XXXX - Terima Kasih
Happy reading! Typo adalah seni, seni adalah Typo :"D
.
Romeo menghela napasnya ketika sadar bahwa sudah tidak ada lagi Justin dan Liu ketika dia kembali. Kepribadian Fabio ini ternyata sulit untuk dihilangkan.
Meski sebenarnya Romeo lebih ingin dialah yang menghilang.
Kenapa ya, Tuhan tidak mencabut nyawanya saja di hari itu. Tapi kemudian dia menggelengkan kepala, pemikiran konyol, jika Fabio yang hidup dia hanya akan menjadi beban orang lain bukan? Dia tidak bisa hidup sendiri dengan keadaan sakit-sakitannya seperti di akhir hayat begitu.
Pria tersebut bersandar pada dinding ruangannya, hidup sangat melelahkan. Padahal dia sudah cukup senang berada pada titik dimana dia bisa melewati momen hidupnya. Maksudnya dengan adanya Fabio, dia tidak tahu berapa banyak waktu yang sudah dia lewati dan dijalankan oleh pribadi yang itu.
Hahh... Jika kalian bertanya tentang bagaimana Romeo memiliki kepribadian bernama Fabio, padahal Fabio adalah seseorang yang nyata sebelum kematiannya. Maka itu adalah sesuatu yang hanya bisa dijelaskan oleh Romeo. Rasa trauma dan sedihnya begitu mendalam sampai-sampai dia menciptakan sebuah pertahanan dirinya yang baru, menganggap bahwa Fabio masih hidup, berangan-angan menjadi Fabio dan bisa lari dari kobaran api pada hari itu.
Tanpa sadar—atau mungkin disengaja, dia mulai mempertanyakan identitas dirinya hingga tercipta sebuah kepribadian baru.
Sejujurnya, kepribadian baru ini bukanlah sosok Fabio itu, mana mungkin jiwa Fabio tiba-tiba merasuki tubuh Romeo dan menjadi pribadi baru bukan? Itu konyol. Tidak, jika begitu kejadiannya Romeo tidak akan dibawa ke rumah sakit, tapi mungkin akan dibawa ke dukun untuk mengusir roh gentayangan Fabio.
Kepribadian ini adalah kepribadian asing, bentuk pertahanan diri dari Romeo. Namun kepribadian ini justru dibentuk menjadi duplikasi Fabio. Siapa yang melakukannya? Tentu saja oleh wanita yang paling dihormati oleh semua pelayan, si permaisuri.
Karena sebuah fakta bahwa setiap kepribadian punya ingatan yang berbeda, maka dari itu sang permaisuri memanipulasi kepribadian baru ini dan menjadikannya sebagai Fabio.
Sangat panjang untuk dijelaskan secara rinci. Singkatnya, ini hanyalah sebuah bentuk denial tingkat tinggi. Dengan adanya sosok 'Fabio' ini, Romeo merasa bahwa Fabio selalu berada disisinya.
Tapi sekarang itu hal yang sia-sia, Romeo terlalu dimanja oleh keberadaan Fabio sampai-sampai dia mulai mempertanyakan siapa sebenarnya yang asli di antara mereka.
Siapa yang mati pada kebakaran itu?
Fabio atau Romeo?
"Argh!" Romeo mengacak rambutnya frustasi. Sekarang salah satu dari mereka akan dihilangkan, di saat Romeo ragu apakah dia asli atau tidak.
"Jika kau terus bersembunyi dibalik Fabio, bagaimana kau bisa membalaskan dendam pada orang yang menghancurkan keluargamu?" itu adalah kalimat paling panjang terakhir yang diucapkan sang permaisuri padanya sebelum Romeo memulai rehabnya.
Apa sebaiknya dia mati saja ya?
Rasanya mustahil dia bisa menjalani kehidupan secara normal sendirian.
Jika Liu mendengar ini, Liu akan memukul kepalamu, Romeo. Tentu saja dia tidak sendirian, dia punya rekan yang hebat dan budak yang bodoh, bukan?
Belum selesai perkelahian batin Romeo, tiba-tiba saja terdengar sebuah ledakan.
Ledakan di tempat seperti ini? Maksudnya, apa penjahat jaman sekarang senang membunuh orang-orang yang sakit jiwanya?
Lebih baik kau bunuh para penjahat negara yang hanya senang memakan uang rakyat saja sana.
Ya lupakan itu, yang lebih penting saat ini Romeo merasakan bangunan tempat dia berada mengalami guncangan dan retak pada dindingnya. Senyuman miring tercetak di bibir pria itu, dia bisa kabur kapan saja dengan menghancurkan tembok ini jika dia mau.
"Baiklah, aku akan berbaik hati kali ini dan menjadi anak baik." Dia bergumam seraya menidurkan tubuhnya di ranjang dan mulai menutup mata. Tidur siang di tengah kekacauan, kapan lagi dia bisa sesantai ini bukan?
Tiba-tiba sebuah bayangan dan suara terngiang dikepalanya.
"Ha—halo Romeo... Apa kabar?"
Romeo langsung membuka matanya dengan lebar ketika menyadari sesuatu,
"Oh shit! Pasti dia magnet kesialannya!"
***
"Jangan salah paham, aku hanya tidak sengaja melihat dan tidak tega dengan kematianmu."
Liu cukup terkejut dengan sosok familiar tersebut, pria berwajah menjengkelkan itu masih memeluk tubuh Liu, menjadikan punggungnya sebagai tameng sebagian reruntuhan yang benar-benar tidak bisa dia hindari.
"Romeo?" Dia ingin memekik senang seperti yang ada di film-film, tapi pasti Romeo akan memarahi sikap kekanakannya.
Dan lihat saja wajah pria itu sudah berubah, "Berisik, dasar biang kesialan."
Tapi kau selalu menyelamatkan—ehem, maksudnya selalu kebetulan lewat dan tak sengaja menyelamatkannya. Meski sejujurnya Romeo juga tak sudi menyelamatkan Liu, iya seperti itu. Humh.
"Hei brengsek apa-apaan ini? Kenapa kau tak menjaga peliharaanmu dengan benar?" Romeo berdiri tegak, meregangkan otot tubuhnya yang terasa sudah cukup kaku. Dia menatap Justin yang masih terdiam tak jauh dari mereka. Pria berdarah Italia tersebut mengerutkan alisnya, "Irina?"
Lagi-lagi Liu kaget, bahkan Romeo kenal dengan wanita itu?
Bugh!
"Aduh!" Liu merintih pelan saat di dorong Romeo untuk menjauh darinya. Sifat menyebalkannya mulai kambuh.
"Romeo, aku tahu kau pasti akan menolaknya. Tapi, bisakah kali ini kau menyelamatkanku? Aku harus mengobati Irina." Justin menatap Romeo dengan sungguh-sungguh.
Bahkan Romeo terlihat diam sejenak. Sepertinya dia pun kaget karena Justin bisa meminta tolong dengannya, seserius itu? Padahal mereka hampir selalu adu mulut bahkan berkelahi setiap ada kesempatan.
Keadaan Justin dan Irina sudah cukup parah. Irina yang masih tak sadarkan diri dan Justin yang sudah sangat kelelahan, sedangkan musuh masih mengelilingi mereka. Meski untuk sementara mereka memilih diam dan memanggil bala bantuan. Siapa yang menyangka bahwa anjing liar Hades juga ikut berpartisipasi.
"Aku—bisa membantu!" Liu berdiri lagi meski tubuhnya sudah dipenuhi debu dan memar. Namun lagi-lagi Justin masih menatapnya tidak percaya.
"Hei apa yang kau lakukan? Cepat kemari." Kata salah seorang musuh yang bahkan sampai saat ini masih menganggap Liu sebagai rekan hanya karena Liu di dorong dan dibentak oleh Justin, serta sebuah jubah pemersatu bangsa ini.
Ini situasi yang konyol.
Apakah penyamaran Liu terlalu sempurna?
Atau memang orang-orang ini saja yang bodoh.
"Berhenti memanggilku rekan! Aku ini sedang menyamar, sialan!" jerit Liu kesal. Situasi ini adalah yang terkonyol di hidupnya.
"Oh benarkah? Maafkan kami!"
Tunggu dulu, Liu sedang menyamar menjadi salah satu dari kalian, bukannya menyamar menjadi rekan Romeo dan Justin!
"Pfft..." Liu mendelik saat melihat Romeo memalingkan wajahnya, bahkan pria Italia itu tak sanggup mempertahankan ekspresinya dengan situasi absurd yang Liu alami.
"Romeo, awas!" Justin berteriak saat melihat seorang sniper membidik mereka, lebih tepatnya membidik Romeo yang sedang menurunkan kewaspadaannya.
Dor!
Peluru itu meleset, berhasil dihindari oleh Romeo meski nyaris saja menggores lehernya. Refleks juga Romeo menarik tubuh Liu, mendorongnya agar lebih dekat dengan Justin. "Baiklah, saatnya kita sedikit serius. Dan serahkan Irina pada Liu, aku tidak sudi melindungimu."
Justin tampak mengeraskan rahangnya, Liu melihat itu.
Entah kenapa, rasanya waktu-waktu yang dia habiskan bersama Justin selama ini hanyalah sebuah kebohongan. Kenapa Justin begitu cepat berubah? Bahkan terlihat membencinya atas tuduhan tak berdasar saat ini.
"Tidak, aku bisa melakukan ini meski membawa Irina." Si pria Rusia tampak keras kepala.
Tak diduga Romeo langsung mencengkeram kerah baju Justin, "Ini bukan saatnya untuk berlagak sok keren bangsat! Serahkan pada Liu atau aku akan pergi!"
Suara bentakan Romeo bahkan membuat ciut nyali beberapa orang di sana, termasuk Liu. Justin masih mempertahankan ekspresi dingin pada wajahnya, namun pada akhirnya dia mendecih seolah tak mau berurusan lebih jauh dengan Romeo.
Justin menyerahkan Irina kepada Liu tanpa kata-kata, Liu dengan sigap menggendong wanita itu menggantikan Justin. "Aku akan mencari tempat yang aman, berhati-hatilah!" ucapnya, meski Liu rasa itu tidak terlalu penting. Toh mereka jauh lebih hebat dari Liu dalam segala segi.
Yang terpenting, dia harus menjaga Irina.
Pasti Irina adalah wanita yang sangat berharga untuk Justin, Liu juga tidak ingin Irina kenapa-napa.
Andai saja dia menemukan ponselnya, mungkin dia bisa menghubungi Zian. Ah tapi dia yakin mereka akan segera kemari, maksudnya mana mungkin para pelayan akan diam bukan, ini adalah rumah sakit tuan mereka.
Apalagi jika banyak korban berjatuhan, pasti tak lama lagi mereka akan di sini dan Liu bisa bernapas lega!
Lelaki manis berdarah China tersebut membawa Irina bersembunyi dibalik sebuah dinding rusak. Menyandarkan tubuh wanita itu dan membersihkan luka pada kakinya. Liu merasa ngilu untuk melihat keadaan kaki Irina yang terpotong itu, tapi dia berharap semoga Irina masih bisa hidup setelah ini.
Karena wanita ini terlihat sangat berharga untuk Justin. Liu akan melindunginya dengan aman disini sambil menunggu bantuan.
Ya seharusnya memang seperti itu, sampai Liu melihat beberapa orang mendatanginya.
"Hei, cepat serahkan wanita itu."
Liu refleks memeluk Irina dengan erat, "Tidak akan kuserahkan."
Sementara itu kedua pria yang sempat adu mulut itu terlihat sudah agak akur sekarang, mereka berdiri saling memunggungi. "Kau tanpa senjata hanyalah sampah, jadi jangan sampai mati lebih dulu," ucap Romeo dengan santai. Pria itu kemudian langsung meloncat ke arah salah seorang musuh tanpa aba-aba, dia terlihat malas mendengar sahutan Justin.
Krak!
Suara tulang leher dipatahkan terdengar jelas. Romeo menjadi sasaran tepat setelah itu terjadi, beberapa musuh segera mengangkat pistol mereka dan menembaki Romeo, sayangnya pria itu cukup gesit untuk berlari dan menghindar.
Meski tubuhnya terasa lebih kaku dari biasanya, namun ini bukanlah sebuah keuntungan bagi para musuh. Karena Romeo tetaplah Romeo, hama sekelas cecunguk tidak akan bisa melampauinya.
Tak mau tinggal diam, Justin ikut bergabung meski tak sebrutal Romeo. Pria Rusia itu menendang tangan musuh yang hendak melepaskan pelurunya pada Romeo. Dia melompat ke depan dan lagi-lagi mendorong kepala seseorang mencium tembok hingga meratakan wajahnya,
Bercak darah tercetak jelas pada tembok tersebut, Justin meninggalkannya dan beralih pada orang yang lain. Dia tidak mau berhutang terlalu banyak pada pria Itali yang gila ini.
"Ambil ini." Romeo melemparkan sebuah pistol yang masih bagus untuk Justin. "Pastikan kau tidak membidik kepalaku," lanjutnya lagi.
Justin tertawa remeh, "Jika aku ingin membunuhmu, aku sudah melakukannya sejak lama." Pria dengan keahlian medis itu memegangi erat pistolnya. Dia ingin ini cepat berakhir karena ada banyak yang harus dia ketahui.
"Justin, bagaimana bisa Irina masih hidup?" Romeo berdiri membelakangi Justin, menempelkan punggung mereka untuk saling menjaga diri dari musuh licik yang akan menyerang dari belakang.
Yang ditanyai langsung mencengkram kasar pistolnya, "Aku juga tidak tahu. Apa permaisuri dan kaisar mengkhianatiku selama ini?"
Mendengar jawaban tersebut tiba-tiba saja Romeo tertawa gelak. "Apa untungnya mereka mengkhianatimu sialan? Kau bukan orang yang sepenting itu." Suaranya terdengar kasar dan mengejek. "Yang lebih mengherankan, kenapa Irina malah diincar oleh cecunguk ini. Sialan, mana bos kalian? Akan ku patahkan lehernya." Romeo terlihat muak dengan pemandangan di depannya, mayat sudah berserakan namun tak terlihat ada orang kuat disana untuk diajak berduel secara adil.
Seperti ini hanyalah sebuah rencana main-main.
"Mereka tidak datang untuk berkelahi, mereka datang untuk membawa atau membunuh Irina..." jawab Justin sedikit ragu. Ada terlalu banyak pertanyaan yang harus dia tanyakan pada tuannya.
"Kau tidak berpikir bahwa permaisuri atau kaisar yang mengirim sumber daya manusia tak berguna ini untuk membunuh Irina kan?" ucapan Romeo terdengar tepat mendeskripsikan pikiran Justin yang berkecamuk. Pria Italia itu bahkan masih bisa tertawa dan mengejeknya.
Apa dia tahu seberapa berharganya Irina untuk Justin?
"Yahh, tapi mungkin aku masih bisa berharap bahwa Fabio juga masih hidup? Ah sial, itu konyol, aku melihat sendiri mayatnya hangus dan menjadi abu." Romeo menyambung kalimatnya, terdengar sangat tidak sopan untuk mengejek orang yang sudah mati, terutama adalah saudaranya sendiri. Tapi, mungkin itu adalah sebuah usaha agar Romeo yakin, bahwa dialah yang hidup dan Fabio yang mati, dan bukan sebaliknya.
Belum sempat pembicaraan mereka selesai, tiba-tiba terdengar suara mobil polisi dalam jumlah yang cukup banyak. Ada dua kemungkinan, polisi akan ikut campur, atau mereka sedang mengawal orang penting.
Tapi kemungkinan ketiga, ada orang yang menyamar juga.
Meski pun pada zaman sekarang ini kejahatan dan kebaikan terlihat sangat tipis, dunia atas dan bawah seolah sudah berdamai, tapi tetap saja pemerintah tidak akan dengan senang hati membiarkan sekelompok penjahat terlihat seperti pahlawan.
"Cepat selesaikan ini."
Tak ada kata-kata yang lain, Justin langsung berlari meninggalkan Romeo dan menembaki beberapa orang yang tak jauh darinya. Romeo mendecih, seharusnya dia yang berkata seperti itu.
Karena dia akan lebih cepat menyelesaikan ini semua sendirian!
Pria yang seharusnya masih berada dalam masa rehab itu tersenyum maniak, melesat dan meloncat dengan gerakan yang sangat cepat. Tubuhnya tidak kecil, namun terasa gesit dan ringan, menghantamkan tinju beratnya pada wajah musuh dan hingga mereka terhempas jauh ke belakang. Kemudian dihabisi oleh tembakan Justin yang tepat mengenai titik vital mereka.
Berulang kali Justin mengganti pistol ditangannya, mengambil pistol para musuh yang sudah dilumpuhkan oleh Romeo, karena cukup sulit menemukan senjata yang pas ditangannya. Tapi tidak masalah, yang penting mereka membunuh, bukan?
Tanpa mereka sadari, ada seorang laki-laki yang sedang menonton perkelahian tersebut dari atas gedung di samping. Dia tampak tersenyum meski melihat anak buahnya perlahan mulai tercerai berai oleh amukan dua anjing Hades.
"Mereka benar-benar lupa dengan target sesungguhnya, ya?" dia hanya tersenyum kecil, melihat ke arah yang lain. Tepatnya melihat pada kerumunan orang-orangnya yang tak diketahui oleh kedua anjing itu.
Lelaki tersebut mengepalkan tangannya, meski dia tersenyum. Senyuman puas, namun seperti menahan sesuatu pada kepalan tangannya.
Tak lama kemudian seorang laki-laki berwajah cantik berada di belakangnya secara tiba-tiba, bahkan dia hampir tidak menyadari kedatangan orang itu. Seorang assassin memang agak menyeramkan.
"Sepertinya tak lama lagi anjing lain akan datang. Di luar sudah mulai stabil, pengamanan warga sipil juga dilakukan dengan cukup bagus. Hanya menunggu waktu sampai mereka bisa menerobos masuk." Orang itu terlihat seperti melaporkan keadaan pada lelaki yang pertama.
Ada sedikit jeda sebelum dia menjawab, senyuman kecil terpatri di bibirnya. "Baiklah kalau begitu kita tarik mereka, sepertinya wanita itu juga sudah tidak ada kesempatan hidup lagi." Entah ini kemenangannya atau apa, tapi tak terlihat rasa bahagia dari pria itu. "Kau sudah menghabisi para dokter itu 'kan?" lanjutnya lagi.
"Sudah. Namun ada sebagian kecil yang dapat kabur. Kau yakin mereka dokter? Bukan mantan pembunuh yang bertaubat?" lelaki cantik itu berdiri di samping rekannya.
"Lebih tepatnya mereka memang bukan dokter biasa. Biarkan saja sebagian itu. Kau sudah melakukan yang terbaik, Haku."
"Aku tak butuh pujianmu."
***
"Bangsat kalian mau kemana!" Romeo berteriak dengan suara menggelegar, melihat musuhnya mendadak mundur perlahan, dia belum puas untuk menghabisi mereka. Melampiaskan emosi pada manusia-manusia bodoh ini bukan hal yang buruk.
Namun belum sempat Romeo mengejar mereka, Justin menepuk bahu pria itu. "Kita harus melihat keadaan Irina," ucapnya serius.
Tiba-tiba Romeo juga teringat dengan bocah tak berguna yang menjaga Irina.
Ehem, bukan berarti dia ingat Liu.
"Baiklah." Tanpa melawan lagi, Romeo langsung menurut. "Seharusnya bocah itu membawa Irina ke tempat yang cukup aman," gumamnya sambil mengikuti Justin.
Kedua pria dengan lecet dan luka pada tubuhnya itu bergegas mencari keberadaan Liu dan Irina, seharusnya dia bersembunyi tak jauh dari sini. "Ku pikir di sebelah sana ada ruangan yang bisa kau gunakan untuk mengobati Irina. Sambil menunggu yang lain datang." Romeo menunjuk ke salah satu ruangan yang masih bagus, tak jauh dari mereka. Setidaknya hanya dinding bangunan itu yang rusak.
"Ya, aku akan mengobati Iri—IRINA!" Romeo kaget ketika mendengar teriakan Justin, matanya langsung menuju ke arah pandangan dokter tersebut.
Oh shit, Romeo melihat hal yang buruk.
Liu bersimbah darah dengan beberapa pisau menusuk punggungnya, dia memeluk Irina dengan erat.
Meski keadaan Irina juga tak lebih baik dari Liu, kepala dan dadanya mengeluarkan darah. Tubuh Liu terlalu kecil untuk melindungi Irina dari serangan pisau tajam.
"Cepat bawa mereka ke ruangan tadi!" Romeo mendadak jadi sedikit emosional. Dia buru-buru menarik tubuh Liu, memisahkannya dari Irina. Sedangkan Justin sudah memeluk tubuh wanita itu dan menggendongnya hati-hati. Wajahnya pucat dan seluruh dunianya seakan runtuh.
"Ma—af.. Aku tidak bisa melindungi Irina..." suara Liu pelan sambil meringis. Romeo menyakiti beberapa bagian tubuhnya yang terluka. Pria itu dengan sigap berlari dan membawa Liu tempat yang aman, begitu pula dengan Justin yang membawa Irina.
Beruntungnya di ruangan itu ada dua buah ranjang. Justin membaringkan Irina dengan hati-hati, Romeo sudah melakukannya lebih dulu. Ranjang putih itu seketika berubah menjadi merah karena menyerap darah segar milik kedua orang yang terluka parah ini.
Namun wajah Justin lagi-lagi semakin pucat, dengan keterbatasan obat, alat dan juga kemampuannya. Di sini dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa-apa.
"Romeo... aku... hanya bisa menyelamatkan satu orang dari mereka."
Hampir saja Romeo berteriak tentang betapa bodohnya Justin, dokter macam apa dia ini? Tapi, Romeo menahan itu semua. Dia tahu, menyelamatkan nyawa seseorang ribuan kali lebih susah daripada menghilangkannya.
Pria Italia tersebut diam sejenak, dia berjalan menjauh dan bersandar pada pintu. Membuang wajahnya ke arah lain, tanpa mau memandangi Liu ataupun Justin dan Irina di sana. "Itu keputusanmu, aku tidak akan ikut campur."
Justin mengepalkan tangannya. Dia sudah melihat bagaimana Liu dengan tulus menyelamatkan Irina, dia juga kenal dekat dengan Liu selama ini... Meski dia sebenarnya tidak terlalu bisa mempercayai Liu, lebih tepatnya, dia susah mempercayai siapa pun.
Sedangkan Irina, dia sudah pernah kehilangan Irina satu kali, sekarang entah keajaiban dari mana tiba-tiba mereka dipertemukan kembali. Bukankah takdir sedang mempermainkannya?
"Jus—tin... Apa itu—kau?"
Tubuh Justin menegang, dia menoleh kaku pada sumber suara itu. Irina tanpa membuka matanya, sepertinya dia mengenali suara Justin, bahkan dengan keadaannya yang hampir sekarat dan mungkin dengan akal yang sudah tidak benar-benar bagus. Maksudnya, jika dia waras, dia tidak akan ada di rumah sakit ini. "Irina... Aku di sini..." dia berucap pelan.
Dia masih bimbang. Apakah dia akan mengucapkan perpisahan lagi pada Irina kali ini?
Namun tiba-tiba sebuah tangan halus meraih tangan Justin, genggaman itu sangat lemah bahkan hampir terlepas jika saja Justin tidak meraihnya dengan cepat. "Justin... Jangan khawatirkan aku."
Liu tersenyum kecil, "Aku akan—baik-baik saja, seperti biasanya..." dia terdengar kuat. Padahal Justin tahu bahwa Liu juga diambang kematian, ini adalah yang paling parah dari semua kejadian yang dia alami. Sebentar lagi, mungkin adalah hembusan napas terakhirnya.
"Liu, kau—"
"Justin, aku—baik-baik saja... Percaya padaku... Selamatkan dia... kau bisa—kan?" ujarnya lirih, "Aku percaya... padamu..." dia menyambung kalimatnya.
Justin mengepalkan tangan dengan kuat.
Liu, kenapa kau selalu mempercayainya?
Padahal dia selalu meragukanmu.
Hei Liu, apakah kau ingin mati sebagai korban dan Justin sebagai penjahatnya?
Justin memang penjahat yang tak pernah mempercayaimu, Liu.
Dia hanya pria munafik dengan senyuman palsu di wajahnya.
Kenapa kau tidak marah?
"Aku—Liu... Maafkan aku." Sangat pelan, suara Justin terdengar sangat pelan oleh Liu.
Pria itu kemudian menunduk dan mencium kening Liu dengan lembut. "Liu, aku juga mempercayaimu." Bisiknya.
Liu memejamkan matanya dan tersenyum tipis. "Terima kasih..."
Romeo membuang wajahnya, benar-benar tidak ingin melihat adegan tersebut. Ini—entah kenapa membuatnya jengkel.
Justin lalu mendekati Irina, dengan beberapa alat medis yang tak jauh darinya. Pria itu menutup mata yang mungkin akan segera meneteskan cairan bening. Itu akan mengganggu proses bedah yang akan dia lakukan.
Pria tersebut kemudian berucap dengan lirih,
"Maafkan aku, Liu."
.
TBC
.
Haloo semua! Maapkan ini up malem2 :") Aku kmren mau up, hehe tapi aku ngantuk :")
Di Chapter ini ada penjelasan ttg Romeo dan Fabio ya, kmren kayaknya masih ada yg heran kenapa ada pribadi Fabio pdhl Fabi adalah orang yg nyata. Mau dijelasin pas rute dia, tapi momennya gak bagus :")
Dan Liu, apakah ini akhir perjalanannya dan kita berganti mc 👀
Yaudah deh itu aja dulu, selamat hari senin, semoga kisah absurd ini bisa menemani penatnya senin kalian!
Jangan lupa buat jaga kesehatan ya! Jangan lupa vaksin juga, hehe~ Diluar lagi parah banget, aku gamau kalian sampai sakit 🤗
See u next chapter! Luv u all~
Senin [22:30]
Kalse, 2 Agustus 2021
Love,
B A B Y O N E
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top