Chapter 5

Miawly menatap dalam iris hitam suaminya. Yang dia butuhkan adalah jawaban benar atau salah atas pernyataan barusan.

"Jangan bercanda. Gue nggak suka dibercandain kayak gini," ucap Miawly, sedikit lebih galak.

"Apa untungnya bagi saya bercandain kamu?"

Benar juga. Miawly tidak kepikiran soal keuntungan yang didapat kalau Pangeran bercanda. Lagi pula Pangeran bukan tipe yang suka bercanda. Manusia kutub itu tipe-tipe irit bicara, dingin, dan serius. Tipe yang sangat dia jauhi untuk dijadikan pacar. Sialnya malah jadi suami.

"Ya, nggak tau. Mungkin aja lo—"

"Saya serius. Kalau kamu nggak percaya, ya udah. Setidaknya saya udah jujur sama kamu." Pangeran berbalik badan setelah menarik tangannya, lalu dia melanjutkan, "Saya masuk duluan. Jangan kelamaan di garasi."

That's it?! Pangeran cuma menyatakan cinta seolah itu bukan apa-apa? Dasar manusia aneh! Aduh, amit-amit banget punya suami kayak begini. batin Miawly gregetan.

"Dasar freezer! Apa nggak bisa nunjukkin ekspresi atau reaksi yang beda? Ampun, deh," gerutu Miawly.

"Saya dengar omongan kamu, Kucing," sahut Pangeran yang belum terlalu jauh.

"Kucing? Gue aduin emak gue, ya! Lihat—" Miawly mengatup mulutnya rapat-rapat waktu Pangeran berbalik badan dan menatap dingin ke arahnya. Dia menggeleng berulang kali takut Pangeran akan menciumnya lagi.

"Kamu mau ngadu kalau saya cium kamu? Atau, ini kode kamu minta dicium lagi?"

"Nggak usah. Ciuman lo buruk. Seburuk sikap lo!" cibir Miawly.

"Oh, ya? Kalau buruk kenapa kamu balas?"

Miawly mati kutu. Belum sempat ketemu balasan apa yang tepat, dia mendengar Pangeran mengatakan hal lain.

"Lain kali saya cium lagi tapi di tempat yang lebih seksi."

Pangeran menarik senyum miring, menunjukkan lesung pipi di kedua sisinya, kemudian berbalik badan lagi dan meneruskan langkahnya.

Miawly menganga untuk beberapa menit ke depan, mencoba meyakinkan diri kalau ucapan tadi benar-benar keluar dari mulut Pangeran.

"Sumpah ... itu Pangeran atau orang lain, sih? Kok, omongannya..." Miawly bermonolog sendiri sambil geleng-geleng tidak percaya. "Pokoknya gue harus curhat sama Jevan. Idih ... itu manusia jadi aneh sejak jemput gue di kampus."

*****

Kepala Miawly dipenuhi oleh kata-kata Pangeran kemarin. Deklarasi cinta Pangeran berhasil mengisi seluruh kepala yang seharusnya dibagi untuk hal-hal lainnya. Yang masih tidak dapat dia mengerti soal kapan Pangeran mulai mencintainya. Memikirkan banyaknya tebak-tebakan tidak memangkas apa pun untuk menemukan jawaban. Dan berkat kalimat Pangeran, dia sampai tidak fokus dan mengabaikan curhatan Belva.

Pertemuan Miawly dengan Belva adalah pertemuan rutin setiap seminggu sekali. Bukan untuk mengulang setiap kenangan manis yang pernah mengisi hari-hari mereka di masa lalu, tetapi karena Belva sering curhat perihal gebetannya—atau lebih tepatnya tentang Sabrina yang notabene sahabatnya.

"Ann? Ann?" Belva menggerakkan tangannya ke kanan dan ke kiri memastikan Miawly mendengarkan curhatannya. "Hello, Ann. Are you there?"

Miawly tersentak ketika Belva menepuk pundaknya. "Ah, i-i-iya? Kenapa, Bel?"

Belva menggeleng sambil menyunggingkan senyum. "What are you thinking about? Kelihatannya ada hal yang mengganggu pikiran lo."

"Bukan apa-apa." Miawly mengelak. Namun, Belva memainkan kedua alisnya seolah tidak percaya. "Serius, deh, nothing."

"Gue pernah pacaran sama lo selama lima tahun jadi mustahil kalau melamun gini nggak mikirin apa-apa." Belva masih menunjukkan tatapan menyelidik. "Apa ini ada hubungannya sama Pangeran?"

Miawly menggeleng cepat. Sialnya Belva tertawa. Kalau tertawa tandanya laki-laki itu sudah dapat mengetahui apa yang membuat dirinya melamun. Sial! Kalau gini caranya bukan Belva yang curhat tapi gue! batinnya.

"Kenapa sama Pangeran?"

"Nggak pa-pa. Dia cuma ngajak bulan madu. Malam ini gue berangkat."

"Oh, ya? Setelah akhirnya menolak?" Belva melebarkan matanya tidak percaya. "Kalau gitu congrats, Ann. Ke mana kalian akan pergi?"

"Yep. Bali." Miawly memutar bola matanya malas sambil menghela napas. "Gue berharap bulan madunya ke Bruges tapi nyatanya malah cuma ke luar kota aja."

"At least, kalian bulan madu. Gue harus siap-siap beli peralatan bayi, nih, buat calon keponakan," goda Belva setengah terkekeh.

Miawly memutar bola matanya kembali. "Jangan banyak berharap. Dengar dia ngajak bulan madu aja kayaknya ada udang di balik bakwan."

Belva tergelak selama beberapa menit, menikmati setiap ekspresi Miawly yang lucunya minta ampun kalau ngedumel. Berkat wajah lucunya Belva mengacak rambut Miawly.

"Gue tau, kok, lo senang pergi ke Bali bareng suami. Jangan lupa beli bikini yang oke. Apa perlu gue beliin sekarang?"

"Belva, plis, deh!" Miawly mendelik tajam. Bibirnya mengerucut sempurna menanggapi kalimat Belva. "Gue nggak akan pergi. Males banget."

"Come on, Ann! Apa, sih, yang bikin lo segitunya sama Pangeran? He's kind."

"Baik dari mana? Bahkan sikapnya aja kayak es batu. Dingin banget. Ngomongnya irit kayak anak bocah yang baru belajar ngomong beberapa kata. Aduh ... dia, tuh, jauh dari kata suami-able," gerutu Miawly sebal. Kalau ingat tingkah laku Pangeran rasanya ingin dia jambak. "Apalagi kemarin main cium—" Miawly sadar telah menuturkan kalimat yang berhasil menambah keingintahuan Belva. Laki-laki itu menaikkan satu alisnya.

"Bukan. Maksud gue kemarin dia beliin caramel macchiato. Aneh, deh, sikapnya," ralat Miawly secepat mungkin.

Belva manggut-manggut sambil tersenyum penuh arti. "Iya, sekalian tambahan kiss entah di mana itu. Prediksi gue udah mulai ada getaran cinta di antara kalian."

Miawly menahan bibirnya. Jangan sampai dia keceplosan soal pernyataan cinta Pangeran. Bisa-bisa Belva semakin meledeknya.

"Mana ada yang begitu. Udah, ah, makin ngawur aja obrolan kita." Miawly bangun dari tempat duduknya, menyampirkan tas miliknya, lalu menarik tangan Belva. "Kita pulang aja. Obrolannya stop sampai sini."

"Oke, deh, Mrs. Tanujaya."

Belva tidak banyak protes dan mengikuti permintaan Miawly. Karena dengan begitu, Belva tahu Miawly malu ingin mengatakan sesuatu yang disimpan rapat.

Mereka berdua keluar dari tea house dan segera meninggalkan tempat dengan menaiki motor Kawasaki Ninja 250R milik Belva. Miawly berpegangan pada kedua pinggang Belva yang fokus mengendarai motor. Tepat saat motor yang dikendarai Belva melewati lampu lalu lintas berwarna hijau, ada mobil yang menerobos dari arah samping sehingga Belva berusaha menghindar supaya tidak tertabrak tapi yang terjadi malah Belva hilang kendali. Akibatnya motor yang dikendarai Belva jatuh, menyebabkan Belva dan Miawly yang berada di atasnya ikut terlepas cukup jauh dari jok.

*****

Pangeran berlari melewati lorong masih mengenakan snelli. Dia mendengar kabar Miawly kecelakaan dan dibawa ke rumah sakit tempatnya bekerja—yang kebetulan berada di dekat tea house tempat Miawly bertemu Belva.

Di dalam UGD, Pangeran membuka tirai yang membatasi satu brankar dan brankar lainnya. Di sana dia menemukan Miawly terduduk di atas brankar. Lengan dan lututnya dipenuhi luka lecet dan wajahnya terlihat kesakitan akibat luka tersebut.

Tanpa pikir panjang Pangeran memeluk Miawly. Dia benar-benar takut saat mendengar Miawly kecelakaan. Beruntungnya perempuan itu baik-baik saja. Hanya sebatas luka lecet tidak sampai membuatnya terluka parah.

"Pangeran..." Miawly berbisik saat merasakan pelukan hangat suaminya.

"Kamu bikin saya khawatir," bisik Pangeran pelan. Nada bicaranya tak lagi dingin tapi menunjukkan kekhawatiran yang cukup besar.

"Maaf..." Hanya itu yang bisa diucapkan Miawly. Dia tidak menyangka Pangeran akan memeluknya dan memberikan kehangatan yang tidak pernah dia rasakan.

Miawly tak lagi mendengar Pangeran bicara. Yang dia dapatkan justru pelukan yang semakin erat. Bahkan pelukan itu rasanya hampir meremukkan tubuh. Namun, pelan-pelan pelukan itu melonggar tapi tetap menunjukkan bahwa Pangeran khawatir.

"It's okay, gue nggak pa-pa, kok. Jangan terlalu khawatir," bisik Miawly sembari mengusap punggung Pangeran berulang kali.

"Kamu bilang begitu tapi saya bisa aja kehilangan kamu tadi. Saya takut kehilangan kamu, Miawly."

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top