XXII - Pastikan Kau Bisa Melihatnya!
HAMPIR 1 TAHUN HIATUS ASTAGA MASIH ADAKAH YANG INGAT KISAH INI T^T KU SARANKAN KALIAN BACA DARI AWAL DULU, TAPI KALI UDAH BOSEN GAPAPA KOK HIKD INI AKU YANG SALAH T^T
MAAF KARNA KEASIKAN MAIN GAME SAMBIL KULIAH T^T SAMPE LUPA NULIS LAGI T_T TAPI AKU UDAH PENSI GAME BUAT BALIK KE DUNIA OREN KESAYANGAN INI T^T
Btw aku berasa bego banget liat tampilan wattpad pas mau update Q_Q
Aku udah yakinin hati buat terjadwal update kayak dulu lagi minimal seminggu sekali :") Anjayy berasa apa banget, tau gak sih rasanya gak kelarin cerita tuh anjim banget :")
Huhuhuhu dan buat yang ngirim DM atau pesan dsb, makasih banget kalian masih mau aku lanjut kisah gajelas ini T^T I Love U All T^T
Typo is my style, HAPPY READING ^^
.
Liu nampak menganga ria, terkagum-kagum sekaligus terpana dengan apa saja yang baru dia lihat. Anak laki-laki itu kini berdiri di depan salah satu bandara internasional china, tepatnya adalah Bandara internasional Jiangbei, Chongqing. Anak itu datang tanpa membawa apa pun selain tas kecil dan dompetnya, yah ini pun tas yang dia dapat dari Zian.
Dan—tadi itu adalah pengalaman yang luar biasa! Untuk pertama kalinya Liu pergi naik pesawat! Ini menakjubkan! Bahkan dia bisa melihat awan-awan diatas langit dengan jelas, berulang kali dia berteriak kepada Zian dan hanya disambut kekehan oleh lelaki yang sudah sering menaiki besi terbang tersebut.
Beruntung saja Liu tidak melepas sepatunya dan menyalami semua pramugari, itu akan sangat memalukan tentu saja. Terutama Zian, adalah orang yang paling malu jika hal itu terjadi.
Adik Zian, Ning, tidak banyak bicara selama perjalanan dan ketika sampai pun dia lebih banyak diam. Liu masih tidak paham dengan apa yang akan terjadi kedepannya, dia hanya mengoceh dengan Zian tentang bagaimana indahnya diatas langit selama perjalanan.
"Kita akan kemana lagi setelah ini?" Liu menatap Zian dari samping, lelaki yang lebih tua nampak sibuk dengan ponselnya. Sambil menarik sebuah koper dan berjalan dengan postur yang tegap, sungguh saat ini dia terlihat seperti seorang artis.
Ah membayangkan bisa berjalan disamping Zian begini membuat Liu tidak pede.
Mundur Liu, kamu jelek.
Kira-kira itu yang Liu gumamkan dalam hatinya. Entahlah, hanya Tuhan dan Liu yang mengetahuinya.
"Perjalanan selanjutnya kurang lebih 1 jam setengah, kau masih kuat Liu? Atau mau istirahat sebentar?" Zian melirik Liu sambil tersenyum tipis. Liu langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. Melihat wajahmu saja sudah hilang semua lelah Liu, Zian.
Dasar Liu bucin.
"Lanjutkan saja, aku sudah sehat!" ujarnya dengan senyuman lebar. Dia tidak sabar dengan apa yang akan dilihatnya selanjutnya. Zian memang selalu bisa membawanya untuk melihat dunia yang luas!
Baiklah, sudah dipastikan Liu bucin Zian.
Lelaki yang lebih tua kemudian terkekeh, dia mengusak rambut Liu dengan pelan. "Baiklah, ayo selesaikan ini dengan cepat."
Liu tersenyum senang kemudian mengangguk, dia kembali mengikuti Zian yang sudah berjalan lebih dulu. Hari nampak terik di luar namun itu tidak menyurutkan antusias Liu saat ini, dia sedang berada di negara kelahirannya. Bisa dibilang saat ini dia pulang kampung, iyakan?
"Liu, cepat masuk."
Budak yang nampak polos itu menoleh ke sumber suara, Zian sudah berdiri disamping sebuah mobil van warna hitam. "Kemari." Dia –Zian, mengulangi memanggil Liu. Lelaki yang lebih muda itu pun segera menghampiri Zian, tak mau membuat semakin lama, Liu segera masuk tanpa basa basi lagi apalagi dilihatnya wajah Zian nampak kurang baik, sepertinya ini karena mereka akan melakukan perjalanan bersama sang adik lagi. Zian benar-benar tidak pandai menyembunyikan rasa kesalnya.
Perjalanan kembali berlangsung, Liu tidak tau ini akan pergi kemana tapi yang jelas dia cukup menikmati perjalanan ini. Meski di sebelahnya Zian memilih untuk memejamkan mata, mungkin dia juga kelelahan sedari tadi meladeni ocehan Liu terus menerus. Sementara Ning hanya diam, nampak sadar diri untuk tidak bersuara meski Liu tau wanita itu sesekali melirik ke arah mereka berdua.
Zian menyandarkan kepalanya pada kepala Liu, lelaki yang lebih muda langsung merasakan jantungnya kini berdetak makin nyaring. Hei siapa yang tidak grogi kalau berdekatan dengan idola begini kan!
Perjalanan yang harus sebentar mendadak terasa lama bagi Liu, bukan karena tidak betah, sebaliknya, dia sangat menikmati setiap detik waktu itu. Kebucinan nya sudah tidak bisa dilawan.
Kemudian setelah melalui perjalanan seorang diri—ya maksudnya Zian tertidur dan Liu juga tidak berbicara dengan Ning, jadi ini bisa disebut sebagai perjalanan seorang diri. Liu melihat mereka mulai memasuki sebuah kawasan yang nampaknya tidak terlalu layak. Terkesan agak kumuh dan kotor.
Liu bertanya-tanya dalam hati, untuk apa mereka kesini? Apa Zian akan membagi-bagikan uangnya pada orang-orang tak mampu? Ya, Liu dan kebodohannya, tidak diragukan lagi.
Mobil mereka nampak menabrak batu yang cukup besar, secara otomatis Zian langsung membuka matanya, menyelesaikan tidurnya yang tidak terlalu lama itu. Liu menoleh, belum sempat dia menanyakan keadaan Zian, lelaki yang lebih tua itu sudah membuka suara terlebih dahulu, "Sudah sampai ya?" tanyanya sambil melirik satu-satunya perempuan diantara mereka –Adiknya, yaitu Ning.
Yang ditanya langsung menganggukkan kepala dengan pelan, "Ya, disini. Apa kau kaget?" dia bertanya pelan. Zian nampak terkekeh meremehkan. "Tidak, ini lebih bagus dari apa yang pernah ku tinggali." Jawabnya sinis.
Ketiga orang itu pun turun dari mobil, Liu tentu saja dengan wajah bodohnya celingukan kesana dan kemari. Yah sebenarnya lebih tepat jika Liu menatap iba kepada keadaan disekitarnya. Bagaimana tidak, perumahan disini rasanya sudah sangat tidak layak untuk di diami.
Liu sungguh paham bagaimana rasanya menjadi orang-orang seperti itu, untuk makan sesuap nasi saja rasanya susah. Hal ini membuat Liu semakin bersyukur dengan apa yang dia dapatkan sekarang.
'Bukan salahku jika bersyukur menjadi seorang pendosa.'
Zian mengisyaratkan pada adik perempuannya untuk berjalan lebih dulu. Lelaki itu nampak memasang wajah yang angkuh, dengan pakaian rapi serta koper di tangannya, dia benar-benar seperti seorang bos yang berkunjung ke tempat kumuh.
Tenang, ini bukan acara Uang Kaget.
Seolah paham dengan isyarat sang kakak, Ning pun segera berjalan lebih dulu. Diikuti oleh Zian dan Liu tentu saja. Perkampungan kumuh itu nampak memprihatinkan saat dilihat lebih dekat.
Rumah-rumah yang sebagian nya terdiri dari kumpulan kardus atau bahan-bahan tak layak lainnya nampak berdekatan satu sama lain seolah mereka berbagi dinding agar menghemat bahan untuk pembuatan.
"Disini." Ning berhenti didepan sebuah pintu, dia menatap kakaknya dengan tatapan sedih. Zian mengangguk dan mengulurkan tangannya mendorong pintu tak layak tersebut.
Liu memiringkan kepalanya agar dia bisa segera melihat apa yang ada dibalik pintu tersebut, karena dia sedang ada di posisi dibelakang. Hal pertama yang dia lihat adalah sepasang orang tua yang benar-benar menyedihkan. Mungkin umur mereka belum mencapai angka 50 tapi penampilan mereka membuat mereka nampak terlihat jauh lebih tua.
Sang wanita nampak terbaring lemah diatas kardus yang di tumpuk-tumpuk hingga membentuk sebuah kasur. Baik Liu maupun Zian sempat terdiam sejenak melihat keadaan mereka.
"Ning? Apa itu Ning?" suara si wanita dengan pelan. Dia nampak mengulurkan tangannya di udara. "Ibu menderita kebutaan sejak 3 tahun lalu." bisik Ning lirih pada Zian.
Liu tertegun, jika wanita itu dipanggil ibu oleh Ning, berarti lelaki tua disampingnya adalah ayah mereka berdua?
Lelaki tua tersebut adalah yang paling kaget disini. Dia terdiam dan menatap hampir tak berkedip pada kedatangan mereka bertiga. "F—feng?" dia bersuara pelan. Memang penampilannya sangat berubah drastis, tapi nampaknya ikatan darah itu masih ada sehingga dia bisa mencurigai Zian sebagai putra sulungnya,
Mendengar suara suaminya, sang istri pun keheranan dan ikut membuka suara, "Feng?" ucapnya lirih.
"Ya." suara Zian keluar dengan tenangnya, dia berjalan mendekati kedua orang itu. Menatap mereka secara bergantian. Tanpa disadari, air mata lelaki tua itu berderai, melihat sosok yang selama ini dia pikir telah tiada.
Namun sayangnya Zian nampak menatap datar pada mereka, "Jangan berpikir aku akan memaafkan apa yang kalian lakukan padaku meski itu bukan sepenuhnya salah kalian." Dia berucap dingin. Liu ingin rasanya menegur Zian, kata-kata yang dilontarkannya sudah keterlaluan.
Hei maksudnya, bagaimanapun juga mereka adalah orang tua kandung Zian. Bagaimana seorang ibu melahirkan anaknya, itu tidak akan bisa diganti dengan apapun, dan sampai kapan pun.
"Feng... maafkan kami." Suara lirih sang ayah. "Bukan maksud kami berbuat jahat seperti itu kepadamu. Kami ingin kau pergi dan bebas, tidak masalah meski kami harus dibenci, asalkan kau tidak menanggung penderitaan yang sama dengan kami." Ujarnya dengan pelan seraya menatap sayu kepada putra nya yang sudah sangat lama tak bertemu.
Zian memutar bola matanya malas, "Ya, gadis bodoh ini sudah menceritakan semuanya termasuk betapa menyedihkannya kehidupan kalian setelah itu. Tapi kalian juga tidak tau apa saja yang sudah ku lalui akibat pemikiran konyol kalian itu." dia mendesis seraya menatap tajam sang ayah.
Tak tahan rasanya dengan penampakan di hadapannya, Liu pun akhirnya membuka suara, "Zian, jangan keterlaluan begitu." Dia berucap dengan suara pelan namun cukup sengit. Ning hanya menundukkan kepalanya. Zian lalu melirik Liu sejenak, dia meletakkan telunjuknya di bibir Liu seolah memberi isyarat untuk diam dan tidak ikut campur dengan apa yang dia lakukan.
"Tapi aku datang kemari bukan untuk marah-marah atau membalas perbuatan kalian." Sambungnya lagi menatap kedua orang tua tersebut. Zian tersenyum tapi bukan sebuah senyuman menyenangkan, bagi Liu itu adalah senyuman yang sama sekali tidak menyenangkan untuk dilihat.
Lelaki tersebut menghempaskan koper di tangannya ke lantai, koper itu terbuka dan membuat siapapun yang melihat akan membelalakkan mata. Bagaimana tidak, isinya dipenuhi dengan uang serta ada isi beberapa buah dokumen disana.
"Bekerja lah di tempat tuan ku, alamat nya sudah tertera. Dan pakailah uang itu untuk memperbaiki kehidupan kalian." Dia berucap santai.
Wanita yang terbaring itu kemudian membuka suaranya setelah mendengar percakapan yang sebenarnya kurang menyenangkan tadi. "Feng... Apa yang sudah terjadi selama ini?" dia bertanya lemah.
Zian yang sudah bersiap membalikkan badannya untuk berjalan pergi pun langsung menghentikan langkahnya kala mendengar suara sang ibu bertanya.
Apa yang sudah terjadi selama ini?
Sangat banyak.
Begitu banyak sampai-sampai Zian ingin melupakan sebagian darinya.
Terlalu menyakitkan untuk diingat.
Namun terlalu berharga untuk dibuang.
Kisah tentang masa lalunya, bersama seorang teman yang berharga, lalu bertemu dengan orang tua angkatnya, bertemu rekan-rekannya. Banyak suka duka yang sudah dia lewati yang mungkin tidak akan mampu dilewati manusia biasa.
Tapi jika dipikir lagi, betapa datarnya Zian apabila orang tuanya tidak melakukan hal yang dia sebut konyol tadi. Zian tidak akan pernah ada dimasa depan anda waktu diputar kembali dan orang tuanya memilih jalan berbeda.
Lalu Zian sedikit menolehkan wajahnya menatap sepasang orang tua yang berumur itu, benar-benar berbanding jauh dengan orang tua angkatnya. Dia tersenyum, kali ini senyuman yang cukup lembut,
"Banyak hal terjadi silih berganti. Hal yang mungkin tidak akan sanggup kalian jalani." Ujarnya meski sedikit arogan.
Lelaki yang lebih tua itu kemudian menyambung kalimatnya, "Tapi satu hal yang paling penting, alasanku datang kesini, untuk berterimakasih kepada kalian."
Semua yang ada ditempat itu mendengarkan dengan seksama, tak terkecuali Liu yang sedari tadi menjadi pendengar serta pemerhati yang baik. Dia melihat senyuman tipis tak luntur di bibir Zian,
"Terimakasih, sudah menuntunku ke neraka paling indah."
***
"Eeee... Ku rasa disekitar sini. Hmm..."
"???" – Zian.
"Tunggu, seingatku bukan disini tapi disana."
"???"
"Aaaaa! Aku lupa!"
Liu meremas rambutnya frustasi. Berpikir ternyata memang bukan gaya nya.
Baiklah, berpikir itu bukan sebuah gaya, hanya kau saja yang pikun Liu.
"Jadi, kau ingat atau tidak?" Zian yang sedari tadi menyimak hanya bisa menghela napas.
Di tempat mereka saat ini adalah sebuah tempat yang cukup tak terawat. Liu bilang disini ada makam ayah dan ibunya, tempat ini tak jauh dari tempat tinggal Liu dulu. Meski sekarang tentunya sudah menghilang.
"Ah! Disini! Ini dia, Zian aku menemukannya!" dia berseru kegirangan sambil melambai-lambaikan tangannya kepada Zian. Lelaki yang lebih tua pun segera berjalan menghampiri. Liu nampak sudah berdiri didepan sebuah tanah yang meninggi—tunggu, itu bukan tanah, nampak seperti tumpukan sampah malah.
Menatap Liu sejenak dan Zian bersuara, "Kau yakin? Tau dari mana?" takutnya Liu hanya sedang halu karena frustasi.
"Disini ada batu yang dulu ku timbun, tidak sia-sia ternyata aku menimbun ini semua." Dia nampak bangga sekali sambil menyisihkan beberapa sampah hingga memunculkan kumpulan batu yang tersusun sembarang disana.
Plak
Liu menyatukan kedua telapak tangannya di hadapan makam tersebut, "Ayah, Ibu, aku harap kalian tenang disana. Aku baik-baik saja sekarang, ada banyak orang baik mengelilingiku." Ucapnya dengan senyuman—atau mungkin cengiran.
Lelaki yang berdiri disebelahnya nampak terkekeh pelan, "Pfftt... Orang baik? Kau yakin?" Liu mendengus kala mendengar pertanyaan tersebut dari Zian. "Diamlah, nanti orang tuaku tidak tenang kalau kau bertanya seperti itu." dia mengerucutkan bibirnya seolah kesal dengan Zian.
Tertawa gelak. Zian pun mengusak kepala Liu gemas. "Baiklah, aku duluan ke mobil ya." ucapnya seraya berjalan meninggalkan Liu lebih dulu.
"Sebentar lagi aku akan menyusul." Jawab Liu.
Anak yang tersisa itu kemudian meletakkan setangkai bunga yang tadi sudah dia simpan, bunga yang dia beli tak jauh dari sini. Liu tersenyum tipis, "Maaf aku hanya bisa membawakan kalian bunga, pada kesempatan yang akan datang, aku akan mengubah tempat peristirahatan kalian menjadi lebih layak." Bisiknya pelan.
Setelahnya Liu mendongak ke atas, langit nampak mendung hari ini, terasa teduh dan nyaman. Liu menghirup udara dan tersenyum lebar. Tidak terasa ternyata sudah cukup lama dia hidup bersama dengan para 'pelayan', menjadi bagian keluarga mereka rasanya sangat indah.
Liu yakin hal ini tidak lepas dari doa orang tuanya diatas sana.
"Terimakasih."
***
Bagaimana rasanya menghabiskan belasan jam dengan duduk di mobil? Penat? Letih? Bosan? Yah semuanya akan menjadi satu. Itulah yang dirasakan oleh Liu. Meskipun saat ini lelaki berwajah manis itu sedang terlelap tapi wajahnya jelas terlihat wajah orang yang penuh beban hidup.
Hehe, canda.
Liu tidak tau akan kemana mereka tapi yang jelas Zian bilang mereka akan menghabiskan waktu di dalam mobil. Berbeda Liu berbeda pula Zian, lelaki yang lebih tua itu nampak tidur dengan keadaan biasa-biasa saja seolah dia sudah terbiasa melakukan perjalanan sejauh ini.
Perjalanan ini sangat jauh, yah Zian bilang daripada mereka tidur di hotel itu akan memakan waktu lagi untuk pergi ke tempat tujuan, lebih baik sekalian saja tidur di jalan. Menghemat waktu dan pengeluaran.
Luar biasa memang Zian, pengatur keuangan pelayan kaisar memang beda.
Zian adalah yang pertama terbangun diantara mereka berdua, jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, seharusnya mereka sudah sampai di tujuan. Zian melirik ke arah Liu yang masih tidur meski dengan posisi anehnya, yah aneh bagi Zian karena anak itu tidur dengan posisi kepala miring dan tangan yang menyilang di dada—kau terlihat seperti gadis saja Liu.
"Liu... Hei Liu." Dia menepuk wajah Liu pelan agar lelaki yang lebih muda itu terbangun. Tak butuh waktu lama bagi Zian membangunkan Liu, budak manis itu sudah membuka mata dan menguceknya.
Dia celingukan dan menatap ke arah Zian, "Apa sudah sampai?" tanyanya dengan wajah yang masih berantakan.
"Ya, hampir sampai. Kau mau jalan-jalan kan?" Zian terkekeh melihat wajah bangun tidur Liu yang tidak ada bagus-bagusnya—tentu saja, namanya juga bangun tidur, jelas berantakan. "Jalan-jalan?" mata Liu langsung berbinar.
"Tapi sebelum itu ayo mandi dulu. Penampilan kita sangat buruk." Sahut yang lebih tua seraya turun duluan dari mobil yang sudah menepi di dekat kamar mandi umum. Liu segera turun mengikuti Zian. Mata yang lebih muda menatap Zian dari ujung rambut hingga ujung kaki.
'Buruk darimananya?' batinnya mencibir.
Pada akhirnya mereka pun benar-benar mandi di kamar mandi umum, sungguh tidak elit sama sekali. Tapi biarlah, kata Zian ini namanya penghematan.
Mereka pada akhirnya sampai di sebuah kawasan wisata Yangshuo, pemberhentian mereka setelah perjalanan yang sangat panjang ini. Ada banyak sekali pemandangan yang indah dan memanjakan mata, terutama untuk Liu yang tak henti-hentinya menatap kagum disekitar.
Dia memang penduduk china tapi sekali pun dia tidak pernah ke tempat-tempat seperti ini. seingatnya dulu dia hanya pernah dibawa ke taman bermain dekat tempat tinggalnya dan itu sudah sangat luar biasa untuk Liu.
Tapi sekarang, dengan Zian, dia dibawa mengunjungi sebuah kawasan wisata yang terkenal.
"Liu, pernah naik rakit?" tanya Zian sambil berjalan disamping Liu. Lelaki itu menghidupkan rokoknya dan mulai menghisapnya dengan santai. Liu menggeleng pelan, "Tidak pernah."
Senyuman lebar nampak terpatri dari wajah Zian, "Kalau begitu ayo." Dia menggandeng tangan Liu dengan lembut lalu berjalan membawanya mendekati sebuah sungai.
Jantung Liu berdetak tak karuan, rasanya seperti kencan—TIDAK! APA-APAAN ISI KEPALA LIU INI!
"Ternyata orangnya sangat ramai." Zian menggumam kala melihat kerumunan turis yang mengantri dan menunggu giliran mereka untuk menaiki sebuah rakit bambu.
Liu bergidik agak seram, melihat bagaimana orang menaiki rakit itu terlihat menakutkan, maksudnya benda itu bisa mengapung tapi tapi rasanya bisa tenggelam kapan saja.
"Ayo naik." Ajak Zian yang nampak sangat antusias kali ini.
Sekarang kita tidak hanya melihat Liu saja yang seperti anak kecil, bahkan Zian kali ini nampak sangat bersemangat kala melihat tempat wisata itu.
Meski agak takut, tapi Liu memberanikan diri untuk menaiki rakit tersebut dan duduk disamping Zian. Rakit kecil itu dijalankan oleh pemiliknya di belakang, jadi mereka berdua hanya duduk dan menikmati pemandangan disepanjang Yulong river, belum lagi diatasnya terdapat jembatan Yulong yang juga nampak sangat ramai.
Rakit mulai berjalan, mereka disuguhkan pemandangan yang sangat alami. Rasanya menenangkan sekali.
"Zian, ini terlihat seperti di film yang pernah aku tonton di komputer milik Justin." Ujar Liu dengan riangnya kala melihat pemandangan di kiri dan kanannya.
Yang mendengar ocehan itu hanya tertawa kecil. "Omong-omong, ini pertama kalinya aku kesini."
Liu terdiam.
Dia menatap Zian yang tengah duduk disampingnya dan menatap pemandangan seperti yang dia lakukan sebelumnya.
"Kau serius?" tanya Liu agak kaget. Dia tidak menyangka seorang Cheng Zian pertama kali ke tempat ini. "Ya, ini pertama kalinya. Ada beberapa alasan yang membuatku enggan kesini." Dia terkekeh pelan.
Liu ingin lanjut bertanya namun dia urungkan kala melihat sorot mata Zian nampak berubah.
Setiap orang pasti punya alasan sendiri atas apa yang dia lakukan dan tidak dia lakukan, begitu pula dengan Zian. Dan Liu berusaha untuk memahami itu.
Meskipun dia penasaran, tapi mungkin ini bukan saat yang tepat untuk bertanya.
Yah lagi pula Zian bukan tipe yang suka di usik privasinya. Jadi, Liu akan memilih untuk menunggu saja sampai Zian bercerita dengannya. Tentu dia akan merasa jadi orang paling spesial di dunia ini.
"Sebenarnya aku ingin membawamu ke Pudong Skyline sekalian. Tapi jarak nya terlalu jauh." Zian melanjutkan sambil tertawa. "Jadi mungkin nanti saja, bagaimana kalau kita pergi bersama yang lain? Kau setuju?" lelaki berusia 23 tahun itu menoleh ke arah Liu dan tersenyum lebar.
Jantung Liu tidak sanggup menahannya.
Tersipu malu, Liu mengangguk dengan semangat menyambut ajakan Zian. Meski dia tidak tau kenapa Zian mau membawanya ke tempat-tempat itu.
Tangan Zian mengusap kepala Liu dengan gemas, "Kita pastikan selanjutnya akan lebih menyenangkan." Bisiknya seraya menyatukan dahinya dengan dahi Liu.
Tidak! Zian, damage yang kau berikan terlalu berlebihan untuk jantung Liu saat ini!
"Ini sudah sangat menyenangkan, terimakasih." Jawab Liu pelan.
"Ayo kita berkeliling Yangshuo." Ajak Zian dengan penuh semangat.
Liu segera menganggukkan kepalanya dengan semangat.
"Ayo!"
***
Perjalanan dengan Zian memang sangat menyenangkan, tapi percayalah, mereka lebih lama menghabiskan waktu di jalan daripada waktu berdiam di tempat tersebut. Ini sangat sangat sangat melelahkan terutama untuk Liu.
Tapi ya dia juga sadar bahwa acara ke china kali ini bukanlah sebuah cara jalan-jalan, dia hanya kebetulan diajak oleh Zian untuk menyelesaikan urusannya. Bersyukurlah Liu setidaknya kau diajak.
Kali ini mereka menghabiskan perjalanan beberapa jam lagi, ke daerah yang nampak mulai menjauh dari keramaian. Liu bertanya-tanya akan kemana kah Zian membawanya.
Pemandangan yang mereka lalui nampak masih sangat alami. Tapi juga sedikit agak menyeramkan karena hanya ada mereka yang melalui jalan itu. Liu jadi bergidik ngeri apalagi kali ini Zian menyetir sendiri, maksudnya hanya ada mereka berdua saja.
Bukan berarti Liu parno saat berduaan dengan Zian, tapi bagaimana jika sebenarnya ini bukan Zian yang asli? Bagaimana jika ini adalah penculik yang menyamar menjadi Zian lalu membawanya ke tempat yang mengerikan?! –Jangan-jangan Zian yang asli tertukar saat di Yangshuo tadi?!
Liar sekali pikiran Liu.
Mobil mereka terus berjalan sedari tadi, melewati beberapa jalan bebatuan dan nampaknya ini adalah dataran tinggi atau sebuah bukit atau apalah itu Liu tidak dapat memahaminya.
Jangan tanya Liu, dia kan bodoh.
Baiklah hari sudah sore, ini benar-benar terasa mencekam belum lagi terlihat hewan-hewan berlalu lalang karena disepanjang jalan mereka saat ini melewati hutan-hutan.
"Tenang lah Liu, aku tidak akan menculik dan membunuhmu." Ejek Zian karena sedari tadi menyadari ekspresi Liu yang sudah hijau-kuning.
Tahu bahwa Zian menyadarinya, Liu pun langsung tersenyum canggung. Rasa malu dan tidak enak menjadi satu.
Lalu mobil mereka terhenti dihadapan sebuah pagar kawat yang sangat tinggi. Cukup tinggi sampai Liu harus mendongak untuk melihat ujungnya.
Zian segera turun dari mobil namun tidak dengan Liu, remaja laki-laki itu hanya melihat bagaimana Zian membuka gembok dan rantai besar yang membentang pada pintu masuk pagar raksasa tersebut. Setelah melakukannya Zian pun kembali masuk ke mobil dan masuk ke bagian dalam daerah yang di pagar tersebut.
"Apa menyeramkan?" tanya Zian memecah keheningan karena Liu yang masih menganga-nganga. Ini nampak seperti dia sedang berada di lokasi syuting film action. "Ya ku pikir aku tidak akan berani sendirian kesini." Jawab Liu dengan polosnya hingga mengundang kekehan sang lawan bicara.
Tak memakan waktu lama hingga mereka sampai pada sebuah daerah tanpa pepohonan. Nampak seperti sebuah lapangan yang sangat luas namun dengan keadaan yang sangat jauh dari kata bagus.
"Kau bisa tetap dimobil jika tidak ingin ikut." Ucap Zian seraya tersenyum tipis. Dia nampak turun dari mobil dengan membawa sebuket bunga yang sudah dia beli sebelumnya—yang sempat membuat Liu bertanya-tanya untuk apa bunga tersebut dibeli Zian.
Sebenarnya suasana disini cukup menakutkan namun Liu memberanikan diri untuk ikut turun dan mengekor di belakang Zian. Mereka berjalan di tengah-tengah hamparan tanah yang luas itu, namun Liu sadar bahwa tanah yang dia pijak bukanlah tanah sebenarnya, ini nampak seperti pernah ada sebuah bangunan raksasa.
Sayangnya bangunan itu sudah tak berbentuk dan hanya menyisakan sisa kehancuran, nampak seperti sisa ledakan? Karena Liu melihat di beberapa sudut ada bekas besi-besi dan penggalan bangunan yang sudah berlumut. Nampak sekali bahwa tempat itu sudah sangat lama ditinggalkan.
Tunggu, ini benar-benar seram!
"Sudah ku peringatkan untuk tetap di mobil." Ujar Zian tanpa menoleh ke belakang. Liu bergidik seram, entah kenapa benar-benar terasa angker.
Bugh
Liu menabrak punggung Zian, lelaki manis itu kaget ketika Zian berhenti mendadak. Liu memiringkan badannya dan melihat ke depan, disana ada sebuah batu besar yang terlihat juga sama tua nya dengan benda-benda disekitarnya.
Nampak lelaki berdarah cina yang lebih tua itu meletakkan buket bunga tadi diatas sana.
Liu dapat melihat senyuman tipis Zian terpatri disana—tapi itu bukan sebuah senyuman bahagia. Senyumannya terlihat sedih penuh penyesalan. Mungkin?
"Omong-omong, disini pertama kalinya aku bertemu dengan permaisuri." Suara Zian terdengar memecah keheningan lagi untuk kesekian kalinya.
Seketika Liu langsung paham.
Tempat ini adalah tempat yang sempat diceritakan Justin dihadapan Ning dan para pelayan lain. Tempat yang katanya adalah mimpi buruk Zian.
Sekaligus tempat dimana Zian kehilangan sahabatnya.
Tidak heran sekarang jika tempat itu terasa angker dan mengerikan.
Yang pasti ada banyak sekali nyawa yang melayang ditempat ini belasan tahun lalu.
Zian kemudian berjalan semakin ke ujung, mereka benar-benar ada di tempat yang tinggi dan dari atas sana bisa terlihat hutan yang baru saja mereka lalui. Ditambah lagi diseberang sana terdapat matahari senja yang indah—meski bagi Liu saat ini itu nampak menunjang rasa angker disini.
Tangan Zian menepuk kepala Liu yang sedari tadi mengikutinya. "Sepertinya Liu sudah tau tentang tempat ini ya/" dia terkekeh kecil. "Seharusnya aku membawamu ke tempat yang bagus, bukan kesini." Zian menghela napasnya sambil menghidupkan sebatang rokok.
Liu segera menggeleng, "Tidak, aku senang Zian membawaku kesini. Terimakasih." Ucapnya. "Kenapa terimakasih?" tanya sang lawan bicara. "Hm.. Terimakasih, karena sudah membawaku ke tempat yang bersejarah bagimu...?" ujarnya setengah menggumam.
Tanpa menjawab lagi Zian hanya tersenyum lebar kemudian menatap lurus ke arah matahari yang mulai tenggelam.
"Hei hei, siapa namamu?"
"Shu Feng."
"Namaku Shen Qing."
Sebuah ingatan masa lalu terngiang di kepala Zian. Selalu saja itu kembali ketika dia menginjakkan kaki di tempat ini. Tapi anehnya Zian seolah tak pernah bosan untuk mengingatnya meski itu mengakibatkan sesak di dada.
"Hei Feng, bagaimana jika kita memikirkan rencana terlebih dahulu tentang apa yang akan kita lakukan nanti? Kau mau pergi kemana?"
"Aku? Entahlah. Aku tidak terlalu memikirkannya."
"Hmm... Kau ini tidak asik sekali."
"Berisik, Qing."
"Bagaimana kalau setelah bertemu di Pudong Skyline, kita melanjutkan jalan-jalan ke Guilin, aku dengar disana banyak sekali tempat wisata menarik. Lalu kita akan berbelanja di Yangshuo, oh aku ingin mengunjungi Yulong bridge lalu menyusuri sungai nya dengan rakit!"
"Heee kau tau banyak ya."
"Aku mendengarnya dari orang-orang. Hehe... Lalu kita akan berdoa pada dewa di langit di taman Tiantan. Bukankah itu bagus untuk mengakhiri perjalanan?"
"Hei bodoh, apa kau tau jarak antara ketiga tempat tadi sejauh apa? Astaga."
"Tidak. Tapi ku pikir asal kita bisa keluar dari sini, sejauh apapun itu kita pasti akan sampai!"
Zian tersenyum miris. Entah kenapa rasanya seperti baru saja terjadi.
Kenapa dia masih saja ingat persis dengan orang itu. Menyebalkan.
Bahkan setelah mati pun dia tetap menyusahkan Zian ternyata.
Bahkan ketika dia menaiki rakit tadi siang rasanya seperti ada seseorang yang sedang tertawa dan mengoceh padanya. Tentang betapa kerennya Yulong river dan betapa seru nya perjalanan yang dilalui.
Sayang sekali Liu tidak cukup peka untuk melihat air mata Zian menetes cepat, namun segera dia hapus saat itu juga.
"Jika kau bebas lebih dulu, berjanjilah padaku kita akan bertemu di Pudong Skyline."
"Aku yakin kau akan tersesat."
"Baiklah, lihat saja nanti!."
Pada akhirnya janji memang hal yang tidak terlalu Zian sukai. Apalagi berjanji untuk hal-hal yang sebenarnya mustahil untuk dilakukan.
"Kau yang pergi. Tapi ku pastikan aku juga akan melihatnya."
Tersenyum miris.
Mungkin Zian harus meminta maaf kepada orang itu nanti jika mereka bertemu, maaf karena dia baru berani menginjakkan kaki di Yangshuo setelah belasan tahun. Masih ada banyak tempat yang harus dia kunjungi.
'Hei Qing bodoh, kau pasti melihatnya tadi kan? Apa kau senang?' Zian membatin lalu tersenyum kecil.
Nampaknya kewarasannya memang patut dipertanyakan.
Tanpa Zian sadari, Liu memanggilnya sedari tadi. "Zian... Zian... Lihat mataharinya terbenam. Indah sekali!"
Tersadar dari lamunan, Zian segera menoleh ke arah anak laki-laki pendek disampingnya yang sudah kegirangan menunjuk matahari terbenam. Seharusnya Liu makin takut karena tempat ini akan semakin gelap dan angker, tapi dia malah kegirangan melihat matahari yang makin menghilang. Ada-ada saja.
"Langit malam disini cukup indah, mau disini sebelum kita ke bandara? Yah jika Liu berani." Zian tertawa kecil sambil merangkul budak manis itu. "Aku berani!" jawab Liu spontan. Dia kemudian mengerucutkan bibirnya saat merasakan nada mengejek Zian pada akhir kalimat.
"Baiklah, aku harap itu kenyataan." Sang lawan bicara tertawa gelak.
Yah, nampaknya jalan-jalan dengan Liu sama sekali tidak buruk juga.
"Oh iya Liu, aku lupa nama lengkapmu."
"Nama lengkap? Shen Liu. Kenapa?"
Terdiam sejenak. Zian kemudian tersenyum dan menjawab,
"Nama yang bagus."
.
TBC
.
YAYYY BAGIAN ZIAN UDAH KELAR(?)! T^T Next semoga bisa secepatnya, udah masuk rute pelayan lain, akhirnya nggak Zian molo :) //g Siapakah kira2 yang akan kita sorot? mwehehe... /sok2an nanya, emang ada yg bakal baca anjir?/ :')
Oke gaes, see you~ <3
Jangan lupa jaga kesehatan yaa~ Aku sayang kalian >~<
Senin [18:12]
Kalsel, 26 Oktober 2020
Love,
B A B Y O N E
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top