Chapter 6

Miawly duduk manis di tepi tempat tidur. Dia sudah kembali ke rumah, sementara Belva─yang hanya terkilir di bagian kaki─sudah dijemput sopirnya. Motornya juga sudah dibawa pulang.

Dia mengamati Pangeran yang mengobati kembali luka di lutut dan lengannya. Lecet di kedua bagian itu cukup menyiksa lantaran setiap kali Pangeran mengobati dengan betadine, dia merintih kecil. Rencana bulan madu akhirnya batal karena insiden kecelakaan itu.

"Lain kali kalau mau pulang dari mana pun itu telepon saya. Biar saya jemput kamu," kata Pangeran.

"Ya, masa minta jemput. Lo, kan, kerja. Jangan—"

Pangeran menghentikan kegiatannya sebentar, mendongak sedikit melihat Miawly, dan memotong kalimat perempuan itu yang belum selesai. "Seandainya nggak bisa jemput, saya bisa minta Pak Darko yang gantiin. Setidaknya kamu aman pulang sama Pak Darko."

"Ya, kan, ini cuma nggak sengaja jatuh aja karena mobil sialan. Takutnya juga Pak Darko sibuk anter Mama. Dia, kan, sopirnya emak lo," balas Miawly.

"Kalau Pak Darko nggak bisa jemput, saya bisa minta tolong Yudha atau Calibri jemput kamu." Pangeran tetap bersikukuh atas ucapannya. "Paling nggak saya tau kamu aman sama mereka."

"Gue juga aman, kok, sama Belva. Ini cuma karena mobil bego aja. Jadi nggak perlu sampai nyusahin orang," balas Miawly tak kalah ngotot.

"Apa kamu lebih suka dianter Belva dan nyusahin dia dibanding nyusahin suami sendiri?"

"Ya, kan, Belva kerjanya fleksibel. Dia bisa kapan aja dimintain tolong," jawab Miawly santai, tidak menyadari kalau raut wajah suaminya sudah berubah cemburu.

Pangeran menghela napas. Belva, Belva, Belva. Nama itu meningkatkan rasa cemburu yang terpendam. Selalu saja Miawly mengandalkan Belva meski mereka sudah putus cukup lama. Apalagi saat tadi melihat Miawly khawatir memegang tangan Belva membuat dia kesal setengah mati.

"Ada apa, sih, sama Belva? Masih cinta sama dia?" tanya Pangeran dengan nada sewot.

"Emangnya kalau gue minta tolong sama dia itu karena cinta? Biasa aja kali nggak usah sewot. Kayak anak gadis lagi PMS aja," cetus Miawly setengah mencibir.

Pangeran tak menjawab. Dia mengobati luka Miawly terlebih dahulu. Setelah selesai, Pangeran bangun dari duduknya dan menaikkan kedua kaki Miawly ke atas tempat tidur. Detik selanjutnya Pangeran ikut menaiki tempat tidur yang sama kemudian merebahkan tubuhnya di samping Miawly.

Miawly menatap bingung sambil menggeser posisinya sedikit menjauhi Pangeran. "Eh, ngapain lo? Kamar lo, kan, di sebelah."

Pangeran meneleng ke samping, memandangi Miawly yang terkaget-kaget melihat tindakannya. "Kenapa? Kita, kan, udah menikah. Satu tempat tidur bukan masalah."

"Bu-bu-bukan gitu. Masalahnya—"

Pangeran mendaratkan jari telunjuknya di bibir Miawly, berhasil menghentikan kalimat yang belum selesai. "Tidur aja."

Miawly ingin protes, tapi Pangeran mendadak menarik tubuhnya hingga tubuh mereka tak berjarak. Tak hanya itu, Pangeran bahkan mengubah posisinya menjadi di atas Miawly dan membiarkan dua tangannya menjadi tumpuan tubuhnya supaya tidak menimpa Miawly.

Untuk beberapa saat Miawly diam memandangi wajah rupawan suaminya. Laki-laki itu memiliki kesempurnaan yang selalu digilai banyak perempuan. Lesung pipi di kedua pipinya yang terlihat saat bicara maupun tersenyum membuat Pangeran tambah menarik. Anehnya Miawly tidak pernah mendengar Pangeran pacaran.

"Saya nggak suka kamu ketemu Belva terus. Apalagi pulang bareng dia. Naik motor pula. Pasti pegangan di pinggang atau peluk-peluk dia. Saya nggak suka," tutur Pangeran jujur.

Miawly terkejut tapi lebih terkejut lagi karena ini pertama kalinya Pangeran bicara cukup panjang.

"Gue pikir lo cuma bisa ngomong singkat aja. Ternyata masih berguna, tuh, mulut," ucap Miawly menyindir. Tanpa perlu disindir pun Pangeran pasti sudah tahu kalau dia benci ucapan irit hurufnya itu.

"Saya cemburu."

Miawly tambah kaget. Satu alisnya terangkat sempurna memandangi wajah Pangeran. Pada akhirnya Miawly tertawa pelan menanggapi kecemburuan Pangeran. Entah kenapa rasanya ada yang lucu. Meski begitu detak jantungnya tidak beraturan setelah penuturan suaminya.

"Kamu menganggap itu lucu?" tanya Pangeran.

Miawly mengangguk, masih menertawakan kalimat ajaib itu. "Ini kayaknya lagi musim bercanda. Kemarin bilang cinta sekarang bilang cemburu. Bercanda lo nggak kreatif."

Pangeran kesal dibuatnya. Alih-alih ingin marah, dia malah membuka semua kancing piama, lalu melemparnya ke sembarang arah. Perut kotak-kotak dan dada bidang menjadi hidangan pertama yang disuguhkan Pangeran. Miawly mendadak diam dan meneguk air liurnya saat mata tak bisa berpaling dari perut yang terbentuk sempurna.

"Mau ngapain lo? Kok, buka baju segala? Pake buruan!" omel Miawly setelah tersadar dari kekagumannya memandangi tubuh Pangeran. "Kalau lo nggak pake tuh kemeja, gue tendang nih perut lo!"

"Kenapa? Apa kamu mengira saya bercanda juga kalau ingin tidur sama istri sendiri?"

"Hah?! Jangan macem-macem lu, ya, Kodok!"

Belum sempat Miawly mendorong tubuh Pangeran, bibir laki-laki itu sudah lebih dulu menyapa bibirnya. Pelan tapi pasti bibir mereka berdua bertaut. Miawly memejamkan mata ketika Pangeran melumat bibirnya. Tak cukup dengan sebatas permainan bibir yang membelenggu, kini, satu tangan Pangeran bergerak masuk ke dalam piama Miawly.

Entah bagaimana caranya Miawly kecolongan saat semua kancing piama telah terbuka, mengekspos dada yang dibalut bra berwarna pink muda.

Beberapa saat Pangeran menarik bibirnya memandangi keindahan yang ada di depan mata. Niatnya dia hanya ingin mencium tapi tangannya lepas kendali. Birahi Pangeran telah mencapai batasnya. Dia berusaha menahan diri karena tidak ingin mengambil kesempatan sekarang.

"Kenapa berhenti? Gue suka, kok," goda Miawly iseng. Melihat Pangeran hanya diam menatap matanya dan membeku seperti es, dia melanjutkan, "Sayangnya, gue bohong. Dasar mesum! Minggir lo! Kalau cium lagi, gue tendang beneran. Awas—"

Bibir Miawly tak mengeluarkan suaranya lagi ketika merasakan bibir Pangeran mendarat di keningnya. Kemudian Pangeran mengancingi piama Miawly, sebelum kembali ke posisinya. Setelah itu Pangeran menarik Miawly dalam pelukan, mendekapnya erat dan sesekali mengecup keningnya.

"Good night, Miawly. I love you."

Miawly benar-benar speechless. Rasa tidak percaya lambat laun berubah menjadi perasaan nyaman. Entah kenapa berada dalam pelukan Pangeran membuatnya merasakan sesuatu yang sudah lama tidak dia dapatkan. Selain nyaman, dia merasa aman dalam pelukan suaminya.

*****

Pangeran berjalan beriringan dengan Corysha. Siang ini dia akan makan siang di luar hanya bersama Corysha. Sebab, Felan dan Sabian libur. Sementara Calibri dan Yudha masih sibuk. Ada urusan yang perlu mereka selesaikan. Langkah mereka berdua terpaksa berhenti saat melihat seorang suster menghalangi jalan mereka.

"Dokter Dan, ini ada kiriman. Tadi tukang ojek antar ini," ucap Risma—suster baru di rumah sakit—sembari menyerahkan tote bag pink.

Pangeran menatap penasaran isi tote bag-nya. "Dari siapa?"

"Kata abang gojeknya, Dokter Dan disuruh lihat sendiri di dalam tote bag. Itu permintaan pengirimnya," jawab Risma.

"Oke, deh, kalau gitu makasih, ya."

Risma segera menyingkir dari hadapan Pangeran. Sementara itu, Corysha mengintip sedikit ke dalam tote bag.

"Gue mencium bau-bau keberhasilan pernyataan cinta lo," goda Corysha. "Miawly sweet banget kirimin tote bag. Apa isinya, Dan?"

Pangeran mengeluarkan isi tote bag dan mendapati dua kotak makan berisi lauk pauk serta buah-buahan. Di atas salah satu kotak makannya tertulis sesuatu yang ditempel dengan post it.

Dear, Pangeran,

Enjoy your meals! Fighting!

Love, Yours

Pangeran menarik senyum saat membaca tulisan tersebut. Tumben-tumbenan Miawly manis begini.

"Aduh, manis banget Miawly. Berarti kita batal makan bareng dong, ya? Soalnya istri lo udah kasih bekal makan," ucap Corysha setelah membaca tulisan yang ada di atas kotak makan.

"Nggak bisa gitu. Gue tetap makan bareng lo. Ini isinya cuma sayur. Gue, kan, bukan vegetarian." Pangeran memasukkan kembali kotak makan ke tote bag, lantas menentengnya dalam genggaman. "Kita pergi sekarang biar baliknya nggak telat."

Baru akan melangkah, Corysha tidak sengaja melihat Miawly di depan sana. Segera dia menarik lengan Pangeran, membuat laki-laki itu berbalik badan.

"Eh, Dan. Gimana kalau kita makan di kantin aja?" tanya Corysha sambil melirik ke arah belakang Pangeran demi memastikan Miawly sudah pergi. Soalnya Miawly mengobrol dengan Hamka seperti tempo hari.

"Gue udah lihat, kok. Nggak perlu nutupin segala."

Pangeran berbalik badan lagi dan memandangi Miawly yang masih berbincang dengan Hamka. Api cemburu berhasil membakar perasaan yang sempat senang karena diberikan bekal.

"Mau ngapain, sih, ngobrol berdua mulu. Bikin emosi aja," gerutu Pangeran. Karena cemburu, dia pun langsung menghampiri keduanya, sementara Corysha hanya bisa memandangi dari jauh karena tidak ingin ikut campur.

Setibanya di samping Miawly, dia berdeham keras-keras. Tatapan tajamnya langsung terlempar ke arah Hamka.

"Ada perlu apa sama Hamka?" tanya Pangeran pada Miawly dengan nada jutek. "Ketemu mulu. Nagih utang?"

Hamka menahan tawa kemudian dia memutuskan menjawab pertanyaan asal-asalan itu. "Sebelumnya maaf Dokter Dan kalau saya ketemu sama istrinya terus. Saya minta dibuatkan dress untuk adik saya karena tau Kak Miawly pintar buat dress. Saya ketemu karena ingin lihat sketsanya dari awal sampai sudah jadi. Soalnya adik saya agak picky takutnya nggak sesuai selera dia makanya kita ketemu. Maaf kalau pertemuan ini bikin Dokter Dan nggak suka."

"Kamu tau Miawly istri saya?"

"Tau. Kak Miawly sendiri yang bilang kalau suaminya itu Dokter Dan," jawab Hamka santai.

"Kalian pernah pacaran dulu?" tebak Pangeran asal.

Hamka tertawa kecil. "Bukan, Dokter Dan. Saya sama Kak Miawly—"

"Dia pacar orang. Kita akrab kayak perangko. Kenapa? Cemburu lagi?" sela Miawly kesal. Sebelum dibalas Pangeran, dia melihat ke arah Hamka. "Kita lanjut ngobrol nanti lagi, ya, Ham. Aku video call aja. Bye."

Miawly langsung pergi meninggalkan Hamka dan suaminya. Dia tahu suaminya langsung mengejar karena ujung sikunya berhasil diraih oleh Pangeran.

"Apa? Ganggu bisnis orang aja!" dengkus Miawly.

"Mulai besok jangan ketemu—"

"Hamka itu punya pacar. Dia nggak mungkin suka sama gue. Kurang jelas?" potong Miawly lebih cepat. Dia menekankan kalimatnya supaya Pangeran bisa memahami maksudnya.

"Jangan bikin alasan supaya saya nggak protes. Saya tau kamu deket sama dia. Di Instagram kamu banyak—"

Miawly kembali memotong kalimat Pangeran yang belum selesai. "Gue foto sama dia karena kita sering nongkrong bareng. Dia pacaran sama kakaknya Belva. Lo Tanya, tuh, sama Belva. Bikin emosi aja apa-apa dicemburuin. Dasar lebay!"

Pangeran diam tak bersuara. Namun, Miawly kembali mengoceh. "Dengar, ya, Kodok. Kalau lo nggak tau semua hal tentang gue jangan sok tau. Katanya cinta tapi soal Hamka aja nggak tau terus tiba-tiba cemburu buta. Lo mirip ABG labil yang posesifnya nggak masuk akal tau nggak!"

"Maaf."

Miawly memutar bola matanya malas sambil mendesah kasar. "Dari sekian banyak kalimat lo cuma bilang maaf? Susah, sih, emang manusia kutub."

"Saya harus jawab apa selain maaf? Masa saya marah-marah? Sudah jelas saya yang salah, ya, saya minta maaf."

"Ya udah, dimaafin. Intinya jangan ganggu gue kalau lagi urus bisnis," tegas Miawly menekankan kalimatnya.

"Iya, tapi kamu harus bilang mau pergi ke mana. Sejak tadi pagi chat saya aja nggak kamu balas. Emangnya kaki kamu udah nggak sakit?"

Miawly memandangi Pangeran yang lama-lama mulai cerewet. Entah kenapa dia malah lebih suka Pangeran irit huruf. Karena kalau sudah bicara panjang lebar, banyak pertanyaan beruntun yang ditanyakan padanya.

"Gue males bales chat lo. Soal kaki udah baik-baik aja. Udah, ah, gue mau balik. Bye."

Sebelum Miawly pergi, Pangeran menahan tangannya. "Makasih, ya."

Miawly menatap heran. "Buat apa?"

"Bekal makanan."

Miawly makin heran. Keningnya berkerut tidak mengerti apa yang dibicarakan suaminya. "Bekal apaan?"

"Bukannya kamu kirim bekal ini?" Pangeran memperlihatkan tote bag yang digenggamnya. "Ini bukannya dari kamu?"

Miawly menggeleng. "Boro-boro bikin bekal, gue aja nggak bisa masak. Kalau pun bisa gue nggak mau sekurang kerjaan itu kirimin lo makanan. Lo bisa makan di luar."

Pangeran baru sadar. Benar juga. Tidak mungkin Miawly serajin ini memberikannya makanan apalagi dengan menyelipkan kalimat penyemangat.

"Apaan, sih, isinya?" Miawly mengambil alih tote bag, lalu mengeluarkan isi di dalamnya. Saat melihat ada catatan yang ditempel di atas kotak makan dia pun langsung membaca dengan saksama. "Idih ... siapa, nih, nulis yours? Lo selingkuh? Pelakor mana ini yang minta ditampar bolak-balik?"

"Untuk apa, sih, saya selingkuh? Saya pikir kamu yang kirim," jawab Pangeran.

"Bukan." Miawly kembali membaca kata-kata yang tertulis. "Siapa, nih? Emangnya nggak tau lo udah nikah? Dasar perempuan genit." Kemudian Miawly membuang tote bag beserta isinya ke dalam tempat sampah.

Pangeran terkejut melihat Miawly membuangnya tanpa bertanya lebih dulu. "Kenapa dibuang?"

"Kepleset dari tangan. Maaf, nih, lo jadi nggak bisa nikmatin makanan dari penggemar," jawab Miawly. Nada bicaranya terdengar kesal. Sadar atau tidak Miawly merasa cemburu.

"Ceritanya kamu cemburu?" tebak Pangeran.

"Cemburu? Ngigau, ya, lo?"

Pangeran tertawa kecil, membuat beberapa suster yang lewat terpanah menyaksikan tawa Pangeran yang tidak pernah diperlihatkan. Dengan cepat Pangeran mengamit tangan Miawly, lantas menyematkan jemarinya di sela jemari istrinya.

"Heh! Mau ngapain, sih, begini?" protes Miawly tidak suka sewaktu Pangeran menggenggam tangannya dengan erat. Bukan apa-apa, dia malu diperhatikan seisi rumah sakit karena tindakan suaminya.

"Nggak pa-pa, cuma mau pamer kalau saya bahagia punya istri seperti kamu."

Semu merah di wajah Miawly terlihat dengan jelas. Kalimat Pangeran berhasil membuat Miawly diam tak berontak. Miawly malah mengikuti langkah Pangeran, melewati lorong sambil berpegangan tangan seperti ABG yang dimabuk cinta.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top