our first meeting

Pertemuan pertama kami mengesankan. Aku selalu mengingat awal mula kami bertemu dan berkenalan. Waktu itu, aku cuma terlalu muak berada di dalam kamar: membosankan, bau obat, dominasi warna putih. Perutku terasa mual dan ingin memuntahkan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Aku segera menyeret kakiku keluar tanpa alas kaki. Tanpa tujuan, akhirnya aku duduk di sekitar area taman rumah sakit. Kebetulan, hari sudah sore. Langitnya berwarna jingga, suasananya begitu sejuk. Aku memejamkan mataku, membiarkan ketenangan menerpa diriku pelan.

"Apakah kau pasien di sini?"

Suara selembut permen kapas menggelitiki telingaku. Aku menoleh pada asal suara. Yang pertama terlihat olehku adalah rambut biru muda panjangnya, lalu bola matanya pun berwarna biru muda. Tangan mungilnya memegang sebuah keranjang.

Karena perbedaan bahasa, aku hanya terdiam dan terus memperhatikannya.

"O-oh? I'm sorry? Are you not come from here?"

Itu aksen teraneh yang pernah kudengar. Aku masih memperhatikannya. "No... they said I was born here. I just can't speak the language here."

"Ah, so it's like that." Gadis biru itu mengangguk-angguk. "Sorry, my English is very bad."

"It's ok, I guess? As long as we can communicate."

Mendadak, gadis biru itu menarik senyuman di wajahnya. Seolah tersihir, aku terpana sejenak. She's so... beautiful.

Kami pun berkenalan. Aku mengenalkan diriku sebagai Kuta, sementara gadis itu bernama Han Kari. Selama mengobrol, ia lebih banyak bercerita dengan semangat dibandingkan diriku. Meski aksennya terdengar aneh di telingaku, aku tetap senang mendengarkannya.

Selama beberapa menit mengobrol, aku bisa tahu jika Kari sosok yang senang membantu orang lain. Raut wajah dan kepribadiannya memancarkan keceriaan. Auranya sangat positif, seolah-olah dikelilingi oleh cahaya menyilaukan. Berada di dekatnya membuatku merasa ... aku akan baik-baik saja.

"Are you allowed to eat chocolate?"

"Chocolate? What kind of food is that?"

Kari mengeluarkan sesuatu dari keranjang yang dibawanya. Aku tidak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Ia mengeluarkan sesuatu berbentuk persegi panjang yang dibungkus oleh sesuatu berwarna ungu. Kari menyobek bungkus ungu tersebut, lalu terlihat sesuatu yang lain.

"This is chocolate." Ia menyodorkannya padaku. "You can eat this."

Ragu-ragu aku menerimanya. Ini pertama kalinya aku melihat sesuatu yang dimaksud sebagai 'chocolate'. Gigitan pertama, sensasi pahit bercampur manis menari di lidahku. Rasa macam apa ini? Aku ... suka.

"How? So yummy, isn't it?" Kari mengambil batang cokelat di tanganku, memotongnya, dan ikut makan. "Chocolate is good to eat when you're sad or in bad mood."

Percakapan kami berlanjut sembari menikmati cokelat. Meskipun rasanya lezat dan cocok dimakan di kala sedih, Kari bilang jangan terlalu banyak memakan cokelat. Nanti gigimu sakit, tidak baik untuk kesehatan, bisa-bisa gemuk. Kalau begitu kenapa cokelat diciptakan? Yah, Kari menjawab, segala sesuatu yang berlebihan tetap tidak baik.

Aku menceritakan sedikit alasan mengapa aku lahir di sini tapi tidak bisa berbahasa bahasa sini. Hanya sebagian kecil yang kuceritakan. Akibat perang, aku terlempar ke negara bagian lain. Kari tidak banyak berkomentar, tahu-tahu dia berkata akan mengajarkanku bahasa di sini.

''Are you serious?'' Aku menatapnya penuh selidik. Maksudku, kami baru saja saling mengenal dan dia sudah bersedia membantuku belajar bahasa? Aku tahu Kari senang membantu orang lain, tetapi ini terlalu baik.

''Yeah, of course!''

Semenjak saat itu, kami menjadi lebih sering bertemu di rumah sakit. Selain belajar bahasa, Kari sering sekali menceritakan banyak hal tentang apa pun; tentang kehidupan, tentang negara ini, negara 7 keluarga besar. Terkadang aku sedikit terkejut. Kehidupan di sini ... berbeda sekali dengan yang kualami. Entah mengapa, rasanya, aku kecewa dan marah. Kenapa aku bisa terpisah dan harus mengalami semua pengalaman buruk tersebut jika kehidupan di sini terlihat begitu... damai? Ke mana keluargaku kala itu? Mengapa mereka tidak bisa menjagaku?

Kakak kandung dan sudah pernah menemui di rumah sakit. Ia meminta maaf atas banyak hal, tetapi aku tidak merasa terhubung dengannya, seolah ia adalah orang asing alih-alih kakak sendiri. Dibandingkan dengan Haziel, terbentang dinding tinggi di antara aku dan Faiza. Tentu saja kami masih sangat asing, toh kami baru saja bertemu. Namun Faiza tampak mencurigakan. Aku tidak tahu perasaan bersalahnya terhadapku tulus atau tidak, dan aku tidak bisa mempercayainya seratus persen.

Selain Faiza, pria tinggi besar yang harus kusebut 'paman' juga pernah menemuiku. Sekali lihat, entah mengapa aku langsung membencinya. Aura yang memancar dari sosoknya terasa gelap dan jahat. Insting bertahan hidupku langsung muncul begitu ia mendekat, seolah-olah ia akan membunuhku dalam sekali serangan kapan saja. Barangkali aku memang berhasil pulang, tetapi tidak benar-benar pulang. Tidak ada orang tua kandung (ternyata mereka sudah mati). Haziel yang selalu berkata akan membawaku pulang saja malah pergi meninggalkanku sendirian. Tidak ada kehangatan, yang ada hampir seperti ancaman. Dengan kondisi 'pulang' yangg seperti ini, haruskah aku tetap bersyukur? Sebetulnya dunia ini sekacau apa?

Biashn pernah berpesan padaku, sebaiknya aku tidak menyalahkan masa lalu dan orang lain. Dirangkul oleh keputusasaan, tentu saja hal itu sulit. Aku pikir setelah berhasil keluar dari mimpi buruk, kebebasan dan ketenangan sudah berada dalam genggaman. Nyatanya tidak. Hidupku semakin kehilangan arah. Kepalaku selalu dipenuhi benang kusut. Di dalam mimpi, aku seolah kembali ke masa lalu dan mengalami kembali kejadian-kejadian buruk nan traumatis. Ketika bangun, dadaku akan terasa sesak. Aku kesulitan bernapas. Keringat membasahi punggung.

Kenapa? Kenapa aku masih terjebak bayang-bayang masa lalu?

"Kuta?" Suara Kari memecah lamunanku. Aku tidak sadar ia sudah masuk ke kamar dan berkali-kali memanggil namaku. Kuperhatikan tangannya memegang sesuatu yang lagi-lagi tampak asing. Bentuknya persegi panjang dan tidak terlalu besar. Warnanya hitam bercampur keemasan.

"Itu...." Aku menunjuk. Sedikit demi sedikit aku sudah bisa menggunakan bahasa sini.

"Oh, ini, harmonika!" Kari menunjukkan benda bernama harmonika tersebut. "This is a wind instrument. To play it, we have to blow through the holes here."

Tanpa diminta, Kari sudah meniup dan memainkannya. Terdengar alunan suara merdu. Harmonika itu... ternyata benda ajaib, ya? Meskipun kecil, benda tersebut mampu memanjakan telinga dengan harmoni suaranya yang indah. Mungkin tak sampai lima menit Kari memainkannya.

''I'm afraid to disturb other patients,'' jelasnya. ''I will play it again when we're outside. Like in the park, maybe?''

Sontak aku menengok ke luar jendela. Aku tidak menghitung sudah berapa lama dirawat di rumah sakit. Kendati pusing dengan bau obat-obatan, aku tidak berpikiran ingin segera pergi dari sini. Nanti aku akan tinggal di mana? Rumah Faiza? Keluarga baru? Bersama paman sialan itu? Dan saudara-saudara lain yang entah kawan atau lawan? Haruskah aku betulan menerima kehadiran mereka?

Tanpa sadar, aku menarik Kari ke dalam pelukanku. ''Just a moment,'' lirihku pelan, ''just a moment I want to hug you.''

Kari tidak menolak dan membalas pelukanku. Ia melingkarkan tangannya ke punggungku. Hangat. Nyaman. Pelukan ini mengingatkanku pada Haziel. Aku ingin terus merasakan kehangatan ini. Bagiku, hal kecil seperti inilah yang dapat kusebut sebagai rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top