if you were here

Di dunia yang luar biasa kompleks ini, beberapa orang sepertinya memiliki kehidupan menyedihkan. Mereka tidak diberkahi tampang jelita, karier dan status ekonomi pas-pasan, pasangan tukang selingkuh, lalu seenaknya dijadikan tumbal oleh orang lain. Bagaimana mungkin pamer mengendarai mobil mahal jika merangkak ke atas saja sudah bersusah payah seolah menjalani hidup yang tidak terawat.

Aku termasuk salah satu dari mereka. Atau tadinya kupikir begitu.

Bukannya aku tidak pernah mengalami masa bahagia. Selama beberapa tahun kehidupanku sempurna. Masa kecilku ideal. Aku bahkan tumbuh dengan cukup nutrisi, perhatian, dan dikelilingi teman. Kebahagiaan mampir mengetuk pintu lebih banyak dari yang mampu kuhitung. Aku bisa saja tumbuh menjadi sosok yang periang—sudah seharusnya demikian.

Lantas, kenapa aku harus melabeli diriku memiliki kehidupan menyedihkan?

Banyak hal yang terlintas di benakmu saat dunia tengah mempermainkanmu. Sekarat. Sesak. Tak berdaya. Pilihannya hanya menyerah atau mencoba bertahan sebentar lagi. Aku sudah terlalu lama tenggelam di dalam jurang keterpurukan, menutup mata dan telinga, lantas berlari menjauhi secercah cahaya. Jika aku mau berteriak meminta tolong sekali lagi, akankah ada yang berubah? Jika aku berani melihat sekeliling dan bersyukur di setiap hal-hal kecil, akankah jalan yang kutempuh menjadi lebih baik? Jika kesabaran masih menuntunku hingga detik ini, akankah aku berbahagia?

Aku teringat pesan terakhir yang disampaikan teman lamaku beberapa tahun silam. Waktu itu aku menganggapnya sebagai omong kosong, terlalu mustahil bagi orang sepertiku. Sudah lama sekali dia tidak pernah menampakkan dirinya lagi. Padahal dialah yang selalu menemaniku melewati masa-masa sulit. Di dalam kegelapan pekat sekalipun, dia tidak pernah tidak hadir memelukku dari belakang.

Kini tersisa harap semu jika dia mendadak muncul di hadapanku, kembali berbisik lembut di telingaku, dan aku berjanji tidak akan pernah melepaskannya.

Namaku Esterlla. Aku lahir di Ralston, Nebraska, tetapi menghabiskan seluruh masa kanak-kanak dan remaja di Anchorage sejak usiaku empat tahun. Kota ini memberikan kenangan campur aduk yang masih sulit kujelaskan. Aku bersyukur keluargaku memutuskan pindah ke sini, setidaknya Anchorage tetap mengesankan. Aku punya seorang kakak perempuan. Namanya Tiffany, kami tidak mirip, dan aku sedikit membencinya.

Tiffany selalu menjadi anak emas. Dia cantik, baik dan ramah kepada siapa pun, berprestasi di sekolah, dan selalu naik kelas dengan nilai cemerlang. Siswa-siswi di sekolah mengaguminya dan menjadikan Tiffany sebagai suri teladan mereka. Teman sekelasku terang-terangan mendekatiku hanya untuk mengorek informasi lebih lanjut tentang Tiffany. Dad terus-terusan mengagungkan anak gadis pertamanya di depan kolega bisnis. Dan Mom tentu saja pamer segala pencapaian Tiffany di perkumpulan gosip para ibu rumah tangga.

Di sisi lain, aku hanyalah anak biasa yang tidak macam-macam. Bukan berarti aku bersinar dan berprestasi seperti Tiffany. Justru aku tertinggal jauh darinya sampai-sampai yang lain penasaran apakah kami betulan lahir dari darah daging yang sama. Sementara Tiffany penyabar dan kutu buku serta senang menghabiskan waktu bersama teman untuk kegiatan positif, aku cukup pasif dan tidak bergairah.

Sering kali orang-orang membandingkan kami, dari yang seumuran hingga para kolot. Berbagai cerita dan teori dilontarkan. Awalnya aku tidak peduli pada omongan sok ikut campur tersebut, toh Mom dan Dad tetap memperhatikan kami dengan adil, toh Tiffany menyayangi dan tidak pernah lupa kepadaku. Namun lambat laun aku merasakan adanya perubahan, baik di dalam keluargaku, juga sekitar. Semakin didengar, semakin diterima, rasanya semakin ... sakit. Apa salahnya aku menjadi anak yang biasa-biasa saja sementara kakakku tidak? Kenapa aku harus mengikuti jejak kakakku? Bukankah setiap manusia itu berbeda?

Esterlla kecil sangat marah dan putus asa. Dia terluka, tetapi tidak bisa apa-apa.

Selama beberapa minggu, aku menahan diri dengan tidak menunjukkan perasaan seperti menangis atau ekspresi terluka di depan orang lain. Tersenyumlah. Ini bukanlah sesuatu yang besar. Kau bisa melaluinya. Aku memaksakan diri agar tetap kuat, walau pada akhirnya, kepingan jiwaku hancur juga.

Saat itulah dia muncul untuk pertama kalinya.

"Tidak usah didengarkan," dia berkata, "mereka tidak tahu apa-apa. Berada di dekatmu sepanjang hari saja tidak. Dari mana mereka bisa mempercayai semua itu ya? Aku tidak habis pikir."

Aku mengusap air mataku, sekaligus untuk menajamkan pandangan. "Kau siapa?"

"Bayanganmu," jawabnya. Karena aku tidak menyalakan lampu kamar, rasanya dia berada di seluruh kamarku. Dia bertanya, "Apa kau tidak takut?"

Kepalaku menggeleng. Sebetulnya aku tidak tahu bagaimana harus bereaksi, tetapi memang benar aku tidak merasa takut. Bayangan? Bayanganku bisa bicara? Terdengar fantastis. Entah mengapa aku seperti menemukan tempat berbagi yang hangat.

"Siapa namamu?"

"Tidak ada."

"Ah, bagaimana aku harus memanggilmu?"

Dia tidak menjawab. Kutebak, mungkin sedih, mungkin kebingungan. Aku berusaha memghiburnya. "Boleh kuberi kau sebuah nama?"

Aku bisa merasakan dia sangat antusias. Tanpa sadar bibirku tersenyum sebelum melanjutkan, "Bagaimana kalau Silh? Silh diambil dari kata silhouette. Mungkin cocok untukmu?"

Awalnya kupikir bakalan terdengar aneh, lebih aneh dari shadow. Aku ingin memberi nama yang lebih bagus meski isi kepalaku sedang buntu. Namun Silh lebih dulu menyahut, "Terima kasih. Aku menyukainya."

Begitulah awal mula pertemanan kami.

Silh hidup di dalam bayanganku. Dia bisa menggerakkannya sesuka hati. Kadang-kadang dia tampak menggemaskan. Kehadirannya telah menghapus sepi dan menghibur luka di hati. Silh bersamaku setiap saat, sehingga dia menyaksikan bagaimana hari-hariku, bagaimana aku tumbuh, bagaimana aku hidup. Perasaanku terhadapnya seperti nebula di galaksi.

Karena aku yakin selalu ada kehadiran seseorang di dekatku, aku jadi sering mengobrol dengannya tanpa mengenal tempat. Pasang mata memperhatikan. Pasang mata mencurigai. Pasang mata menghakimi. Lalu menyimpulkan seenaknya. 'Esterlla punya masalah di otaknya, itulah sebab mengapa ia tidak berprestasi'.

Mom dan Dad mendengar hal ini. Mereka semakin memperlakukanku sebagai orang luar. Tiffany bahkan selalu memalingkan muka, tidak berani menatapku, barangkali jijik, malu, atau semacamnya. Di sekolah lebih parah lagi. Aku dicaci maki seperti sampah. Entahlah. Aku bertanya-tanya, kenapa? Apa yang salah pada diriku? Apa yang harus kulakukan agar kalian berhenti mencampuri urusanku?

"Tidak bisa begini terus," lirih Silh, sewaktu aku sampai jatuh depresi. "Aku tidak bisa melihatmu begini terus."

Aku hanya berbaring lesu, tidak memiliki tenaga untuk apa pun lagi. Apakah aku sedemikian terpuruknya? Kacau. Dasar menyedihkan. Pasti aku tampak jelek sekali ya? Aku bergumam, "Kenapa aku tidak bisa bahagia?"

Silh memelukku, sembari menggenggam tanganku erat, seolah berusaha membagi kekuatannya. "Ester ... bahagia itu pilihan, sekarang atau nanti. Bahkan di saat sulit sekalipun, kau bisa memilih untuk mengikhlaskan segalanya dan berbahagia."

Mustahil. Itu sangat mustahil.

Silh kembali mengucapkan sesuatu, barangkali petuah. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Kepalaku pusing. Penglihatanku kabur. Lalu, entah ini halusinasi atau bagaimana, Silh tampak menyeramkan. Ia tidak seperti biasanya.

Aku langsung panik dan ketakutan. Aku berusaha melepaskan diri dari pelukannya. Napasku tidak karuan. Aku tidak tahu mengapa mendadak aku merasa marah. Apakah tersinggung? Apakah terluka? Sebab yang kuingat, kami bertengkar.

Kenapa kau mengatakan hal itu, Silh? Tidakkah kau seharusnya mengerti posisiku? Perasaanku? Bukankah kau melihatnya secara langsung bagaimana aku menderita? Lancang sekali menyuruhku seenaknya ikhlas dan memilih bahagia! Kenapa kau tidak mengerti apa-apa?!

Seusai bertengkar hebat, aku menyuruhnya pergi jauh dari hidupku, dan itulah kesalahan terbesarku.

Silh menurutinya karena dia selalu begitu. Dia tidak pernah muncul lagi semenjak saat itu, meninggalkanku bersama luka-luka yang belum sembuh. Kehidupanku tidak menjadi lebih baik setelahnya, terombang-ambing di tengah badai yang menegangkan dan mengerikan di atas lautan.

Seandainya aku tidak ketakutan, marah, dan mengusirmu, kau pasti tetap berada di sini bersamaku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top