BAB VII
Yeola mendapatkan apa yang diinginkannya. Dua balon yang dibelikannya oleh sang kakak, membuatnya berbinar bahagia. Chanhyuk yang melihat kebahagiaan sang adik pun, juga ikut merasakan kebahagiaan yang berlipat ganda. Sebab, Yeola adalah segalanya bagi dirinya.
Namun, rasa bahagia itu tidak bertahan lama sesaat Chanhyuk maupun Yeola, baru menyadari tindakan yang mereka lakukan. Dengan rasa bingung yang membuncah, tidak tahu di mana kedua kaki mereka telah menuntun. Pada intinya, sikembar hanya melihat keramaian yang dibuat oleh orang dewasa.
Yeola takut, saat mereka menjadi sosok sangat kecil di tengah-tengah orang dewasa yang berlalu lalang. Terbukti, saat Yeola yang langsung memeluk sang kakak dan masih mempertahankan genggamannya pada balon.
"Kakak, Yeola takut! Yeola mau pulang. Di sini, sesak!" kata Yeola dengan bergetar dan air mata yang telah merembes.
"Adik Chanhyuk tidak boleh menangis. Iya, kita pulang," ucapnya yang mencoba menenangkan sang adik. Kemudian, menatap sekitar dan menjadi penunjuk arah dengan memegangi jemari Yeola yang menangis sesenggukan karena takut.
Sebenarnya pun dalam hati, Chanhyuk juga takut. Ia tidak tahu apa-apa dengan kota ini. Sekalipun ia dan adiknya besar dikota ini. Sebab, hanya diwaktu luang saja sang ayah atapun pamannya memberinya pemahaman dengan bepergian untuk menghafal tempat. Namun, bukan itu tidak cukup?
Alhasil, sikembar terus berjalan tanpa arah. Mencoba untuk menanyai sekitar, tetapi semua orang sedang sibuk dengan aktivitasnya untuk segera pulang.
"Paman, apa Paman tahu di mana perumahan Mungyie?" tanya Chanhyuk pada seorang pria dewasa yang tengah berdiri dihalte.
"Tanyakan pada yang lainnya dulu, Nak. Aku harus segera pergi," kata pria itu saat bis telah tiba dihalte. Membuat beberapa orang yang tengah menanti, langsung memasuki bis.
"Kakak …." Yeola menangis.
Chanhyuk yang melihat Yeola menangis, langsung memberikan sebuah gelengan dan menghapus bulir air mata itu. "Jangan menangis. Kita akan pulang, dan itu pasti terjadi. Duduk di sini dulu," pintanya menuntun Yeola untuk duduk dihalte bis. Yeola menurutinya, tetapi tangisnya tidak ingin berhenti.
Ia merindukan ayahnya, tidak bisa menahannya. Suara tangis yang terus Yeola perdengarkan pun, membuat Chanhyuk ikutan takut. Ia bingung, tidak tahu harus berbuat apa saat semua orang tengah sibuk dengan urusannya.
***
Mentari hampir menghilang dari cakrawala, membuat Weiwei yang telah membeli beberapa kebutuhannya untuk beberapa hari ke depan, mempercepat langkah untuk segera tiba di perumahan susun yang menjadi tempat tinggalnya. Ia belum berbenah diri dan mengganti pakaian.
Ouh, Weiwei langsung membayangkan dirinya yang telah lengket dengan peluh. Manalagi, melalui perjalanan panjang tidaklah semudah yang dibayangkan.
"Ini gara-gara kebodohanmu dengan tertidur hingga sore. Kau itu memang bodoh, Hui Weiwei!" kesalnya pada sendiri. Lantas, mengamati sekitar untuk mencari sesuatu agar ia bisa istirahat sebentar saja.
Ya, ia menemukan sebuah halte yang tidak jauh dari tempatnya berdiri. Tentu, ia langsung menuntun diri untuk ke sana. Namun, baru beberapa langkah, indra pendengarnya langsung menangkap seseorang yang tengah menangis sesenggukan.
Weiwei hanya penasaran. Siapa dan kenapa orang itu menangis? Bahkan, saat suara itu bersumber dari seorang anak perempuan yang menggemaskan. Weiwei yang kini berada di hadapan anak perempuan yang nyatanya tidak sendirian, menimbulkan rasa penasaran dalam dirinya.
"Em … kenapa anak secantik dirimu menangis---"
"Aku mau pulang, hiks!" Lantas, anak perempuan yang tidak lain adalah Yeola semakin mengencangkan tangisannya. Alhasil, Weiwei dibuat gelagapan, sembari mengusap ceruk lehernya.
"Mau pulang? Oh, iya! Kenapa kalian hanya berdua saja di sini? Maksudku, di mana kedua orangtua kalian? Berkeliaran tanpa orang dewasa yang kalian kenal itu, tidaklah baik," ucapnya dengan lembut, sembari mengamati dua anak kecil yang begitu menggemaskan. Keduanya seperti kembar. Apakah memang begitu?
Chanhyuk yang mendengarnya, sontak berdiri dan memegang jemari Weiwei yang menggenggam kantong belanja. "Bibi, kami ingin pulang. Akan tetapi, kami tersesat. Kami sudah meminta bantuan, tapi semua orang sibuk. Adikku sejak tadi menangis, dan aku tidak tahu harus berbuat apa," imbuhnya.
Weiwei mendelik saat mendengarnya. "Tersesat? Kenapa bisa?"
Chanhyuk terlebih dahulu menatap Yeola yang tangisnya mulai mereda, lalu menunjuk balon yang masih dipegang erat oleh Yeola. "Balon itu. Adikku menginginkannya, jadi kita mengekori penjual balon dan meninggalkan Paman kita yang sedang berbicara dengan teleponnya." Chanhyuk berujar untuk menjawab.
"Kita salah, dan menyesalinya. Pasti, Paman, Ayah dan Kakek tentu sangat khawatir. Kami … kami mau pulang," ucapnya menambahi.
Sekejap, membuat Weiwei mensejajarkan dirinya pada dua anak itu dan tersenyum tipis. "Aku akan membantu kalian. Sekarang, coba katakan! Di mana kalian tinggal?" tanyanya dengan lembut.
Akan tetapi, keduanya tidak menjawab. Mereka malah salah memberikan bahasa tubuh yang sama sekali tidak dipahami oleh Weiwei. Namun, Weiwei bisa menerka-nerka di mana kedua anak itu pasti curiga dengan dirinya. Seakan, mereka menyatakan jika ia bukanlah seorang penolong, melainkan bala bencana yang akan menculik keduanya.
Itu sangat konyol. Kurang kerjaan sekali jika seorang Hui Weiwei melakukannya. Dengan senyum yang masih merekah, ia membiarkan kantong belanjaannya berada di tanah dan merogoh sesuatu dari dalam tasnya. Tidak lama, memperlihatkannya pada dua anak yang kini berada di hadapannya. Di mana, kedua anak itu Tidak lain adalah Yeola dan Chanhyuk.
"Ini adalah kartu tanda pengenalku. Aku baru saja lulus dan dipekerjakan di Seoul," ucapnya. Lantas, meraih telapak tangan Chanhyuk untuk menaruh kartu tanda pengenalnya itu. "Kalian bisa memegangnya sebagai jaga-jaga. Jika aku adalah wanita yang berniat menculik kalian berdua, kalian bisa melakukan hal apapun dan memberikan kartu ini pada polisi."
Sontak, Chanhyuk menatapnya dengan lekat. Begitupun dengan Yeola yang mendekat ke arah sang kakak untuk melihatnya.
"Hui … Wei … Wei!"
Weiwei mengangguk. "Namaku Hui Weiwei, dan coba katakan! Siapa nama kalian berdua?" tanyanya.
Chanhyuk yang awalnya sedikit takut dengan perhatian Weiwei, kini menghapus prasangka buruknya itu. Sebab, hatinya mengatakan jika wanita di hadapannya ini seperti malaikat yang datang untuk menolong.
"Namaku Shin Chanhyuk. Sedangkan dia, Shin Yeola. Dia saudari kembar dan adikku," balasnya. Ada gejolak aneh saat mendengar nama itu. Akan tetapi, ia mengabaikannya dengan mengulurkan kedua jemari untuk berjabat.
"Baiklah, Chanhyuk dan Yeola. Sekarang, kita berteman. Bagaimana?"
Alhasil, sikembar saling melempar tatapan. Hingga, Yeola mengulurkan jemarinya untuk membalas yang diselingi dengan jemari Chanhyuk.
"Tentu, Bibi!" serempak keduanya.
Melihat senyum yang terukir, membuat Weiwei bahagia. Tidak ingin berlama-lama, ia langsung mengambil kantong belanjaan dan membiarkan sikembar untuk berjalan di hadapannya.
"Hampir, aku lupa! Di mana rumah kaliam berdua? Jika kalian tidak memberitahu, bagaimana bisa aku mengantar kalian?" ujarnya yang membuat sikembar langsung berbalik. Yeola hanya mengamati sang kakak yang bersiap untuk berbicara.
"Rumah susun Mungyie."
Mendengar itu, membuat Weiwei langsung mendelik. "Rumah susun Mungyie?" Sikembar sontak mengangguk tidak mengerti. Oleh karena itu, Weiwei langsung menepuk dahinya.
"Aku juga tinggal di sana. Ini sebuah kebetulan," imbuhnya.
"Bibi tidak bohong?" Yeola langsung bertanya yang membuat Weiwei menggeleng.
"Buat apa aku berbohong? Aku memang tinggal di sana. Baru-baru saja. Jadi, aku akan mengantar kalian di sana. Kalian tentu tahu nomor rumah kalian'kan?" balas Weiwei. Sikembar kembali mengangguk.
Weiwei sangat bahagia mendengarnya. Sebab, ia tidak memerlukan bantuan dari polisi untuk mengantarkan dua anak itu kembali ke rumahnya. Ia tinggal menjadi penuntun sebab mereka berada disatu tempat tinggal. Rumah susun Mungyie juga menjadi tempat tinggalnya.
Alhasil, ia yang tengah membawa banyak belanjaan untuk kesehariannya, membiarkan dua anak itu berjalan terlebih dahulu dengan ia yang berada di belakang sebagai pengarah jalan.
Tbc.
Perlahan, aku bakal bayar utang up. Teta stay dengan kehaluan ini, manteman💜
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top