XXXII - Siapa Saja

Maaf up malem2 :") Typo is art. Selamat membaca T^T Luv luv~

.

Untuk beberapa saat, suasana terasa agak tegang.

Ditatap oleh beberapa pasang mata dengan waktu yang cukup lama. Siapa yang tidak gugup?

Apalagi yang menatap berwajah rupawan semua—baiklah cukup, kita tahu ini pasti Liu!

"A—Aku tidak mendengar apa pun! Sungguh!"

Liu masih kukuh padahal jelas sekali semua mata para pelayan yang hadir di sana seolah berkata, 'Tidak apa-apa, Liu. Jujur saja.'

Yang paling tua di antara mereka menghela napas, "Baiklah, lupakan. Itu bukan hal yang penting juga, 'kan?" Justin melirik ke arah lelaki berdarah cina di sampingnya.

"Ya, itu bukan hal penting. Yang lebih utama, Liu kenapa kau sendirian?"

Liu tersenyum canggung.

Dia melihat ekspresi Zian sepertinya kurang bagus. Mungkin ini bisa berujung sebuah tatapan dingin atau ucapan sinis apabila Liu tidak menjawab dengan benar.

Akhirnya lelaki berparas manis itu mencoba membuka mulutnya, "Anu—tadi Romeo datang—lalu pergi..." gumamnya sambil menggaruk pipi yang padahal tak gatal. Zian mengerutkan alis, "Kau memberitahunya tentang apa yang kuminta?"

Sial, di saat seperti ini Liu pun takut dengan Zian.

Memang benar, penguasa rumah sesungguhnya adalah Zian. Bahkan jabatan Félix pun tak cukup kuat untuk melawannya.

"Aku sudah mengatakannya!" jawab Liu dengan wajah yang sudah hijau kuning.

"Ck."

Hei apa itu! Zian mendecak. Apa untuk Liu? Hiii~ seketika Liu bergidik ngeri. Dia melirik teman serumahnya yang lain. Félix tidak bisa di harapkan, Karel terlihat hanya memberikan senyuman lebar dan gerakan bibir 'semangat!' sementara Justin—ya tentu saja! Hanya Justin lelaki paling waras di rumah ini!

"Kau tau 'kan bagaimana bermasalahnya anak itu?" Justin membuka suara, berusaha untuk memperbaiki mood Zian—atau mungkin berusaha untuk membuat seluruh rasa badmood Zian di layangkan pada Romeo saja. Hei Justin, itu jahat sekali.

Tiba-tiba Liu merasakan sebuah tangan menepuk kepalanya. "Maaf Liu, aku hanya sedang dalam emosi yang tidak baik." Ah ini adalah Zian. Pria yang setanah air dengan Liu itu kemudian memeluknya.

"Apa aku membuatmu takut?" tanya Zian seraya mengusap kepala Liu dengan lembut.

'Tidak, Zian. Tapi hawa Félix sekarang yang membuatku takut!' sang budak menjerit di dalam hati.

Dengan canggung, Liu menjawab, "Ti—tidak, aku paham." Ujarnya. Entah paham untuk apa, yang jelas dia hanya menjawab apa yang ada di kepalanya.

Memang satu hal yang tidak berubah dari Liu, yaitu dia bodoh.

Baiklah, cukup melakukan penghinaannya.

"Permisi, maaf memotong tapi aku harus pergi karena ada urusan dengan permaisuri." Karel membuka suara lebih dulu, memotong adegan manis antara Zian dan Liu. Meski kalimatnya ini juga adalah yang menyelamatkan Liu dan Félix di saat bersamaan, tentu saja Karel memang penyelamat Liu, terkadang.

Kedua lelaki cina itu melepaskan pelukan mereka, Karel mendekati Liu hanya untuk mencuri ciumannya sekilas. Dia kemudian memberi cengiran, "Aku pergi dulu!"

Zian mendengus, "Jika mau pergi, pergi saja." Nadanya seolah mengusir Karel.

Félix hanya diam, begitu pula dengan Justin yang memilih fokus pada ponselnya. Dia bahkan tidak tertarik sedikit pun untuk melihat cengiran tak jelas yang Karel tunjukkan.

Pria dengan tanah kelahiran prancis itu lalu pergi lebih dulu sambil melambai-lambaikan tangannya.

'Karel, bawa aku juga!' Liu menjerit. Dia ingin pergi sebelum Félix kembali menatapnya dengan tatapan seram.

"Liu, wajahmu pucat. Apa Félix menakutimu?"

Bagus sekali, Justin.

"Aku tidak melakukan apa-apa." Félix protes dengan nada yang datar.

Zian menggelengkan kepalanya, "Sudahlah, apa pun itu yang penting Liu sudah pulang. Romeo akan kuurus nanti. Anak itu susah di atur, lihat Félix, itu salah siapa yang terlalu memanjakannya?" lelaki cina tersebut mencibit. Sekali lagi Félix yang disalahkan.

Yang paling tua menghela napas, "Baiklah cukup bicaranya. Kita harus segera pergi, pemberontakan yang terjadi mungkin akan semakin ricuh. Aku tidak yakin para eksekutif muda itu sanggup menanganinya." Justin berucap santai.

Liu menoleh, jadi ternyata para pelayan ini memang akan pergi? Tunggu, Romeo bagaimana?

"Tinggalkan saja Romeo, aku akan memberinya hukuman nanti." Félix bersuara seolah menjawab pertanyaan yang tak bisa keluar dari mulut Liu.

Lelaki China dan Meksiko tampak berjalan lebih dahulu keluar. Sementara Justin menghampiri Liu, menepuk kepalanya sekali. "Aku sepertinya juga ikut pergi. Kau baik-baik saja kan?" Justin bertanya. Liu menganggukkan kepala tanda bahwa dia baik-baik saja ditinggal sendirian.

"Baiklah jika itu tidak masalah." Sambungnya, "Aku pergi, Liu." Diakhiri dengan menepuk kepala Liu lagi dia pun pergi meninggalkan sang budak yang berdiri sendirian.

Wajah Liu berubah berubah sedikit merah, dia memang tidak pernah bisa menolak pesona dokter Rusia tersebut.

Tak lama setelah melihat kepergian para pria di rumahnya, Liu segera masuk ke dalam.

Mungkin mengerjakan beberapa pekerjaan rumah akan membuat mood Zian semakin baik saat pulang nanti, itu yang dipikirkan oleh Liu.

Sehingga tanpa berpikir lebih lama, Liu segera mulai membereskan rumah. Pertama-tama adalah membersihkan ruang tamu yang cukup berantakan, bisa Liu tebak sisa makanan di lantai yang berceceran ini adalah ulah Karel.

Namun tak berselang lama, terdengar suara mobil datang dari halaman rumah. Liu menolehkan kepalanya dan melihat siapa yang datang. Oh, itu adalah mobil Romeo.

Tapi kenapa Romeo datang secepat ini? Apa jangan-jangan tempat judinya ditutup? Baiklah, Liu hanya menebak apakah Romeo ke tempat kemarin atau tidak.

Atau bisa juga ternyata yang datang ini adalah Fabio.

Terdengar suara pintu mobil dibanting dengan keras, Liu yakin ini adalah Romeo. Fabio tentu akan memperlakukan segala hal dengan baik, termasuk pintu mobil.

Lelaki manis itu bergegas ke teras untuk menyambutnya, atau mungkin hanya sekedar menyapa. Siapa tahu hal kecil ini bisa membuat dia semakin dekat dengan Romeo.

"Romeo? Apa terjadi sesuatu?" Liu menyadari ada sesuatu yang berbeda dari pria itu, langkahnya sedikit lesu dan kepalanya seolah terfokus untuk memandang langkah kaki, padahal biasanya Romeo akan berjalan dengan kepala terangkat dan mata yang sinis. Angkuh sekali.

Pria berdarah Italia tersebut kemudian mengangkat kepalanya, menatap sosok pendek yang memanggil namanya. Liu sedikit merinding ditatap seperti itu, "Romeo?" dia memanggil lagi kali ini namun dengan suara lebih pelan.

Tanpa diduga-duga oleh Liu, tangan Romeo langsung menyambar lehernya dengan gerakan cepat. Liu refleks memegangi tangan kokoh tersebut namun kekuatannya tidak seberapa untuk membuat Romeo melepaskan cekikan tersebut.

"Akh!" Liu kesakitan, kali ini dia yakin bahwa Romeo benar-benar berniat membunuhnya. Bukan hanya sekedar cekikan menyiksa seperti yang sudah pernah terjadi sebelum-sebelumnya

Beruntung Liu masih belum kehilangan kesadarannya, dia sadar sedang memegang pel saat ini. Segera saja benda yang cukup keras tersebut dia hantamkan pada wajah Romeo. Setidaknya meski tak terlalu kuat, rasanya akan cukup menyakitkan.

Benar saja, Romeo melepaskan cekikannya pada Liu. Pria itu seolah tak punya emosi, seperti dikendalikan. Buktinya dia tidak berpikir seperti Romeo yang biasa, Liu tau Romeo orang yang nekat, seharusnya pukulan tadi tidak akan membuatnya menyerah. Setidaknya harus ada puluhan pukulan beruntun yang berisiko memecahkan bola matanya.

"Romeo, kau kenapa!"

Liu memang bodoh, bukannya segera pergi dia malah masih sempat berteriak pada sosok itu.

Tanpa menjawab, Romeo kembali berusaha menyerang Liu, kali ini dia melayangkan pukulannya dengan kencang, Liu terselamatkan oleh kakinya yang tersandung hingga anak itu jatuh duduk dilantai.

Mengabaikan rasa sakit pada bokongnya, Liu segera bangkit dan berlari masuk ke dalam rumah.

Romeo benar-benar seolah menargetkan nyawa Liu kali ini!

Lelaki berdarah cina itu menoleh ke belakang, mendapati Romeo masih berdiri di depan pintu. Bukannya mengejar Liu penuh nafsu seperti yang biasa dilakukannya pada musuh, Romeo justru berjalan dengan santai mencari keberadaan Liu.

Ini malah lebih menakutkan untuk Liu.

"Liu..." Romeo memanggil namanya dengan nada yang panjang. Liu gemetar ketakutan. Dia tidak tahu harus bersembunyi di mana.

Rumah ini tidak terlalu besar untuk bermain petak umpet dengan taruhan nyawa, tau!

Tiba-tiba saja Romeo berlari cepat dan melayangkan sebuah tendangan pada Liu, lelaki manis itu terkejut setengah mati, tubuhnya terlempar dan menghantam dinding dengan cukup kuat. "Akhh!" dia menjerit keras.

Namun ini bukan saatnya untuk Liu mengaduh dan mengeluh atas rasa sakit pada punggung dan kepalanya.

Dia harus kabur!

Atau dia akan mati di sini, saat ini juga!

Liu bangkit, belum sempat Romeo menghantam kepalanya, Liu berhasil menghindar hingga pria itu menendang tembok dengan keras. Cukup keras sampai-sampai bunyinya pun nyaring.

Sayang sekali sepertinya Romeo tetap tidak berhenti. Dia menoleh pada Liu yang berlari menghindar, bahkan lelaki manis itu mengambil beberapa barang di sekitarnya untuk dilemparkan pada Romeo.

"Romeo! Sadarlah!" Liu menjerit keras.

Bahkan air mata pun turut mengucur tanpa sadar, rasa takutnya menguasai begitu saja. Dia dengan gelap mata melempar pot bunga yang ada di dekat tangannya ke arah Romeo.

Dari sekian banyak yang dia lempar, pot tersebutlah yang melukai kepala sang pria Italia.

Romeo diam sejenak, darah kemudian mengucur dari kepalanya.

Kali ini Liu yang panik, tetapi dia tak sebodoh itu untuk segera menghampiri Romeo dan mengusap kepalanya serta meminta maaf.

Liu berlari meraih gagang pintu kamarnya dan mengunci pintu dengan rapat.

Kakinya gemetar, seluruh tubuhnya lemas.

Ingin rasanya dia menghubungi Zian untuk segera kembali. Tapi sialnya ponsel Liu tertinggal di luar. Lelaki itu merutuki kebodohannya, seharusnya memang dia tak berpisah dengan ponsel semudah itu.

"Liu, keluarlah!" suara Romeo terdengar sangat dekat. Liu semakin ketakutan.

Dia memeluk lututnya, berpikir dengan keras apa yang harus dilakukannya saat ini. Apa dia harus mendobrak paksa jendela kamarnya yang hanya terbuat dari kaca itu? Tapi dia bahkan tidak yakin karena selain kaca, di sana juga ada pembatas besi yang memang sengaja dibuatkan, takut ada sesuatu yang tidak diinginkan masuk ke kamar Liu.

Namun nyatanya kali ini terbalik, Liu tidak bisa keluar dari kamarnya. Padahal dia sangat ingin pergi melewati jendela itu.

Suara pintu dipukul terdengar dengan keras tepat di belakangnya. Liu terlonjak kaget, anak itu merangkak menjauhi pintu, tanpa sadar air matanya mengucur bersamaan dengan keringat dingin yang kian membanjiri sekujur tubuh.

"To—tolong aku, siapa saja." Dia berucap dengan suara lirih.

Sementara di luar sana, Romeo berdiri menghadap pintu kamar Liu dengan sebuah batang sapu patah ditangannya. Seolah dia siap untuk menyiksa sebelum membunuh lelaki manis yang tak punya bakat perkelahian apa pun itu.

Dia memukul pintu kamar Liu sekali lagi, si pemilik kamar di dalam sudah pasti ketakutan setengah mati, sibuk merapal mantra dan doa agar keajaiban datang dan menyelamatkannya. Bodoh memang, tapi itu lebih baik dari pada tidak melakukan apa-apa.

Pintu kembali ditendang oleh Romeo dengan kencang, sepertinya pria itu tidak merasakan kesakitan sama sekali setelah menghantamkan kakinya pintu beberapa kali.

Yang ada malah pintu tersebut mungkin akan segera menyerah. Liu dapat melihat dengan jelas bagaimana engsel-engsel pintu bahkan terlihat mulai goyah.

Kini Liu bersembunyi—atau lebih tepatnya berdiam diri disudut kamarnya. Anak itu memeluk lutut di samping ranjang. Memikirkan bahwa dia harus melawan Romeo atau nyawanya benar-benar akan dalam bahaya.

Tapi,

Bagaimana caranya?

Liu mengacak rambut frustasi. Belum pernah rasanya dia menghadapi situasi sebuntu ini.

Mau melawan Romeo pun bagaimana? Di kamar Liu tidak ada apa-apa, dalam artian tidak ada sesuatu yang dapat digunakan untuk melawan seseorang atau melakukan tindak kekerasan.

"Argh!" Liu menangis sambil mengacak rambutnya.

Dia tidak mau mati di sini!

Liu bahkan merutuki kebodohannya, kenapa tadi dia malah berlari ke dalam rumah, seharusnya ke luar saja. Setidaknya dia bisa berlari sekuat tenaga sampai kakinya menyerah.

Brakk!

Pintu terlepas dari tempatnya, benar-benar lepas sampai Liu dapat melihat wajah sinting Romeo yang tampak haus untuk membunuhnya.

"Liu... Kemarilah..."

Suara patahan gagang sapu diseret pada lantai, Liu menjerit dalam hati kareana tak berani dia keluarkan.

'Apa kau itu psikopat hah?! Orang gila mana yang mempengaruhi Romeo begini? Atau jangan-jangan—dia memang sengaja berniat untuk menghabisiku ketika yang lain sedang pergi?!' Ada banyak sekali jeritan berkecamuk dikepala Liu.

Tapi satu hal yang harus dia tahu saat ini.

"Liu."

Romeo kini sudah ada di hadapannya.

Bugh!

"Argh!" Liu menjerit saat benda keras tersebut dipukulkan pada kakinya.

Bukan hanya satu kali, Romeo memukulinya membabi buta. Terpancar sebuah senyuman bahagia ketika melihat Liu menjerit kesakitan.

Liu mencoba menahan pukulan Romeo, menangkan pukulan tersebut dengan tangannya meski terasa sangat menyakitkan. Tangannya gemetar hebat tapi itu tidak lebih sakit dari kakinya yang tampak mengerikan, dengan darah dan memar yang menghias tentu saja.

Meski dia lemah, Liu berusaha untuk mendorong Romeo dengan menggunakan gagang sapu di tangannya tersebut. Namun sayang bukannya berhasil, justru Liu yang terlempar ketika Romeo dengan kencang menarik benda tersebut, menghempaskan Liu dengan punggung yang terlebih dahulu memukul dinding.

"Uhuk!" Liu memuntahkan darah.

Tapi setidaknya dia lebih dekat dengan pintu kamar. Lelaki manis tersebut merangkak keluar dari kamarnya, dia merasa nyeri yang luar biasa saat menyeret kedua kaki yang sudah mengucurkan darah dan memar.

Belum pernah Liu merasakan sakit seperti ini.

Sepertinya Romeo memang tidak berniat untuk menghabisi Liu sekaligus, entah dorongan dari mana dia malah lebih suka melihat budak manis tersebut menderita dan ketakutan lebih dulu. Jika dibiarkan lebih lama bisa saja mental Liu pun ikut berdampak.

"Tidak tidak... Aku tidak mau mati di sini... Siapa saja... selamatkan aku..." lirih Liu pelan saat merasakan kaki Romeo menginjak kakinya seolah tak membiarkan dia untuk menyeret badannya lebih jauh.

"Romeo... Ampuni... Aku..." Suaranya tertahan, bercampur dengan tangisan dan ringisan dari rasa sakit yang tak tertahankan.

Dia tidak ingin mati.

Tidak ingin.

Tidak.

Liu masih merasa hidupnya terlalu singkat.

Setidaknya jika mati, dia ingin disaksikan oleh semua pelayan, bukan dengan cara seperti ini.

Tangan Romeo terangkat namun bukan dengan sebuah gagang sapu patah seperti sebelumnya, kali ini dia mengangkat sebuah revolver.

Mengarahkannya kepada Liu.

Sang budak mendengar bunyi yang lain di belakangnya, dia menoleh dan benar saja Liu langsung dihadapkan pada sebuah revolver yang mengacung ke arah tubuhnya. Bukan pada kepada atau jantung, tapi tampaknya Romeo ingin menyiksa Liu dengan beberapa tembakan dulu sebelum ajalnya.

Liu menutup matanya dengan rapat.

Dia tersenyum tipis.

Berharap bahwa kematian tidak terlalu menyakitkan.

Tepat ketika pelatuk ditarik dan bunyi tembakan terdengar, saat itu juga Liu merasakan ada seseorang yang memeluk tubuhnya disertai dengan muntahan darah segar dari orang tersebut.

"Ukh...! Liu—kau baik-baik saja?"

.

TBC

.

HUWAAA AKHIRNYA BISA UPDATE T^T Hikd maunya apdet dihari terakhir bulan januari kemarin tapi gagal karna jariku masih kaku :") Huhuhu~ Aku sakit abis UAS, gegara begadang gak tidur semalaman, pas kelar UAS langsung dhuar! tumbang :")

Semoga sabtu bisa up lagi, mwehehe~

TAPI SEBELUM ITU GAES PLIS DOAIN AKU BISA BAWA PULANG XIAO DI GENSHIN IMPACT T^T Huwaaa pengen banget Xiao :") /mainin tanah/

Dah ah curhatnya, maaf up malam2 huhuhu~ See u guys~

Luv luv mwaaah~


Selasa [22:55]
Kalsel, 2 Februari 2021
Love,
B A B Y O N E

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top