Langit ~ 26
Karma does exist!
Sepertinya aku sedang mengalami hal itu. Dulu aku membenci dan menghina Desember habis-habisan, tapi sekarang? Aku malah menyukainya, bahkan mungkin tergila-gila. Memang benar ya, Tuhan itu tidak pernah tidur. Dan sekarang Tuhan sedang menghukumku melalui Desember.
Pagi tadi dia menolakku. Dia bilang kalau aku tak perlu bersandiwara dengan mengatakan suka ataupun cinta hanya untuk merayu supaya bisa menidurinya. Dia akan melaksanakan kewajibannya sebagai istri jika aku memintanya dengan baik.
Demi Tuhan! Aku tidak bermaksud untuk seperti itu. Aku hanya mengungkapkan apa yang aku rasakan padanya. Jika aku cuma menginginkan tubuhnya, mungkin aku sudah memaksanya untuk melayaniku setiap hari tanpa peduli dia yang lagi marah padaku.
Penolakannya itu membuatku menjadi uring-uringan saat ini. Bahkan pagi tadi aku sempat tidak konsentrasi saat sedang melakukan pengawasan di PT. SIDODADI. Padahal pemerintah menggajiku untuk bekerja secara serius, tapi aku mulai tidak profesional hanya karena masalah cinta. Benar-benar memalukan sekali memiliki pegawai pengawas seperti diriku ini!
Aku tidak tahu bagaimana cara untuk mendekati dan membujuk istriku itu. Apa kesukaannya dan apa hobinya. Karakternya sangat berbeda dengan perempuan yang pernah aku kencani. Bunga mawar, coklat, perhiasan, tas sudah sangat mainstream sekali! Dan aku pun yakin, Desember tidak akan suka dengan semua barang itu.
Apa aku harus tanya ke Jonathan? Dia pasti tahu apa kesukaan dari Desember. Tapi gengsi rasanya. Yang ada nanti, Jo akan besar kepala! Kenapa jadi rumit begini sih? Ah, benar-benar menyebalkan!
Aku mencoba berfikir keras untuk mendapatkan ide. Masa iya pria sepertiku kalah dengan seorang Jo? Pengalamanku dengan perempuan lebih banyak darinya. Aku pasti bisa menarik perhatian Desember. Dan aku tahu caranya. Keluarganya. Satu-satunya hal yang ada di dalam otak dan hati Desember adalah Bapak dan Bastian.
Maka dari itu, aku harus mendekati mereka. Aku yakin, secara perlahan-lahan Desember pasti akan merubah pandangannya yang buruk tentangku.
Aku tersenyum sambil menyusun buku-buku akte pengawasan ketenagakerjaan yang ada di meja kerja. Aku akan melanjutkan isi laporannya di rumah saja.
*****
"Mas serius, kita mau nginap seminggu dirumah Bapak?" Tanya Des dengan wajah gembira.
"Heem..." Gumamku seraya mengganti baju kerjaku dengan baju biasa.
"Yaudah, aku bereskan kerjaan rumah dulu. Habis itu kita pergi."
Aku mengangguk saja, lalu dia keluar dari kamar dengan tersenyum. Lihatlah tebakanku benarkan? Aku hanya mengatakan bahwa kami akan tinggal dirumahnya selama seminggu, tapi itu sudah berefek besar pada perasaannya.
Baru kali ini aku melihatnya tersenyum seperti itu. Senyum yang manis dan bisa membuat hatiku terasa hangat. Sumpah! Aku geli sendiri dengan tingkah konyolku ini. Berasa kayak anak ABG yang lagi ngincar gebetannya gitu. Padahal masa pubertasku sudah lewat dari sepuluh tahun lalu. Ternyata cinta itu bisa membuat orang jadi sedikit gila dan alay. Tapi tak apa, bukan cinta namanya kalau tidak alay.
Sekitar jam 5 sore, aku dan Desember sampai di rumahnya dengan menggunakan motor milikku.
Dia segera turun sambil membawa tas yang berisikan pakaian kami berdua. "Biar aku saja yang bawa tasnya," Ujarku sambil mengambil tas itu dari tangannya.
"Nggak usah Mas, aku udah biasa kok angkat barang yang berat-berat. Tas ini nggak seberapa jika dibandingkan angkat air dalam ember," Ucap Des santai. Seolah perkataannya tadi adalah sesuatu yang patut dibanggakan.
Lalu dia mencoba mengambil tas itu dariku. Namun segera aku jauhkan darinya. "Mulai sekarang, kamu nggak usah angkat barang yang berat-berat. Emangnya kamu pikir, kamu itu Limbad? Atau Wonder woman? Ingat Des, kamu lagi hamil. Jangan samakan fisik kamu yang dulu dengan yang sekarang. Itu beda!"
"Kenapa Mas tiba-tiba peduli dengan kehamilanku?"
"Pertanyaan bodoh! Ya jelaslah aku peduli. Yang kamu kandungkan anak aku," Balasku jengkel.
"Menurut aku Mas itu nggak pernah peduli sama bayi yang ada dalam kandunganku ini. Cuma bang Pram saja yang peduli dengan calon ponakannya."
Aku mengerutkan kening. "Apa maksudmu?" Tanyaku bingung.
"Bang Pram sangat perhatian dengan membelikan susu ibu hamil untukku. Sementara mas Langit tidak," Jelasnya.
Aku mendengus mendengar itu. "Apa kamu tahu, siapa yang menyuruhnya untuk membelikan susu coklat ibu hamil itu padamu? Aku Des! Aku yang meminta tolong pada bang Pram untuk membelikan susu terbaik untuk ibu hamil. Karena waktu itu aku sedang ada di Bandung."
"Oh ya? Kenapa Mas nggak bilang kalau itu dari mas Langit. Aku kan jadi berfikir itu dibelikan sama bang Pram," Ujarnya pelan.
"Ah sudahlah... aku memang sudah terlihat jelek dimatamu. Iya kan?" Tanyaku untuk menyindirnya.
Dia menggigit bibir bawahnya karena merasa bersalah. "Maaf Mas, nanti aku akan mengganti uang susunya."
"Untuk apa di ganti?"
"Biar mas Langit nggak marah lagi."
"Aku tidak marah. Aku hanya merasa jengkel denganmu. Ah sudahlah... nggak usah dibahas lagi. Aku mengajakmu untuk tinggal di sini, supaya bisa memperbaiki hubungan kita. Bukan untuk berdebat nggak jelas kayak gini."
"Aku benar-benar tidak tahu kalau susu itu mas Langit yang belikan. Hem... aku mau bilang terimakasih."
Aku hanya mengangguk sambil bergumam. Kemudian kami berdua masuk ke dalam rumah.
Bapak Desember langsung tersenyum dan memeluk putrinya itu dengan kegirangan. "Des pu-pulang... Ba-bapak senang."
"Bapak rindu?" Tanya Des tersenyum.
Beliau mengangguk sambil melepas pelukannya. "I-iya, setiap ma-malam Bapak rindu. Ba-pak sayang Des."
"Des juga saayaaaang Bapak. Oh iya, Des mau bilang sesuatu sama Bapak." Dia menarik tangan kanan Bapaknya ke arah perutnya. "Desember hamil, di dalam perut Des ada cucu Bapak."
"Ha-hamil?" Tanya Bapak Des.
"Iya."
"Ba-bapak akan jadi Kakek?"
"Iya," Jawab Des tersenyum.
Tiba-tiba Bapaknya menarik Des untuk duduk. "Des ti-tidak boleh capek. Des ju-juga tidak boleh kerja la-lagi. Biar Ba-bapak yang cari u-uang."
"Bapak tidak usah khawatir, Des sudah menikah dengan saya. Jadi Des adalah tanggung jawab saya sekarang," Sahutku pada Bapak Desember.
Beliau menoleh ke arahku. "Nak Langit, to-tolong jaga Des. Dia ha-hamil. Ba-bapak senang jadi Kakek."
"Ya, saya akan menjaganya."
"Oh ya Pak, Bass kemana? Belum pulang ya?" Tanya Des.
"Bass ha-hari ini ada les."
"Oh... pantas nggak kelihatan."
"Des," Panggilku.
"Ya?"
"Kamarmu di mana?" Tanyaku.
"Yang itu Mas," Tunjuknya.
"Aku ke kamar ya," Kataku sambil membawa tas kami. Dia mengangguk. Aku sengaja meninggalkan mereka berdua, supaya bisa melepas rindu antara Bapak dan anak.
Dahiku berkerut saat melihat kamar Desember. Rapi sih, tapi kamarnya sempit banget. Ranjangnya kecil, nggak ada kipas angin. Hanya bermodalkan ventilasi saja. Gila! Nggak kebayang aku tidur malam selama seminggu di sini. Pulang-pulang aku bakal berubah jadi ikan rebus!
Tapi bodo amatlah, pria sejati tidak akan mengeluh untuk memperjuangkan cintanya. Demi Desember, istriku yang manis. Aku rela jadi ikan rebus di rumahnya ini, asal bisa dekat dengannya. Well, kayaknya aku bakal ganti nama. Bukan Langit Prasaja lagi, melainkan Langit si alay!
Selesai makan malam, aku berjalan ke depan teras saat mendengar suara Bastian yang menyanyikan lagu more than words dari Westlife dengan bermain gitar.
Aku duduk di sebelahnya. "Suaramu bagus," Pujiku dengan tulus ketika dia sudah selesai bernyanyi.
Dia tak menjawabku, hanya menunduk sambil memeluk gitar dan memainkannya.
Sial! Adeknya Desember jutek banget sih? Beda sama Desember yang super ramah.
"Kamu nggak makan malam?" Aku mencoba lebih ramah.
"Nanti, belum lapar."
"Oh." Aku hanya bergumam.
Setelah itu hening. Sepertinya Bastian memang anak pendiam. Atau dia memang tak mau berbicara denganku.
"Kamu udah punya pacar?" Tanyaku penasaran.
Dia menggelengkan kepala memberikan jawaban.
"Kenapa? Secara fisik kamu ganteng Bass, mustahil nggak ada yang naksir kamu di sekolah."
Bastian menatapku. "Tunggu udah sukses dulu, baru cari pacar. Lagian aku disekolahkan untuk belajar, bukan untuk pacaran," Ucapnya datar. Lalu dia kembali bermain gitar.
Oh shit! Aku diceramahin sama anak SMA. Dan lihat gayanya itu, stay cool banget. Untung adek ipar, kalau enggak udah aku tonjok juga nih orang.
Aku pikir kalau duduk di luar bakal lebih dingin, ternyata lebih panas. Tahu gitu, aku bagus di dalam kamar aja gangguin kakaknya. Yah, itu lebih baik. Aku segera berdiri dan berjalan ke dalam rumah, meninggalkan adeknya Desember yang sok dingin kayak kulkas itu.
10-Januari-2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top