Room 4

Yuhuuuu akhirnya Blue update lagi teman-teman ^^ 

Kalau komennya sampai 100 lagi, besok aku lanjut lagi ya >_<

[Sebelas tahun yang lalu]

Blue berhenti tepat di depan pintu apartemen yang dituju. Sebelum masuk dan menekan kode membuka pintu, dia menghubungi lebih dulu seseorang yang bersedia meminjamkan apartemen secara cuma-cuma. Kuliahnya di London kali ini harus berhasil, jika tidak ayahnya bisa ngamuk karena dia sudah mengambil jurusan baru dari ulang.

"Mercu, lo beneran mau minjemin apartemen, kan? Ini kodenya udah bener?" tanya Blue agak ragu.

"Beneran. Lo gunain aja. Gue nggak pakai kok. Ada hadiah juga yang oke di apartemen," jawab Mercurius Wijaya—dari seberang sana.

"Lo nggak jual ganja kan di sini? Gue curiga lo dengan cuma-cuma minjemin gue apartemen."

Mercurius terdengar tertawa keras. "Haha... bego lo! Dikira gue mafia kayak gituan apa. Ketemu polisi aja ketar-ketir. Yang ada bisa pipis di celana duluan. Jangan nuduh yang nggak-nggak deh."

"Ya, kirain. Gue curiga aja lo yang pelitnya setengah mati rela pinjemin gue apartemen. Bahkan udah kaya raya aja sepupu lo bilang duit seperak diminta. Makanya gue curiga," balas Blue.

"Nggak. Pokoknya lo boleh pakai sampai lulus. Belajar yang bener lo."

"Sok ceramah."

"Gue kasih tau yang baik, Dek Blue."

"Najis."

"Ya udah. Gue matiin ya. Anggap aja ini hadiah ulang tahun lo yang tertunda."

"Hm... basi banget. Kalo apartemen lo nggak rapi, gue mau cabut pindah ke penthouse bokap."

"Yakin? Kalo ketahuan bapak lo bawa anak gadis bukannya makin diceramahin?"

Blue membenarkan kata-kata Mercurius. Ayahnya punya banyak mata-mata di London. Bibinya ada yang menetap di London, dan disuruh memeriksa keadaannya jika menetap di penthouse milik sang ayah. Jika memilih menetap di apartemen milik Orderano dan Ron yang ada di London, tentu akan kena sidak juga. Itulah kenapa dia bersedia setelah ditawarkan Mercurius meminjam apartemennya—pastinya dia bisa dengan bebas melakukan hal yang dia inginkan. Benar, bukan?

"Ya udah, gue matiin. Thank you, Meriii."

Sambungan segera dimatikan sepihak oleh Blue tanpa memperdulikan protes Mercurius padanya soal panggilan cantik itu. Blue menekan enam digit kode apartemen milik Mercurius, lalu masuk ke dalam. Betapa terkejutnya ketika Blue melihat seorang perempuan berambut panjang sepunggung berwarna cokelat memakai bandana bertelinga kelinci, tapi pakaiannya tank top dan hot pants yang serba terbuka. Blue bisa dengan jelas melihat belahan dada perempuan itu.

Perempuan itu berkedip berulang kali memandang Blue—berteriak histeris kemudian. Tangannya spontan menutupi bagian yang dipandangi Blue berulang kali. Perempuan itu berbalik badan.

Blue langsung memalingkan wajah melihat punggung perempuan itu. Bukan hanya bagian depannya yang bikin tubuh bereaksi aneh-aneh, tapi bagian belakang juga. Astaga... otaknya langsung dipenuhi pikiran-pikiran tidak senonoh. Kenapa pula ada perempuan itu di apartemen Mercurius?

"Ka-ka-kamu siapa? I-I mean, who are you?"" tanya perempuan itu gelagapan.

Blue menaikkan satu alisnya. Baru mau membalas pakai Bahasa Inggris, ternyata perempuan itu sudah lebih dulu bicara menggunakan Bahasa Indonesia. "Saya mau tinggal di sini. Kamu pacarnya Mercurius?"

Perempuan itu berbalik badan. "Hah? Saya nyewa apartemen ini. Malah udah bayar buat tiga tahun ke depan."

Oh, great! Mercurius sialan itu memang paling mirip setan. Kelakuannya ada saja yang bikin dia kesal. Jadi ini kenapa Mercurius mengatakan ada hadiah. Iya, hadiah penghuni yang sudah menyewa. Sungguh, keterlaluan sekali manusia itu.

"Kamu penyewa apartemen ini? Beneran? Bukan simpenan Mercurius?" tanya Blue lagi, merasa tidak yakin.

"Bener. Ini bukti transfernya kalo kamu nggak percaya." Perempuan itu mengambil ponsel, mencari gambar bukti transfer, lalu menunjukkan kepada Blue. "Lihat, kan? Aku udah kirim buat Kak Mercu uang sewa tiga tahun."

Blue semakin kesal. Dalam hati Blue gondok setengah mati. Bahkan, dia mengumpat berulang kali saking kesalnya. Mercurius, lihat aja gue sumpahin keselek batu! Teman terlaknat! Monyet!

"Uangnya saya balikin deh. Kamu cari tempat sewaan yang lain aja," saran Blue.

Perempuan itu kaget. "Eh? Nggak mau. Pemandangan di sini bagus. Memangnya Mercurius nggak bilang saya udah sewa? Kok dia malah bolehin orang lain nyewa juga?"

"Sebentar. Saya telepon manusia nggak beradab itu dulu," kata Blue, yang kemudian segera menyingkir dari hadapan perempuan itu. Dia tidak pergi jauh, hanya berdiri tepat di depan pintu. Untung saja panggilannya langsung diangkat oleh yang bersangkutan. "Heh! Monyet! Apa-apaan lo nyuruh gue tinggal di apartemen yang udah ada penyewanya?! Otak lo konslet ya? Sinting lo ya, Mercu! Sarap lo!" umpat Blue kasar.

"..."

"Apa?! Lo masih mau ngelak ini apartemen nggak disewain? Gue sumpahin mobil lo kebakar waktu lo lagi latihan buat turnamen. Nggak ada otak lo!"

"..."

"Nggak usah ngomong sama penyewanya. Gue nggak mau tau lo suruh penyewanya cari tempat lain. Lo udah janji sama gue pinjemin apartemen yang ini. Awas lo!"

Perempuan yang menyewa apartemen tampak kaget. Dia mundur beberapa langkah karena takut melihat orang asing yang tiba-tiba datang mengomel seperti orang kesurupan. "Ka-ka-kalo kamu mau tinggal di sini, ya udah. Saya pergi cari apartemen lain deh, nggak apa-apa," kata perempuan itu takut.

Blue menghela napas. Dia paling malas mencari apartemen di saat seminggu lagi sudah akan masuk kuliah. Kalau menetap di penthouse ayahnya... ugh! Dia tidak mau. Dengan sangat terpaksa Blue berkata, "Kalo gitu izinkan saya menetap di sini selama sebulan. Kalo nanti saya nemu apartemen baru, saya akan pindah. Gimana? Sebagai gantinya, saya suruh Mercurius mengembalikan uang sewa kamu selama satu tahun."

Perempuan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sama sekali. "Ya... boleh deh. Nanti saya bantu cari sekalian."

"Ya udah. Kalo gitu saya bisa tidur di mana?" tanya Blue.

"Itu masalahnya..." Perempuan itu mendekati pintu yang berada dekat dengan pintu utama. Dia menatap Blue takut. Wajahnya tidak bersahabat. "Ini... kamarnya masih berantakan. Sepertinya sama Kak Mercu dipakai buat bertapa dan... begitu."

Blue yang penasaran langsung membuka pintu kamar sebelah. Dia memang tahu kamar apartemen Mercurius hanya ada dua. Memang tidak sebesar apartemen Mercurius di Manchester, tapi pemandangan di apartemen yang ini lebih bagus. Makanya Blue memilih apartemen yang ini. Sialnya, dia baru tahu satu kamar milik Mercurius dipakai buat meletakkan barang-barang tidak terpakai, termasuk kardus-kardus yang entah apa isinya. Blue mengusap wajahnya kasar. Dia sudah lelah, lalu disuruh membereskan barang-barang sialan ini dulu? Ya, Tuhan... ingin mengumpat lagi tapi dosanya sudah menumpuk.

"Kalau gitu saya tidur di sofa aja. Besok baru beresin kamar sampah ini," kata Blue.

Perempuan itu mengangguk. "Besok saya bantu sekalian." Menit berikutnya dia mengulurkan tangan kepada Blue. "Omong-omong, saya Santa Abelia. Nama kamu siapa?"

Blue menyambut uluran tangannya. Perlahan senyumnya tertarik melihat keramahan gadis itu. "Blue Elbran Soedarjo. Panggil aja Blue."

🗝🗝🗝

Jakarta, Indonesia. Saat ini.

Suasana hening. Santa mengunyah santapan makan malam yang dimasak oleh Yzezina. Malam ini dia makan bersama ayahnya yang super sibuk—mirip dengan business man yang usahanya di mana-mana. Ya, memang sebenarnya benar begitu. Ayahnya tidak pernah punya waktu di rumah. Waktu menetap di London, dia tinggal sendirian dan beruntungnya bertemu dengan Yzezina di kampus. Sosok Yzezina seperti ibu kedua. Tak disangka-sangka setelah Yzezina pulang ke Jakarta, entah bagaimana bertemu dengan ayahnya, mereka berdua saling cinta. Dunia terlalu sempit, tapi Santa bersyukur Yzezina akan menjadi ibu tirinya.

"Papa dengar kamu bekerja sebagai asisten band. Apa yang kamu harapkan dari bekerja sebagai asisten? Apa kamu nggak sayang sama gelar yang kamu capai itu?" Andri Koeswoyo—ayah Santa—terdengar agak kesal.

"Mas, lagi makan. Buat apa sih bahas sekarang?" tegur Yzezina mencoba menghentikan sebelum terjadi perdebatan panjang.

"Kamu tuh ya selalu aja bela Santa," omel Andri.

"Santa kan sahabat aku. Lagi pula apa yang salah dengan menjadi asisten? Aku aja kerja cuma jadi sekretaris kok. Kamu mau Santa ngapain? Lanjutin bisnis kamu? Keinginan orang kan beda-beda, Mas. Kamu nggak bisa memaksa Santa mengikuti keinginan kamu," cerocos Yzezina mulai sewot.

"Seenggaknya jangan jadi asisten. Disuruh-suruh gitu nggak enak. Benar, saya mau Santa melanjutkan bisnis saya. Saya sekolahin Santa tinggi-tinggi supaya dia meneruskan semua yang saya miliki. Kenapa malah jadi asisten? Kalau tau dia jadi asisten, lebih baik menetap aja di London. Kerjanya di London udah enak kok. Kenapa harus pulang?"

"Mas!" Yzezina memelototi Andri. Dia secara tak sengaja melihat Santa menunduk sedih.

Santa meletakkan alat makannya di atas meja. Dengan tatapan nanar dia melihat sang ayah yang duduk berhadapan dengannya. "Papa memang nggak pernah ingin aku pulang, kan? Sejak kecil aku selalu tinggal sama Oma dan Opa di London. Papa nggak pernah jenguk aku dan cuma kirimin uang. Aku anak semata wayang Papa, lho. Tapi aku diperlakukan kayak anak haram yang nggak boleh ketemu ayahnya. Aku sedih. Kalo Zezi nggak bujuk-bujuk aku pulang, aku juga nggak mau menetap di sini. Dan setelah bertahun-tahun mengabaikan aku, Papa nggak berhak mengatur apa pun yang mau aku lakukan. Aku udah nggak mau makan lagi. Aku permisi."

Santa meninggalkan ruang makan. Yzenina pun langsung berdiri dari tempat duduknya dan memelototi calon suaminya. "Kamu tuh ya keterlaluan, Mas. Anak sendiri udah kayak anak tiri. Aku nggak paham deh sama jalan pikiran kamu. Bikin mood orang rusak aja." Kemudian, Yzezina bergegas mengejar Santa yang pergi entah ke mana.

Santa yang sudah berada di dalam mobil langsung keluar meninggalkan pekarangan rumah ayahnya. Dia butuh udara segar. Dia mendengar Yzezina berteriak memanggil dan mengejar mobilnya saat melaju keluar. Namun, dia tidak ingin Yzezina terus-menerus melihatnya bersedih.

Sepanjang perjalanan Santa menyalakan lagu. Dia mencoba menghubungi nomor ponsel Blue. Berulang kali dia menghubungi, tapi panggilannya tidak diangkat. Dengan penuh harap akhirnya Blue mengangkat panggilan setelah lima kali.

"Halo? Kenapa, San?" jawab Blue di seberang sana.

Santa menginjak rem mobil, berhenti di bahu jalan dengan menekan tanda lampu hazard. Air matanya jatuh membasahi pipi. Namun, mendengar suara Blue membuat senyumnya tertarik sedikit. "Nggak apa-apa, Blue. Aku cuma mau tanya apa jam segini ada restoran yang buka."

"Ada kok. Kenapa? Kamu mau makan di luar jam segini?"

"Mungkin. Anyway, makasih udah angkat teleponnya, Blue."

🗝🗝🗝

Jangan lupa vote dan komen kalian ya ^^

Btw, bapaknya Santa ganteng lho :p penasaran nggak? wahahaha

Follow IG: anothermissjo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top