XVI - Biarkan Aku Menjadi Payungmu!
Apa ini?! Baru apdet?! Dasar pemalas :) Keasikan liburan, keasikan bucinin PDX terus sakit, tuman!
Btw, silakan baca ulang BAB XII kalau kalian lupa, karna aku tau mengingat itu berat :)
Abaikan typo karna typo adalah seni :) Happy Reading ^^
.
Plak!
Terdengar suara seseorang menampar orang lainnya. Tentu saja kita sudah tau siapa, Liu yang sekali lagi menampar wajah adik Zian dengan keras. Wanita itu langsung memegangi pipinya sambil menunduk dalam.
"Zian menderita bertahun-tahun sedangkan dirimu enak-enakan di panti asuhan lalu tiba-tiba kau datang dan mengatakan bahwa semua ini hanya kesalahpahaman?! HANYA?! Biarkan aku mencekik lehermu sekarang juga." Nampak Liu kesal setengah mati mendengar keseluruhan cerita yang didengar dari Justin dan Ning.
Jadi maksudnya adalah sebenarnya orang tua Zian hanya ingin melindunginya lalu berpura-pura membuangnya? Dan tanpa sengaja Zian berakhir di tempat mengerikan? Itu bukan kesalahan orang tuanya, itu adalah kesalahan Zian sendiri. Bagaimana mungkin Liu tidak emosi?
"Liu! Tenanglah Liu..." Karel memeluk pinggang Liu erat karena budak manis itu kini berubah jadi lelaki galak jika berurusan dengan Zian. Dia hampir saja menerjang dan menjambak Ning jika saja Karel tidak memeganginya terus.
"Maka dari itu, aku—aku ingin meminta maaf dengan kakak." Suara Ning sangat pelan namun Liu masih gemas ingin menjambak anak itu.
Fabi memegangi tangan Liu lembut dan menariknya agar kembali duduk, memeluknya erat dan mencium pipinya sekilas. "Liu, kau itu anak manis. Jadi jangan meninggikan suaramu karena itu tidak cocok." Ujarnya dengan suara sayu seperti biasa. Liu menghela napasnya sejenak, dia baru saja tersadarkan jika dia adalah seorang budak dan seorang budak tidak seharusnya berlaku sekasar ini meski kepada orang lain. Hei tapi dia juga tidak terima orang yang dia sayangi disalahkan!
Keadaan ruangan akhirnya berubah menjadi lebih tenang. Justin membuka suara kemudian, "Kalau begitu sekarang bagaimana? Apa ada yang mau menemui Zian?" tanyanya dengan suara yang nampak santai. Lelaki berdarah rusia itu pun melirik ke arah Liu yang di peluk oleh Fabi dan Karel.
Sedangkan Liu sekarang kesusahan bergerak karena dipeluk dua lelaki yang bertubuh lebih besar darinya. "Fa—Fabi, Karel... Sesak." Gumamnya pelan. Félix masih memasang ekspresi yang datar seperti biasa, namun Liu sadar jika lelaki itu memancarkan aura-aura gelap. Liu yakin jika saat ini Félix sangat ingin membunuh Ning.
"Kurasa Liu bisa menemui Zian." Suara Félix terdengar dingin.
Liu merinding.
Lalu ketika Liu pergi mencari Zian maka Félix akan membunuh Ning? Iyakan?!
Liu tidak akan tertipu semudah itu, Ferguso!
Baiklah cukup, Liu hanya terlalu parno. Tapi rasanya pemikiran Liu ini tidak mustahil, Félix bisa saja menjadikan Ning bubur selagi Liu pergi menemui Zian.
"Aku akan menemui Zian, aku akan mencoba menceritakan dengan jelas keinginan Ning kesini." Liu kemudian melirik Ning sekilas dengan ekspresi kesal, "Dan kau! Kau harus sujud di kaki Zian setelah ini!" dia menunjuk-nunjuk wajah Ning. Sesekali Liu melirik ke arah Félix, takut-takut lelaki itu sudah mengacungkan revolvernya tiba-tiba, itu tidak baik untuk kesehatan jantung Liu.
"Dan Fabi, Karel, tolong lepaskan aku. Sesak." Liu merasa pasokan udara yang masuk ke tubuhnya semakin mengecil saja. Dua lelaki ini benar-benar... Apa mereka berkompetisi tentang siapa yang paling erat memeluk Liu?! Yang benar saja. Ini lebih terlihat seperti kompetisi siapa yang paling kuat dalam meremukkan tulang Liu.
Kedua lelaki itu akhirnya setuju untuk melepaskan Liu, si budak nampak menghela napas lega. Tiba-tiba seseorang memukul kepala Liu pelan dengan sebuah benda, lelaki berparas manis itu menoleh dan mendapati sebuah payung kecil dengan warna transparan sebagai objek yang menyentuh kepalanya.
"Diluar sedang mendung." Suara datar dan dingin itu menyapa indera pendengar Liu.
Tunggu,
Apa Félix perhatian dengan Liu sekarang?! Apa Félix mengkhawatir—
Oke, cukup Liu. Félix hanya tidak mau Zian kehujanan.
Liu nampak mengangguk berulang kali seolah meyakinkan dirinya untuk tidak semakin halu.
"Liu?" Félix mengerutkan alisnya heran melihat si budak nampak mengangguk-angguk sendiri. Liu segera mengambil payung dari tangan Félix lalu tersenyum, "Aku akan membawa Zian pulang." Ucapnya tenang dengan senyuman yang meyakinkan. Kemudian Liu agak kaget saat Félix mendekati wajahnya, jantung Liu tidak terkontrol! Bibir Félix nampak berada didekat telinga Liu, napasnya yang hangat menerpa telinga Liu perlahan dan sungguh rasanya Liu lemas.
Lelaki dari meksiko itu kemudian mengucapkan beberapa kata yang kan menjadi petunjuk Liu,
"Carilah di taman, dia suka dengan tempat yang ramai karena dia takut sendirian dan langit yang gelap." Bisik Félix cukup pelan.
Untuk beberapa saat, Liu melihat samar senyuman tipis dari bibir si pemilik codename Black itu.
Demi teriakan cempreng Permaisuri! Liu yakin wajahnya memerah saat ini!
Si budak lalu buru-buru berbalik dan melangkahkan kakinya keluar. Dan diam-diam dia tersenyum tipis, berharap semoga Félix bahagia. Hei, jika sudah seperti ini Liu merasa jika dia adalah seoran ibu yang merawat 5 anak laki-lakinya yang memiliki kelakuan berbeda.
"Liu, cepatlah pulang sebelum Félix membunuh seseorang." Suara sayu milik Fabi sukses membuat Liu menoleh dan mendelik kepada Ning seolah mengatakan, 'Jika kau macam-macam lalu mati, maka itu bukan salahku.'
Ya meski pada kenyataannya Fabi hanya tidak mau berpisah lama-lama dengan Liu. Lelaki yang selalu nampak suram ini nyatanya tak berbeda jauh dengan seekor kucing besar yang takut ditinggal majikannya terlalu lama.
Mungkin ini juga adalah pertama kalinya seorang Liu keluyuran sendiri di jalanan.
Liu, kenapa kau tidak meminta Karel atau Fabi menemanimu di jalan sampai kau bertemu dengan Zian?
Ah, bodohnya anak itu benar-benar natural.
"Bagaimana ini? Sepertinya aku tersesat." Wajah Liu berubah hijau-kuning saat menyadari ini pertama kalinya dia keluar tanpa bimbingan dan arahan salah satu pelayan.
Tapi bukan berarti Liu buta arah, yah setidaknya dia masih tau dia berada dimana. Dia pernah kesini bersama Zian, tempat yang cukup ramai dan sepertinya dekat dengan taman di kota. Ah! Sepertinya Liu tidak salah jalan.
Lelaki itu lalu menengadahkan kepalanya ke atas, mendapati langit yang yang semakin muram dan menyembunyikan matahari dengan amat sangat apik seolah tak membiarkan seorang pun melihat keindahannya.
Teringat dengan kata-kata Félix tentang ketakutan Zian, Liu pun segera kembali berjalan. Dia harus bisa menemukan Zian sebelum dia merasa ketakutan.
Tak lama melangkah, Liu akhirnya menemukan sebuah air mancur di taman kota. Dia bergegas mengelilingi air mancur yang di kelilingi banyak orang berlalu lalang itu, berharap dia bisa menemukan Zian di salah satu sisinya.
Dan benar saja, mata Liu segera tertuju pada sosok lelaki yang tengah duduk di kursi panjang sambil memeluk lututnya, menenggelamkan wajah diantara kedua lutut dan nampak tidak bersuara sama sekali.
Untuk sejenak Liu seperti melihat seorang anak kecil yang kehilangan orang tuanya. Baiklah, jika Zian tau ini mungkin dia akan memukul kepala Liu dengan sendok.
Liu menghampiri Zian dan segera duduk membelakanginya, menyatukan punggungnya dengan punggung lelaki yang nampak selalu berisik itu. Liu membuka payung indah pemberian Félix tadi dan menatap ke langit yang mulai meneteskan rintik kecil.
"Zian." Panggilnya pelan namun si pemilik nama nampak tidak bergeming bahkan ketika Liu benar-benar bersandar pada punggungnya.
Liu hanya berharap dia tidak salah orang.
Sungguh bukan hal yang lucu jika Liu sudah berbicara panjang lebar namun ternyata orang ini bukanlah Zian!
"Aku—umh... Aku pikir kau sudah tau kalau aku seorang budak, iyakan?" Liu mulai berbicara meski dia yakin Zian tidak akan menanggapinya. Lelaki itu menyamankan kepalanya bersandar di tengkuk Zian.
Sebuah senyuman terukir dibibir tipis Liu untuk sejenak, "Sejak lahir hidupku sudah melarat." Dia terkekeh pelan seolah mentertawakan nasib malang yang menimpanya. "Orang tua yang amat sangat miskin, tempat tinggal tidak layak dan pekerjaan serabutan—aku... saat bersama kalian itu pertama kalinya aku merasakan tidur di tempat semewah itu." sambungnya lagi masih dengan senyuman tipis di bibirnya.
Meskipun Liu yakin Zian tidak akan bisa melihat senyumannya saat ini, tapi nyatanya seorang Cheng Zian bisa merasakan bahwa sosok yang bersandar padanya tengah tersenyum seolah mengenang sesuatu yang lucu.
Selucu itukah hidupmu, Liu?
"Kemudian aku menjadi seorang budak. Aku sangat percaya diri saat itu, yakin bahwa nanti akan ada yang membeliku. Aku bisa melakukan semua pekerjaan berat. Tapi nyatanya tidak ada satupun yang tertarik denganku. Aku memang yang terburuk." Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri.
Rintik hujan mulai membesar, setidaknya cukup untuk membasahi seseorang yang berdiri tanpa pelindung dalam waktu yang agak lama. Liu menarik kedua kakinya dan memeluk lututnya dengan satu tangan sementara tangan yang lain masih memegangi payung.
Tanpa diduga oleh Liu, Zian mengangkat kepalanya dan bersuara dengan dingin. "Apa kau kesini hanya untuk menceritakan kisah hidupmu?" ujarnya terdengar malas.
Wow! Liu merasa dia berhasil setidaknya membuat Zian membuka suara!
Lelaki yang lebih muda tersenyum lebar lalu menjawab, "Ya! Tentu saja! Itu adalah kisah hidup yang luar biasa!" ujarnya dengan bangga. "Jika aku bukan anak yang susah, jika aku tidak menjadi budak, jika saja aku laku terjual dengan cepat, mungkin aku tidak akan pernah bertemu dengan kalian semua. Tidak akan bisa bertemu dengan Zian." Dia bersuara dengan senang.
Zian yang mendengar hal itu hanya terdiam dan membiarkannya terus mengoceh. "Rasanya belasan tahun hidup susahku seketika lenyap saat aku bertemu kalian. Aku sangat bahagia, terlalu bahagia sampai-sampai aku merasa seolah aku tidak pernah merasa sedih seumur hidup."
Tidak mendapat respon apapun dari yang lebih tua, Liu menghela napasnya sejenak.
"Zian, apa kau bahagia bersama Permaisuri dan yang lainnya?"
Pertanyaan yang sukses membuat Zian mengeraskan rahangnya. Jika orang lain yang bertanya maka sudah dipastikan Zian akan menghancurkan kepala orang tersebut. Pengecualian untuk Liu, dia hanya budak yang kebetulan—atau mungkin mau tak mau harus terlibat dengan mereka semua.
"Tentu saja." Hanya dua kata itu yang bisa diucapkan oleh Zian. Dia mengepalkan tangannya diam-diam, apa dia tidak terlihat bahagia? Omong kosong, meskipun itu Liu, Zian masih saja merasa kesal.
"Permaisuri pasti sedih melihatmu seperti ini." suara Liu lagi dengan lembut. Dia berbalik ke samping dan duduk dengan benar. "Y—yah aku hanya mengatakan apa yang ingin ku katakan, bukan berarti aku tau sesuatu atau apapun." Dia menggumam dengan sangat mencurigakan. Dan hanya dengan kalimat itu Zian sudah yakin jika Liu mendengar seluruh kisah hidupnya—setidaknya sebagian besar masa lalunya dari Ning atau pun dari Justin.
Menghela napas, Zian menatap langit yang gelap—lebih tepatnya dia menatap genangan air di payung bening tersebut. "Singkat saja Liu, kau memintaku untuk berdamai dengan masa lalu kan?"
Dan kini malah Liu yang gelagapan karena rencana halusnya sudah ketahuan. Bodoh sekali.
"U—umh... Aku tidak tau apa-apa, Zian. Sungguh."
Si bodoh ini benar-benar buruk dalam menyembunyikan kebohongannya.
"Bahkan jika kau tau segalanya itu tidak akan membuahkan apa-apa selain rasa iba, benar kan?" Zian tersenyum tipis melihat genangan air yang jatuh dari payung. "Tidak! Aku—aku tidak merasa iba, sungguh!" ujarnya lagi.
"Memangnya kenapa jika kau atau seluruh dunia mengetahui kisah hidupku? Apa kalian bisa menolongku? Apa kalian bisa mengubah masa lalu ku?" kemudian Zian tertawa agak keras. "Yang bisa kalian lakukan hanyalah bersimpati atau mengucapkan kalimat penyemangat. Apa kalian pikir aku perlu dengan kalimat-kalimat murahan itu?" dia mendesis kemudian.
Zian meluruskan kakinya dan duduk dengan benar disamping Liu. Liu bisa melihat senyuman miring dari lelaki disebelahnya, nampak menawan sekaligus berbahaya diwaktu yang sama. Mungkin orang-orang akan menyebutnya nampak seksi, tapi bagi Liu itu sesuatu yang menyeramkan mengingat sifat Zian biasanya adalah laki-laki ceria dan berisik.
"Aku tidak butuh kalimat menjijikan itu, Liu. Tidak darimu, tidak dari teman-temanku." Ujarnya nampak santai.
Tidak. Liu hanya ingin mengatakan bahwa tidak ada satupun dari mereka yang ingin mengucapkan kalimat tersebut. Mereka hanya ingin Zian pulang, memeluknya dan tidak bersuara sama sekali. Tapi kalimat itu tidak bisa keluar dari mulutnya.
Zian kemudian meraih dagu Liu dan menatap wajahnya intens, untuk sejenak Liu merasa jantungnya seperti akan meletup. Senyuman itu masih tak luntur dari bibir Zian, memegangi dagi Liu dengan lembut dan semakin mendekatkan wajahnya. Nampak menyeramkan namun juga membuat siapa saja yang melihat menjadi bergairah.
Sebuah benda basah terasa menyapa sudut bibir Liu. Tangan lelaki yang memegang payung itu nampak gemetar untuk sesaat di kala Zian menjilat sudut bibirnya sensual. Apa yang dilakukan Zian itu tidak baik untuk kesehatan jantung Liu, tau!
Zian berbisik pelan, "Katakan pada semuanya, mulai sekarang aku yang merepotkan ini—"
'Akan pergi sejauh mungkin dari kalian.'
Sebuah kalimat yang nampaknya sudah teramal di dalam benak Liu. Sebuah kalimat menyeramkan yang artinya berpisah selamanya dengan sosok vice kapten sekaligus penguasa rumah ini.
Namun sebelum sempat Zian menyelesaikan kalimatnya, sebuah suara tembakan terdengar dengan sangat jelas.
Dor!
"Akh!" suara seseorang meringis. Dan sialnya itu bukan orang lain melainkan Zian sendiri. Liu membelalakkan matanya saat melihat kaki Zian kini bercucuran darah dengan peluru panas yang bersarang di sana.
"Zian!" pekik Liu panik sedangkan Zian berdiri dan menarik Liu di belakangnya. Bahkan dengan kaki yang disarangi peluru dia masih kuat berdiri dengan tegap. "Brengsek." gumamnya.
Lelaki china yang lebih tua itu mencengkram tangan Liu kuat, menatap was-was ke semua arah takut ada peluru lain yang kali ini akan menyerang Liu. Namun Zian tiba-tiba saja merasa aneh.
Lukanya terasa sangat sakit. Bahkan sangat ngilu dan seperti terbakar.
"Siapa—siapa yang melakukan ini?" desis Zian. Keadaan tidak menguntungkan karena orang-orang yang awalnya ramai disana kini sudah berkurang drastis, ditambah terdengarnya bunyi tembakan nyaring itu, orang-orang memilih berlari meninggalkan Zian dan Liu disana.
Sedangkan Liu sudah gemetar hebat, melihat darah Zian menyatu dengan air hujan yang mulai turun dengan lancar. "Liu, ayo pergi dari sini!" ujar Zian seraya menarik tubuh Liu agar menyatu dengan tubuhnya, merangkul anak yang lebih pendek darinya itu, memeluknya erat dan mulai berjalan cepat.
Liu panik, "Zian! Lukamu!" ujarnya. "Diamlah, Liu. Ini bukan masalah besar." Jawab Zian.
Setidaknya, seharusnya ini memang bukan masalah yang besar. Zian mulai berpikir keras, seharusnya tubuhnya sudah bisa menyesuaikan untuk melakukan regenerasi dan pengurangan rasa sakit secara drastis akibat percobaan masa lalu yang dia terima. Akan tetapi luka kali ini benar-benar terasa nyata, bahkan lukanya tidak bergeming sama sekali.
Hanya ada satu hal yang dipikirkan Zian,
Seseorang yang tau segalanya, sedang mengincar dirinya.
Sepersekian detik selanjutnya Zian merasakan sebuah peluru dilepaskan. Zian segera memutar tubuh Liu ke sisi lainnya dan mengurung budak penurut tersebut.
Dor!
Kali ini mengenai punggungnya.
"Zi—zian..." tubuh Liu gemetar. "Diamlah! Cepat, kita harus pergi."
Hujan menjadi deras, payung di tangan Liu bergoyang hebat, tangannya gemetar luar biasa. Apa terluka sudah biasa bagi Zian? Kenapa lelaki itu nampak tenang dan gusar disaat bersamaan? Apakah dia merepotkan?
Tiba-tiba saja mata Zian menangkap sesosok siluet samar yang memegang senjata dari kejauhan, nampaknya siap untuk menembakkan peluru ke arah Zian dan Liu. Tanpa pikir panjang, lelaki yang sudah menanggung dua peluru itu pun menunduk dan mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan dengan cepat. Dia merangkul pinggang Liu dan berlari menghindari tembakan dan melemparkan batu tersebut dengan cepat.
Liu untuk sesaat dapat melihat dengan samar si penembak langsung tumbang. Nampaknya batu tadi mengenai kepala si penembak dengan cukup keras. "Sial! Mereka banyak." Gumam Zian yang sama sekali tidak Liu pahami. Bagaimana Liu bisa paham bagaimana cara Zian mengetahui jumlah mereka padahal mereka tidak terlihat?
Apa Zian memiliki semacam sensor yang dapat mendeteksi musuh seperti dalam game? Baiklah Liu, kau terlalu diracuni oleh Karel dengan game onlinenya.
Kedua lelaki berdarah china itu kemudian berlari ke salah satu gang yang kecil dan tak jauh dari mereka. Hujan semakin deras dan payung yang di pegang Liu juga entah sejak kapan sudah terlipat manis dan berpindah ke tangan Zian.
Zian menarik Liu ke dekat salah satu tong sampah yang ada disana. "Liu, cepat masuk." Ujarnya seraya membuka tong sampah dan mengeluarkan isinya tersebut. Liu meloading cukup lama, sampai Zian kembali menegurnya, "Liu! Cepat masuk!" Zian nampak gemas dengan kelemotan Liu.
Tunggu dulu! Liu tidak lemot! Dia hanya sedang berpikir apa hajat seorang Zian menyuruhnya masuk ke dalam tong sampah? Apa Liu nampak seperti seonggok sampah yang harus dibuang karena sudah tak layak pakai?
"Cepatlah!" Baiklah, kali ini Liu benar-benar sudah memasukkan tubuhnya ke dalam tong sampah, sebelum Zian gemas ingin mencubit ginjalnya.
Zian kemudian menunduk didepan Liu dan mencoba menutup nya tong sampah berisi anak tersebut. "Dengar Liu, jangan keluar dari sini apapun yang terjadi, oke?" Zian menepuk kepala Liu yang basah dengan pelan. Dia nampak tersenyum kecil, dan sebelum Liu sempat menjawab kalimat Zian, lelaki yang lebih tua itu sudah lebih dulu menutup tong sampah tersebut hingga Liu tidak bisa melihat apa-apa lagi.
Yang bisa Liu dengar saat ini hanyalah suara hujan. Suaranya sangat jelas berjatuhan di atas tong sampah dan jujur saja membuat telinga Liu kurang nyaman.
Sementara itu diluar, Zian segera berusaha pergi menjauh dari tempat Liu berada namun sayang tak lama kemudian dia dikepung oleh beberapa orang berpakaian serba hitam. Zian tersenyum seram menatap beberapa orang yang nampak menodongkan senjata kepadanya itu.
"Jadi apa kau benar Cheng Zian—tidak, subjek terakhir?" ujar salah satu diantaranya kemudian menarik pelatuk pistolnya. Zian segera menghindar namun sayang kakinya tidak menggunakan alas apapun sehingga dia terpeleset begitu saja.
Zian meringis, sungguh tidak elit terpeleset di saat-saat serius begini tau! Orang yang lain langsung menembakkan pelurunya lagi dan kini mengenai lengan Zian membuat lelaki berdarah china itu meringis.
"Sial, ini sakit." Ujarnya pelan. Nampaknya mereka benar-benar tidak menggunakan peluru yang biasa. Sebuah senjata yang bisa melumpuhkan seorang subjek tes sepertinya, luar biasa, sejauh apa zaman sudah berkembang?
"Apa yang kalian inginkan?" tanya Zian mencoba untuk tetap tenang seperti biasa. Malah kini dia berdiri namun tanpa dia duga seseorang dari belakang menusuk nya dengan sebilah pedang.
"Uhuk!" Zian memuntahkan darah ketika bilah pedang tersebut menembus dadanya dan kini Zian bisa melihat dengan jelas darah di pedang tersebut perlahan luntur oleh hujan.
Zian tersenyum dengan bibirnya yang sudah dibasuh darah, "Katakan padaku tujuan kalian." Ujarnya masih terdengar angkuh.
Sebuah hal yang menjadi kesialan untuk Zian, dia lupa memprediksi adanya serangan dadakan dari belakang. Apa Zian pikir semua musuh itu jujur? Tidak mungkin, banyak yang licik dan menyerang dari belakang seperti ini.
"Ikut dengan kami." Mereka berucap dengan santai namun Zian dapat melihat dengan jelas senyuman licik itu. Apa yang mau mereka lakukan dengannya? Apa Zian akan di hancurkan seperti subjek tes yang lainnya?
Tiba-tiba saja salah seorang dari mereka mendekati tong sampah dimana Liu berada.
Brang!
Terdengar suara tong tersebut ditendang hingga jatuh, membuat Liu mau tak mau keluar dan merelakan pipinya mencium tanah yang kasar dan keras.
"LIU!" teriak Zian nyaring saat melihat orang tadi menodongkan pistolnya ke arah Liu.
Tanpa basa basi, Zian segera melepaskan dirinya dari orang yang menahannya dengan pedang tersebut, dia buru-buru berlari kemudian menerjang orang yang hampir menarik pelatuknya dan melepaskan peluru ke kepala Liu. "LIU CEPAT LARI!"
Dor!
Suara tembakan kembali menggela kali ini agak meleset namun mengenai pipi Zian.
Sedangkan Liu dengan gemetar segera berdiri, dia was-was lari atau tidak saat ini. Apalagi melihat tubuh Zian yang nampaknya benar-benar tidak dalam kondisi yang baik saat ini.
Melihat Zian melindungi Liu, orang-orang tadi segera kompak hendak menyerang Liu. Namun sayang sekali lagi Zian melompat dan menghadang mereka semua, menjadikan tubuhnya sebagai tameng agar tidak ada yang bisa melukai Liu.
"Liu, lari! Lari!" ujar Zian dengan suara yang agak serak. Tangannya memegangi pedang yang hampir menebas leher Liu dan tangan yang lainnya dia gunakan untuk mencengkram erat pelatuk salah seorang dari mereka, jika pelatuk pistol itu ditarik maka dapat dipastikan bagaimana keadaan tangan Zian. Sedangkan beberapa orang yang lain sudah lebih dulu di singkirkan oleh Zian.
Kali ini, Liu tidak meragukan sama sekali kenapa titel vice itu disematkan pada Zian. Dia benar-benar sosok yang luar biasa.
Tidak mau membuat Zian semakin kerepotan lagi, Liu bergegas memutar badannya dan berlari sekuat tenaga tidak peduli dengan apa yang terjadi belakangnya.
Air mata Liu turun tanpa dia sadari dan bercampur dengan air hujan. Lelaki manis itu dalam hati berdoa untuk keselamatan Zian. Dia berharap semoga cepat sampai kerumah dan membuat yang lainnya menyelamatkan Zian.
'Félix, semuanya, maaf aku tidak bisa membawa Zian.' batin Liu miris.
Sementara di tempat yang ditinggalkan Liu beberapa saat tadi,
Hanya tersisa sebuah gang kosong dengan genangan air bercampur warna merah dan,
Sebuah payung bersimbah darah.
.
TBC
.
Aku gasuka ya kalau Zian lama banget pisah dari yang laen :")
See ya di next chap~ Semoga route Zian ini gak lama2 amat :) Yosh >~<
Rabu [21:15]
Kalsel, 3 Juli 2019
Love,
B A B Y O N E
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top