2. Hukuman Dari Papa (HDP)

Siapa yang kangen si dede emes Billal?

Tandai typo gaess

Happy reading
.
.
.
.

Billal POV

Aku bingung kenapa Nana milih menghindar dari ku. Saat aku melihatnya keluar kelas, dia seakan enggan untuk bertatap muka denganku. Atau saat kami bertemu di koridor sekolah, dia akan memilih memutar jalan.

Aku duduk di belakang kelas bersama dengan Rayyan dan dua temanku Danda dan Pasha. Jangan tanya basic keluarga keduanya. Mereka juga sama-sama dari militer.

Fyi, kami berempat gak merokok, jadi walaupun kami berkumpul, kami akan makan cemilan dan minuman, bukan rokok yang gak bisa bikin kenyang. Justru nambah penyakit.

"Lo kayaknya sibuk banget perhatiin si Nana, Bil?"

Dasar mulut lamis, gak bisa jaga rahasia.andaikan ku tak punya hubungan saudara dengannya, udah ku pastikan, tangan kekar ku ini akan menaboknya dengan sayang.

"

Mulut lo mau gue gaplok pake sepatu gue gak?"

Kedua temanku tertawa terbahak-bahak. Ku alihkan pandangan ku ke arah belakang kelas Nana. Disana Nana ditarik oleh cowok yang merupakan musuh bebuyutan ku di sekolah. Dia selalu cari gara-gara denganku.

Ku mendekat agar bisa mendengar apa yang mereka bicarakan. Bisa ku tebak, kalau Nana ini dipaksa oleh Beni.

"Bil"

"Ssst diem lo semua"

Ku mendekat dan bersembunyi di balik pohon yang lumayan besar, dan menguping pembicaraan mereka.

"Lo kan yang ngaduin ke pak Anto kalau gue ngerokok?"

"Enggak bukan aku"

"Alesan lo. Cuma lo yang ada disana Waktu itu"

"Bukan aku"

Beni mendorongnya hingga Nana terbentur tembok, dia meringis kesakitan, Beni mencengkeram rahang Nana dengan kuat. Cowok kurang diajar.

"Heiy, singkirin tangan kotor lo dari dia"

Ku dorong Beni sampai dia mundur 2 langkah ke belakang. Ku tutupi Nana dengan tubuhku, agar dia aman dari preman sekolah ini.

"Jangan ikut campur lo"

"Lo udah nyakitin Nana, gue gak suka lihat perempuan di tindas seperti ini"

Bugh

"Brengsek lo Beni"

Bugh

Bugh

Bugh

"BILLAL, BENI BERHENTI. IKUT BAPAK KE KANTOR"

Ah sial, kenapa Pak Anto harus datang sih. Ku lihat Nana gemetar ketakutan di belakangku. Wajah Beni lebih babak belur dariku.

"Na"

Ku sentuh bahunya yang gemetar, dia menatapku dengan kosong. Ya Tuhan, kenapa ada perempuan polos seperti Nana di dunia ini.

"Na, lo gak Papa kan?"

Nana kembali menatapku, dia melihat lebam yang ada di wajahku, lalu dia mengangguk.

"Asmaul Husna, kamu ikut bapak sebagai saksi"

Nana hanya mengangguk, ku berjalan beriringan dengan Nana menuju kantor bagian kesiswaan. Sungguh membosankan harus datang kesini.

"Sekarang, kamu jelaskan sama Bapak, bagaimana dua orang ini bisa berkelahi?"

Nana memandangku dengan wajah khawatir, ku anggukan kepalaku agar dia berani bicara.

"Beni tadi menyeret saya Pak, dia mengira saya yang melaporkan dia ke bapak karena merokok, lalu dia mendorong saya dan Bil..Billal melindungi saya"

Deg

Ya Tuhan, suara merdua Nana sangat membuat jantungku berdebar keras sekali. Inikah namanya jatuh cinta.

"Bohong Pak"

"Jangan ngelak lo. Lo emang yang nyeret Nana, kalau bapak tidak percaya, ada Rayyan, Danda dan Pasha disana"

Pak Anto memanggil ketiga temanku itu untuk ikut masuk, mereka memberitahukan kepada pak Anto, sama persis dengan cerita Nana.

"Beni Hendrianto, kamu bapak skorsing selama satu minggu, dan membersihkan wc siswa dan guru selama satu Minggu"

Mposss lo Beni

"Dan untuk kamu Billal, besok bapak tunggu orang tua kamu untuk datang menemui kepala sekolah, karena kamu juga terlibat perkelahian"

Matek

☀☀☀

Ku langkahkan kakiku dengan berat menuju ruang keluarga yang sedang ramai karena ada kak Rena datang bersama suaminya bang Zidan.

"Assalamualaikum"

Aku menyalami Mama dan Papa. Papa menarikku untuk duduk di sebelahnya. Mampus lo Bil.

"Kenapa wajah kamu?"

"Kepentok Gorila Pa"

"Ikut Papa ke ruangan Papa"

Matek

Ku berjalan di belakang Papa, dan melihat Mama, Kakak dan bang Zidan menahan tawa mereka.

Aku berdiri dengan posisi istirahat di tempat. Papa sudah duduk di singgasananya, dan memandangku dengan wajah datarnya.

Aku paling gak suka kalau harus melihat wajah datar Papa dan bang Melvi. Ku benci itu, karena dengan wajah datar itu, mereka berdua menyimpan amarah yang tersembunyi dan siap untuk meledak kapan saja.

"Duduk Bil, kamu bukan anak buah Papa, kamu anak Papa"

Glup

Aku duduk dengan tegak di depan Papa. Aku tidak berani untuk menoleh atau menyamankan dudukku. Rasanya seperti ada puluhan jarum mengelilingi ku saat aku duduk.

"Mana suratnya?"

Ku berikan surat pemanggilan orang tua yang diberikan Pak Anto ke Papa.

Kalian boleh tertawa sepuas kalian, aku memang biangnya onar di sekolah, tapi kalau mereka lebih dulu yang memulai dan aku hanya akan membela diriku sendiri. Setelah itu aku akan merengek ke Mama agar Mama yang datang ke sekolah, kalau Mama angkat tangan, giliran aku merengek-rengek ke Kakak atau abangku satu itu.

Sosok Papa memang sangat menyayangi kami anak-anaknya, dan selama ini Papa hanya diam saja, kalau Mama sudah sampai nangis-nangis karena malu, dan Papa akan memandangku dengan tatapan tajam setiap harinya. Dan sepertinya, aku sudah membangunkan singa dalam diri Papa.

"Ceritakan yang sebenarnya"

Mengalirlah cerita ku ke Papa saat aku melindungi Nana dari Beni. Jangan ditanya lagi bagaimana ekspresi Papa saat ini. Datar banget, entah apa yang bisa membuat Papa berwajah datar seperti itu.

"Besok Papa yang akan menemui kepsek kamu. Kalau kamu gak salah, Papa yang maju, kalau kamu salah, jangan harap kamu bisa lari dari hukuman Papa"

Mposss lo Bil

"Mulai sekarang, jangan pernah pakai motor, motor kamu Papa sita, kamu pakai sepeda punya abang. Dan uang Jajan kamu Papa potong"

"Tapi Pa, yang mulai duluan kan Beni bukan aku"

"Memang. Membela diri cukup satu kali pukulan, bukan empat kali pukulan seperti kamu. Sekarang kamu pilih yang mana? Jalani hukuman yang Papa berikan atau sikap tobat selama satu jam setiap hari"

Mamam tuh Bil

"Siap salah Pa. Hukuman aja"

☀☀☀

Seperti janji Papa. Papa sudah rapi dengan seragam PDU dengan lencana yang tak terhingga. Papa datang ke sekolah sendirian, ajudan Papa disuruh tunggu di mobil. Dengan membawa tongkat komando, Papa menatap tajam ku dan mengkode diriku untuk menunjukkan ruangan Torabika.

"Pagi Om"

Rayyan dengan tampang mengejek yang dia berikan ke aku, lalu menyalami Papa dengan senyuman lebar.

Inginku berkata kasar

"Pagi Ray, gimana Papa dan Mama kamu, sehat?"

"Alhamdulillah Om, itu Papa"

Papa Chiko datang dengan PDU angkatan lautnya, bersalaman dengan Papa. Walaupun umur Papa lebih tua, tapi Papa tetap memanggil Papa Chiko abang, karena Mama adalah adik sepupunya.

"Tumben abang yang datang? Bukan Lea?"

"Lea sudah mogok, tumbenan abang yang datang?"

"Samaan kita. Haduh puyeng saya bang sama Rayyan. Ayolah kita masuk bang"

Aku dan Rayyan berdiri di pojokan, memperhatikan Papaku, Papa Chiko, Torabika dan Antonio itu berbicara tentang kesalahan-kesalahan ku dan Rayyan. Jangan lupakan wajah datar Papa yang masih setia dan melekat erat di wajah Papa.

"Terimakasih. Maaf kalau Billal bikin pusing Bapak"

"Sama-sama Pak"

Ada yang aneh saat Torabika bersalaman dengan Papa Chiko, terlihat tidak bersahabat sekali. Lalu kami berdua ikut bersama perwira tinggi ini menuju mobil mereka.

"Kenapa kepsek itu seperti tidak suka dengan abang?"

Ah akhirnya Papa bertanya mewakili ku dan Rayyan yang selama ini bertanya-tanya dan berspekulasi sendiri.

"Dia pernah melamar istri saya bang, tapi ditolak karena istri saya lebih memilih saya. Jadi saya gak heran kalau imbasnya ke Rayyan"

Terjawab sudah. Ku tepuk bahu Rayyan, memasang wajah prihatin di depan Rayyan.

"Gue turut prihatin"

"Anying lo Bil. Torabika laknat"

"Kepala sekolah lo itu"

"Bodo amat. Diem lo Bil"

Ku tertawa mendengarnya mengumpati Torabika dengan serentetan kalimat yang menulikan telinga.

☀☀☀

☀☀☀

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top