Chapter 5
-- BATAS UWU --
New York, Amerika Serikat. Sembilan tahun lalu.
Rutinitas yang dilakukan Gavin setiap pagi adalah memasak. Tidak hanya untuk diri sendiri melainkan pacarnya. Rugby memangku wajah, memandangi Gavin mengenakan apron di tubuhnya, dan berfokus memasak. Momen seperti ini diabadikan Rugby dalam potret foto. Walau hanya dari belakang, tapi Gavin terlihat keren. Rugby tidak bisa memasak jadinya Gavin mengambil peran itu, dan membiarkan Rugby mencuci piringnya setelah selesai makan.
Setelah lulus SMA, mereka mulai tinggal bersama. Orangtua mereka mengizinkan, bahkan tahu kalau mereka ingin tinggal bersama. Orangtua mereka bukan tipe yang masih tabu soal tinggal bersama, mereka bahkan lebih modern dari itu. Orangtua mereka bilang kalau umur mereka sudah cukup untuk memahami semua hal yang ada. Apa pun langkah yang diambil, mereka harus bertanggung jawab.
"Sayang, nengok ke belakang dong," pinta Rugby.
Gavin menoleh ke belakang, memasang senyum lebar yang biasa dia tunjukkan setiap harinya. "I love you," ucapnya.
Bagaimana Rugby tidak bahagia kalau laki-laki itu memperlihatkan hal-hal yang membuatnya merasa bersyukur atas kehadirannya. Pertemuan di SMA Edibel dulu menjadi berkah tersendiri yang berujung akan kebahagiaan seperti sekarang.
Setelah Gavin berbalik badan, Rugby yang masih merekam pacarnya membalas, "I love you too!"
Rugby mengunggah video yang direkam barusan pada post Instagram miliknya. Setelah selesai Rugby meletakkan ponselnya di atas meja, lalu beranjak menghampiri Gavin. Dari belakang Rugby memeluk Gavin. Hubungannya dengan Gavin sudah menginjak dua tahun. Semua terasa begitu luar biasa. Mereka jarang bertengkar. Ini karena Gavin sosok penyabar. Berbeda dengan Rugby yang lebih meledak-ledak. Gavin berhasil meredam semua amarahnya setiap kali mereka adu mulut.
"Kamu wangi banget. Aku suka wangi parfumnya," komentar Rugby.
"Ini parfum yang kamu kasih tahun lalu. Aku juga suka wanginya."
"Tahun lalu? Masih utuh?"
"Iya. Aku sayang-sayang soalnya pemberian kamu."
"Ih, pelit amat."
"Bukan pelit, tapi kalau habis kan botolnya pasti dibuang. Kalo disimpan takutnya nggak kepakai juga. Makanya aku sayang-sayang," jelas Gavin.
"Benar juga sih. Besok aku beliin lagi deh."
Gavin mematikan kompor karena sudah selesai dengan urusannya. Tubuhnya berbalik menghadap Rugby, lalu memeluk pinggang rampingnya. Sambil menatap penuh cinta Gavin berkata, "Nggak usah. Uangnya kamu simpan aja untuk keperluan kamu sendiri. Aku nggak butuh parfumnya, tapi aku butuh kamu untuk selalu berada di sisi aku."
Wajah Rugby mendadak merah. Rugby memukul manja dada Gavin. "Kamu nih pagi-pagi udah buat orang senyam-senyum aja. Bikin sebel."
Gavin mencubit hidung mancung Rugby. "Sebel-sebel gemes, kan?"
"Iya, jadi mau cium sepuasnya!"
"Kayak gini?" Gavin mendaratkan kecupan kilat di bibir Rugby. "Atau, kayak gini?" Dia kembali mendaratkan kecupan, tapi kali ini bukan di bibir melainkan hidungnya Rugby.
Rugby menunjuk keningnya. "Maunya di sini."
Gavin menuruti permintaan Rugby, mengecup keningnya cukup lama, lalu setelah itu menangkup wajah Rugby dan mencium bibirnya sebagai akhir. Rugby tidak menolak, justru membalas ciuman manis yang diberikan oleh Gavin.
Mereka saling membalas ciuman selama beberapa menit. Selesai dengan ciuman itu, mereka berpelukan. Setiap pagi mereka rutin berpelukan untuk bersyukur karena sudah memiliki satu sama lain.
"I love you, Rugby," bisik Gavin.
"Me too, Gav."
🌹 🌹 🌹
Jakarta, sekarang.
Gavin baru saja bangun dari tidurnya. Ketika kelopak matanya berhasil terbuka sepenuhnya dia dikejutkan dengan kehadiran seorang perempuan yang menidurkan kepalanya di atas ranjang. Jika dilihat dari warna rambut, perempuan itu sepertinya Rugby. Dan dugaannya benar ketika Rugby terbangun dari tidurnya. Dia tidak menduga Rugby ada di sampingnya.
"Ini kamu beneran ada di sini? Apa aku cuma mimpi?"
"Kalo mimpi berarti gue bidadarinya."
Mendengar jawaban Rugby membuat Gavin menarik kedua sudut bibirnya menciptakan senyum bahagia. Ini bukan mimpi karena nada bicara Rugby masih terdengar jutek.
"Kamu semalaman tidur di sini? Kenapa nggak pulang?"
Baru akan menjawab sarapan pagi serta obat milik Gavin datang. Rugby membuka satu per satu plastic wrap yang membungkus piring. Setelah itu dirinya memberikan sendok pada Gavin agar laki-laki itu menyantap sarapannya.
"Makan dulu. Gue mau cuci muka."
Sesaat Rugby pergi ke kamar mandi, Gavin melahap makanannya menggunakan tangan kiri—yang mana Gavin memang kidal—sehingga tidak ada kesulitan. Beberapa menit kemudian Gavin melihat Rugby keluar dengan wajah yang terlihat lebih segar dari sebelumnya.
"Lo mau cepet sembuh nggak sih? Makan jangan terlalu lama. Emangnya bayi makannya lama," cerocos Rugby seraya mengambil alih sendok dari tangan Gavin. "Gue suapin aja biar cepet."
Gavin tidak menolak karena dirinya teramat senang. Gavin menahan senyumnya saat disuapi oleh Rugby yang sudah duduk kembali di sampingnya seperti semula. Selama memperhatikan, Gavin menyadari ada yang hilang dari leher Rugby.
"Kamu nggak pakai lagi kalungnya. Udah dibuang ya?"
Rugby tidak menjawab untuk beberapa saat. Dia fokus menyuapi Gavin yang menunggu jawaban. Setelah beberapa menit berlalu, barulah Rugby berniat memberi jawaban. Namun, baru akan menjawab, tiba-tiba pintu terbuka menampilkan beberapa sepupu Gavin datang menjenguk.
"Duileh udah suap-suapan. Kemarin aja berantem kayak minta jatah," ledek Marco.
"Kita dateng di saat yang salah nih, Mar. Siapa tau mereka mau morning sex," timpal Mercurius.
"Ini peletnya Gavin ampuh banget bisa mendadak baik lagi," sambung Velven.
Rugby geleng-geleng kembali sambil menahan emosi. Kalau sudah berhadapan dengan ketiga orang di depannya, rasa-rasanya dia ingin memukul mereka pakai tongkat bisbol sampai patah tulang.
"Gue pikir lo udah mati, Mar," sahut Rugby.
"Selama Sagitarius belum mau pacaran sama gue, Tuhan masih mengizinkan gue hidup," balas Marco dengan gaya tengilnya.
Rugby berdecak. "Sagitarius nggak suka sama laki-laki kayak lo. Brengsek, otak selangkangan, dan suka nelantarin anak."
"Wah, lo nguji kesabaran gue." Marco pura-pura menggulung lengan kemejanya, lalu bertolak pinggang. "Sini maju lo, Sukarni!"
Mercurius maju mendekati ranjang sambil geleng-geleng kepala. "Gue sumpahin lo berdua jodoh biar nggak ribut mulu kayak kucing sama anjing."
"Yeee... lo malah bikin Gavin sedih. Jangan disumpahin begitu nanti Gavin uring-uringan kayak waktu itu," beber Velven.
"Bener juga. Kalo liat Gavin uring-uringan rasanya mau gue pukul," sambung Mercurius.
Rugby spontan melihat pada Gavin. Uring-uringan? Mantannya pernah begitu? Sementara itu Gavin yang seolah tahu maksud tatapan Rugby padanya langsung memelototi Velven.
"Apaan sih kalian. Dateng-dateng malah ngerusuh. Emangnya lagi tawuran berisik banget," ucap Gavin mencoba mengalihkan soal uring-uringan.
"Cie... nggak mau diganggu nih ceritanya? Biar bisa enak-enak di sini ya?" goda Marco seenaknya.
Gavin berdecak. "Bukan gitu. Lo bener-bener deh, Marcoli."
"Hah? Coli? Astaga... dosa lo, Gav! Gue laporin Tuhan lo ya otaknya mesum mulu," canda Marco.
Mercurius dan Velven terkekeh. Sementara Rugby geleng-geleng kepala melihat kelakuan Marco yang super menyebalkan itu.
"Kalo lo masih banyak ngomong, gue toyor kepala lo sekarang juga," ujar Rugby mulai kesal. "Lebih baik lo duduk manis dan tutup mulut kaleng lo itu, Marcos."
Mercurius dan Velven tertawa terbahak-bahak. Sementara Marco langsung memelototi Rugby dengan tatapan mengajak perang.
"Gav, bilangin dong sama babi lo eh, baby buat diem. Mulutnya juga nggak kalah kaleng dari gue. Heran bisa jadi jaksa lagi dia," kata Marco. Perkataannya berhasil membuat Rugby bangun dari tempat duduknya.
Spontan Rugby melempar tas selempang yang dia bawa ke arah Marco. Sialnya tas itu malah mengenai wajahnya Mercurius ketika Marco menggeser posisi dan bersembunyi di balik tubuh sepupunya. Mercurius meringis sakit tapi, lebih sakit lagi mendengar pertikaian Rugby dan Marco.
"Kasar banget njiiiir! Gue aduin emak gue ya!" teriak Marco panik.
"Aduin! Dasar tukang ngadu. Bentar-bentar—"
Gavin memegang lengan Rugby, lalu memotong kalimatnya yang belum selesai. "Cuekin aja si Marco. Kalo jodoh karena ribut terus kan bahaya."
"Idih, mending gue jodoh sama lo daripada dia," sahut Rugby. Saat menyadari kalimatnya Rugby langsung mengatup mulut. Ih, bego. Mulut sialan! Apa-apaan tuh tadi! batinnya kesal.
Gavin semakin menarik senyum lebar. "Beneran? Kalo gitu aku aminin."
"Seneng tuh Gavin. Liat aja noh hidungnya mendadak kembang kempis," ledek Velven.
Marco yang sudah tak bersembunyi mulai memberanikan diri mendekati Gavin dan berdiri di samping Rugby sambil nyengir.
"Mampus lo, By. Gue udah rekam barusan. Kalo tetiba nggak jodoh, gue ingetin lagi omongan lo," celetuk Mercurius setengah bercanda.
Ya, Tuhan... Rugby ingin membenturkan kepalanya sendiri ke tembok. Dia malu. Untuk apa mengatakan kalimat itu?? Ampun... mulutnya lebih menyebalkan dari tengilnya Marco!
"Omong-omong nih...."
Kalimat Velven terhenti ketika pintu terbuka. Mereka yang ada di dalam ruangan menoleh bersamaan. Ketiga sepupu Gavin terkejut, sementara Rugby menatap ingin tahu. Velven menyingkir hingga berpindah posisi ke samping Marco.
"Gimana keadaan kamu? Udah baikan?"
"Udah kok," jawab Gavin seadanya.
Rugby memperhatikan perempuan berparas cantik yang mengenakan setelan blouse putih dan rok mini berwarna hitam. Tubuhnya tinggi sehingga kaki jenjangnya mudah terlihat. Pertanyaan Rugby sekarang, siapa perempuan itu?
"Wah, seru nih. Dua mantan Gavin ketemu," gumam Marco pelan pada Velven.
Mantan? Rugby pikir hanya Ilsa yang pernah menjalin hubungan dengan Gavin. Jadi perempuan itu mantannya Gavin?
🌹 🌹 🌹
Jangan lupa vote dan komen semuanya😘🥰🤗
Follow IG: anothermissjo
Btw, Marco dan Velven punya cerita sendiri loh!
Kalo mau baca ala-ala bos kocak ya ceritanya Marco (otw update tengah bulan Juni), kalo mau baca ala boyband ceritanya Velven! (update setiap hari minggu) ^^
Kalo baca It Starts With A Boxer (cerita Velven) ini nyambung sama nanti ceritanya Marco yang soon berjudul My Boss's Problem😘😍
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top