Chapter 8

Pagi ini Miawly cemberut sambil meringis karena perutnya seperti melilit. Ini hari pertama dia datang bulan jadi rasanya sangat menyiksa. Dia sampai membaluri perutnya dengan minyak kayu putih.

Pangeran yang kebetulan ingin mengajak Miawly sarapan pagi di bawah dapat melihat hal itu mengingat pintu kamar Miawly sedikit terbuka.

"Kenapa sama perut kamu? Sakit?" tanya Pangeran seraya menerobos masuk tanpa permisi.

"Ketuk dulu, kek. Nggak sopan banget. Kalau gue lagi telanjang gimana?" dengkus Miawly agak sewot.

"Berarti itu hadiah untuk saya."

Miawly mendelik tajam. Sementara itu, Pangeran sudah duduk di pinggir tempat tidur.

"Perut kamu sakit?"

"Nggak," jawab Miawly. Singkat dan padat.

"Betul?"

Miawly berniat mengusir Pangeran karena perutnya sedang tidak bersahabat tapi karena laki-laki itu tak berhenti bertanya maka Miawly menyerahkan minyak kayu putih kepada Pangeran dan menaikkan baju piama hingga perut ratanya terlihat.

"Iya, perut gue sakit. Tolong usapin," pinta Miawly.

Pangeran tidak berkata apa-apa dan mulai mengusap perut istrinya dengan minyak kayu putih yang dituang di atas telapak tangan. Beberapa kali Pangeran melihat Miawly menahan sakitnya.

"Kamu lagi datang bulan?" tanya Pangeran, yang segera disahuti dengan anggukan kepala istrinya. "Nggak mau minum obat?"

Miawly menggeleng. "Diusap gini aja nanti ilang sendiri sakitnya."

Pangeran mengusap perut Miawly dengan pelan dan lembut. Miawly tak berhenti memperhatikan Pangeran yang terlihat serius mengurusnya. Entah perasaannya saja atau memang sentuhan tangan Pangeran berhasil membuat rasa sakitnya hilang perlahan.

Saat dirinya menikmati usapan Pangeran tiba-tiba ponselnya berdering. Pangeran lebih dulu melihat layar ponsel Miawly yang berada di atas nakas.

"Hyun Bin? Siapa?"

Miawly spontan bangun dari posisinya, dan mengambil ponsel sebelum Pangeran melakukannya. Dia tidak menyangka Bawika menghubunginya pagi-pagi begini. Padahal mereka baru saja bertukar pesan semalaman. Sebelum diinterogasi lebih jauh oleh Pangeran, dia segera menghindar dan meninggalkan kamar.

Pangeran berpikir sejenak. Hyun Bin? Kenapa namanya familier? Karena merasa aneh Pangeran merogoh ponselnya dari dalam saku celana kemudian mengetik nama Hyun Bin dalam pencarian Google. Seperti dugaannya dia memang pernah mendengar nama itu yang tak lain adalah aktor asal Korea Selatan. Kenapa Miawly harus menulis namanya Hyun Bin? Apa laki-laki itu spesial? Belum sempat semua pertanyaannya terjawab tiba-tiba Miawly masuk ke kamar dengan wajah secerah mentari—berbeda dengan sebelumnya yang muram.

"Gue mau pergi, ya. Makasih udah usap perut tadi," ucap Miawly seraya masuk ke walk in closet yang ada di kamarnya. "Hari ini gue mau sarapan di luar jadi nggak bisa nemenin lo makan."

Pangeran bangun dari tempat tidur, berjalan menghampiri Miawly yang terlihat sibuk memilah pakaian yang akan dipakai.

"Siapa yang telepon tadi?"

"Teman."

"Teman?" ulang Pangeran. "Saya ragu itu teman karena kamu kelihatan senang habis terima telepon dari orang itu."

"Kenapa, sih, rewel banget? Emang teman, kok."

"Laki-laki?"

"Banci."

"Saya serius, Miawly."

"Kalau perempuan kenapa dan kalau laki-laki kenapa?"

Pangeran memasuki walk in closet lebih dalam sampai akhirnya berdiri di samping Miawly. Dia membalik badan Miawly agar menghadap padanya. Tidak peduli perempuan itu sedang sibuk atau tidak karena dia mulai kesal.

"Satu hal yang perlu kamu ingat, kamu udah menikah." Pangeran menekankan kalimatnya dengan tatapan serius. "Kalau saya lihat kamu jalan sama laki-laki lain, jangan harap besoknya laki-laki itu masih ada di bumi."

Miawly tertawa geli. "Ha ha ha ... emangnya lo siapa? Malaikat pencabut nyawa? Ada-ada aja." Lalu, dia menyingkirkan tangan Pangeran dari pundaknya. "Udah, ya, gue mau pergi. Gue traktir makan malam nanti."

Pangeran menangkap tangan Miawly yang hendak keluar. "Saya nggak izinin kamu pergi sebelum jelasin pergi sama siapa."

"Lo bukan ibu gue. Jadi lo nggak berhak melarang."

"Saya suami kamu."

Miawly memutar bola matanya. "Fine! Ya udah, lo anterin gue biar nggak rewel."

Pangeran menarik senyum kecil saat Miawly meninggalkan ruangan menuju kamar mandi. Paling tidak dengan cara dia mengantar Miawly pikiran negatif dan kecemburuannya hilang. Dia pun turun ke bawah setelah mendengar suara bel ditekan berulang kali.

Dua orang yang terlihat di balik pintu adalah kakaknya Miawly, Kenzo Adibroto dan sepupunya, Jevin Adibroto.

"Yo, mamen! Mana, nih, si Kucing Garong?" tanya Jevin.

"Dia lagi mandi," jawab Pangeran singkat.

"Kalian mau pergi?" tanya Kenzo.

Pangeran menjawab, "Iya, tapi kalau kalian mau ikut boleh."

Jevin menyenggol bahu Kenzo. "Kata lo si Kucing jatuh dari motor. Itu dia sehat-sehat aja malah mau pergi."

Kenzo mengabaikan kalimat Jevin dan berfokus menatap tajam Pangeran. "Beberapa waktu lalu Miawly kecelakaan, kan? Kenapa kamu nggak bilang sama saya atau orang rumah?"

"Soal itu saya minta maaf. Miawly bilang jangan cerita—"

"Kamu lebih mendengarkan kata-kata Miawly? Dia anaknya keras kepala jadi kalau ada apa-apa tolong bilang. Miawly adik saya satu-satunya," potong Kenzo. Nada bicaranya terdengar seperti lulusan militer yang tegasnya minta ampun. Jevin yang berada di sebelahnya saja tidak berani berkomentar apa-apa.

"Kenapa, sih, ribet banget?" Miawly yang telah selesai berganti pakaian hanya tinggal merias diri langsung menginterupsi pembicaraan. "Begitu aja mesti dibahas. Kalau gue kecelakaan sampai meninggal baru, deh, lo komentar. Ini, kan, baik-baik aja. Pasti Milano yang bilang kalau gue kecelakaan, kan?"

"Iya." Kenzo bersedekap di dada. "Jadi kita boleh tau kalau lo kecelakaan sampai sekarat doang? Apa susahnya bilang? Suami lo juga seharusnya bilang."

Miawly meneleng ke samping, memperhatikan raut wajah Pangeran. Laki-laki itu menunjukkan wajah bersalah karena ucapan kakaknya barusan. "Dengar, ya, itu bukan salah Pangeran nggak bilang. Gue yang minta dia supaya nggak bilang ke kalian. Waktu gue cerita sama Milano itu karena dia tau dari Belva."

"Ini masalahnya. Kenapa lo boncengan sama Belva sementara lo punya Pangeran?"

Jevin yang merasa suasana ini semakin tegang langsung menginterupsi. "Cukup, cukup. Yang penting Miawly baik-baik aja. Lain kali kalau ada apa-apa baik dia ataupun Pangeran bakal bilang ke kita, kok. Iya, kan?"

Miawly hendak melayangkan protes tetapi Pangeran langsung menggenggam tangannya dengan maksud menggagalkan niatnya. Berkat hal itu Miawly diam dan membiarkan Pangeran bicara.

"Ya, lain kali saya akan bilang kalau terjadi apa-apa sama Miawly."

Miawly mengamati raut wajah Pangeran. Yang dia lihat suaminya tidak masalah diomeli atau dicaci maki keluarganya yang menyebalkan. Dia merasa bersalah. Padahal ide untuk tidak memberi tahu keluarganya adalah idenya tapi Pangeran harus rela diomelin kakaknya.

"Lo pada balik, deh. Gue mau pergi sama Pangeran," usir Miawly dongkol.

"Tunda dulu sebentar karena gue mau obrolin acara liburan keluarga minggu depan," suruh Kenzo, yang mana dia segera menerobos masuk rumah Miawly walau belum dipersilakan. "Gue tunggu di dalam."

Jevin menepuk pundak Miawly. "Ikutin aja, deh, apa kata kakak lo daripada nanti dia resek." Kemudian Jevin menyusul Kenzo masuk ke dalam.

"Sumpah ... kakak gue kayak setan! Dasar nyebelin!" geram Miawly makin dongkol.

"Kalau kamu mau pergi nanti saya bisa minta—"

Miawly memotong kalimat Pangeran yang belum selesai. "Nggak usah. Gue batalin aja. Setelah kakak gue selesai ceramah, kita pergi."

"Pergi?"

"Iya, kita pergi berdua aja."

"Nggak jadi ketemu—"

"Nggak," potong Miawly. "Ayo, masuk. Kita dengar dulu celotehan Kenzo sampai kelar. Gue udah males duluan lihat dia di sini."

Belum sempat Pangeran menjawab, Miawly sudah menarik tangannya ke dalam. Ada perasaan senang yang menyelimuti hati Pangeran setelah mendengar ajakan pergi Miawly. Kalau begini caranya dia bisa semakin bucin sama Miawly.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top