Chapter 8
-- BATAS UWU --
Sepulang kerja Rugby duduk di banku taman rumah sakit menunggu kedatangan Rafdal. Berhubung dia ingin menjenguk Gavin jadi sekalian meminta Rafdal datang. Dia ingin meminta surat yang Rafdi simpan tapi tidak ingin bertemu Rafdi dalam keadaan kesal begini. Dia terlampau kecewa dengan Rafdi. Sehingga satu-satunya cara adalah dengan melalui Rafdal yang memberikan surat padanya.
Setelah lima belas menit menunggu, Rugby melihat laki-laki yang ditunggu datang. Senyumnya mengembang sedikit saat melihat senyum Rafdal yang ikut mengembang.
"Udah lama nunggu ya, By? Maaf ya. Jalanan macet banget pulang kerja," ucap Rafdal.
"Nggak pa-pa, gue ngerti kok. Duduk, Raf. Jangan berdiri mulu nanti cepet tinggi," suruh Rugby seraya menepuk tempat di sebelahnya yang kosong.
Rafdal segera duduk di sampingnya begitu disuruh Rugby. Satu tangannya terulur menyodorkan paper bag berwarna biru. Dilihatnya wajah Rugby yang setengah muram. Dia takkan mungkin mengabaikan ekspresi itu. Rugby jarang muram kecuali ada masalah yang mengganggu pikiran.
"Ini dari Rafdi," ucap Rafdal. "Kalian berantem kan?"
Rugby tidak menjawab, mengabaikan pertanyaan Rafdal dan kemudian mengambil alih paper bag tersebut. Dia mengintip sedikit melihat surat-surat bertumpuk rapi. Amplop suratnta berwarna-warni, tak hanya satu warna. Jadi semua ini adalah surat-surat yang Gavin tinggalkan untuknya? Semua yang disembunyikan Rafdi darinya.
"By..."
Rugby meneleng ke samping sambil berpura-pura tersenyum. "Kenapa, Raf?"
"Apa pun yang dilakukan Rafdi, tolong maafin. Dia nggak bermaksud kayak gitu. You know, sometimes Rafdi suka mengambil tindakan tanpa dipikir dulu," ucap Rafdal dengan nada memohon.
Rugby tahu bagaimana Rafdi. Tapi untuk yang satu ini dia sulit mengerti. Dia merasa hatinya sangat sedih sampai bekerja pun terus kepikiran kenapa semua orang di sekelilingnya tega membohongi dan menutupi hal yang seharusnya mereka beritahu sejak awal. Tujuh tahun dia harus menelan rasa penasaran, rasa sedih, dan sakit yang dipendam. Untuk memaafkan akan sulit.
"Ini bukan sekadar masalah biasa. Gue nggak—eh, muka lo agak lebam gini. Kenapa?" Rugby mengalihkan pembicaraan sesaat menyadari tulang pipi Rafdal biru. Satu tangannya menyentuh bagian yang dimaksud. "Lo habis ngapain? Gue baru ngeh."
Rafdal menarik senyum. "Ini cuma luka biasa kok. Santai aja."
"Bohong. Luka biasa gimana sampe biru begini. Lo bukan orang yang seneng berantem kayak Rafdi. Lo berantem sama siapa?" cecar Rugby ingin tahu.
"Bukan siapa-siapa."
"Rafdal! Gue marah ya kalo lo nggak bilang."
Rafdal menyerah. Dia tidak bisa menyembunyikan apa pun dari Rugby. Dia pun memberitahu gadis itu. "Berantem sama Rafdi."
"Kok bisa sampe pukul-pukulan gini? Tumben banget. Apa yang kalian ributin?"
Rafdal menggenggam tangan Rugby yang masih berkutat menyentuh luka di tulang pipinya. Dia menarik senyum semakin lebar ketika melihat wajah khawatir Rugby.
"Gue denger percakapan kalian. Gue marah waktu tau dia ngelakuin hal itu biar perasaan gue diliat sama lo. Gue nggak suka caranya. Dia udah nyembunyiin ini tujuh tahun, bahkan masih bisa pura-pura nggak ada yang disembunyiin selama jalan bareng lo. Makanya gue emosi dan kelepasan mukul dia. Sisanya ya kita saling pukul," jelas Rafdal.
Rugby diam memandangi wajah Rafdal mendengar penjelasannya. Laki-laki itu tetap menunjukkan senyum sambil tetap menggenggam satu tangannya.
"Gue yakin lo nangis waktu tau Rafdi nyembunyiin surat dari Gavin. Gue tau lo sedih banget. Makanya gue sengaja mukul dia buat wakilin kekecewaaan lo. Gue nggak mau liat lo sedih terus, By. Gue mau lo tersenyum kayak biasa karena yang gue liat sekarang muka lo agak muram. Jadi jelas banget Rafdi udah mengecewakan lo," lanjut Rafdal.
Air mata Rugby mengembang setelah ketahuan menampilkan wajah muramnya. "Gue cuma nggak habis pikir aja kenapa Rafdi ikut-ikutan bohongin gue seperti keluarga gue. Selama tujuh tahun ini gue...."
Rugby tak sanggup melanjutkan. Air matanya luruh. Dia menunduk sedikit, lalu menghapus air matanya dengan cepat.
Rafdal menangkup wajah Rugby, menyeka sisa air mata di pipinya dan menatap penuh cinta. Rafdal tahu bagaimana Rugby selama ini—mencari laki-laki pengganti untuk mengisi posisi Gavin—namun, semua tak pernah berakhir baik.
"I know you love him so much. Setiap air mata yang jatuh itu membuktikan kalo lo masih mencintai Gavin. Tujuh tahun lo mencari jawaban alasan Gavin batalin pernikahan, tujuh tahun lo mencoba cari pengganti yang bisa mengisi kekosongan itu, dan tujuh tahun pula lo terluka karena nggak ada yang sesuai ekspektasi. Gue udah liat semua kesedihan lo dari yang biasa sampai terburuk. And this time, i see the worse thing too. Kalo lo mau nangis, nggak pa-pa."
Rugby diam menatap mata Rafdal ketika laki-laki itu bicara dan ketika matanya menunjukkan pengertian kalau dia sedih setiap kali mengingat telah dibohongi banyak orang. Rafdi dan Rafdal yang paling tahu bagaimana dirinya selama tujuh tahun ini, bagaimana dirinya sering menangis meski orang melihatnya jaksa yang galak dan saklek. Tapi, Rafdal lebih sering menemani dan menghapus lukanya. Laki-laki itu sudah terlalu sering menjadi saksi bisu tangisnya seperti halnya sekarang.
"Kapan pun lo mau nangis di depan gue, nggak masalah. Gue akan selalu di sini nemenin lo dan menghapus setiap kesedihan yang lo punya," ucap Rafdal lagi.
Berkat kalimat itu tangis Rugby pecah. Rafdal sigap menyeka setiap tetesan air mata yang tak berhenti mengalir. Hingga akhirnya Rafdal menarik Rugby dan memeluknya dengan erat sambil nengusap kepala perempuan itu.
Dari jauh, Savannah dan Marco yang kebetulan sedang ingin ke taman untuk membicarakan hal penting tidak sengaja melihat pemandangan itu. Mereka berdua pun segera pergi meninggalkan taman dan memilih mampir ke tempat lain.
🌹 🌹 🌹
Setelah Rafdal pergi, Rugby kembali ke depan kamar inap Gavin. Rugby membuka surat pertama yang ditulis oleh Gavin. Dia telah mempersiapkan hatinya supaya tidak menangis lagi.
Dear Rugby,
Aku tau empat tahun kebersamaan kita sangat menyenangkan dan nggak ada yang bisa gantiin semua kenangan yang terjalin. But, i'm sorry karena udah membatalkan pernikahan. I'm... i'm sick, Rugby.
I'm sorry...
Air mata Rugby sudah menumpuk di sudut matanya. Jadi Gavin sudah memberitahunya kalau dia sakit di surat pertama. Lalu, dia membuka surat kedua yang Gavin tulis dua minggu setelahnya karena tanggalnya pun tertera di depan amplop berwarna putih.
Dear Rugby,
Aku nggak tau harus bilang dari mana tapi dokter mengatakan aku baik-baik aja. Suratnya ketuker dan ternyata aku nggak sakit.
Aku nggak sabar ketemu kamu dan ngasih tau semuanya. I love you.
X, Gavin
Rugby masih mampu menahan air matanya. Dia mengeluarkan semua surat dengan amplop berbagai warna. Ada kertas yang menuliskan arti warna amplop.
Dalam penjelasan itu dituliskan kalau dia harus membuka amplop berwarna putih jika menginginkan penjelasan, lalu membuka amplop berwarna pink jika ingin dihibur, buka amplop berwarna biru jika ingin mengingat kembali semua kenangan yang pernah mereka jalani, buka amplop berwarna cokelat untuk mengetahui apa yang Gavin lakukan setiap harinya dan amplop berwarna merah untuk membaca semua kalimat 'i love you' yang dia tuangkan.
Hanya ada tiga surat beramplop putih, sementara sisanya berwarna pink, biru, dan merah dengan jumlah yang sama yakni masing-masing lima puluh surat. Dia tidak tahu Gavin serajin ini menggunakan cara lama dengan menulis surat. Setiap surat menuliskan tanggal dan tanda tangan laki-laki itu. Gavin telah menyelipkan setiap warna di setiap harinya. Jadinya tidak hanya satu hari merah semua tapi beraneka warna.
Setelah lima belas menit membaca sebagian tumpukan surat yang berhasil mengaduk perasaan, kini Rugby tiba di penghujung surat terakhir. Dia akan membaca sisanya nanti. Dia ingin tahu penjelasan apa yang akan Gavin tuliskan dalam amplop putih terakhir.
Dear Rugby,
Ini surat terakhir yang aku tulis untuk kamu. Aku mau kasih untuk kenang-kenangan supaya kamu ingat kalo aku selalu merhatiin kamu. Anyway, hari ini aku seneng liat kamu pakai dress merah dan lipstick merah. You look so stunning.
Sebenarnya aku berusaha mencari waktu yang tepat karena ingin kamu melakukan apa yang kamu mau. Tapi nyatanya aku salah. Waktu yang tepat itu nggak ada, adanya penyesalan. Kenapa? Karena udah ada yang bisa membuat kamu bahagia, bahkan lebih dari yang pernah aku lakukan. Dia bisa bikin kamu ketawa dan kembali ceria seperti dulu. Aku sedih... tapi mungkin ini balasan karena aku selalu mencari-cari waktu yang tepat.
Tapi, kalo dia bisa membahagiakan kamu, menghapus semua luka yang aku berikan, dan bisa membuat senyum kamu muncul setiap harinya, apa yang bisa aku perbuat?
Aku cuma bisa menyakiti kamu. Aku minta maaf untuk segalanya.
If he can make you happy, then i will try to let you go.
Aku harap kamu bahagia dengan siapa pun itu.
I will always love you no matter what happen next.
Lots of love,
Gavin
Air mata tak mampu ditampung sehingga jatuh dari pelupuk mata. Rugby menutup mulutnya agak suara isakannya tidak terdengar. Dada Rugby mendadak sesak.
Dengan cepat dia menyeka air matanya, lalu masuk ke dalam ruang inap Gavin. Dia meletakkan paper bag berisi surat, lalu menghampiri Gavin yang terlihat sudah tertidur. Padahal ini baru jam delapan.
Rugby mendaratkan tangannya di pipi Gavin, lalu mengusapnya dengan lembut. Dia mencondongkan tubuhnya, mendekatkan bibirnya pada pipi Gavin, lalu mengecupnya dengan lembut.
"Good night, Gav."
Ketika Rugby hendak mengecup keningnya, Gavin menarik tubuhnya hingga bibir mereka bertemu. Pupil mata Rugby melebar namun, tak sedikit pun dia menarik tubuhnya.
Beberapa detik dia membiarkan bibirnya menyentuh bibir lembut Gavin hingga akhirnya kesadaran menarik tubuhnya menjauh.
"Gavin..."
Gavin menarik kembali tubuh Rugby hingga jatuh dalam dekapannya. "Aku tau Rafdal cinta sama kamu."
Rugby yang awalnya berontak mendadak diam mendengar penuturan Gavin.
"Kalo kamu baca suratnya kamu—"
"Gue udah baca," potong Rugby.
"Berhubung kamu udah baca, apa masih ada tempat di hati kamu untuk aku?"
Rugby menarik diri namun, matanya tetap menatap Gavin yang menunjukkan wajah seriusnya.
"Gue nggak tau hubungan ini bisa direkatin kayak dulu lagi atau nggak. Gue..." Rugby menggantung kalimatnya.
Melihat Rugby diam berpikir selama beberapa saat, Gavin menarik tubuh Rugby hingga kembali jatuh di atas tubuhnya. Rugby tak lantas membenamkan diri ke dalam pelukan seperti sebelumnya. Rugby menahan dirinya dengan kedua tangan yang diletakkan tepat di dada Gavin.
"Kalo aku balikan sama Sasha, kamu cemburu nggak?"
"Balikan?? Katanya lo cinta sama gue tapi kenapa harus balikan sama yang lain?? Gila lo ya nggak ngotak!" omel Rugby mendadak sewot.
Gavin terkekeh. Sementara Rugby yang baru menyadari kalimatnya buru-buru meralat, "Ma-ma-maksudnya kalo lo mau balikan ya udah. Berarti lo nggak cinta sama gue. Begitu."
Gavin menarik kedua sudut bibirnya hingga menampilkan lesung pipi yang menawan.
"Ngapain lo senyam-senyum kayak kesetanan? Ada yang lucu?"
Gavin mengangguk. "Kamu yang lucu."
"Idih, gila lo ya. Makin hari di rumah sakit makin nggak waras. Pulang aja deh lo sebelum berubah sarap."
Rugby hendak menarik diri namun, Gavin menahan tubuhnya dengan tangan kirinya erat-erat.
"Kalo mau meluk sana peluk Sasha. Gih balikan juga," ujar Rugby masih dengan nada sewot.
"Siapa yang mau balikan sama dia? Aku cuma mau nanya aja. Ngetes reaksi kamu. Ternyata kamu sewot. Berarti masih ada harapan untuk aku," balas Gavin santai.
Rugby diam tak merespons lagi. Matanya mengikuti gerakan iris biru Gavin. Untuk beberapa saat Rugby merasa tenang saat menatap mata Gavin lebih dalam.
Berkat tatapan yang saling mengunci, saling menatap lebih dalam dan saling membius, pelan-pelan bibir mereka mendekat. Pada akhirnya bibir mereka berhasil bertaut. Tak ada yang mengalah dalam kompetisi cium kali ini. Alhasil Rugby memindahkan tangannya ke leher Gavin dan membiarkan laki-laki itu memeluk pinggang rampingnya.
Semakin lama ciuman yang Gavin berikan membuat Rugby semakin liar. Sambil terus mencium Rugby menaiki ranjang, menduduki bagian terlarang, dan tak berhenti mencumbu bibir merah menggoda Gavin.
Di tengah panasnya ciuman yang berlangsung tiba-tiba pintu terbuka.
"CIHAOOO! BIKIN ANAK NIH YE!" teriak Zidane.
Berkat teriakan itu Rugby tersadar. Dia buru-buru menarik bibirnya dan turun dari atas ranjang. Astaga... apa yang telah dia lakukan??! Aduh, lo udah gila! Sinting! Ngapain pake acara duduk di atas pangkuannya segala Rugby??!
"Eh, mau ke mana, By?" tegur Jupiter.
"Ke mana aja," jawab Rugby, yang kemudian segera berlalu meninggalkan ruang inap. Dia tidak menoleh sedikit pun dan mengabaikan panggilan Gavin.
Jupiter menyenggol bahu Zidane. "Lo sih ganggu aja. Orang lagi asyik tuh Gavin. Kentang kan dia. Kalo anunya lagi tegang-tegangnya gimana coba?"
"Emang anu lo tegang, Gav? Enggak kan? Baru dicium gitu mah—"
Jupiter langsung memotong kalimat Zidane. "Tolol! Pertanyaan paling tolol!"
"Lo berdua sama tololnya. Ganggu aja!" balas Gavin kesal.
🌹 🌹 🌹
Jangan lupa vote dan komennya🤗🤗🤗🤗😘
Follow IG: anothermissjo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top