Chapter 7


-- BATAS NANO NANO --

Rugby datang menjenguk Gavin dengan perasaan tak menentu. Deklarasi cinta Rafdal berhasil mengusik pikirannya. Bukan apa-apa karena Rugby tidak pernah merasa seberuntung ini dicintai dua laki-laki, bahkan salah satunya sudah menyukainya selama lima belas tahun. Rugby ingin berendam setelah ini supaya pikirannya kembali jernih.

Ketika dia hendak membuka pintu, dirinya melihat seorang perempuan berambut panjang datang menjenguk Gavin. Perempuan itu duduk di kursi samping ranjang. Bukan Nadya tetapi perempuan lain yang tidak dikenal Rugby.

"Liatin ape lo?" tegur Marco.

Rugby melompat kaget. "Astagaaaaa! Kampret!" umpat Rugby kasar. "Sialan! Ngagetin orang aja lo sarap!"

"Ya elah gitu amat, By. Lagian lo sih ngintip-ngintip. Emang Gavin lagi telanjang lo intipin?" Marco melihat melalui celah jendela pintu, menyadari siapa yang menjenguk walau dengan melihat warna rambutnya saja. "Mantannya si Gavin dateng tuh. Kenapa sih semua mantan nengokin dia? Heran."

"Mantan pacar?"

"Iya, namanya Sasha. Gavin pernah pacaran sama dua perempuan yang satu Ilsa dan satunya Sasha."

"Mantan pacar beneran?" tanya Rugby lagi.

"Menurut lo? Ya iyalah. Doi konsultan pajak perusahaan bokapnya Gavin yang ada di Jakarta," jawab Marco. "Lo nggak mau masuk nih?"

"Nggak, nanti aja nunggu dia pulang. Lo ngapain sih dateng mulu? Gavin udah kayak pacar lo aja dijenguk mulu."

Marco bertolak pinggang. "Emang kenapa? Gavin kan sepupu gue jadi suka-suka gue dong mau jenguk atau nggak. Kenapa lo kayak pacar yang posesif deh. Jangan karena cemburu sama Sasha, gue jadi kena damprat. Gue cipok juga nih lama-lama."

Rugby memelototi Marco. Wah, si kunyuk ini nyari ribut mulu. Belum pernah gue keluarin jurus taekwondo aja. batinnya sebal.

"Apa lo melotot begitu? Minta dicolok ya? Cemburu kok nyemprot orang. Elah, gue aduin Gavin juga nih lo cemburu mulu dari kemarin."

Rugby berdecak. "Lo belum pernah ditendang sampe Mars kan? Mau ngerasain sekarang?"

Marco pura-pura menggulung lengan kemejanya, lalu maju selangkah demi selangkah dengan bertolak pinggang. Rugby tak gentar namun lambat laun dia mundur sampai tubuhnya menabrak pintu. Ketika Marco semakin mendekat, entah kesialan atau memang kecerobohan, tangannya malah membuka pintu sehingga tubuh mereka bergerak mundur hingga jatuh menabrak lantai. Marco menindih tubuh Rugby sementara Rugby mengerang sakit.

Gavin yang berada di dalam ruangan terkejut. Untuk beberapa saat dia mengamati posisi jatuh Marco dan Rugby yang membuat hatinya kesal. Dia pun langsung berdeham keras hingga membuat dua insan itu bangun dari jatuhnya.

"Kalian lagi ngapain sih sampai jatuh gitu?" tegur Gavin dengan nada meninggi.

Rugby menyenggol bahu Marco. "Lo sih! Tanggung jawab lo kasih jawaban," bisiknya pelan.

"Mau nyium Rugby," jawab Marco seenak jidat.

"Marco!" seru Rugby sambil memelotot tajam. "Gue tabok lo ya! Jangan sampai sepatu gue mendarat di mulut kaleng lo itu!"

Marco punya siasat sendiri untuk membuat Gavin cemburu. Dia pun merangkul pundak Rugby, lalu menyenderkan kepalanya di kepala Rugby sambil tersenyum jahil.

"Cocok kan? Berhubung Rugby jomblo gue mau ngajak dia kencan."

Sasha—perempuan berambut cokelat itu—ikut tersenyum, lalu bertanya, "Gebetan baru ya, Mar?"

"Yoi. Ya kalo jodoh mau gue ajak nikah," ucap Marco. Dia tahu Sasha tidak pernah menanyakan masa lalu Gavin, terutama persoalan hubungannya dengan Rugby. Jadinya Marco menggunakan kesempatan ini untuk memanasi Gavin. "Aduh, gebetan gue yang ini rada galak-galak raawrr gitu. Tapi manis kan, Sash?"

Rugby menyikut perut Marco namun, laki-laki itu tidak melepas rangkulannya. "Heh, anak setan! Lepasin tangan lo atau gue gebuk beneran!" Rugby berbisik kesal.

"Iya, kalian cocok," komentar Sasha.

Gavin memelototi Marco dengan gerakan matanya untuk segera sepupunya berhenti berakting tidak jelas. Hatinya sepanas air mendidih sekarang. Lebih mendidih lagi saat dengan tiba-tiba Marco mencium puncak kepala Rugby. Habis sudah kesabaran Gavin. Dia mengambil apel dari atas nakas, lalu melempar apelnya menggunakan tangan kiri. Entah efek kesal atau cemburu, apel itu berhasil mengenai perut Marco hingga rangkulannya terlepas dan mundur dari posisinya karena meringis sakit.

"Mpus lo! Udah gue bilang lepasin," ucap Rugby pelan sambil menjulurkan lidah. "Awas lo ya cium-cium lagi, gue geplak kepala lo!"

Sasha menoleh ke belakang melihat Gavin. "Eh, kenapa kamu lempar pakai apel gitu? Kasian Marco kesakitan. Kamu ngiri nggak punya gebetan secantik itu?"

Dalam hati Rugby berkata, helllooow rambut cokelat! Fyi aja ya gue mantan pacarnya. Dasar sok manis!

"Gila, lemparan Gavin ajib banget!" gerutu Marco masih kesakitan sambil memegangi perutnya. "Wah... nggak bener nih Gavin kalo cemburu makin kayak kingkong."

"Berisik!" Rugby segera menutup mulut Marco agar tidak terdengar gerutuannya oleh Sasha. Sungguh manusia ini menguji kesabarannya.

"Nggak pa-pa supaya dia tau diri aja," balas Gavin dengan nada sewot.

"Ya udah ya, gue mau pulang. Mau ngajak Marco makan," ucap Rugby.

Baru akan Rugby melangkah keluar sambil terus membekap mulut Marco, langkahnya terhenti ketika mendengar Gavin bicara.

"Mau ngapain sih kamu keluar? Bukannya kamu dateng buat jenguk?"

"Jenguknya kan bisa—"

"Aku kangen kamu, Rugby. Bisa nggak sebentar aja kamu menetap di sini?" potong Gavin lebih cepat.

Sasha menoleh ke arah Gavin, lalu memperhatikan Rugby. Dia menatap bingung. Setelah mendengar penjelasan Marco, dia mendengar kalimat yang tidak terduga.

"Rugby bukan gebetannya Marco, dia calon istri aku."

Rugby terbatuk-batuk keselek air ludahnya sendiri. Sementara Sasha menarik senyum seolah mengerti akan semua situasi yang terjadi. Sasha pun bangun dari tempat duduknya.

"Kalo gitu maaf ya udah ganggu. Aku pamit ya, Gavin. Get well really soon," pamit Sasha, yang kemudian melewati Rugby dan Marco yang mematung di dekat pintu. "See you Marco, dan Rugby."

Setelah Sasha keluar, Gavin kembali melancarkan serangan kepadaMarco. Dia mengambil apel, lalu melemparnya hingga mengenai kepala Marco.

"Aduh!!" ringis Marco. Dia berbalik badan, lalu memelototi sepupunya. "Wah, gila lo ya, Gav! Sepupu sendiri disiksa begini. Kualat lo, Junaedi!"

"Lo ngapain cium-cium puncak kepalanya Rugby? Emang lo pacarnya? Lo yang gila!" omel Gavin semakin sewot.

"Emangnya lo pacar gue? Bebas dong mau Marco cium gue kek, mau ngapain. Kok lo sewot? Jangan sok-sok bilang gue calon istri deh! Orang kita aja batal nikah," sahut Rugby membela Marco.

Gavin diam seribu bahasa. Marco merasa tidak enak ketika situasi mulai tegang. Ya, Tuhan... Marco benci jadi orang ketiga. Mana setiap ada Rugby dirinya selalu muncul!

"Jadi sebelum lo—Marco!!!" Rugby memekik kaget ketika Marco menggendong tubuhnya ke atas pundak laki-laki itu, lalu mendudukkannya di pinggir ranjang Gavin. "Sialan lo ya! Tadi lo..."

Rugby mendadak diam ketika Gavin memeluknya dari belakang.

"Diem kan lo, By! Hahaha... mamam tuh gengsi!" ledek Marco, yang kemudian dia mengambil ponsel, lalu memotret kebersamaan itu. "Gue sebar di grup Wijaya. Mampus lo, By. Siap-siap jadi headline di koran punya bapaknya Mercurius. Udah ah, gue cabut. Bye, gebetan palsuku dan sepupuku yang gagal move on."

"Dasar kunyuk!" umpat Rugby akhirnya setelah Marco keluar dari ruangan. "Kenapa sih anak itu kelakuannya lebih dari—"

Rugby kembali diam ketika Gavin mempererat pelukannya. Embusan napasnya dapat terasa di telinga Rugby.

"Akhirnya aku bisa meluk kamu kayak gini lagi meskipun cuma sebentar," bisik Gavin lirih.

Rugby diam tak mengatakan apa-apa. Tubuhnya tak berontak ketika pelukan itu menguasai dirinya. Tangannya sudah bergerak hendak menggenggam tangan Gavin namun, dia membatalkan niatnya.

🌹 🌹 🌹

Seharian ini Rugby menemani Gavin di rumah sakit. Dia bisa saja pergi tapi hatinya tidak berkeinginan melakukan hal itu. Hari ini Gavin tak banyak bicara setelah memeluknya. Perasaannya mendadak tak menentu setiap kali bersama Gavin.

Rugby bangun dari tempat duduknya, lalu beranjak keluar dari kamar inap meninggalkan Gavin yang sudah tertidur lelap. Tepat ketika dirinya keluar, dia melihat tiga sepupu perempuan Gavin datang. Untungnya bukan Marco lagi. Kalau sampai Marco lagi dia sudah siap-siap melepas sepatunya.

"Cie, nemenin sampe malem nih?" ledek Savannah.

"Ah, nggak. Gue nungguin Edibel jemput," alasan Rugby. Padahal sih dia bisa pulang naik taksi karena datang ke rumah sakit pun diantar Rafdi. Dia tidak ingin menyusahkan Edibel terus-menerus.

"Berarti Gavin udah tidur ya?" sambung India.

"Udah. Ini kan udah jam sebelas malem," jawab Rugby.

"Tumben. Biasanya juga Gavin tidur jam dua pagi," sahut Venus.

"Oh, ya?" tanya Rugby. Yang dia tahu Gavin selalu tidur jam 11 malam tidak pernah lewat dari itu. Kalau pun tidur pagi itu karena mengurus pekerjaan. "Biasanya dia tidur jam sebelas kok."

Savannah tertawa pelan. "Itu kan dulu, By. Setelah kalian batal nikah Gavin sering tidur pagi. Gue nggak tau sih apa yang dia pikirin tapi dia sering begadang. Gandy yang bilang."

Venus menyenggol bahu Savannah supaya diam. Savannah versi perempuan dari mulut ember Marco. Makanya keluarga mereka menyebut MaSaKo alias Marco Savannah Kompor.

India menyela setelah menyadari raut wajah Rugby berubah. "Eh, berarti Gandy nggak ada di sini? Bokap nyokapnya juga nggak ada di sini ya, By?"

"Orangtuanya udah jenguk terus izin karena harus urus sesuatu, sementara Kak Gandy urus kerjaan yang menumpuk," jawab Rugby sambil memaksakan senyum.

"Ya udah gue jenguk aja nggak pa-pa biarpun Gavin bobo syantik. Gue mau naro buah biar dia gumoh buah," ucap Venus. "Gue masuk ya, By."

Venus melenggang pergi kemudian disusul oleh India di belakangnya. Sementara Savannah masih tetap berdiri di depan Rugby.

"Lo udah baca surat yang Gavin kasih setelah kalian batal nikah?"

Rugby mengernyit bingung. "Surat? Surat apa?"

"Setelah kalian batal nikah Gavin nulis surat setiap harinya. Waktu mau ketemu lo ternyata lo udah ada yang nemenin terus akhirnya dia titip semua surat itu ke sahabat lo Rafdi untuk dikasih ke lo. Apa Rafdi nggak ngasih suratnya?" jelas Savannah.

Rugby menggeleng pelan. Surat? Dia tidak pernah menerima surat apa pun dari Rafdi.

Savannah menepuk pundak Rugby, lalu berkata, "Lo boleh tanya Rafdi. Semoga aja belum dibuang. Gue masuk ke dalem ya. See you, By."

Rugby ditinggal dalam keadaan masih tidak mengerti. Surat seperti apa yang dimaksud Savannah. Dia pun segera merogoh ponsel dari saku celana jinsnya. Kemudian dia menghubungi sahabatnya yang menjadi tersangka utama penimbun surat Gavin.

Awalnya panggilannya tidak diangkat namun, ketika dia mengulang akhirnya saat dering ketiga Rafdi mengangkat panggilannya.

"Halo? Kenapa, By?" tanya Rafdi di seberang sana.

"Kenapa lo nggak bilang ke gue kalo Gavin nitip surat?"

Tak ada balasan selama beberapa menit. Air mata Rugby mengembang setelah tak mendapat respons dari Rafdi.

"Jadi bener Gavin nitip surat?"

"Itu..." Rafdi menggantung kalimatnya.

"Jawab, Rafdi! Jawab gue!" desak Rugby setengah berteriak.

"Iya. Gue simpen suratnya," jawab Rafdi akhirnya.

Air mata Rugby mendarat sempurna membasahi pipinya. Dadanya mendadak sesak mendengar jawaban Rafdi. Kenapa sahabatnya tega menyimpan surat itu selama tujuh tahun ini?

"Kenapa lo tega nyembunyiin suratnya selama tujuh tahun ini, Raf? Kenapa...?" tanya Rugby lirih.

Rafdi terdengar menarik napas, lalu mengembuskan perlahan. "Soalnya gue tau Rafdal diem-diem cinta sama lo. Gue mau lo sadar sama perasaan Rafdal."

Tangis Rugby pecah. Sambil menangis dia membala, "Kalo mau begitu lo bisa pakai cara lain. Kenapa harus nyembunyiin suratnya? Lo sendiri tau selama tujuh tahun ini gue selalu bertanya-tanya kenapa Gavin batalin pernikahan. Dan ternyata lo tega simpen suratnya. Lo bener-bener keterlaluan."

"Rugby, gue minta maaf. Bukan..."

Rugby langsung mematikan sambungan. Tangisnya semakin pecah mendengar jawaban Rafdi. Kenapa semua orang tega membohonginya selama ini? Kenapa semuanya sepakat menyembunyikan banyak hal darinya selama tujuh tahun belakang?

"Kenapa semuanya begini...," gumamnya pelan.

Rugby mendongak ketika ada tangan menaikkan dagunya. Rugby mendapati Gavin berdiri di depannya sambil ditemani tiang infus. Ibu jari laki-laki itu bergerak pelan menyeka air matanya.

"I'm sorry...," gumam Rugby.

Gavin menarik senyum tipis, lalu tangan kirinya meraih pinggang Rugby hingga tubuh perempuan itu berada dalam dekapannya.

"Maaf gue nggak tau apa-apa," bisik Rugby. Suaranya bergetar seiring isakan yang semakin keras.

Gavin terbangun dari tidurnya karena dibangunkan Savannah. Dia ingin marah namun, dia merasa bersyukur juga. Berkat Savannah dia dapat mendengar Rugby berbicara dengan Rafdi. Dia baru mengetahui Rafdi tidak pernah memberikan semua surat yang dia titipkan. Dia pikir Rugby sudah membaca suratnya dan tetap tidak mau mengerti. Kenyataannya malah berbanding terbalik. Rugby memang belum tahu apa-apa, bahkan belum pernah melihat surat darinya.

Rugby menangis sesegukan dalam pelukan Gavin. Sementara itu tangan kiri Gavin tak berhenti mengusap kepalanya.

"Seenggaknya sekarang kamu udah tau kalo aku pamit sebelum memutuskan pergi dari hidup kamu," bisik Gavin.

Savannah, India, dan Venus yang mengintip dari balik pintu langsung mengabadikan momen ini untuk disebar ke dalam grup keluarga Wijaya. Ini akan menjadi momen penting yang akan mereka ingat.

🌹 🌹 🌹

Jangan lupa vote dan komen ya semuanya😘😘😘🤗

Follow IG: anothermissjo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top