Desember ~ 3

Aku menghapus air mata yang jatuh menetes di pipi ku begitu keluar dari kamar tuan Langit.

Setiap hari aku akan selalu berakhir menangis setiap keluar dari sana. Aku tidak tahu kenapa dia sangat membenciku. Kata-kata yang keluar dari bibir nya begitu tajam dan menusuk sekali.

Apa aroma tubuh ku memang sebau itu? Sampai membuat nya mual? Padahal aku selalu mandi setiap pagi sebelum pergi kerja. Semua pakaian juga aku gosok dengan pewangi baju. Tapi aku tetap saja bau dan salah di mata nya.

"Desember..."

Astaga, itu suara tuan Pram. Jangan sampai dia melihat ku menangis lagi. Dengan cepat aku menghapus air mata ku.

"Kau menangis lagi?" Tanya nya saat melihat ku.

"Oh bu-bukan... aku hanya kelilipan tuan."

Tuan Pram berdecak kesal saat mendengar jawaban ku. "Berapa kali aku katakan jangan panggil aku tuan. Cukup Pram, bisa?"

Aku hanya mengangguk saja.

Nama nya Pramuda Prasaja, anak pertama di keluarga ini. Yah, pria ini adalah abang dari Langit. Keluarga Prasaja hanya memiliki 2 orang anak.

Pria ini sangat baik padaku, dia ramah dan selalu membelaku saat di tindas oleh tuan Langit. Dia berusia 26 tahun dan bekerja sebagai pegawai negri sipil di sebuah rumah sakit. Tuan Pram adalah seorang dokter umum.

"Jadi, apa Langit memarahi mu lagi? Apa yang dia katakan sampai kau menangis?"

Percuma kalau aku jawab bohong, karena dia juga pasti tahu.

"Kata tuan langit, aroma badan ku bau dan membuat nya mual. Jadi aku menangis, karena merasa sangat malu."

"Anak itu memang keterlaluan sekali. Bisa-bisa nya dia melontarkan kalimat seperti itu kepada perempuan."

"A-apa aku memang bau badan ya, Pram?" Tanyaku pada nya.

"Jangan dengarkan ucapan si gila itu. Kau tidak bau badan. Kurasa hidung Langit yang memang bermasalah. Jadi jangan terlalu ditanggapi serius," Jawab Pram.

Aku tersenyum dan mengangguk kan kepala.

"Sekarang pergi lah bekerja dan jangan menangis lagi. Rumah ini akan banjir jika kau menangis terus setiap pagi nya," Ucap nya lagi.

Aku pun tertawa mendengar lelucon nya. Kemudian pergi ke dapur untuk merendam semua pakaian kotor.

*****

Setelah mendapatkan gaji bulanan aku pergi ke pasar karena persediaan bahan makanan di rumah sudah hampir habis.

Saat aku sedang membeli beras, tiba-tiba aku mendengar suara Mama nya Jonathan sedang berbicara dengan ibu-ibu di pasar yang juga sedang berbelanja di sana.

Aku tidak tahu, apa mereka memang sengaja bicara dengan keras atau telinga ku yang terlalu sensitif untuk mendengar suara mereka.

Satu yang pasti, mereka sedang membicarakan diriku. Aku yakin itu.

"Jadi, sebenarnya si Jo pacaran sama siapa sih? Aku dengar gosip dia pacaran sama si Desember."

"Hahaa... enggak lah itu cuma gossip. Mana mungkin anak ku mau sama perempuan kayak dia. Mau jadi apa calon cucu ku nanti? Amit-amit jangan sampai deh, jauh-jauh lah punya cucu idiot kayak bapak nya Desember!"

Aku membeku mendengar ucapan Mama nya Jo.

Dada ku sesak dan sulit untuk bernafas saat ini. Rasa nya seperti sedang tertimpa ribuan ton batu.

"Iya, saya juga nggak setuju kalau si Jonathan dekat sama Desember. Nggak cocok mereka berdiri di pelaminan. Masa Jonathan yang tamat S1, ganteng, baik harus berjodoh dengan Desember yang hanya tamat SMA? Pembantu pula! Nggak banget di kartu undangan pernikahan mereka, si mempelai wanita nggak punya gelar di belakang nya. Malu pasti di tertawakan orang."

Aku dapat mendengar suara tawa Mama nya Jo. Saat aku menoleh untuk melihat mereka, ternyata mereka juga sedang melihatku.

Sekarang aku tahu, mereka memang sengaja membicarakan ku dengan suara yang kuat, agar aku mendengar nya.

Mengapa mereka jahat sekali? Tega mempermalukan aku di tempat ramai seperti ini.

Aku hanya bisa menunduk dan mempercepat membeli barang belanjaan ku. "Bu, berapa semua harga belanja saya?" Tanya ku dengan suara parau kepada penjual toko itu.

Aku masih dapat mendengar suara kicauan-kicauan mereka dari jauh.

"Si Jonathan itu udah aku jodohkan sama Melly. Anak nya cantik, baik, lulusan sarjana pendidikan lagi. Sekarang dia udah honor di SMA Negeri 1. Cuma dia yang cocok jadi menantu di keluarga kami. Aku yakin, si Jonathan nggak akan nolak dia. Kalau pun Jonathan lagi pacaran sama perempuan lain, yah itu hanya untuk main-main saja. Nama nya juga anak muda, masih suka iseng-iseng sama perempuan yang cabe-cabean gitu."

Mereka berdua tertawa lagi sambil melihat ke arah ku. Dengan cepat aku membayar barang belanjaan ku dan membawa nya ke sepeda. Saat berjalan melewati mereka, aku hanya tersenyum dan menundukkan kepala ku pertanda aku masih menghormati mereka sebagai orang tua.

Kedua kaki ku terus mengayuhkan sepeda hingga tiba di depan rumah.

Aku melihat salah satu ibu tetangga sedang memarahi Bapak yang tampak ketakutan di sana.

Ada apalagi ini ya Tuhan....

Aku turun dari sepeda dan berlari menghampiri Bapak dan memeluk nya yang sudah tampak takut.

"Ada apa ini? Mengapa ibu memarahi Bapak saya?"

"Bilang sama Bapak kamu itu ya! Jangan pernah kasih makanan dia ke anak saya! Saya nggak mau anak saya ketularan air liur nya dan dekat-dekat sama anak saya! Sok ngasih kue ke anak saya, dia pikir saya nggak mampu apa beli jajanan?! Dasar keluarga idiot!!" Teriak nya kencang di hadapan wajahku.

Tangan ku hanya bisa mengepal, tapi aku bisa apa? Mau marah pun aku tidak berhak. Karena walaupun kami benar, tidak akan ada warga yang akan membela kami di sini.

Aku tahu, Bapak tadi pasti kasihan melihat anak ibu itu. Maka nya Bapak memberikan kue nya untuk anak ibu itu.

Tapi karena Bapak punya masalah dengan mental nya, orang kampung disini menganggap itu adalah penyakit yang dapat menular.

"Ibu sudah selesai bicara? Kalau sudah, tolong pergi dari sini." Ucapku tegas.

Dia menatapku dengan wajah tak suka, tapi akhirnya ibu itu pergi dengan membawa anak nya.

"Ayo, Pak berdiri. Kita masuk ke rumah." Ajak ku sambil membantu Bapak berdiri.

"Ba-bapak tidak ja-jahat..." Ucap nya dengan suara gemetar.

"Iya Des tahu Pak. Tapi kan Des udah pernah bilang, jangan kasih apapun ke orang lain lagi. Mereka semua tidak akan mau mengerti niat baik Bapak. Kita akan selalu salah, salah dan salah. Des mohon, jangan seperti itu lagi. Kalau tadi Des nggak lihat, mungkin Bapak udah di pukulin sama mereka. Bapak mau di pukul?" Tanyaku sambil menangis.

Bapak menggelengkan kepala nya dan menghapus air mataku. "Ba-bapak minta ma-maaf... Des nggak bo-boleh nangis la-lagi."

"Des nggak akan nangis, asal Bapak janji mau dengerin ucapan Des."

"I-iya Ba-bapak janji," Jawab Bapak sambil menggenggam tangan ku.

"Yaudah, Bapak masuk ke rumah dulu. Des mau ambil barang belanjaan di depan."

"Ba-bapak ikut bantu," Ucap Bapak.

Aku tersenyum dan menggandeng tangan Bapak ke depan jalan.

Sekarang aku tahu alasan mengapa seorang anak perempuan mencintai Ayah nya. Karena setidak nya ada satu lelaki di dunia ini yang tidak akan menyakiti dia.

Dan aku sangat sayang dan bangga memiliki Ayah seperti Bapak.

****

"Kak, ada Abang Jo di luar." Teriak Bass di pintu kamar ku.

"Iya... suruh tunggu bentar," Ucapku sambil mengambil jaket. Sebelum keluar aku memandang diriku di depan cermin.

Sangat biasa.

Apa yang di ucapkan Mama nya tadi pagi memang benar. Aku nggak cocok sama anak nya.

Aku tersenyum kecut mengingat kejadian di pasar tadi.

Mungkin aku harus mengambil keputusan, sebelum aku semakin terluka karena ucapan Mama nya Jo.

Malam ini akan menjadi kencan terakhir ku dengan nya.

Iya, aku harus mengakhiri nya. Walaupun aku menyukai nya tapi aku harus melakukan ini.

Karena aku sadar cinta itu tidak harus saling memiliki.

Aku berjalan keluar rumah dan mendapati Jo yang sedang tersenyum.

"Kau terlihat cantik malam ini," Ucap nya sambil memberikan helm padaku.

"Yah, aku berdandan cantik untuk mu. Jadi kau tidak akan malu jalan dengan ku."

"Aku tidak pernah malu," Protes nya.

Aku tersenyum. "Aku tahu. Yaudah yuk jalan, takut kemaleman pulang nya."

Jo menjalankan sepeda motor ninja nya membelah jalan malam. Aku mengeratkan pegangan ku pada pinggang nya agar tidak terjatuh.

"Peluk aja Des," Ucap nya menoleh ke arahku sambil tersenyum jahil.

Aku mengikuti permintaan nya dan memeluk tubuh nya dari belakang.

"Tumben mau peluk aku? Biasa nya juga nolak," ucap nya sambil tertawa.

Aku hanya tersenyum. Biarkan ini menjadi pelukan pertama dan terakhir untuk nya.

Tak berapa lama kami singgah di sebuah tempat makan yang cukup mahal menurutku.

"Kamu lapar?" Tanyaku.

"Kita makan dulu," Jawab nya.

"Tapi aku udah makan di rumah."

"Kok kamu udah makan di rumah sih? Kan kita udah janji mau jalan," Protes Jo sambil meletakkan helm nya.

"Ya aku nggak tahu kalau mau di ajak makan, aku pikir kita jalan kemana gitu."

Wajah nya tampak kesal dan tak mau melihat ke arahku.

"Yaudah, aku temani kamu makan aja ya?" Bujuk ku.

"Terus kamu?"

"Aku minum aja."

Jo menghela nafas dan akhir nya mengangguk. Kami pun masuk ke dalam.

Dan alangkah terkejut nya aku saat melihat tuan Langit ada di sana bersama dengan pacar nya yang aku tahu seorang dokter cantik.

Tuan Langit pun tampak terkejut melihat ku. Mungkin dia bingung dan heran, mengapa seorang pembantu bisa berada di tempat mahal seperti ini.

25-Oktober-2016

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top