21. Hamil?

Hai, gue kembali lagi. Maaf baru bisa update. Belakangan ini semangatku untuk nulis cerita menurun banget. Itu sebabnya aku jarang buka wattpad dan lebih suka nimbrung di grup line atau baca novel yg baru dibeli.

Diese Frau bakal aku unpublish karena ide lagi buntu banget. Maaf yaa guys, takutnya kalo dipaksain ntar hasilnya jelek, dan aku nggak mau kalo itu terjadi. Walaupun sbnarnya ceritaku absurd semua sih HAHAAA. Tapi nggak lah, Diftan & Arabella ank kesayangan aku no 1. Nanti aku bakal bikin lebih baik dari Dieser Mann :)

Jadi mungkin aku fokus ke dua cerita dulu HELLO FLOPIA & CINDERELLA JAHAT. Ini aja aku paksain ngetik krn merasa pnya utang ke readers kalo gak update.

By the way hari ini tgl 21 Juli. Nggak ada yg mau ucapin Happy Birthday gitu buat aku? Xoxoxo

Oke deh... Happy reading ya!

.....

.....

.....

.....

Semenjak obrolan hari itu, sudah tiga hari berturut-turut Pramuda tidak pulang ke kontrakan lagi. Dia sengaja melakukannya demi menghindari pertengkaran dirinya dengan Flopia. Pram sendiri masih bingung dengan perasaannya. Di satu sisi Pram sangat menyayangi Flopia dan di sisi lain dia belum siap menikah. Tidak untuk saat ini.

"Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu?" Tanya Bian sambil menyerahkan segelas kopi padanya.

Siang tadi sepulang kerja dari rumah sakit, Pram memutuskan untuk singgah ke rumah Bian sahabatnya itu. Dia butuh teman untuk bertukar pikiran. Dan menurutnya Bian adalah orang yang tepat. "Apa yang kamu rasakan setelah enam bulan menikah dengan Zee? Kamu bahagia?"

"Pertanyaan konyol. Tentu saja aku bahagia." Bian bergeleng kepala dengan pertanyaan Pram barusan.

"Apa yang membuatmu dulu begitu yakin untuk menikah muda?"

Bian bertopang dagu dengan tangan kanannya sambil menatap lurus ke Pram. "Oke, aku mengerti arah pembicaraan ini. Apa Flopia memintamu untuk menikahinya?"

Pram mengangguk pelan dan meminum kopi yang diberikan Bian.

"Dan kamu bingung untuk menjawabnya?" Tanya Bian lagi.

"Ya."

"Melihat hubunganmu dengan Flopia selama beberapa tahun ini, membuatku mengerti bahwa antara bodoh dan polos itu sangat beda tipis. Aku nggak habis pikir, kenapa Flopia mau bertahan denganmu yang jelas-jelas nggak bisa memberi hubungan yang pasti. Jika aku menjadi Flopia, aku sudah mendatangi kedua orang tuamu dan meminta untuk dinikahkan karena anak sulung keluarga Prasaja telah meniduriku selama masa berpacaran."

"Aku nggak bermaksud untuk mempermainkan dia," Ujar Pram terdengar frustasi.

"Kalau begitu JANGAN MEMBUAT DIA JATUH CINTA, KALAU KAMU NGGAK BERNIAT UNTUK MENIKAHINYA!"

Pram menutup kedua mata dan mengacak rambut di kepalanya sendiri. "Entahlah. Aku bingung dan aku belum siap untuk menikah di usia muda ini, Bian. Aku masih ingin mengejar karir dan membanggakan kedua orang tuaku. Dan aku juga belum pernah berfikir untuk menjadi suami atau seorang Ayah di usia sekarang."

"Dengar Pram, aku paham dengan dirimu karena dulu aku juga pernah mengalaminya. Sewaktu pilihan datang padaku antara karir atau menikah muda dengan Zee. Aku lebih memilih untuk menikahi dia. Kamu tahu kenapa? Karena aku percaya, Allah akan menjaga rezekiku karena niatku."

Bian memberi jeda di kalimatnya saat melihat kepala Pram tertunduk menatap ke bawah lantai. "Lagipula, apa kamu nggak takut dosa Pram? Tinggal satu kontrakan bersama Flopia dan tiap hari melakulan seks tanpa ikatan suami istri. Mau sampai kapan coba? Kalau ditanya siap nikah nggak? Siap jadi suami? Siap punya anak? Siap jadi Ayah? Dan siap materi? Semua orang juga kalau ditanya hal seperti itu, kalau nggak disiapin dari sekarang ya kapan siapnya Pram?? Di agamaku ada hadist yang mengatakan 'Menikahlah kamu maka akan kulapangkan rezekimu, menikahlah kamu maka itu menyempurnakan agamamu' Itu alasan kuat yang membuatku yakin untuk menikah. Jadi kamu jangan takut, karena Tuhan itu udah menjanjikan umatNya. Dan ya namanya hidup, semua pasti butuh proses untuk belajar. Sama seperti bayi, nggak mungkin dia langsung bisa berjalan kan? Pasti harus mulai belajar duduk dulu, berguling, merangkak, berdiri dan akhirnya berjalan."

Bian menepuk bahu Pram sambil tersenyum. "Aku kasih tahu satu hal padamu. Wanita itu diciptakan berbeda dengan kita para pria. Mereka makhluk yang paling rumit, lebih rumit dari davinci code dan lebih susah dipecahkan dari kasus yang sering dibongkar oleh detektif conan."

Kening Pram mengernyit. "Bisa berikan contohnya? Aku kurang mengerti maksudmu."

"Misalnya saat wanita berkata tidak apa-apa dan baik-baik saja. Sebenarnya jauh di dalam otaknya berfikir tentang kejadian yang sulit ia ungkapkan, bahkan takut untuk menyampaikannya, itu karena takut akan kemarahan dan perubahan dalam dirimu. Atau saat ia memuji pria lain dihadapanmu, bukan karena ingin merendahkanmu, tapi itu adalah cara baginya untuk menyampaikan ketidakpuasannya kepadamu atas apa yang kamu lakukan padanya. Saat wanita sibuk menyendiri, sebenarnya itu adalah caranya untuk mengingatkanmu, bahwa dia butuh diperhatian walaupun dengan hanya pertanyaan-pertanyaan kecil yang bagimu tidak penting.

"Saat kedua matanya terlihat kosong sebenarnya ia sedang berfikir, jalan apa yang harus ditempuh untuk menghadapimu. Lalu saat dia memutuskan untuk pergi meninggalkanmu, sebenarnya itu adalah cara mengujimu dengan harapan kamu akan mengejarnya bahkan menggenggamnya tanpa harus ia minta. Seperti itulah para wanita. Aku mempelajari itu semua semenjak mengenal Zee, yang sekarang menjadi istriku," Seru Bian dengan tersenyum Bangga saat mengakhiri kalimatnya tadi.

"Kamu tahu Bian? Aku merasa lebih baik sekarang setelah berkonsultasi denganmu. Dan sekarang aku paham, kenapa Zee memilihmu dari sekian banyak pria yang mengejarnya di luar sana." Lalu dia berdiri dari kursi. Pram merasa mendapatkan suntikan semangat yang membuatnya ingin segera bertemu dengan Flopia dan menebus semua perlakuannya yang telah menyakiti wanita itu. "Terimakasih banyak Bian. Kamu sudah membuka pikiranku tentang segalanya. Aku nggak tahu harus bicara apa tapi yang pasti, Zee adalah wanita yang sangat beruntung mendapatkanmu."

Bian bergeleng seraya tersenyum. "Bukan Pram. Justru aku yang beruntung mendapatkannya. Sekarang lebih baik kamu pergi dan temui Flopia."

"Iya kamu benar. Baiklah aku pergi dulu. Aku akan menjemputnya di kampus."

"Semoga berhasil!" Teriak Bian saat Pram sudah membuka pintu rumah.

"Sekali lagi terimakasih dan sampaikan salamku pada Zee."

Bian tersenyum dan mengacungkan jempolnya. Lalu setelah itu Pramuda pergi.

*****


Pram menatap buket bunga yang ada di jok depan mobilnya. Tadi dia sempat membeli bunga itu sebelum sampai di kampus Flopia. Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas begitu melihat kekasihnya berjalan ke arah parkiran mobil. Pram mengambil buket bunga itu dan segera membuka pintu mobilnya. Namun seketika Pram mengurungkan niatnya itu saat melihat seorang pria yang langsung mendatangi Flopia. Pram menutup kembali pintu mobilnya dan menatap dua orang itu dari dalam mobil.

Pramuda merasa sedikit kecewa mendapati Flopia baik-baik saja dan bahkan terlihat bahagia tanpa dirinya. Seperti sekarang, Flopia tampak tersenyum saat bersama pria asing itu. Pram sama sekali tidak mengenal pria tersebut. Karena yang ia tahu Flopia hanya memiliki satu teman pria yaitu Langit Prasaja yang tidak lain adalah adik Pramuda.

Dihantui rasa penasaran, Pram pun mengambil ponsel dari kantong dan menghubungi Flopia sambil tetap fokus menatap ke arah depan. Mengamati ekspresi di wajah Flopia yang tersenyum bahagia melihat layar ponselnya dan langsung menjawab panggilan tersebut.

"Halo Pram? Ya Tuhan, akhirnya kamu mengaktifkan nomormu dan menghubungiku. Pram... maafkan aku. Aku janji nggak akan paksa kamu untuk menikahiku dalam waktu yang cepat. Jangan pergi lagi Pram... jangan tinggalkan aku sendiri."

Seketika Pram merasa sangat bersalah mendengar suara permintaan maaf dari kekasihnya. "Aku yang salah dan aku yang seharusnya minta maaf padamu."

"Enggak, aku yang salah. Aku terlalu egois memaksamu untuk menikahiku padahal kamu belum siap untuk melakukannya. Pulanglah Pram... tolong jangan hukum aku seperti ini."

Pram mencengkram ponsel di tangannya dan menahan diri untuk tidak keluar dari mobil saat mendengar suara Flopia yang terdengar sedih. Dia ingin memeluk wanita itu dan menciumnya sampai puas. "Iya sore ini aku pasti pulang. Hem... kamu sendiri udah pulang kuliah?"

"Iya udah Pram. Ini aku lagi di parkiran."

"Kebetulan hari ini aku pulang cepat. Mau aku jemput ke kampus?"

"Iya aku mau," Jawab Flopia cepat. Namun sesaat dia tersadar melihat Dito yang sedang berdiri tersenyum di depannya. Dia sudah ada janji terlebih dahulu dengannya. "Hem... Pram kayaknya nggak usah deh. Aku pulang sama teman aku aja."

"Kenapa? Suruh aja teman kamu pulang lebih dulu."

"Bukan begitu." Flopia menggigit bibir bawahnya dan menatap Dito. Terpaksa dia harus berbohong pada Pram karena sudah janji pada Dito untuk menemaninya hari ini. "Kami harus membeli buku, kamu tahu kan aku lagi nyusun skripsi?"

"Yasudah, kalau begitu kita ketemu di kontrakan aja. Oh iya Flo, kalau boleh tahu kamu pergi dengan teman yang mana? Apa aku mengenalnya? Aku hanya khawatir kamu kenapa-kenapa nanti."

"Tenang aja Pram, aku pergi dengan teman baruku. Dia baik kok orangnya."

"Cewek atau cowok?"

"Cewek Pram."

Kali ini tangan kiri Pram mencengkram erat stir mobilnya begitu mendengar kebohongan Flopia. "Oke. Hati-hati di jalan."

Setelah itu Pram mengakhiri telepon dan memutuskan untuk mengikuti kemana Flopia dan pria itu pergi. Seandainya Flopia jujur mengatakan pergi dengan teman pria, mungkin Pram tidak akan membuntuti mereka. Tapi tadi Flopia jelas membohonginya. Jadi Pram ingin memastikan bahwa pria itu memang benar hanya teman dan hanya pergi ke toko buku. Namun jika dilihat dari fisiknya, pria itu terlalu tua untuk ukuran seorang mahasiswa seangkatan Flopia.

Hampir dua puluh menit perjalanan, akhirnya mobil yang ditumpagi Flopia itu masuk ke dalam gerbang yang menjulang tinggi. Jelas itu adalah rumah mewah, bukan sebuah toko buku. Flopia tidak pergi membeli buku melainkan pergi ke rumah pria asing tadi.

"Dalam waktu kurang dari setengah jam, sudah dua kebohongan yang kamu lakukan Flo. Kenapa kamu harus bohong? Siapa pria itu sampai kamu harus membohongiku?" Batin Pram begitu terluka. Ini pertama kalinya Flopia membohonginya.

Dalam perjalanan pulang ke kontrakan, Pram berusaha untuk berpikir positif dengan Flopia. Dia yakin wanita sangat mencintai dirinya dan tidak mungkin mengkhianati dia.

Flopia pasti punya alasan tertentu kenapa tadi harus berbohong.

Pram terus mengulang kalimat itu di dalam otaknya.

*****


Tepat jam tujuh malam, Dito mengantar Flopia pulang sampai depan kontrakan. "Terimakasih untuk hari ini," Ujar Dito saat Flopia melepas sabuk pengaman di tubuhnya.

"Oke. Lain waktu aku akan berkunjung lagi ke rumahmu."

"Serius? Aku pikir kamu nggak akan mau lagi datang ke sana."

Flopia memutar kedua bola matanya. "Jangan berlebihan. Aku senang bisa mengenal keluargamu."

"Baiklah, aku akan mengajakmu lagi."

Flopia turun dari mobil dan berjalan ke sisi mengemudi. Dito menurunkan kaca mobilnya. "Hati-hati di jalan."

"Sampaikan salamku untuk kekasih tercintamu," Ucap Dito.

Flopia tersenyum mengangguk dan melambaikan tangannya begitu mobil Dito pergi. Setelah itu, dengan semangat dia berlari ke pintu kontrakan agar segera bertemu Pram.

Dengan mudah ia membuka pintu karena Pram tidak menguncinya dari dalam. "Pram?" Panggilnya.

Flopia meletakkan tas di kursi dan berjalan ke dapur saat mencium aroma masakan. "Pram?" Panggilnya lagi. Dia tersenyum melihat pria itu sedang berdiri memasak dengan membelakanginya.

"Aku di sini Flo," Jawab Pram tanpa menoleh.

Flopia berjalan menghampirinya dan memeluk tubuh Pram dari belakang. Disandarkan pipinya di punggung itu sambil menghirup aroma parfum dari kemeja yang dipakai Pram yang dia rindukan beberapa hari ini.

"Kamu udah makan?" Tanya Pram sambil tetap fokus memasak.

"Udah. Tapi mau makan lagi kalau disuapin sama kamu." Flopia masih bertahan dengan memeluk tubuh Pram. "Masak apa?"

"Biasalah, nasi goreng. Kamu duduk dulu. Aku susah geraknya kalau dipeluk gini."

Flopia bergeleng dan makin menguatkan pelukannya. "Nggak mau. Kangen."

"Iya sayang, nanti kita kangen-kangenan. Tapi lepasin dulu, beneran aku susah gerak ini ambil bumbu garamnya."

Flopia bersikeras tidak mau melepaskannya. Dan detik berikutnya, Pram merasa kemeja belakangnya basah. Dia juga mendengar isakan tangis kecil yang keluar dari bibir kekasihnya. Pram mematikan kompor dan berbalik badan menatap Flopia.

"Kenapa?" Tanyanya pelan seraya menghapus air mata Flopia.

"Kalau aku punya salah, tolong kasih tahu aku langsung. Jangan main pergi dan tinggalin aku gitu aja sampai berhari-hari. Selama kamu pergi, aku jadi sering pusing, mual sama muntah. Aku nggak butuh obat, aku butuh kamu untuk peluk aku tapi kamu nggak ada. Aku nggak tahu apa yang terjadi sama aku, tapi sepertinya aku udah kecanduan akan dirimu. Aku takut kamu pergi. Aku takut nggak bisa peluk kamu lagi. Sebenarnya apa yang udah kamu lakukan ke aku Pram? Kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa?" Tanya Flopia terisak sambil memukul tubuh Pram dengan kedua tangannya.

Pram tidak melawan dia membiarkan Flopia melampiaskan kemarahannya. Setelah Flopia merasa puas, dia pun berhenti dengan aksinya namun tetap menangis.

Pram menangkup wajah Flopia dengan kedua tangan besarnya. Mereka berdua saling bertatapan dengan pandangan terluka. Flopia memejamkan matanya saat perlahan wajah mulai mendekat dan mencium bibirnya. Mereka terus berciuman melampiaskan rasa kemarahan, ketegangan dan kerinduan beberapa hari ini.

Flopia mengakhiri ciuman itu dan menghirup oksigen sebanyak-banyak untuk bernafas. Pram hanya memberikannya jeda selama 10 detik, setelah itu ia menarik dagu Flopia dan menciumnya dengan keras. Ya, itulah hal yang sedari tadi sore yang ingin Pram lakukan.

Diangkatnya tubuh Flopia dan didudukkan di atas meja tanpa  melepas ciumannya. Tangannya pun ikut beraksi masuk ke dalam baju Flopia dan menyentuh apa yang ada di balik bra. Sampai akhirnya Pram sadar, bahwa dia sangat lapar sekali.

"Maaf," Ujarnya dengan menyatukan keningnya dengan Flopia.

Flopia mengangguk. "Jangan pergi lagi oke?"

Pram tersenyum dan mengecup pelan bibir Flopia. "Aku lapar sekali."

"Kita lanjut di kamar aja. Rasanya sedikit aneh kalau bercinta di atas meja."

Pram tertawa. "Maksudku lapar dalam artian mengisi perutku dengan nasi goreng, sayang."

Wajah Flopia langsung memerah. "Oh... aku pikir kamu lapar yang lain."

"Nanti kita lanjutkan, tapi aku harus mengisi lambung dulu. Jika tidak, aku pasti tumbang dalam ronde pertama."

Flopia turun dari meja dan duduk di kursi menemani Pram makan. Sesekali Pram menyuapkan nasi goreng itu kepada Flopia.

"Bagaimana dengan skripsimu? Lancar? Kalau perlu bantuan, kamu bilang aja sama aku."

"Baru nyusun BAB I. Sejauh ini aman sih," Ujarnya seraya mengunyah nasi di dalam mulut.

Pram mengangguk dan menghusap rambut wanita itu dengan sayang. "Mau lagi?"

"Cukup. Aku udah kenyang. Lihat nih, makin hari perutku tambah besar saja." Keluh Flopia sambil mengelus perutnya.

"Bagaimana dengan acara beli buku tadi sore, apa kamu dan temanmu sudah mendapatkannya?"

Flopia langsung terbatuk dan mengambil segelas air untuk meneguknya. "Kami mendapatkan buku yang kami cari."

"Oh ya? Boleh aku melihat bukunya?"

"Hem... itu... bukunya terbawa temanku. Besok aku akan memintanya di kampus."

"Aku hanya bertanya saja. Kenapa kamu jadi gugup?" Dengan santai Pram menyuapkan kembali nasi goreng itu ke dalam mulutnya sendiri.

Selesai makan, Pram memindahkan piring kotornya ke tempat pencucian. "Flo, suka nggak kalau aku bohong sama kamu?"

"Enggak lah."

"Sama kalau begitu. Aku juga nggak suka."

Tiba-tiba Flopia merasa bingung dengan sikap Pram yang seolah sedang menyindirnya. "Pram, sebenarnya kamu mau ngomong apa?"

Pram membersihkan tangannya dengan air lalu berjalan menghampiri Flopia. "Nggak apa-apa. Aku hanya ingin kita saling terbuka dan jujur satu sama lain. Kalau kamu jujur, aku juga jujur. Tapi kalau kamu bohong, aku bisa dua kali lebih bohong. Sama seperti kamu yang nyuruh aku untuk setia dan tidak selingkuh dengan wanita lain. Aku pun ingin kamu begitu juga. Jadi aku nggak mau ada rahasia diantara kita berdua. Mengerti?"

"Iya."

Pram memeluk tubuh Flopia dan mengecup puncak kepalanya. "Minggu depan aku akan datang ke rumahmu untuk bertemu dengan Papa & Mamamu."

"Hah? Ngapain?" Tanyanya bingung.

Pram menggendong Flopia ala bridal style dan membawanya ke dalam kamar. "Menurut kamu ngapain?"

"Melamar mungkin?" Tanya Flopia ragu.

"Bisa jadi."

Senyum Flopia mengembang dan berteriak bahagia sebelum akhirnya pintu kamar ditutup oleh Pram untuk melanjutkan kegiatan mereka yang tertunda di meja makan tadi.

*****


"Kamu kenapa senyum sendiri?" Tanya Yessy pada Flopia seusai jam kuliah.

"Ya ampun Yessy, hari ini aku bahagia banget. Akhirnya setelah sekian lama berhubungan dengan Pram, minggu depan dia mau datang ke rumah untuk melamar aku!"

"Apa? Pram mau datang melamar? Nggak mungkin! Jangan bercanda, itu nggak mungkin terjadi!"

Senyuman di bibir Flopia menghilang mendengar respon dari sahabatnya itu. "Kamu kenapa? Kayak nggak senang gitu aku dilamar."

Yessy berdiri dari kursi dan berjalan mondar-mandir di dalam ruangan itu sambil mengigit jari telunjuknya dengan raut wajah gelisah. "Aku... aku senang kamu dilamar Flo, tapi kenapa harus Pram? Bukannya kamu udah dilamar pria satu lagi yang bernama Dito?"

"Aku udah memutuskan untuk berteman dengan Dito karena aku nggak cinta sama dia."

Yessy memijit keningnya yang terasa berdenyut saat mendengar Pram akan melamar Flopia. "Kenapa kamu memilih Pram? Dia sangat berpotensi besar untuk menyakitimu Flo!"

"Kalau yang kamu maksud adalah sifat playboy-nya, itu sudah masa lalu. Pram udah berubah Yessy."

"Tapi Flo...." Ucapan Yessy terputus saat mendengar suara dering ponsel dari Flopia.

Yessy dapat mendengar jelas semua percakapan antara Flopia dengan Dito.

"Kamu mau kemana?" Tanya Yessy melihat Flopia terburu-buru pergi.

"Aku mau ke rumah sakit. Tadi Dito bilang penyakit jantung Mamanya kambuh lagi. Aku kenal baik Mamanya, jadi aku mau jenguk dulu."

"Apa Pram tahu kalau kamu berteman sama Dito?"

Flopia bergeleng. "Dia nggak tahu. Aku nggak mau di cemburu atau salah pahan. Lagian aku sama Dito murni hanya berteman saja. Yaudah aku pergi dulu ya, takutnya aku pulang kemalaman di kontrakan."

Begitu Flopia pergi, Yessy langsung menghubungi Pramuda. Dia hanya ingin tahu reaksi pria itu saat mendengar apa yang akan dia sampaikan nanti.

Namun wajah Yessy langsung cemberut saat Pram menolak panggilan telepon darinya. Yessy tak lantas menyerah, dia terus menghubungi Pram lagi... lagi... lagi... dan lagi. Sampai akhirnya Pram jengah dan menjawab telepon itu dengan nada kesal.

"Ada apa?"

"Kenapa bang Pram nggak mau angkat telepon dari aku?"

"Lagi sibuk."

"Apa benar bang Pram mau melamar Flopia?"

"Bukan urusan kamu Yessy!"

"Masalahnya agak aneh menurut aku. Flopia kan udah taken sama bang Pram, tapi kenapa dia masih aja jalan sama pria lain ya? Mana cakep lagi."

"Aku bukan tipe orang yang bersumbu pendek. Jelas aku nggak akan termakan omongan kamu itu."

"Yaudah sih kalau nggak percaya. Tapi coba hubungi Flopia dan tanya dia lagi di mana. Dia jawab jujur atau nggak."

"Apa maksudmu sebenarnya?"

"Sekarang Flopia lagi jalan berdua dengan Dito. Dia itu pria yang pernah melamar Flopia ke Papa...."

"Sialan!" Umpat Pram dan menutup telepon sebelum Yessy menyelesaikan kalimatnya.

"Halo? Halo bang Pram? Ya... dimatikan. Tapi nggak apa-apa. Yang penting aku puas. Semoga mereka putus dan nggak jadi lamaran!" Yessy menyimpan ponselnya ke dalam tas dan pergi meninggalkan ruangan kelas yang sudah sangat sepi.

Di lain sisi, pikiran Pram sedang  berkecamuk mengenai percakapannya dengan Yessy tadi. Dia berusaha untuk tidak memperdulikan namun kata-kata Yessy selalu terngiang di otaknya. Lalu dia memutuskan untuk menghubungi Flopia.

"Udah pulang kuliah?"

"Udah."

"Lagi di mana?" Tanyanya langsung.

"Lagi di jalan mau ke rumah sakit Harapan Kasih. Aku pulang malam ya, mungkin sekitar 7."

"Ngapain ke sana?"

"Hem... itu mamanya Yessy sakit, jadi aku mau jenguk."

"Aku ikut nyusul ya? Aku mau lihat Mamanya Yessy juga."

"Eh nggak usah Pram," Tolak Flopia cepat.

"Kenapa?"

"Kamu pasti sibuk jadi nggak usah."

Pramuda terdiam begitu lama. Dia sangat kecewa mengetahui Flopia berbohong lagi padanya. Pram bingung, kenapa Flopia harus bohong seperti itu. Tanpa memperdulikan Flopia yang masih aktif di ujung telepon, Pram langsung memutuskan sambungannya.

Tangan kanannya menggenggam erat ponsel itu berusaha untuk tidak membantingnya ke lantai. "Kalau kamu bosan sama aku, harusnya bicara Flo. Kalau kamu nemu pria yang lebih dari aku, harusnya kamu bicara juga. Kamu pikir aku ini apa? Sialan! Aku berusaha jadi pria setia seperti yang kamu mau, tapi balasan kamu kayak gini? Benar-benar sialan!"

*****


Flopia permisi pada Dito dan berlari ke arah kamar mandi yang ada dalam ruangan tempat Mama Dito dirawat. Sudah beberapa hari ini dia sering mual seperti itu baik pagi, siang dan malam.

"Kamu punya sakit maag?" Tanya Dito yang ikut menyusul ke dalam kamar mandi saat mendengar Flopia seperti ingin muntah.

"Nggak tahu." Flopia kembali menunduk karena rasa mual.

Dito memijit tengkuk Flopia sambil memegang rambut panjang Flopia agar tidak menutupi wajah wanita itu. "Apa kamu atau kekasihmu memakai pengaman saat berhubungan badan? Aku hanya takut kamu hamil, mengingat kalian tinggal bersama di kontrakan."

Seketika tubuh Flopia menegang mendengar hal itu. Dia mencoba mengingat kapan terakhir kali menstruasi. Memang sudah dua bulan ini dia telat datang bulan.

Flopia menunduk dan menatap ke arah perutnya. "Mungkinkah aku hamil? Apa Pram akan bahagia kalau aku hamil anaknya?"

"Kamu harus melakukan tes dulu sebelum mengabarinya. Berhubung kamu lagi di rumah sakit, aku bisa menemanimu untuk mengeceknya."

Flopia mengangguk tersenyum sambil menghusap perutnya dari atasan baju.

21-Juli-2017

CIYEEE DAPAT ZONKKKK karena belum dapat konfliknya. HAHAHAAAAAHA NGAKAK GULING-GULING. Btw ini 3306 kata guys....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top