Langit ~ 28

Sepulang kerja aku singgah di sebuah toko butik. Aku berniat ingin membelikan Desember gaun pesta. Hari ini salah satu sahabatku yang bernama Hans menikah di Medan. Jadi sore nanti, aku akan mengajak Desember ke acara resepsinya.

Aku segera masuk ke dalam butik, setelah memarkirkan motor ninja hitamku. Seorang pegawai wanita langsung memberikan senyum begitu  melihat kedatanganku.

"Selamat siang, ada yang bisa saya bantu Mas?" Tanyanya ramah.

"Saya sedang mencari gaun pesta untuk istri saya."

Dia mengangguk. "Baiklah, saya akan menunjukkan beberapa model gaun. Mas bisa pilih sendiri nantinya."

Aku pun berjalan mengikuti pegawai itu dari belakang. Tetapi langkahku terhenti saat melihat seorang pegawai lainnya yang sedang memajangkan sebuah green cocktail dress pada patung manekin.

"Mbak," Panggilku pada pegawai tadi.

Dia menoleh ke belakang. "Iya Mas?"

"Saya mau dress yang itu saja," Tunjukku ke arah patung tersebut.

"Oh okay." Pegawai itu segera mengambil gaun yang aku pinta tadi. "Apa ukurannya sudah sesuai dengan istri Mas?" Tanyanya padaku.

Aku meneliti dress itu dan memperkirakannya ke tubuh Desember. "Ukurannya pas, saya ambil yang ini."

"Serius Mas? Apa tidak lebih baik dicoba sama istrinya dulu? Soalnya kalau sudah dibeli tidak bisa ditukar lagi."

"Mbak, saya tidak mungkin salah. Udah bungkus saja."

"Mas kenapa yakin sekali? Ini gaunnya mahal loh, sayang nanti kalau ukurannya tidak pas."

Nih orang kok ngeselin banget ya? Padahal aku nggak ada pinjam duit dia loh untuk beli dress nya. "Mbak... saya tahu bentuk dan ukuran tubuh istri saya sendiri," Kataku.

Seketika wajah pegawai itu memerah karena ucapanku tadi. Dia pun tersenyum malu. "Oh iya, maaf ya Mas. Aduh... saya jadi malu. Yaudah deh, saya langsung bungkus dress nya dulu."

"Kenapa nggak dari tadi mbak?" Sindirku.

Dia terkekeh sambil berjalan ke arah kasir. Aku pun segera membayar dress itu saat dia menyebutkan total harganya.

*****

"Mas, ini bagian lehernya apa tidak terlalu terbuka ya?" Keluh Desember saat di perjalanan menuju Medan.

Aku mendengus kesal. Sudah sepuluh kali dia mengucapkan hal itu padaku. Padahal dia tampil cantik dan kelihatan elegant dengan green cocktail dress itu. Memang benar bagian lehernya terbuka, tapi tidak terlalu berlebihan menurutku. Masih sopan untuk dipandang mata. Aku juga bukan suami yang bodoh, mau memamerkan tubuh istrinya ke semua orang.

"Gaun yang kamu pakai itu masih terlihat sopan Des. Aku udah mengulangi ucapan ini sebanyak 10 kali loh. Please... aku lagi nyetir mobil, butuh konsentrasi. Jadi jangan pancing emosi ya Des. Kamu nggak mau kan kita kecelakaan?"

Aku melirik sekilas ke arahnya. Dia sedang menatap kaca jendela mobil.

"Harusnya tadi aku nggak usah ikut kalau hanya membuat mas Langit emosi," Ujarnya pelan tanpa melihatku.

Ya Tuhan...

Kenapa cuma mau ke acara resepsi pernikahan jadi ribet gini sih? Ribut cuma karena masalah gaun? Nggak berbobot amat, sumpah!

Aku segera menepikan mobil dipinggir jalan untuk menyelesaikan permasalahan yang nggak penting ini. Akan sangat berbahaya berbicara sambil menyetir.

"Jadi sekarang kamu maunya apa Des?" Tanyaku pelan mencoba untuk bersabar.

Posisi Desember masih tetap menghadap jendela. "Aku mau pulang," Jawabnya dengan suara yang terdengar parau.

Okay, sepertinya dia mau menangis. Dan aku nggak tahu cara untuk membujuk dia.

Segera kulepas safety belt dari tubuhku. "Des..." Aku memanggilnya.

Namun dia tidak menjawab ataupun menoleh. Lalu tanganku menarik dagunya agar aku dapat melihat wajah Desember. Dan ternyata dugaanku benar. Dia menangis. "Kamu kenapa nangis? Hem?" Tanyaku sepelan mungkin agar tidak menyingung perasaannya.

"Aku mau pulang."

"Tapi kita udah setengah jalan Des. Lagian Hans itu sahabat aku, masa iya aku nggak datang ke pesta pernikahannya?"

"Mas Langit pergi sendiri saja," Ucapnya tanpa menatapku.

Aku menghapus air mata nya. "Tapi aku maunya pergi sama kamu Des. Sekalian kamu kenalan sama teman-teman aku nanti. Mau ya? Kita sebentar kok, nggak lama di sana."

"Habis itu kita langsung pulang?" Tanya Des.

Aku mengangguk. "Iya. Tapi nggak pulang ke rumah. Kita nginap di hotel aja. Besok paginya kita pulang. Oke?"

Desember hanya bergumam memberikan jawaban. Lalu aku sedikit menunduk untuk melumat bibir penuhnya yang sedari tadi menarik perhatianku.
Dia memegang bahuku saat aku memperdalam ciuman kami. Jika tidak mengingat dandanannya, aku sudah mengajak Des untuk bercinta di dalam mobil saat ini juga. Pasti sangat seru dan nikmat. Ah sial! Membayangkan itu saja sudah membuat aku turn on.

Aku mengakhiri ciuman itu. "Sisanya nanti kita lanjut di hotel," Bisikku di telinganya. Aku terkekeh begitu melihat wajah Des yang terlihat seperti kepiting rebus.

Kemudian kami melanjutkan perjalanan lagi menuju Medan. Setelah dua jam, kami pun tiba di hotel bintang lima tempat Hans mengadakan resepsi pernikahannya.

Aku sedikit merasa bersalah pada Desember. Karena dulu kami menikah tanpa melakukan pesta resepsi.

Desember menatap kagum gedung hotel yang setinggi 20 lantai ini. Aku menekan tombol lift untuk membawa kami menuju ballroom hotel.

"Kenapa?" Tanyaku pada Desember saat tangannya tiba-tiba memeluk lenganku.

"Aku belum pernah naik lift," Bisiknya pelan. "Aku takut liftnya mati tiba-tiba."

Aku hanya tersenyum sambil memeluk pinggangnya. Dan satu tanganku lagi menghusap perutnya yang sudah mulai membesar. "Ibumu benar-benar polos sekali," Kataku sambil tersenyum.

"Usianya sudah 3 bulan," Ucap Desember memberitahuku.

"Mumpung kita di Medan, besok kita periksa ke dokter Chokie. Dia dokter kandungan terbaik di sini."

"Iya." Desember tersenyum dan mengangguk.

Begitu sampai di lantai ballroom hotel, mata kami langsung disuguhkan pemandangan bernuansa putih dan emas. Sepanjang pintu masuk tamu, berderet rangkaian bunga berwarna putih, dilengkapi dengan beberapa figura yang memperlihatkan foto prewedding Hans dan Zeni.

Lalu, di panggung pelaminan, terdapat lima kursi bernuansa emas, yang diduduki oleh pengantin dan kedua orangtua mereka. Di tengah-tengah ruangan, berdiri sebuah pohon berdaun putih nan cantik sebagai pembatas antara area makan tamu dan jalur bersalaman. Konsepnya benar-benar keren.

Aku langsung menggandeng tangan istriku. Hans tersenyum saat melihat kehadiranku. "Selamat bro!" Ucapku seraya memeluk Hans.

"Thanks, Lang."

"Nggak nyangka, kalian berdua bisa nikah. Padahal pacarannya LDR'an sampai 7 tahun. Salut, sumpah!" Aku memberi dua jempol pada Hans dan Zeni.

"Jangan dipuji Lang. Si Hans bisa betah karena tiap ketemu, juniornya langsung dapat jatah," Celetuk Zeni.

Hans tertawa sambil merangkul bahu istrinya. "Jujur amat sih yank? Jangan dibongkar semua aib kita."

"Jangan-jangan si Zeni udah isi lagi?" Tebakku.

"Jalan 4 bulan," Jawab Hans santai.

Gila! Pantas badan Zeni kelihatan lebih berisi. Udah isi 4 bulan ternyata.

"Eh itu, istri kamu Lang? Manis banget muka nya. Unyu-unyu gitu. Nggak kalah lah dibanding Naomi," Seru Zeni.

Desember hanya tersenyum. "Selamat ya mas Hans dan mbak Zeni. Semoga langgeng terus."

"Makasih... kamu sama Langit juga moga langgeng terus," Balas Zeni.

Aku merangkul Desember. "Yaudah, kami isi perut dulu ya. Kasihan istri sama anak aku belum makan."

"Oke-oke... makan yang banyak biar dedek nya kenyang," Ujar Hans.

Saat turun dari pelaminan, kami berdua bertemu dengan para sahabatku. Ada Naomi juga di sana.

Namun aku sedikit terkejut kala melihat dress yang Naomi kenakan malam ini. Gaunnya hampir mirip dengan gaun Desember yang aku beli tadi di toko butik. Mulai dari model, warna dan bahan kainnya.


"Woi Lang, sini dong satu meja bareng kita." Ramon memanggilku.

Aku memberi senyum pada mereka semua sambil menggandeng tangan Desember.

"Langit semenjak nikah, dia udah jarang ngumpul bareng kita lagi. Sumpah, parah!" Ucap Erik.

"Jangan dramatis please...." kataku seraya tertawa.

"Duduk sini, Lang." Naomi membuka suara dan menunjuk kursi di sebelahnya.

"Kami duduk di sini aja, kebetulan ada dua kursi." Tolakku halus.

Naomi tampak kecewa dengan penolakanku itu. Para sahabatku Ramon, Erik, Liam, Jefri beserta pasangan mereka menatapku dengan pandangan aneh. Mungkin mereka terkejut dengan perubahanku ini. Tapi bodo amat lah, aku nggak mau ambil pusing.

"Des, kamu tunggu di sini ya. Biar aku yang ambil makanan untuk kamu."

Dia menahan tanganku. "Aku ikut."

"Nggak usah, kamu duduk manis aja." Aku tersenyum sambil melepaskan tangannya.

Kemudian aku berjalan menuju tempat makanan. Dan di sana aku bertemu dengan teman SMA yang sekarang sudah jadi dokter spesialis anak.

"Hi, Tommy." Aku menyapanya.

"Oh hai, Langit. Wah... makin keren aja ya sekarang ."

Kami berdua bersalaman, lalu aku menatap perempuan yang ada di sebelahnya. "Istri?" Tanyaku.

"Yeah... this is my wife, Lucy. And this is my daughter, Amanda."

Aku tersenyum ke istrinya. "Nice to meet you, Lucy." Lalu aku menatap putri mereka. "And nice to meet you, young lady."

"Nice to meet you too, mr...?"

"Just call me Langit," Potongku cepat.

"Oh oke..."

"What are you doing here?" Tanyaku ke Tommy.

"Zeni itu sepupu istri aku."

"Oh..." Aku bergumam.

"Kamu sudah nikah Lang?" Tanya Tommy.

"Ya," Jawabku tersenyum.

"How long have you been married?"

"It has been two months."

"I didn't know you're married."

"Yeah... I am so sorry. I don't invite you. Pernikahannya mendadak."

"Dijodohkan?" Tebaknya.

Aku hanya tersenyum saja. "Hem... Tom, istri aku udah nunggu di sana. Aku permisi dulu," Pamitku sambil membawa makanan untuk Desember.

Tommy mengangguk. "Oh ya Lang tunggu sebentar, may I have your phone number?"

"It's okay." Aku menyebutkan nomor kontakku padanya.

"Okay. See you later."

"See you later! Take care," Ucapku pamit.

Aku kembali ke meja tempat Desember dan sahabatku berada. Namun dahiku berkerut saat melihat Desember menangis di kursinya.

Segera aku letakkan piring yang berisi makanan untuknya. "Hei... kamu kenapa menangis?" Tanyaku bingung.

Desember mendongakkan kepala menatapku yang berdiri di hadapannya. "A-ku mau pu-lang Mas." Dia menangis sesenggukan.

Aku memeluknya dan menatap para sahabatku. "Istri aku kenapa?" Tanyaku.

Namun mereka semua hanya diam. Aku rasa ada yang tidak beres di sini.

"Ayo kita pu-lang," Desember menarik kemejaku.

"Tapi kamu belum makan."

"Aku nggak mau makan, Mas. Aku pulang saja." Dia menangis sambil memohon padaku.

Tanganku menghapus air matanya. "Iya-iya... kita pulang," Kataku sambil merangkul tubuh Des dan membawanya pergi dari sana.

18-Januari-2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top