Bab 07: Belinda Qanita
"Bel, rekapan absen udah selesai?" Gaga bertanya tanpa melihat ke arahku, matanya terfokus pada layar komputer.
"Udah gue e-mail satu menit yang lalu," jawabku.
Aku mengecek layar ponselku, melihat jam yang ternyata sudah saat jam makan siang. Sekarang ini rasanya aku sedang malas jalan mencari makan, tapi jika tidak makan sekarang nanti sore aku pasti merasa sangat lapar. Kubuka laci bawah mejaku, tidak ada lagi wafer yang biasanya menjadi stok untukku. Hanya tertinggal kopi luwak instan dan sebungkus permen mint.
"Lo nggak makan siang Bel?" Kini Kevin yang bertanya.
Gaga dan Kevin sudah bersiap memegang dompet dan ponsel di tangan. Aku melihat Jessica dan Afnes, keduanya sedang memoles lipstik di bibir masing-masing. "Iya gue makan siang, di cafetaria mungkin," kataku.
"Lo nggak ikut kita?" Jessica pun bertanya.
Memang sejak dua jam yang lalu aku mendengar mereka janjian ingin makan di restoran dekat sini. Kabarnya sih baru buka, jadi sedang ada promo gitu.
Aku menggeleng pelan. "Enggak deh. Gue lagi males," sahutku.
"Jangan bilang lo mau makan siang sama si Gadar, Bel." Afnes menatapku dengan pandangan penuh selidik.
Indra? Tahu deh dia kemana. Sejak dua hari yang lalu aku tidak melihat batang hidungnya. Acara chat kami pun juga berhenti di saat dia di Bogor, membicarakan es krim talas atau bolu talas yang tidak kunjung menghampiriku.
"Apaan deh ..." sungutku yang akhirnya bangun dari duduk.
Aku membawa pouch milikku yang berisi beberapa lembar uang, dompet kartu dan token bank. Tidak lagi aku mengindahkan mereka semua yang saling pandang, mungkin bingung dengan jawabanku tadi.
Mood-ku hari ini memang sedang tidak bagus. Aku bahkan beberapa kali merasa kesal karena hal kecil. Belum lagi laporan yang luar biasa seabrek banyaknya itu, benar-benar membuat emosiku gampang tersulut.
Aku sampai di depan pintu lift, tidak beberapa lama pintu lift terbuka. Aku terdiam pelan saat melihat siapa yang ada di dalam lift tersebut. Gedung perkantoran ini memang tidak memiliki perbedaan lift, baik CEO dan top management menggunakan lift yang sama.
Ragu-ragu, aku masuk ke dalam lift, mengambil posisi paling pinggir di depan tombol lift. Di dalam sini ada Putra Mahesa selaku CEO Mahesa Group dan asisten setianya, Indra Andaru. Serta, dua orang karyawan dari bagian sekretaris.
Dengan posisiku saat ini, Indra jadi berada di belakangku, tidak terlalu dekat tapi cukup membuatku bergerak dengan kaku. Saat ponselku berdering, aku sempat terkaget sendiri.
"Hallo ..." Aku menjawab panggilan yang masuk dari Devan, teman kuliahku. "Tumben lo nelpon gue," kataku langsung karena memang merasa heran. Aku dan Devan tidak pernah berkabar-kabaran seperti ini, terakhir aku hanya melihat chat dia bersama anak-anak di dalam group alumni.
"Lo kerja di Mahesa Group kan Bel?" tanya Devan di ujung panggilan dan hanya aku jawab dengan gumaman pelan. "Gue ada di lobi Mahesa Group nih," ujarnya kemudian.
"Terus?"
"Ya lo turun ke lobi Bel." Nada suara Devan terdengar sangat gemas. "Gue tadinya lagi di sekitar sini, ingat sama lo mampir deh. Mau ngajakin lunch nih," jelas Devan.
Ini orang kok aneh banget sih?
"Ya sudah tunggu sebentar," kataku akhirnya dan memutus sambungan telepon.
Aku mendongak menatap angka di lift yang bergerak, satu lantai lagi sampai di lobi. Benar saja, tidak beberapa lama kemudian pintu lift terbuka. Aku membiarkan CEO dan Indra keluar terlebih dahulu.
Setelah keluar dari lift, aku melewati CEO dan Indra yang masih berjalan beriringan. "Dev!" panggilku pada sosok Devan yang berdiri di dekat sofa yang ada di lobi.
Devan menoleh, dia tersenyum saat melihatku. Saat melihat penampilan parlente Devan aku jadi teringat dengan penampilanku. Aku hanya membawa pouch dan bahkan lipstik yang aku pakai sudah tidak on lagi.
"Bodo amat deh!" gumamku pelan.
∞∞∞
"Bel ..." Afnes melempar kertas yang digumpal-gumpal ke mejaku. "Lo tadi makan siang sama siapa?" tanyanya kemudian.
"Temen kuliah gue," jawabku sekenanya.
"Tajir kayaknya Bel." Jessica menimpali.
"Iya. pemilik perusahaan konstruksi tuh, arsitek handal juga," kataku sambil sibuk meneliti lagi deretan nama-nama karyawan baru yang harus didaftarkan pada BPJS Tenaga Kerja.
"Namanya siapa?" Jessica bertanya lagi.
"Devan Singgih."
"What?!"
Aku mendelik pada Jessica dan Afnes yang berteriak dengan sangat kencang. Saat melihat ke arah Gaga dan Kevin, mereka melongo sambil geleng-geleng kepala menatapku.
"Lo bercanda? Nggak lucu ah bercanda lo," ucap Afnes sambil tertawa garing.
"Beneran itu tadi Devan Singgih. Anak kedua dari keluar Singgih," kataku sambil memperhatikan wajah kaget mereka satu per satu. "Biasa aja kali, emang orang kayak gue nggak bisa berteman sama orang hebat?" cibirku.
Aku memilih membereskan barang-barangku, sebentar lagi jam pulang kerja. Semua pekerjaanku pun sudah aku simpan. Keempat manusia yang ada di ruangan ini sepertinya tidak enak hati mendengar cibiranku tadi, buktinya mereka langsung diam.
"Gue balik duluan ya," pamitku yang langsung menyampirkan tas punggung milikku.
∞∞∞
Lobi seperti biasa ramai di saat jam pulang kerja seperti ini, semuanya berjalan dengan cepat sambil menempelkan ponsel di telinga. Karena, rata-rata yang ada di sini pastilah memesan taksi atau ojek online.
Aku biasanya memilih jalan keluar dari komplek gedung dan memanggil ojek pangkalan yang ada di dekat sini. Tapi, mataku menangkap sosok Indra yang berdiri di depan pintu lobi. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
"Sudah pesan ojek Bel?" tanya Indra saat aku mendekat. Aku menggeleng pelan sebagai jawabannya. "Ayo saya antar," tawarnya kemudian membuatku terdiam heran.
Tadi saat di lift Indra seperti orang asing. Dia tidak menyapa atau tersenyum padaku. Sekarang? Dia menawarkan tumpangan padaku? Salah makan apa tadi siang pria ini?
"Bapak salah makan apa tadi siang?" Aku mengerjapkan mataku tiga kali dengan cepat. Berusaha mengusir sosok Indra, takutnya ini hanya ilusiku saja.
Indra berdeham pelan. "Saya serius Bel," katanya penuh penekanan.
Tidak enak menolak niat baik seseorang dan lumayan juga untuk menghemat ongkos, aku pun menerima tawaran Indra dengan anggukkan pelan. Indra dan aku berjalan bersama meninggalkan lobi, menuju ke parkiran depan. Parkiran mobil ini biasanya hanya untuk CEO dan para top management. Indra jelas termasuk ke dalam deretan top management.
Aku melirik sekilas ke arah Indra yang ada di balik kemudi. Penampilannya tetap rapi, seperti tidak tersentuh. Seolah-olah apa yang sudah dikerjakannya tidak mengganggu sedikit pun penampilannya.
"Kenapa berputar di sini Pak?" Aku bertanya saat Indra justru berputar di jalan yang berbeda ke arah rumahku. Posisi kami tidak begitu jauh dari kawasan perkantoran.
"Nggak jauh dari sini ada kedai es krim," sahut Indra yang membuatku menoleh sepenuhnya ke arah Indra. "Es krim talas di sana enak," lanjutnya lagi membuatku terkaget tidak percaya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top