Chapter 9
Part ini disponsori lagunya Byul - I Think I Love You (OST Full House)
Di bawah ini adalah trailer cerita Hello, Ex-Boyfriend. Hati-hati baper ehehe
https://youtu.be/PaiPQlYtK3I
-- BATAS NANO-NANO --
-
-
Jangan lupa vote sama komen ya<3
-
-
Beberapa minggu Rugby menghindari Gavin. Dia tidak ingin bertemu manusia itu lagi. Mau ditaruh mana mukanya kalau dia ketemu? Ampun... membayangkan ciumannya dengan Gavin di atas ranjang.
Rugby mengacak rambutnya frustasi. Dia bisa gila hanya dengan memikirkan masalah ini!
"Kamu ngapain sih acak-acak rambut gitu? Mulai stres mikirin perkara di pengadilan?"
Rugby terkejut mendengar teguran ibunya. Sejak minggu lalu dia telah pulang ke rumah dan minta maaf karena kabur begitu saja dari acara pertunangan. Orangtuanya menetap di rumah yang tak pernah mereka tinggali. Entah untuk berapa orangtuanya menetap di Jakarta.
"Bukan, Ma. Aku lagi pusing mikirin hidup," seru Rugby.
"Daripada pusing mending masuk. Ada tamu penting di dalem. Kita udah nungguin kamu daritadi," ajak Nastania Hadijaya—ibunya Rugby—seraya menarik tangan Rugby hingga masuk ke dalam.
Rugby terbelalak kaget mendapati Marco duduk bersama orangtuanya di ruang tamu. Sebentar, apa yang mereka semua lakukan di sini?
"Nah, ini dia anaknya. Jadi kan kita bahas soal perjodohan mereka?"
"Hah?!?" Rugby memekik kaget. "Perjodohan?? Serius??"
"Iya, calon istriku," sahut Marco sambil mengedipkan mata menggoda.
"Ma, ini pasti kesalahan. Masa Mama—"
"Ini bukan kesalahan. Dari dulu kan Mama sama Papa emang sepakat mau jodohin kalian. Sayangnya Marco pacaran sama yang lain dan kamu juga. Mumpung sekarang kalian berdua jomblo makanya kita mau lanjutin perjodohan ini," potong Nastania dengan nada memaksa.
Rugby tidak bisa berkata-kata. Memang orangtuanya lebih mengenal orangtua Marco lebih dulu karena mereka bersahabat saat di kampus tapi Rugby tidak akan menyangka janji untuk menjodohkan menjadi kenyataan. Astaga!! Menikah dengan Marco?!?
"Ma! Ish! Rugby nggak—"
"Kamu mau nolak? Jangan ditolak Kamu udah kelewat sering gagal nikah. Kalo sama Marco pasti jadi," potong Nastania lagi lebih cepat.
"Marco bilang kalo lo nggak mau nikah sama gue!" paksa Rugby menekankan kalimatnya sambil melotot tajam.
"Gue mau kok. Kenapa nggak? Ya bisa dibilang lo tipe gue deh," jawab Marco dengan wajah tengilnya.
Demi Tuhan! Rugby ingin meninju wajah tengil Marco sekarang juga! Untuk apa dia menunjukkan cengiran kuda seperti itu? Kenapa jawabannya sungguh mengesalkan? Dia tidak mungkin menikahi Marco. Tidak akan!
"Denger ya aku tuh nggak—"
"Rugby, apa salah kalo Papa sama Mama pilihin jodoh untuk kamu? Selama ini kamu selalu salah pilih jadi nggak pa-pa dong sekali ini kita bantuin kamu? Kalo emang nggak cocok sama Marco, kalian bisa batalin kapan aja. Yang penting pendekatan dulu," potong Dion Hadijaya—ayahnya Rugby—dengan nada berwibawa.
Rugby diam menatap wajah memohon sang ayah. Sebenarnya dia ingin menolak lagi tapi mendengar ayahnya berkata seperti itu dengan wajah memelas rasanya dia merasa menjadi anak durhaka. Belum lagi wajah memohon orangtua Marco.
"Itu betul, Rugby. Kalo Marco bukan yang tepat, kalian bisa batalin rencana menikah." Herza Wijaya—ayahnya Marco—ikut menimpali.
Rugby tidak punya pilihan lain selain memaksakan senyum, lalu duduk di samping ibunya yang tersenyum lebar seakan senang melihatnya pasrah. Dengan terpaksa dia mengangguk mengiyakan rencana perjodohan bodoh ini. Pandangannya sesekali tertuju pada orangtuanya dan orangtua Marco yang tampak gembira dengan rencana yang mereka buat. Ya, Tuhan... bagaimana dengan Gavin? Tunggu, apa dia baru saja memikirkan Gavin? Untuk apa??
Fokus, Rugby. Fokus! Buat apa mikirin parasit itu sih?! batin Rugby.
🌹 🌹 🌹
Pagi ini rumah orangtua Rugby dipenuhi dengan barang-barang baru yang diturunkan dari truk pelayanan toko perabotan rumah tangga. Rugby tidak mengerti kenapa orangtuanya bersedia pindah ke Jakarta setelah sekian lama menetap di luar negeri untuk menjauhi permasalahan keluarga yang rumit. Rugby meminta para sepupunya membantu. Juga, ada Marco dan Gavin yang turut membantu pindahan heboh ala orangtuanya.
"Berhubung Mama sama Papa udah pindah ke sini, kamu sama Edibel nggak boleh tinggal terpisah. Kalian harus menetap sama Mama dan Papa." Nastania sudah mengoceh saat Rugby membereskan barang-barang. "Mama nggak mau kalian terpisah dari Mama dan Papa. Pokoknya jangan dibantah. Oke?"
Edibel memutar bola matanya malas. "Ma, plis deh kenapa mendadak maksa kayak gini sih? Rugby pasti lebih suka tinggal sendirian supaya bebas ngapain aja."
Rugby menimpali, "Lo kali biar bebas ngapain aja sama Amira."
"Kasian mereka berdua, Tante. Mereka berdua terbiasa hidup bebas di sini," sela Zery.
"Niat Tante tuh baik, Zer. Tante cuma mau kumpul sama anak kembar Tante. Itu aja kok. Rasanya sedih tinggal berduaan doang sama bapaknya mereka," balas Nastania.
Tak ada yang sadar Edibel dan Rugby kembar. Mereka bukan kembar identik sehingga orang-orang mengira mereka kakak adik berbeda umur padahal mereka lahir hanya selisih menit saja. Orangtuanya pun tidak memberi nama mirip karena lebih menyukai nama yang berbeda. Lain cerita dengan kakak suaminya yang kembar dan namanya mirip.
"Ma, mending urus kamar Mama dulu aja. Rugby pasti tinggal sama kalian. Nggak tau kalo Edibel." Rugby menjulurkan lidahnya pada sang kakak. "Aku sama Sagitarius mau urus dapur."
"Aku mau urus kebun belakang sama Zery. Yuk, Zer," ajak Edibel dengan maksud mengalihkan agar tidak diberondong ceramah ibunya soal ajakan sebelumnya. Zery pun mengerti dan segera mengikuti Edibel.
"Dua anak itu bener-bener," gerutu Nastania sambil bertolak pinggang.
Gavin yang kebetulan sedang melewati tubuh Nastania segera bertanya saat melihat wanita itu memperhatikan kedua anaknya yang menyebar ke dua arah. "Kenapa sama mereka, Ma?"
"Eh, Gavin. Nanti Mama ceritain di atas. Bantuin Mama dekor kamar yuk? Mau kan, Nak?"
"Mau kok, Ma. Ayo Gavin bantuin."
Gavin menaiki lantai dua menggunakan lift yang tersedia di rumah orangtua Rugby bersama mantan calon ibu mertua. Setelah tiba di tempat tujuan barulah Gavin mulai membereskan beberapa hal yang disuruh oleh Nastania. Selain itu Gavin bersedia membantu memantek paku untuk meletakkan foto pernikahan Nastania di dinding kamarnya. Sebenarnya ada tukang yang akan membereskan siang nanti tetapi Gavin mengatakan lebih baik dikerjakan beberapa hal selama ada yang bisa membantunya dengan cepat. Selesai dengan foto, Gavin membantu Nastania mengeluarkan beberapa barang baru seperti lampu dan pernak-pernik lainnya dari kardus.
"Gav, boleh nggak Mama tanya sesuatu?" Nastania mencoba memecah keheningan di antara mereka.
"Mau tanya apa, Ma?"
"Kamu masih cinta sama Rugby?" tanya Nastania lagi. Sejurus kemudian dia menambahkan, "Mama nanya ini karena dua tahun belakang kamu nggak kasih kabar apa-apa ke Mama. Jadinya Mama berpikir apa mungkin kamu udah lupain Rugby atau nemu pendamping yang tepat untuk kamu nikahi."
Tiba-tiba tangan Gavin berhenti dari kegiatannya. Ada senyum terpaksa yang mulai terbit sebelum dia menjawab. "Kalo Mama nanya untuk memastikan apa aku sedih denger rencana pertunangan Rugby dan Marco, jawabannya iya. Soal masih cinta, tentu Mama tau jawabannya."
Gavin kaget mendengar kabar rencana pertunangan Rugby dan Marco. Andai laki-laki itu orang lain, dia tidak masalah. Mungkin rasa sakitnya tak sesakit setelah tahu bahwa laki-laki itu adalah sepupunya sendiri. Dia masih tidak percaya namun, obrolan para sepupunya di grup yang mulai terpecah dua menjadi kubunya dan Marco telah meyakinkan kalau berita itu bukan isapan jempol semata. Dan setelah ciuman manis itu Gavin dihantam dengan hal yang sangat menyakitkan.
Nastania diam memandangi Gavin yang menunjukkan senyum palsu. Walau Nastania bukan Rugby tetapi dia sudah mengenal Gavin sehingga senyum palsu itu dapat terlihat jelas. Apalagi jika membahas soal putrinya, Gavin berusaha pura-pura kuat meski hatinya rapuh.
"Mama minta maaf kalo rencana pertunangan ini bikin kamu sedih. Mama pikir kamu udah nggak cinta sama Rugby makanya Mama—"
"Nggak apa-apa, Ma. Gavin akan coba menerima rencana itu. Mungkin aja Marco bisa lebih baik menjaga Rugby. Mereka keliatan cocok," sela Gavin lirih. Suaranya bergetar dan matanya berkaca-kaca.
"Gavin..." Nastania mendaratkan tangannya di atas punggung tangan Gavin. Iris cokelatnya menatap sedih Gavin yang tak berhenti berpura-pura baik-baik saja. "Gavin... kalo kamu sedih, kamu harus tunjukkin. Kalo kamu cinta ya kamu bilang. Mama tau Rugby anaknya susah dimengerti tapi Mama tau dia ingin kamu membicarakan semua hal secara gambling. Kalo aja kamu bilang sama Mama lebih awal, mungkin Mama nggak akan menjodohkan Rugby sama Marco. Mama nggak tau gimana perasaan kamu sama Rugby."
Gavin menepuk pelan punggung tangan Nastania yang mampir di atas tangannya. Dengan senyum yang masih bertahan meski hatinya sakit, Gavin membalas, "Nggak pa-pa, Ma. Jangan bilang kayak gitu. Gavin akan mendukung dan mendoakan kebahagiaan Rugby sama Marco. Semoga rencana itu bisa sampai tahap yang baik."
"Ada banyak perempuan di luar sana. Kamu bisa pacarin mereka seperti kamu pacarin dua mantan kamu setelah Rugby. Mama yakin kamu akan nemuin sosok yang tepat."
"Pacarin banyak perempuan itu gampang. Mulai semua dari awal juga gampang, tapi lupain masa lalu itu susah, Ma. Gavin nggak bisa bertahan sama siapa pun karena nggak bisa ngelupain Rugby. Sekuat apa pun Gavin mencoba tapi hasilnya nggak bisa kayak perasaan Gavin untuk Rugby," tutur Gavin.
Nastania meneteskan air mata saat melihat Gavin meneteskan air matanya meski senyum tetap terlihat. Nastania menggenggam tangan Gavin erat-erat.
"Maafin Mama, Gavin..."
"Jangan minta maaf, Ma. Gavin nggak pa-pa. Seenggaknya Gavin lega karena Marco orangnya. Marco bisa jagain dan mencintai Rugby jauh lebih baik. Marco nggak sepengecut Gavin. Jadi Mama memilihkan laki-laki yang tepat untuk Rugby. Makasih ya, Ma. Karena Rugby berhak mendapatkan seseorang yang jauh lebih baik dari Gavin atau pun laki-laki yang pernah mengisi hidupnya dulu," ucap Gavin semakin lirih.
Nastania menarik Gavin dalam pelukannya dan mengusap punggung laki-laki itu berulang kali. Seperti dulu, Gavin menangis tanpa suara dalam pelukan Nastania setelah menjelaskan kenapa dia membatalkan pernikahan. Gavin memendam lukanya dalam hati tanpa diketahui Rugby yang terlampau membencinya dulu.
"Semoga Marco tersenyum saat liat Rugby marah-marah. Karena hal itu yang Gavin suka dari Rugby, caranya marah dan kesal. Gavin nggak akan ngelupain itu," bisik Gavin.
"Nak..."
"Semoga Marco bisa membuat Rugby lebih banyak tersenyum dan tertawa dibanding Gavin yang cuma bisa menyakiti dia," tambah Gavin lirih.
Marco diam-diam mendengarkan percakapan keduanya. Tubuhnya diam mematung bersembunyi menghadap tembok. Sebelum dirinya ketahuan menguping, Marco berbalik badan. Tepat saat dirinya sudah berbalik, dia dikejutkan dengan kehadiran Rugby di belakangnya.
"Rugby...," gumam Marco pelan.
Rugby terlihat menampung air matanya. Hanya tinggal berkedip sekali air mata itu pasti jatuh. Tanpa mengatakan apa-apa Rugby langsung pergi. Marco pun mengejar dari belakang dan berhasil meraih pergelangan tangannya.
"Lo denger semuanya kan? Gavin secinta itu sama lo, Rugby."
Rugby tak menjawab tetapi, air matanya jatuh dari pelupuk matanya. Rugby semakin merasa bersalah setelah mengiyakan rencana perjodohan orangtuanya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana Gavin saat melihat ibunya mengatakan banyak hal tadi. Hatinya ikut sedih.
Marco menarik Rugby dalam pelukannya, membiarkan perempuan itu meluapkan kesedihan dalam dada bidangnya. Seiring pelukan yang diberikan, tangannya tak berhenti mengusap kepala Rugby dengan lembut.
"Gue tau di dalam hati lo masih ada Gavin. Berhenti berpura-pura seakan lo membenci dia, By," bisik Marco pelan. Rugby tak merespons, hanya menangis dan menangis.
Gavin yang telah keluar dari kamar Nastania dan hendak turun ke bawah tak sengaja menyaksikan pelukan itu. Untuk beberapa saat pandangannya tak beralih. Hatinya seperti tertusuk belati namun dalam jumlah yang tak bisa dihitung. Mungkinkah sudah saatnya dia melupakan perasaannya sekarang?
🌹 🌹 🌹
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top