasi penumpang keluar dari pesawat ketika pendaratan darurat.

Tapi, bukankah itu romantis? Bukan, bukan pesawat jatuh. Tidak ada yang romantis dari saling mendahului terjun dari pesawat yang akan meledak, atau kena serangan panik karena tidak tahu cara menggunakan jaket pelampung.

Disukai seseorang dalam sekejap mata. Menjadi spesial dan memberimu perasaan pantas untuk dicintai. Untuk kasusku, aku menjadi pihak menyukai. Seperti kapal yang bergerak dalam arus yang tenang, diporak-porandakan oleh pusaran air laut. Kapalku ditenggelamkan oleh cowok berkaus putih garis biru yang duduk bersandar pada lemari buku pustaka. Wajahnya tenang menatap buku di tangannya, seperti model cowok cupu yang keren, tanpa kacamata dan rambut disisir kaku.

Gibran Bagaskara.

Nama yang cocok bersanding dengan Gayatri Nandhana. Aku bisa membayangkan nama kami, G & G, dalam hand lettering warna emas dan gambar cincin melingkari tulisan Pernikahan kami dilangsungkan di Bali. Pesta kebun. Dekorasinya simpel. Bohlam lampu kuning melintangi pohon-pohon dan kursi putih bulat bertebaran di bawahnya. Lalu, kami akan berjalan diiringi piano menuju arch gate bentuk lingkaran yang ditumbuhi mawar jingga-putih, mengucap sumpah pernikahan di depan semua keluarga. Simple but classy.

Aku mengangkat dagu dari tumpuan telapak tangan ketika objek khayalanku berdiri. Dia merapikan mejanya dan berjalan ke arahku. Langkahnya tegap dan percaya diri, seakan-akan setelan engsel sendinya lebih longgar dari semua orang.

Ada gelombang kehadiran dalam jarak amanku. Cepat-cepat kuturunkan pandangan pada buku, pura-pura tidak peduli. Tak lama, kudengar suara ketukan pada meja.

Permisi, aku mau pinjam buku ini.'' Dia menunjukkan buku The World is Flat padaku. ''Tapi, aku tidak membawa KTM. Apa tidak apa-apa?'' 

"Tentu saja boleh, jangankan buku, bawa yang jaga pustaka juga boleh!'' pikir wanita ganjen dalam diriku, tapi tentu saja, aku masih waras. ''Tidak masalah. Silakan mengisi ini.'' Kusodorkan buku tamu, menunjuk kolom-kolom di sana. ''Nama, nomor induk mahasiswa, kontak.''


Dia mengambil pulpen yang terselip pada buku dan mulai menulis. Tubuh tinggi membuatnya harus menunduk cukup rendah untuk menyamai mejaku. Aku tidak percaya bisa melihatnya dalam jarak sedekat ini. Cukup dekat untuk tahu fitur wajahnya yang agak persegi dan mencium wangi sabun antiseptik yang menguar darinya.

"Aku baru pertama kali melihatmu." Dia sedang menulis angka pada kolom kedua. "Pengganti Bu Hesti atau mahasiswa magang?"

''Di sini magangnya masih seminggu dua kali?"

''Iya.''

Lalu pembicaraan selesai. Kini, dia menulis kolom terakhir. Aku tidak mau pertemuan ajaib ini berakhir begitu saja. Dia harus mengingatku.

''Kakak ingat aku?" Gerak pulpennya berhenti. Aku menatap ujung hidungnya dan memancing, "Kita pernah sekelas Statistik semester lalu."

Dia mengangkat kepala dan menatapku seperti sedang mengingat-ingat. "Aku tidak begitu memperhatikan kelas itu, tapi wajahmu cukup familiar," katanya ragu, "Teman Tyas, bukan?"

"lya, yang selalu duduk di sampingnya."

''Wanita itu benar-benar gila. Kamu ingat ketika dia sedang bermain Tik-Tok di kelas dan kedapatan Pak Martines? Bukannya takut, dia malah mengajak Pak Tua itu joget! ll Gibran tertawa. "Dia benar-benar parah."

''Dia memang ingin jadi selebriti Tik-Tok, jadi apa pun pasti akan dia lakukan supaya viral."

"Apa pun yang gila." Gibran memutar bola matanya, lalu kami tertawa. "Jadi, bagaimana setelah ini?"

Setelah ini, maksudnya apa? Setelah video Tik-Tok milik Tyas viral, atau bagian Pak Martines kedapatan membuat akun Tik-Tok secara sembunyi-sembunyi?

Aku mengamati buku tamu. "Sudah selesai. Kakak bisa membawanya."

"Oke, makasih.."

"Aya," timpalku, mengakhiri tatapan tanya tiga detiknya.

"See you soon, Aya."

Kak Gibran keluar dari pintu pustaka dan aku merosot sampai ke lantai. Kutahan pekikan di bawah meja. Aku berbicara dengan Kak Gibran! Suaranya sangat lembut dan berat. Indah dan karismatik.

Terima kasih Tyas dan sifat alaynya! Akhirnya, ke-alayanmu membawa berkah! Semoga kamu tetap alay, sampai anak cucu dan cicit!

Sesuatu dalam saku celanaku bergetar. Kusisip tangan ke dalam kantung dan membaca pesan dari nomor tidak dikenal. Aku menerima foto wanita dalam setelan kaos putih dan celana panjang jeans, ia memotret dirinya di cermin kamarnya.

''Kalau begini cocoknya ukuran S, M, atau L, ya, Kak?"

Rasanya aku ingin menabokkan diri ke tembok. Mana bisa aku tahu dia cocok size apa kalau cuma dilihat dari foto! Memangnya aku cenayang bisa melihat, 'oh, bentuk kamu kira-kira kayak Marion Jola, kamu harus pakai size M supaya nyaman'. Langsung turun pamor cenayang kerjanya mirip mbak-mbak penjual baju di Atum! Ini kenapa customer online shop tambah aneh-aneh, sih?

Aku melepas segala kesal dalam satu helaan napas dan mengetik balasan.

"Kalau itu cocoknya ngepas badan, Say. Mungkin ada meteran baju di rumah, atau punya teman?'

"Nggak punya meteran aku. Adanya penggaris."

''Iya. Pakai penggaris saja. Badan kamu kaku kok kayak kertas!''

''Mungkin ada terusan lain yang mirip-mirip modelnya?"

"Oh! Itu aku ada. Wait."

Aku menutup pesan darinya dan menggulir pesan-pesan yang belum terbalas. Enak-enak mengkhayal, sampai lupa kerjaan. Padahal, aku mengambil magang di perpustakaan supaya bisa balas chat customer sambil dapat uang tambahan, tahunya kebablasan. Tidak admin olshop, tidak magang, semua tidak ada yang beres.

Jariku berhenti pada usapan ketiga. Satu wajah kukenali dalam barisan chat-chat beberapa belas dari atas. Bagian namanya ditandai dengan nomor dua belas digit. Ada tiga pesan belum terbaca. Saat aku sedang menimbang-nimbang, pesan dari customer pertama masuk dan membuatku terlonjak.

"Kak, kalau terusan ini aku pakai ukuran M. Jadi, aku pesan M saja, ya."

Bibirku bergerak kaku, gatal ingin menyumpahi anak orang. Hatiku masih belum siap membalas, tapi pesannya sudah terbuka!

"Siang, Kak. Kalau yang di foto ini masih ada?"

Dia mengirimiku gambar capture pada laman Instagram milikku, terusan putih bunga-bunga dengan pita pada pinggangnya. Bukan sesuatu yang penting. Yang terpenting adalah pengirimnya, Gibran, sedang online.

Aku mengecek stok di laman website dan membuang detik-detik berikutnya untuk menimbang ingin membalas apa.

"Masih ada, Kak. Ini Kak Gibran Bagaskara, bukan?"

''Iya. Ini siapa?"

"Aya, Kak. Yang jaga perpustakaan tadi."

"Oh, Aya! Kita ketemu lagi di sini!"

"Hehehe. Iya. Ngomong-ngomong terusan itu masih ready. Btw, ini buat siapanya Kakak?"

Jariku mengetuk-ngetuk tepi ponsel. Apa mungkin Kak Gibran sudah punya pacar? Sejauh pengamatanku, teman ceweknya sedikit dan orangnya kaku sama wanita. Mulutku terkatup rapat ketika melihat, **********90 sedang mengetik'.

"Buat Nyokap. Besok ulang tahunnya. Kenapa tanya-tanya?"

Wajahku berubah cerah. "Nggak apa-apa, cuma tanya aja. Mau ambil size apa?"

Aku menahan napas membaca balasan pesannya berulang kali. ''Nggak ada apa-apa atau ada apa-apanya? Kalau ada apa-apa juga boleh, kok.''

Kalau ini bukan di perpustakaan aku pasti sudah jungkir-balik dan salto ke belakang. Kenapa dia jadi manis sekali, sih?

"Beneran nggak ada apa-apa. Yang tersedia size S, M, sama L, aja. Mau yang mana?"

"Yang M saja. Setelah jaga kamu ngapain? Mau makan malam sama-sama?"

Aku diajak makan bareng Kak Gibran! Ini berjalan semulus mimpi. Lebih mulus bahkan. Kurasa aku bisa tidur selamanya dan membiarkan orang-orang bergunjing kabar wanita yang tersenyum dalam 'tidur panjangnya'.

"Boleh. Jam 6 di restoran depan kampus, gimana?"

''Oke, Oke.''

Aku mengirimkan nomor rekening setelah menerima pengisian form beli darinya. Ternyata, mamanya tinggal di Yogyakarta. Cukup jauh dari Jakarta. Satu informasi yang terlewat dariku, dia ternyata perantau.

"Bisa foto belakang kartu kamu saja, nggak? Kebetulan aplikasi mobile banking-ku lagi keblokir."

Aku mengerutkan dahi. "Bisa transfer di ATM kok, Kak. Ada mesin ATM di depan kampus."

"Aku pakai Sakuku. Bisanya pakai nomor seri 16 angka."

Dahiku berkerut makin tajam. "Kakak kok jadi aneh sih? Kayak penipu saja minta nomor seri 16 angka wkwk."

"Kamu lucu sekali deh, Aya. Masa aku penipu?"

Ya, benar juga. Ini Kak Gibran. Cowok yang aku sukai. Meski modusnya sedikit mirip dengan di internet, masa Kak Gibran kerjanya begini? Ganteng-ganteng penipu?

"Aya!"

Aku terlonjak kaget mendengar suara tabokan pada meja. Tyas cengengesan, terlalu keras sampai harus kubekap. Aku meminta maaf dengan gerak bibir pada semua orang yang menatap kami.

"Sudah berapa kali kubilang, ini perpustakaan bukan klub!" bisikku, sambil menatapnya tajam.

Seperti biasa, Tyas tidak peduli. Dia melepas bekapan dan merangsek masuk ke mejaku, lalu membolak-balik bukuku seperti seorang anak kecil dengan rasa ingin tahu besar.

Matanya memandang rendah kepada ponselku. "Kirain belajar, tahunya main hape."

"Ini lagi balas olshop." Aku menumpuk buku-buku di meja menjadi satu. "Baru selesai kelas?"

"Huum." Dia mencolek tanganku, tersenyum seperti kucing licik. "Di depan aku ketemu Kak Gibran, loh. Dia dari sini lagi tadi?"

"lya. Kami sempat ngobrol tadi," kataku bangga, dibalas senggolan bahu dari Tyas. Tiba-tiba, isi pesan dari Kak Gibran terlintas. "Ti, coba lihat deh. Tadi, aku habis ngebales pesan orang yang kayaknya Kak Gibran, tapi balasannya mencurigakan."

Dia membaca isi pesan dan kerutan di dahinya makin dalam. "Mencurigakan, sih." Tyas mengambil sesuatu di kantong celana. "Bentar, bentar. Kayaknya, aku punya nomor dia di WhatsApp."

Jari-jarinya bergerak menekan layar, lalu tak lama, menunjukkannya lagi padaku. Kontak WhatsApp Kak Gibran dengan profile picture kucing abu-abu. Di bawah tulisan namanya, menampilkan dua belas digit angka. 08xxxxxxxx20. Nomor dan profile picture-nya beda!

"Ini mah, penipu, Aya." Tyas mengumumkan apa yang ada dalam pikiranku. "Kamu baru saja nanggepin godaan penipu. Dasar bodoh!"

Dia tertawa keras, terlalu keras sampai untuk kesekian kali, semua orang memberi tatapan membunuh. Kalau bukan tentang aku, sudah pasti aku akan menganggapnya lucu. Sudah bersikap manis dan berdebar-debar diajak kencan sama doi. Tahunya, diajak kencan sama penipu yang namanya sama. Bukannya dapat hati, uangku yang melayang!

Dasar, penipu gombal sial!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top