Chapter 7
Miawly duduk di restoran dekat kampus. Dia menyeruput jus jeruknya sambil berbincang dengan kedua temannya. Di sana Miawly sekalian cuci mata memandangi laki-laki rupawan dan bertubuh kekar. Sialnya, bayangan akan wajah dan tubuh Pangeran malah sering muncul. Jadi setiap dia ingin melihat yang rupawan selalu berakhir memikirkan Pangeran.
"Serius, deh, Ann, hidup lo sempurna. Punya suami sesempurna Pangeran. Kita yang cuma lihat foto-foto Instagramnya aja udah kebayang gimana manisnya Pangeran," ucap Cindy dengan nada antusias.
Yang namanya manusia tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup. Sebagian orang hanya melihat keindahan luar tapi tidak tahu bagaimana dalamnya. Buktinya seperti Miawly saja. Mereka mengatakan dirinya beruntung memiliki suami sesempurna Pangeran, tapi tidak pernah tahu kalau tingkah laku Pangeran sangat menyebalkan.
"Andai gue punya suami kayak Pangeran bisa tenteram hidup gue," timpal Alma.
Dalam hati Miawly berkata, tenteram dari mana? Hidup malah penuh emosi. Bisa gila juga kalau nggak kuat!
"Omong-omong, kenapa Pangeran—"
Kalimat Cindy menggantung ketika seorang pelayan menyuguhkan jus stroberi di atas meja. Mereka bertiga kebingungan karena merasa tidak memesan minuman.
"Mbak, ini ada kiriman dari laki-laki berkemeja biru di sana. Katanya untuk Mbak cantik ini," ucap sang pelayan kepada Miawly seraya menunjuk tempat duduk sosok yang dimaksud. "Saya permisi, ya, Mbak."
Miawly berterima kasih kepada sang pelayan sebelum dia melihat ke arah laki-laki yang membelikannya minuman. Laki-laki itu terlihat tersenyum, lantas kembali fokus menyantap makanannya.
"Ya, ampun ... udah kewong tapi tetep dilirik orang. Pake susuk dari mana, sih, Ann?" Alma menatap laki-laki itu penuh kekaguman. Kemudian, dia melihat tulisan yang ditempelkan di badan gelas. "Ada tulisannya, nih, Ann. Coba baca."
Saya rasa kita pernah ketemu dulu. Atau mungkin ini cuma perasaan saya dan kita baru aja ketemu hari ini?
"Hell! Ini tulisannya gemesin banget. Aduh ... tapi kudu inget udah ada Pangeran, Ann." Cindy terpesona bahkan hanya dengan tulisan saja. "Eh, eh, dia ke sini. Plis, plis, dia ganteng banget, dong!"
Miawly mengamati wajah laki-laki itu. Rasa-rasanya familier tapi dia tidak bisa ingat kapan pernah ketemu. Gaya tulisannya pun sepertinya pernah dia lihat tapi di mana? Apa mungkin memang mereka pernah bertemu?
"Hei," sapa laki-laki itu.
Alma berpindah tempat duduk menjadi di sebelah Cindy supaya kalau nanti laki-laki itu duduk supaya di sebelah Miawly.
"Oh, hei. Makasih untuk minumannya," balas Miawly pelan.
"Maaf, ya, kalau saya lancang. Soalnya wajah kamu familier. Semoga kamu suka," ucap laki-laki itu.
Miawly tak menjawab karena dia mengamati laki-laki berwajah rupawan itu dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia seperti mengenal iris cokelat menawan dan senyum ramah itu. Miawly mencoba membangkitkan kembali seluruh memori yang tersimpan. Beberapa menit dia mencoba akhirnya dia menemukan jawaban. Dia memang mengenal laki-laki itu tapi tidak tahu akan bertemu lagi di sini.
"Bawika Renjasakti?"
"Ya, itu saya. Ternyata benar, ya, kita pernah ketemu?"
Miawly mengangguk sambil memasang senyum ramah. Dia tidak mungkin lupa kejadian satu tahun lalu tepatnya di Seoul. Waktu itu Miawly sedang berlibur dengan sepupunya dan beberapa teman sepupunya. Di saat semua sedang berbelanja, Miawly kehilangan arah dan tidak tahu ke mana semuanya pergi. Saat mencoba menghubungi yang lain ponselnya malah mati. Akhirnya dia bertanya pada orang asing—yang mana laki-laki itu adalah Bawika untuk meminjam ponselnya demi menghubungi sepupunya. Dari sanalah dia mengenal Bawika, laki-laki baik hati yang bersedia menemani dan meminjamkan ponsel sampai sepupunya datang.
"Kamu ... Miawly? Betul, kan?" tebak laki-laki itu sedikit ragu.
"Betul, itu aku." Miawly menarik kedua sudut bibirnya saat melihat Bawika. "Aku nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini. Bukannya kamu tinggal di Seoul?"
Bawika terkekeh kecil. "Saya cuma liburan waktu itu seperti kamu. Nggak nyangka kita ketemu lagi di sini. Saya pikir salah orang."
Alma dan Cindy mengamati interaksi keduanya yang terlihat berbeda. Mereka saling menyenggol bahu masing-masing dan sesekali berbisik kalau chemistry yang terlihat seperti ada something. Mereka jadi penasaran.
"Wika, balik nggak?" Suara teriakan itu membuat Bawika menoleh dan menaikkan telapak tangannya ke udara memberi kode untuk menunggu sebentar.
"Kalau gitu saya pamit, ya. Duluan, ya, Miawly." Bawika tersenyum ramah. Sejurus kemudian dia berbalik badan. Namun, dia buru-buru kembali berbalik ke arah Miawly dan bertanya, "Oh, ya, boleh saya minta nomor kamu?"
"Sure."
Bawika menyodorkan ponselnya dan membiarkan Miawly mengetik nomornya. Setelah selesai, Bawika tersenyum lebar melihat nama yang disimpan oleh Miawly.
"Thank you, Song Hye Kyo. Saya duluan."
Miawly tertawa pelan karena dia menulis nama dirinya di kontak Bawika dengan menuliskan nama aktris Korea kesukaannya tadi—Song Hye Kyo. Beberapa menit setelah kepergian Bawika, dia merasakan ponselnya berdering. Segera dia mengangkat panggilan dari nomor yang tidak dikenal.
"Halo?"
"Hei, Song Hye Kyo. It's Hyun Bin."
Miawly tertawa geli mendengarnya. Dia pun menoleh ke belakang, menyadari Bawika melambaikan tangan sambil tetap menempelkan ponsel dengan bantuan tangan lainnya yang bebas.
"Saya pamit untuk kesekian kali. See you later, Miawly."
Miawly ikut melambaikan tangan dan membalas, "See you later, Bawika."
*****
Pangeran duduk menikmati secangkir cappucino di salah satu coffee shop dekat rumah sakit. Sebelum pulang dia ada janji bertemu dengan kakaknya. Dia mendengarkan curhatan kakaknya yang menunjukkan berbagai ekspresi melampiaskan cerita penuh emosi bercampur miris.
"Untuk selebihnya lo tau sendiri, kan, betapa sengsaranya hidup gue? Jadi tolong pinjamin gue uang," ucap Ratu Wasesa—kakak tiri Pangeran—dengan wajah memelas.
"Kenapa nggak pulang aja ke rumah? Buat apa hidup begini?"
Ibunya Ratu, Atmi Pertiwi, menikah dengan ayahnya Pangeran, Hendrawan Tanujaya, sejak Pangeran berumur satu tahun. Ratu adalah anak yang dibawa Atmi setelah bercerai dari suaminya. Ibu kandung Pangeran meninggal setelah melahirkannya sehingga Pangeran tidak pernah merasakan sentuhan ibu kandungnya. Berkat Atmi yang mengisi kekosongan itu, Pangeran dapat merasakan kasih sayang seutuhnya meski akhirnya dia tahu Atmi bukanlah ibu kandungnya. Walau begitu dia sangat menyayangi Atmi dan Ratu.
"Nggak mau. Mereka pasti bakal masukin gue ke rehabilitasi," jawab Ratu menolak keras.
Pangeran mengembuskan napas berat. "Untuk apa, sih, membuang waktu lo cuma demi nikmatin obat terlarang itu? Kalau ditangkap polisi lagi, Papa nggak akan mau bantu kayak dulu."
"Ya, karena gue butuh itu, Pangeran! Gue nggak bisa hidup tanpa obat itu," ucap Ratu dengan nada cukup keras dan tidak sengaja menggebrak meja hingga beberapa orang melihat ke arah mereka.
Pangeran mengamati kondisi kakaknya yang terbilang tidak seperti dulu. Kakaknya kelihatan lebih kurus dari biasanya. Sejak diusir dari rumah hidup kakaknya seperti tak ada arah. Setiap kali Pangeran ingin membantu, ayahnya selalu mengecamnya.
"Apa lo mau begini terus sama hidup lo, Kak? Lo bahkan melewatkan banyak hal. Berhenti kuliah dan berhenti gapai cita-cita. Kalau aja lo nggak pacaran sama orang yang salah, hidup lo nggak akan sehancur ini," ucap Pangeran panjang lebar.
Ratu diam menunduk. Air matanya jatuh membasahi pipi, yang kemudian turun mengenai lengannya yang berada di atas meja.
"Sebenernya gue mau berhenti tapi susah. I mean, I don't know. Itu kayak candu," ucap Ratu lirih. "Gue pun nyesel udah nyentuh barang terlarang itu tapi gimana karena semua udah terlanjur."
"Lo pasti bisa. Gue biayai kehidupan lo tapi berhenti pakai barang itu. Berhubung gue udah nikah, Papa nggak akan tau kalau gue bantu lo. Jangan main sama temen yang nggak bisa bawa sisi positif. Mereka menjerumuskan lo tapi waktu lo di penjara mereka nggak pernah jenguk. Cari juga pacar yang membawa nilai positif bukan bawa lo ke penjara. Udah kabur takut ditangkap polisi dan ninggalin lo sendirian karena kasus itu, nggak lama dia nikah sama perempuan lain. Kalau dibilang bego, lo lebih dari itu. Mulai sekarang dipakai otak kosong lo itu," tegas Pangeran.
Pupil mata Ratu melebar sempurna. "Lo serius, nih? Beneran?"
"Iya, tapi janji lo turutin semua yang gue bilang. Lo juga perlu kuliah lagi. Jangan cari pacar sembarangan kayak dulu. Lo belum bodoh-bodoh banget mengulang kesalahan yang sama," jawab Pangeran.
Ratu menyeka air matanya dan menggenggam tangan Pangeran. "Thank you, Pangeran! Gue janji akan berubah. Beneran."
Pangeran menegaskan kalimatnya. "Janji bukan cuma di mulut tapi dilakuin."
"Iya, gue pasti bakal lakuin. Gue pun capek hidup begini. Gue bersyukur masih punya lo."
Pangeran mengangguk sambil mengusap punggung tangan kakaknya. Biar bagaimanapun Pangeran tidak bisa melihat kakaknya hidup berantakan tanpa arah. Kalau dia tidak membantu, hidup kakaknya mungkin akan lebih buruk lagi.
"Omong-omong—"
"Pangeran, nih, ada bingkisan buat lo." Kalimat Ratu terpotong saat Calibri datang dan menyodorkan paper bag kepada Pangeran.
Calibri sempat menanyakan di mana Pangeran lantas dia segera menyusul karena ada suster yang menitipkan sesuatu padanya. "Kata suster Ani ada yang ngirimin ini untuk lo. Dia lupa mau kasih tau dari dua jam lalu. Waktu tadi mau kasih tau ternyata lo udah balik. Syukurnya masih duduk di sini."
"Oh, thank you, Cal."
Pangeran meraih paper bag dan mengintip isi di dalamnya. Sebelum mengambil isinya, Pangeran menyadari tatapan Calibri pada kakaknya. Si Genit itu selalu punya cara untuk merayu perempuan dan sekarang kakaknya jadi target. Iya, dia bisa lihat itu.
"Cal, kenalin ini kakak gue. Namanya Ratu." Pangeran menunjuk Ratu, kemudian, dia menunjuk Calibri untuk diperkenalkan kepada kakaknya. "Kak, ini Calibri. Dia temen di rumah sakit."
Keduanya berjabat tangan. Meski Ratu kelihatan lebih kurus tapi wajah cantik bak dewi Yunani masih terpancar. Iris cokelat mudanya menjadi daya tarik sendiri. Sementara Calibri─si Genit Akut berwajah garang─tapi kalau sudah senyum bisa membuat para perempuan klepek-klepek.
"Gue baru tau lo punya kakak," ucap Calibri. Sejurus kemudian dia menambahkan, "Apalagi secantik ini."
Pangeran bangun dari tempat duduknya. Mungkin dia harus jadi mak comblang dadakan mengingat Calibri termasuk sosok yang mampu mengatur dan membimbing pasangannya. Calibri hanya genit sewajarnya tapi tidak pernah selingkuh. Ya, bisa jadi kakaknya dan Calibri cocok. Siapa tahu mereka jodoh.
"Ya udah, ya, gue tinggal. Gue mau jemput Miawly. Tolong anterin Kak Ratu balik ke apartemen gue." Pangeran merogoh kunci apartemen dari dalam tas miliknya, lalu meletakkan di atas telapak tangan sang kakak. "Ini kuncinya. Gue akan telepon lo nanti. Gue balik duluan. See you later, Kak."
"See you later, Pangeran. I love you, Baby!" Ratu mengecup kedua pipi Pangeran sebelum membiarkan adiknya pergi.
Pangeran berjalan keluar dan segera masuk ke dalam mobil yang diparkir di depan coffee shop. Beberapa menit setelahnya dia mengeluarkan isi dari paper bag dan mendapati dua botol minuman jus dari merk yang sama beserta catatan kecil di salah satu badan botol.
Teruntuk Pangeran Kodok, nih hadiah buat lo. Jangan dibuang karena ini dari gue. Diminum biarpun lo nggak suka rasanya. Cepetan jemput!
Salam amit-amit,Miawly
Pangeran tertawa kecil membayangi ekspresi Miawly saat menulis catatan ini. Walau hanya sebatas tulisan tapi rasanya dia bisa merasakan Miawly menulis dengan sedikit kekesalan.
"She's so adorable. That's why I fall for her over and over again," gumam Pangeran sambil senyam-senyum.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top