it started with cherry
Manusia itu pemalas. Makhluk paling bobrok di dunia ini. Aku tidak pernah suka berinteraksi dengan mereka. Sudah malas, hobi mengeluh, jorok pula. Berangan-angan masa depan cerah dan hidup enak, tetapi tidak pernah bersungguh-sungguh menjalani hidup. Tak jarang mereka juga lebih senang menebarkan kebencian alih-alih menjaga kerukunan. Ingin menang sendiri, menjatuhkan yang lain, tak mau mengalah. Kehidupan mereka menyedihkan, bukan?
Kira-kira begitulah pemikiranku terhadap manusia, pada awalnya.
''Kenapa kau sendirian?''
Aku ingat percakapan pertama kami. Saat itu aku sedang duduk sendirian di taman ketika yang lain berkumpul di aula. Simpel saja, aku tidak tertarik berinteraksi dan menghabiskan waktu dengan para manusia bodoh. Aku selalu memasang tampang seram, sehingga tidak ada yang berani mendekati atau mengajakku bicara.
Namun, sosok tersebut mendadak duduk di sampingku. Merasa risih, aku terus melototkan mata kepadanya dengan harapan ia segera angkat kaki.
''Kau tidak makan?'' Ia mengeluarkan kotak makannya. Aku merlihat beberapa potong roti lapis. ''Mau?''
Aku tidak sudi menerima makanan dari manusia. Jadi aku ingin menolaknya, tetapi mataku kemudian menemukan sepasang buah ceri di dalam kotak makannya.
''Ceri,'' aku bersuara, hampir seperti bisikan.
''Hah?''
''Berikan aku buah ceri itu.''
Aku tidak mengerti imegapa ia mau-mau saja. Tanpa ragu ia memberikan buah cerinya. ''Silakan!'' katanya sumringah. ''Kau suka ceri, ya?''
''Ya.''
''Sama! Bukan buah favoritku sih, tapi aku tidak akan membuang ceri dan pasti akan memakannya.'' Ia mulai menggigit roti lapis. ''Kau suka duduk di sini karena suasananya sepi? Ini membuatmu tenang?''
''Ya.''
''Whoah.'' Ia mendekatkan wajahnya, membuatku tersentak mundur. Apa-apaan? ''Jawabanmu singkat sekali. Pantas sih, kau bukan pecinta keramaian.''
Lalu hening. Aku sudah habis memakan buah ceri dalam 5 kali gigitan, sementara kotak makannya masih terisi roti lapis.
''Apa kau mau menjadi temanku?''
Teman. Menjadi teman manusia tidak ada di kamusku. Ketika isi kepalaku memikirkan kalimat penolakan, ia menambahkan, ''Namaku Sou. Kau tahu? Tidak baik menghabiskan hari dengan menyendiri terus meskipun kau suka ketenangan. Sesekali kau harus bersama orang lain dan bersosialisasi. Kau bisa mempelajari sesuatu yang baru dari sana.''
Seolah tersihir, aku termenung mendengar perkataannya. Sou terlihat sangat dewasa daripada kelihatannya.
Aku tidak pernah menjawab pertanyaannya tentang ingin berteman atau tidak, tetapi Sou menjadi lebih sering menemaniku. Ia akan mengajakku mengobrol tentang hal-hal konyol tapi mengesankan, pekerjaan rumah, rencana jalan-jalan seusai pulang sekolah, buku-buku yang mesti dibaca, hewan peliharaan, dan ... masih banyak lagi. Sou selalu menemukan presensiku di kala aku mengasingkan diri. Jika kuperhatikan, Sou memang sosok yang ramah. Ia senang berbicara dengan siapa saja, menolong semampunya, memberikan senyuman. Ia memiliki banyak teman, dan seharusnya tanpa menjadikan aku sebagai temannya, itu sudah lebih dari cukup bagi Sou.
Jadi apakah ia mengajakku berteman karena kasihan?
Tidak. Aku dapat merasakannya, anak itu terlalu baik dan tulus. Semakin aku mengenalnya, semakin aku merasa Sou rentan pecah. Jiwanya terlalu bersih untuk hidup di antara manusia-manusia yang berjiwa kotor. Aku khawatir Sou akan terluka dan disakiti oleh kejamnya dunia. Lambat laun aku mulai bisa menerima kehadiran Sou sebagai temanku. Barangkali Sou sendiri terkejut ketika mendengar aku menanyakannya hal-hal kecil.
Kenapa? Aku bertanya.
Sou tersenyum dan mengatakan sepertinya aku sudah menjadi sedikit lebih terbuka. Ia bertanya apakah aku sudah menganggapnya sebagai teman atau belum.
Aku tidak menjawabnya. Sou menyenggol lenganku sambil menggerutu, ''Cih, masih malu-malu, ya.''
Seandainya aku dapat lebih terbuka. Barangkali Sou betulan menunggu jawabanku sebelum waktunya sudah habis.
Ya, sudah habis. Lama sekali Sou tidak masuk sekolah dan tak ada kabar. Aku kebingungan. Meskipin sering mengobrol, aku tidak tahu di mana rumahnya. Jadi, yang bisa kulakukan hanya menunggu. Aku tidak mengerti sejak kapan berharap kepada manusia. Pada akhirnya, manusia selalu membuatmu kecewa.
Sou pergi meninggalkanku untuk selamanya tanpa sepatah kata apa pun.
Sou pergi meninggalkanku sebelum aku sempat memberitahunya satu rahasia terbesarku.
Suatu hari, aku pernah tak sengaja keceplosan, ''Aku benci manusia.''
''Hee, kenapa? Kau juga manusia.''
Bukan, Sou. Aku dan keluargaku datang dari galaksi lain, lalu menyamar sebagai manusia. Itulah sebabnya... aku sangat membenci manusia yang hidupnya sangat menyedihkan. Namun, aku ingin meminta maaf kepadamu sekaligus berterima kasih.
Berkatmu, sedikitnya aku dapat memahami sisi kebaikan dari seorang manusia.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top