Room 3
Yuhuuuu! Aku lagi rajin jadi double up untuk kalian ^^
Kalau komennya sampai 100, besok aku lanjut lagi ya<3<3
rajin-rajinlah komen dan kasih vote teman-teman<3
•
•
Beberapa hari setelah syuting video klip selesai, Santa menjalankan tugas sebagai manager palsu. Dia disuruh membangunkan Green yang paling sulit bangun lebih awal. Itulah kenapa manager Overtime cuma membangunkan Green secara spesial mengingat Green kalau sudah tidur seperti orang koma. Pukul sepuluh pagi akan ada acara di salah satu stasiun televisi ternama.
Santa merapikan bandana pita yang dia pakai, lalu membenarkan dress terusan yang sopan sebatas lutut. Pintu rumah keluarga Soedarjo sudah dibuka dan Santa bergerak masuk ke dalam. Dia tidak sabar melihat Blue.
"Wah... siapa ini? Cantik sekali," sapa Asyera Lestaru Soedarjo––ibunya Green dan Blue.
Santa terkagum-kagum melihat wajah cantik dari calon ibu mertua. Lagi dan lagi, Santa berkhayal jika nanti Mama Asyera jadi ibu mertuanya. Toh, dia yakin bahwa dia akan menjadi Mrs. Soedarjo.
"Selamat pagi, Ma––eh, Tante. Saya Santa, calon––bukan, maksudnya manager baru Overtime. Saya datang ke sini ingin membangunkan Green," balas Santa dengan senyum lebarnya.
"Ya ampun... kamu Santa?" Asyera berhambur memeluk Santa dengan ramahnya. "Aduh... cantik banget. Blue jahat banget nggak tau kamu suka sama dia."
Santa menaikkan satu alisnya. Jadi Mama Asyera sudah tahu soal perasaan dia kepada Blue? Ini pasti ulah Green. Dia pikir mulutnya Green tidak seperti kaleng rombeng yang berisik. Santa salah. Namun, tidak ada salahnya juga. Siapa tahu Mama Asyera mendukungnya.
"Betul, Mama. Eh, Tante," bisiknya setengah terkekeh.
"Panggil Mama juga boleh, Nak. Eh, tapi nanti Blue curiga." Asyera melepas pelukan, lalu membelai wajah Santa dengan ramah. "Panggil Mama kalau nggak ada Blue. Biar dia––"
"Ma, di mana sih dasi cokelat punya Blue?" Suara Blue menyela kalimat Asyera yang belum selesai. Tepat saat menyadari adanya kehadiran Santa, Blue langsung menyapa. "Santa? Kok pagi-pagi udah di sini?"
"Astaga! Kamu nih ya nggak sopan!" Asyera memukul lengan Blue. "Ini Santa mau bangunin Green. Coba kamu antar ke kamarnya Green. Terus jangan lupa dipantau takut Green macam-macam sama Santa."
"Mana mungkin dia aneh-aneh. Green nggak naksir perempuan, Ma. Doyan meluk member band Overtime gitu," canda Blue.
"Blue! Mulutnya ya jahil banget!" Asyera memelototi Blue. Setelah putranya nyengir, dia menarik Santa sedikit supaya berdiri di depan Blue. "Nah, antar Santa ke atas. Mama mau nyari Mang Udin."
Sebelum pergi Asyera mengerlingkan mata kepada Santa. Santa menarik senyum senang karena ibunya Blue terlihat mendukungnya. Juga, dia senang sepagi ini bisa melihat ketampanan Blue yang luar biasa meneduhkan jiwa raga.
"Ayo, kita--aduh! Sialan!" Blue yang baru berbalik badan tersandung sandal ibunya. Entah bagaimana ibunya meninggalkan sandal di depan pintu. Untung dia bisa menahan keseimbangan jadi tidak jatuh. "Mama kebiasaan amat sih berasa lantai tempat parkir sandal sembarangan," gerutunya sebal.
Santa terkekeh. Blue malu sendiri. Tanpa ingin terlihat lebih memalukan lagi Blue langsung memandu Santa menuju kamar kakaknya yang berada di lantai tiga. Setelah tiba di depan kamar Green, Blue langsung mengetuk pintunya tapi tidak ada jawaban. Blue akhirnya membuka pintu kamar Green yang memang tidak pernah dikunci––memang sengaja supaya jika ada manager datang tidak perlu repot mendobrak pintu segala.
"Masuk aja. Green nggak ngegigit kok," suruh Blue.
"Oke deh." Santa memberanikan diri masuk ke dalam kamar Green yang rapi. Kamarnya wangi dan tidak ada yang berantakan. "Green?"
Begitu Santa tiba di samping tempat tidur Green, dia melihat laki-laki itu tidur ditutupi selimut. Tidak sepenuhnya tertutup selimut, hanya sampai sebatas dada. Kebetulan dada bidangnya tidak memakai kaus apa pun alias telanjang dada. Dengan cepat Santa menggerakkan tubuh Green supaya bangun dari tidurnya.
"Green, bangun. Ini udah jam delapan pagi. Greenish!" Santa bersusah payah membangunkan Green tapi laki-laki itu seperti mayat. Tidak bergerak sama sekali. "Green, bang––aaaakkh!" Santa jatuh ke atas tempat tidur, ditarik Oleh Green. Parahnya lagi, Green malah memeluknya.
Santa diam sebentar. Dada bidang Green mengenai wajahnya. "Green... bangun. Green. Aduh, bangun! Gue nggak bisa napas!"
Blue yang sejak tadi menunggu di luar langsung bergegas masuk ke kamar kakaknya ketika mendengar suara pekikan Santa. Saat melihat Green memeluk Santa, dia langsung menyingkirkan tangan Green dari pinggang Santa.
"Heh! Greendingan! Gila lo ya main peluk-peluk manager baru. Nggak ada akhlak!" omel Blue sembari membantu Santa menyingkir dari pelukan kakaknya. Ketika Santa sudah berdiri, dia mengambil bandana Santa yang terlepas dan berada di atas tubuh Green. "Ini bandana kamu. Bentar. Aku punya cara lain bangunin Green."
Sementara Blue menghilang dari pandangan, Santa merapikan bandana yang dia pakai kembali dan pakaiannya yang agak berantakan.
"Heh! Green, bangun lo!" Blue mengguyur kakaknya dengan segelas air dingin yang diambil di dalam kulkas kamar kakaknya. Gelas berisi air ini sengaja disediakan ibunya buat jaga-jaga kalau Green susah bangun. Alhasil, kakaknya bangun dan protes. "Sialan! Basah bego!"
"Lo bego! Main asal peluk anak orang aja lo!" balas Blue tak mau kalah.
"Meluk?" Green melirik Santa yang merapikan dress terusan, lalu melihat Blue. "Bagus dong. Lo cemburu gue meluk Santa?"
"Nggak. Bukan cemburu, tapi lo nggak sopan. Bolot!" Blue langsung berbalik badan, meletakkan gelas di atas nakas, lalu keluar dari kamar. "Buruan bangun sebelum gue bakar tuh mobil lo."
Green tertawa geli. "Dasar pemarah! Habis ketemu Nine aja kemarin langsung marah-marah. Sian deh lo ketemu mantan!" ledek Green jahil.
Blue berteriak membalas, "Banyak ngomong lo!"
Santa yang sempat mendengar nama Nine langsung ingat soal kemarin. "Uhm... Green? Itu Nine mantannya Blue yang ninggalin dia nikah ya?"
Green yang masih menikmati tawa mengangguk. Detik berikutnya dia sadar akan sesuatu. "Eh? Kenal sama Nine?"
"Kemarin pas makan bareng Blue ketemu perempuan itu. Blue kelihatan emosi banget. Ya, gitu."
"Oh, gitu. Padahal udah ada lo, ngapain lihat Nine. Dasar tukang galau. Heran."
"Ya udah, Green. Mandi deh. Gue tunggu di bawah ya."
"Oke. Tunggu ya."
Santa keluar dari kamar Green. Baru beberapa langkah dia dikejutkan dengan kehadiran Blue yang juga hendak masuk ke kamar Green. "Eh, Blue. Kenapa?"
"Gimana lutut kamu kemarin? Sakit nggak?" tanya Blue sambil menurunkan pandangan melihat lutut Santa yang lecet. Santa menggeleng. "Yakin?"
Santa mengangguk. "Semua baik-baik aja!"
"Ya udah." Blue mnggut-manggut. Dia menggaruk tengkuk lehernya canggung. "Btw, kamu bisa bantu aku pakai dasi nggak? Biasanya Mama bantuin tapi belum balik. Aku mau ke kantor sekarang."
"Dasi? Bisa kok bisa!" Santa menjawab dengan semangat.
Saat Blue menyerahkan dasinya, dia langsung membantu Blue membuat dasi. Santa agak berjinjit mengingat Blue lebih tinggi darinya. Sambil memakaikan dasi yang dia buat serapi mungkin, sesekali Santa menatap iris hitam Blue. Matanya tidak belo, tapi agak sipit. Dadanya berdetak cepat seperti tabuh dipukul berulang kali. "Ganteng," gumamnya tanpa sadar.
"Kamu bilang sesuatu?" tanya Blue.
Santa menggeleng sambil tetap mempertahankan senyum. "Nothing." Kemudian, dia menarik tangannya setelah selesai. "Nah, ini udah beres. Rapi, kan?"
Blue mengamati hasil dasi buatan Santa. Bukan rapi lagi tapi bagus. Terkadang ibunya membuatkan dasi tidak simetris––seperti dirinya yang payah soal ini.
"Banget. Thank you, Santa. Aku pergi dulu ya. See you."
Beberapa langkah setelah Blue pergi, Santa memanggil. "Blue!" Laki-laki itu menoleh ke arahnya. Dia ingin mengajak makan siang, tapi takut tidak bisa. "Nggak, aku cuma mau bilang hati-hati di jalan. Bye!"
"Oh, ya udah. Kamu juga hati-hati."
Santa tetap tersenyum memandangi kepergian Blue. Ya ampun... dia bisa mencium aroma parfum Blue saat memakaikan dasi. Dia memegang kedua pipinya yang mendadak panas. Pasti kedua pipinya merah merona. Aduh, kenapa Blue semakin keren sih?
🗝🗝🗝
Blue melangkah memasuki lift bersama sekretarisnya. Dia melihat arloji mahalnya dan waktu menunjukkan pukul dua belas siang.
"Erine, menurut kamu apa yang paling bagus buat hadiah ulang tahun? Adik saya sebentar lagi ulang tahun. Kalo saya kasih bokser dia marah nggak ya?" tanya Blue kepada Euaerine Hermawan––sekretarisnya yang sudah bekerja selama tiga tahun di bawah naungan perusahaannya.
Blue mengurus perusahaan ayahnya yang berfokus pada bagian periklanan. Kakaknya yang sialan itu menolak dan memilih menjadi anak band. Sementara adiknya masih berkuliah di Seoul. Jadinya tinggal dia yang diharapkan bisa menggantikan sang ayah––padahal dia saja berharap bisa menghabiskan uang ayahnya secara cuma-cuma, bukan ingin bekerja yang memusingkan kepala. Sayang takdir selalu tak sejalan sesuai keinginan.
"Boleh saya saranin kasih lukisan, Pak? Supaya bisa dipajang di rumah atau kamar. Lukisan wajah dia," saran Erine––begitulah sapaannya.
"Lukisan? Boleh juga. Kebetulan sepupu saya pelukis. Makasih sarannya, Erine," kata Blue.
"Sama-sama, Pak." Erine diam tak bicara lagi kecuali diajak bicara dengan Blue.
"Er, saya mau tanya lagi."
"Iya, Pak?"
"Kalo kamu ketemu sama mantan teman sekamar kamu setelah sekian tahun, gimana perasaan kamu?"
"Teman sekamar maksudnya gimana ya, Pak?" tanya Erine bingung. Definisi teman sekamar di kepalanya luas.
Blue melihat sekeliling. Belum ada orang lain selain dirinya dan Erine yang ada di lift. Sialnya saat dia akan menjelaskan maksudnya, pintu lift terbuka dan beberapa orang masuk. Mau tidak mau Blue menunda sampai orang-orang turun. Kebetulan di kantornya tidak ada lift khusus CEO.
"Tunggu sampai parkiran. Saya baru mau tanya lagi," kata Blue kepada Erine.
"Baik, Pak."
Tak berapa lama kemudian Blue tiba di pelataran parkiran. Sambil berjalan bersampingan dengan Erine, dia memulai kembali obrolan yang sempat terhenti karena kehadiran orang-orang.
"Er, soal pertanyaan tadi nggak jadi deh. Anggap aja saya nggak pernah nanya," kata Blue setelah sekian lama berpikir. Dia merasa tidak penting-penting amat. "Oh, ya, gimana kondisi--"
"BLUE SOEDARJO!" Suara teriakan yang cukup keras itu mengagetkan Blue dan Erine. Sontak, keduanya melihat ke sumber suara. Tak disangka-sangka Green melambaikan tangan setelah keluar dari mobil sedan.
Blue memutar bola matanya malas. "Duh, ngapain sih dia ke sini? Emosi gue lama-lama," gerutunya kesal. Kemudian, dia melirik Erine. "Er, kalo Green ngajak makan bareng sama kamu aja ya? Dia naksir kamu tuh. Saya malas ikutan. Saya pasti diledekin soal masa lalu. Gerah dengarnya."
"Saya nggak enak, Pak. Masa saya--"
"Baby Blue!" Green menginterupsi. Entah berlari atau terbang, tapi yang pasti Green sudah berada di samping Blue dan merangkul pundak adiknya. "Kenapa sih mukanya kecut banget? Seharusnya lo senang dong didatangin anak band famous kayak gue. Bangga kan punya Kakak ngetop?"
"Lo ngapain sih ke sini? Muak lihatnya," balas Blue jutek.
"Muak? Lo hamil?" canda Green menggoda Blue.
"Itu mual bego!" Blue menampar tangan kakaknya dari pundak, lalu menjauh dari Green beberapa langkah. "Mau ngajak makan bareng? Atau, mau jadiin gue nyamuk karena lo mau deketin Erine?"
Green melempar kerlingan genit kepada Erine. "Iya dong. Gue mau ngajak Erine makan. Boleh, kan?"
Erine yang bingung langsung melihat kepada Blue seolah minta tolong harus merespons bagaimana. Blue langsung menyela, "Kenapa lo nggak ngajak makan member Overtime aja sih? Apa nggak punya kerjaan mampir ke kantor orang?"
"Siapa bilang gue cuma sendiri? Gue ngajak Santa juga. Biar kita bisa makan berempat gitu." Green menunjuk Santa yang kebetulan baru keluar dari mobilnya. "Gimana, Blue? Lo udah lama nggak ketemu Santa, kan? Harus rajin-rajin ngobrol berdua."
"Kenapa harus ngajak Santa?"
"Lho, kenapa? Santa kan manager gue."
"Lo pergi bertiga aja. Gue lagi nggak mood." Blue bergegas meninggalkan kakaknya dan segera masuk ke dalam mobil. Dia membunyikan klakson mobil keras-keras sampai membuat Green dan Erine kaget. Setelah kedua orang itu menyingkir, Blue melajukan mobilnya tanpa pamit.
Green yang terheran-heran langsung melongo. "Tuh anak kenapa? Kok begitu? Perasaan tadi baik-baik aja ketemu Santa." Dia bermonolog sendiri, bertanya entah kepada siapa. Lantas pandangannya beralih melihat Santa yang berdiri menunjukkan wajah sedih. "Duh, itu anak kalo sedih mukanya minta dikasihanin. Parah banget adik gue."
Dari jauh Santa yang melihat Blue pergi begitu saja merasa sedih. Kenapa Blue tidak mau melihat ke arahnya sama sekali? Perasaan tadi pagi masih baik-baik saja. Kenapa laki-laki itu malah terlihat seperti menghindar?
🗝🗝🗝
Jangan lupa vote dan komen kalian<3<3
Follow IG: anothermissjo
Santa cantik banget ya >_<
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top